Anggita Putri S, Reza Altamaha, Veronica Phrita K D
Tahun 1998 identik dengan jatuhnya rezim Orde Baru yang sebelumnya didahului oleh rentetan peristiwa yang akhirnya membuahkan reformasi. Melihat kembali tahun tersebut, kata krisis juga menjadi salah satu yang terpatri dalam memori generasi terdahulu yang terjun ke jalan maupun generasi sekarang yang mengulik krisis lewat berbagai literatur. Krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis politik dan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Soeharto sebenarnya menjadi pemicu bagi berkembangnya gerakan reformasi (Brata, 2003).
Krisis ekonomi juga membuahkan berbagai macam dampak yang salah satunya adalah melambungnya harga bahan pokok (sembako) serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menimpa banyak orang. Dari situ pun imbasnya menjalar lagi pada pengangguran yang bertebaran dan bukan saja menjadi masalah kelas menengah, namun sudah menyangkut hidup mati warga negara. Disini timbul gerakan-gerakan yang menampilkan mahasiswa sebagai agent of change yang menuntut perubahan berupa reformasi.
Terkait pernyataan sebelumnya, kami mencoba mengkontekstualisasikan peristiwa-peristiwa 1998 melalui beberapa sudut pandang dari orang-orang yang mengalaminya secara langsung – lebih tepatnya dengan yang terjadi di Yogyakarta. Yogyakarta sendiri menyimpan memori yang menurut kami penting untuk digali lebih lanjut. Memori menjadi salah satu hal yang dapat menggambarkan suatu tempat baik melalui deskripsi bangunan hingga peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Tempat dapat berubah menjadi sebuah ruang, yang tercipta melalui kolaborasi tempat dengan elemen-elemen lain seperti salah satunya; memori. Kali ini, kami akan melihat perkotaan melalui memori Edi (bukan nama sebenarnya) dan Gandi (bukan nama sebenarnya), dua (2) orang informan yang kami ajak ngobrol beberapa waktu lalu untuk menarik kembali ingatan mereka seputar peristiwa yang mereka alami langsung – perihal suasana perkotaan menjelang jatuhnya rezim Orde Baru. Kami percaya apa yang keduanya alami dapat memberikan secercah refleksi bagi kami dan orang-orang hari ini.
Cerita Mereka
Kami temui Edi di tempat kerjanya di suatu kampus. Kami mencoba menggali peristiwa yang dialami oleh Edi dengan mengobrol santai sambil lalu. Obrolan kami sebetulnya sekedar mengobrol ringan atas perbedaan dulu dan sekarang. Dari obrolan itu, ia bercerita bahwa dulu merasa jika represi rezim yang berkuasa menyulitkan kebebasan sivitas akademika kampus. Sekedar kumpul-kumpul pun dirundung rasa khawatir menimbulkan kecurigaan. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Pratikno (1998) bahwa kekerasan menjadi instrumen utama Orde Baru untuk mencapai stabilitas politik, mendirikan badan intelejen untuk mengkontrol masyarakat, serta penerapan UU Anti-Subversi yang dijadikan sebagai “pembenar” represi pemerintah di masa itu. Edi yang saat kami temui tengah bekerja belum dapat memberikan uraian yang lebih luas seputar apa yang dialami olehnya, tetapi sebagai ganti ia menunjukkan beberapa bacaan pada kami yang membahas peristiwa 1998.
Benak kita mengenai tahun 1998 – kita sangat dekat dengan memori kolektif soal ‘tahunnya reformasi’, yang untuk mencapainya diperlukan sebuah proses yang sangat panjang. Tahun itu seringkali dikonotasikan dengan raut wajah penuh amarah, cara bicara berapi-api, semangat yang besar untuk mendapatkan Reformasi sangat kental dengan bayangan kami, mungkin juga bagi sebagian besar orang. Tetapi tidak bagi seorang Gandi, yang kami temui di kediamannya beberapa waktu lalu. Ketika ditanya bagaimana suasana di akhir masa kepemimpinan Suharto menjabat menjadi Presiden, ia justru tidak merasakan apa yang selama ini kami bayangkan dan memilih menunjukkan pandangan yang berbeda dari apa yang kami pikirkan. Gandi justru dengan tegas mengatakan masa-masa itu merupakan masa ‘menyenangkan’.
Ia justru memilih menggambarkan dirinya sebagai ‘penggembira’ ketika mengikuti aksi-aksi yang berlangsung ketika itu. Tatapannya seolah mencoba mengingat kembali masa ketika ia sempat ‘kucing-kucingan’ dengan aparat, sempat pula ia sembunyi dari satu tempat ke tempat lain – ia bercerita bahwa ia memang aktif di kegiatan seni kala itu dan ia sebenarnya tidak berafiliasi dengan organisasi-organisasi yang menjadi incaran Orde Baru. Hal ini seperti yang dituliskan oleh Sulisno (2012) bahwa Pemerintah Orde Baru membuat stabilisasi keamanan melalui pengendalian berbagai ekspresi masyarakat. Ekspresi yang sejalan dengan pemerintah didukung, sementara ekspresi-ekspresi yang tidak sejalan dengan pemerintah dilarang, bahkan banyak yang berusaha dimatikan.
Kembali ke cerita Gandi-–momen-momen rapat kecil pada malam hari, kesibukan berdemo di sana-sini, dipukuli, tertembak hingga melarikan diri dari aparat negara yang berjaga menjadi sebuah kenangan yang kadang kala ia rindukan. Bukan berarti Gandi ingin peristiwa semacam itu terulang, namun ia menitikberatkan jika apa yang dilakukannya semasa itu yang terpenting adalah lengsernya Soeharto atau dengan kata lain menjatuhkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun tersebut. Hal tersebutlah yang menjadi alasannya untuk turut turun ke jalan, mengikuti protes dan tak lupa perannya sebagai ‘penggembira’.
Disodori pertanyaan soal ekonomi, Gandi menjelaskan bagaimana di tahun itu benar-benar menjadi tahun yang sulit. Harga mie instan saja yang awalnya dihargai Rp. 150, tiba-tiba melonjak menjadi Rp. 400. Kondisi seperti inilah yang kemudian memantik aksi nyata yang datang dari berbagai kalangan. Adanya kenaikan harga berbagai macam barang, terutama sembako dan jasa yang diperjual-belikan direspon oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Bantuan yang diberikan berupa nasi bungkus yang disubsidi sehingga hanya perlu bayar dengan harga Rp. 200 saja – ditengah krisis moneter yang nasi bungkus pun umumnya dijual seharga Rp. 400. Bantuan tersebut ditujukan bagi beberapa kalangan yang begitu terdampak oleh krisis, yang diantaranya adalah mahasiswa, tukang becak dan masyarakat kecil lain yang merasakan betul bagaimana krisis yang terjadi kala itu menyulitkan kehidupan mereka – bahkan sekedar untuk makan hanya sekali sehari.
Gandi menggambarkan jika wilayah perkotaan menjadi sasaran empuk bagi inflasi yang merupakan salah satu dampak krisis moneter saat itu, sebab perubahan harga yang terjadi secara besar-besaran hadir di perkotaan yang menjadi pusat perekonomian serta dengan tingkat mobilitas yang tinggi. Masyarakat perkotaan ia jelaskan merasakan himpitan hidup di hampir segala lini karena harga meroket sedangkan pendapatan mereka tidak mampu menjangkaunya. Lalu bagaimana dengan wilayah pedesaan?
Berdasarkan penuturan Gandi, wilayah pedesaan justru tidak begitu mengalami perubahan yang signifikan, apalagi di luar Jawa. Kalangan petani komoditas ekspor, salah satu contohnya, meskipun banyak produk-produk yang saat itu digunakan untuk melesatkan kuantitas tanamannya bersamaan dengan realisasi program revolusi hijau, namun ketika inflasi melanda, mereka masih dapat bertahan dengan pupuk yang dibuat sendiri. Nelayan dan pemilik perkebunan yang berada di luar Pulau Jawa pun demikian, ketika orang-orang di Pulau Jawa khususnya perkotaan merasakan dampak krisis berupa harga dollar yang melonjak, justru mereka terciprat rezeki yang tidak disangka-sangka banyaknya. Sehingga hal ini mempengaruhi bagaimana kondisi keuangan sebagian mahasiswa rantau yang merupakan anak nelayan atau pemilik perkebunan. Gandi menuturkan uang saku sebagian mahasiswa rantau yang memperoleh berkah dari krisis saat itu dapat naik hingga 100%. Meskipun memang tidak semua dari mereka merasakan berkah tersebut.
Gandi juga menyebutkan beberapa peristiwa yang bercokol dalam ingatannya. Ia menyebutkan peristiwa Gejayan Kelabu yang diketahui terjadi menjelang lengsernya Soeharto. Peristiwa yang dibuka 5 Mei 1998 lewat demonstrasi kemudian berlanjut di tanggal 8 Mei 1998. Dilansir dari krjogja.com (2018) beberapa kampus lain di kampus pelajar juga ikut bergerak. Jalan Gejayan berubah mencekam dan menjadi lautan demonstran. Bentrokan yang terjadi akhirnya memakan korban. Moses Gatotkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma ditemukan tewas bersimbah darah di ruas jalan sebelah selatan Kampus Mrican USD. Sementara itu, Gandi yang hadir di demonstrasi tersebut berusaha lari dari kejaran aparat dengan bersembunyi di sebuah bangunan di IKIP Yogyakarta. Hingga hari berikutnya ia memperoleh informasi kalau dalam peristiwa menimbulkan korban jiwa.
Peristiwa lain yang Gandi sebutkan adalah Pisowanan Ageng yang berlangsung pada tanggal 20 Mei 1998. Peristiwa tersebut melibatkan rakyat Yogyakarta yang turun ke jalan namun berbeda dengan daerah lain, di Yogyakarta gerakan tersebut berlangsung damai. Pengaruh Sultan Hamengkubuwono (HB) X jelas besar dalam menentukan keamanan di wilayahnya. Waktu itu pemerintahan DIY masih dijalankan oleh Paku Alam (PA) VIII, yang juga turut menemui massa di Alun-alun (Kompas.com, 2008). Ketika itu pertemuan antara Rakyat dan Sultan berjalan cukup damai. Sehari pasca Pisowanan Ageng, kabar yang dinanti-nantikan oleh rakyat akhirnya terwujud. Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh B. J. Habibie.
Pada tahun 1998, Gandi menjelaskan bahwa aktor yang berperan dalam demo-demo yang menuntut pemerintah untuk ‘turun’ datang dari beberapa organisasi, terlebih terdapat sebagian dari para mahasiswa yang mengklaim diri mereka sebagai pembela rakyat. Demo menjelang runtuhnya Orde Baru tidak seperti yang kami bayangkan apabila mengacu pada ucapan Gandi. Ia berujar bahwa mereka (mahasiswa) yang melakukan demo mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Sebagian memang hadir guna menyuarakan suaranya atas represi rezim yang berkuasa, akan tetapi sebagian juga tampil untuk mencari panggung politik.
Sambil berlalu, Gandi menceritakan bagaimana para mahasiswa yang berdemo hampir tak pernah absen mengumandangkan lagu-lagu yang membakar semangat, yakni lagu Darah Juang karya John Tobing serta pelesetan Mars ABRI. Gandi menimpali jika selain lagu-lagu tersebut menambah ‘gayeng’ protes yang berlangsung juga memanaskan suasana. Walaupun bagi dirinya sendiri merasa menyenangkan mengumandangkan lagu-lagu itu bersama teman-teman seperjuangannya kala itu. Alih-alih ketakutan, bagi Gandi yang dirasakan adalah adrenalin yang memuncak. Meskipun tidak jarang ketika suasana benar-benar panas tindak kekerasan bisa dilayangkan pada para mahasiswa yang berdemo. Apabila mengaitkannya dengan konteks sekarang, beberapa waktu yang lalu sempat terjadi penangkapan Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Robertus Robet pasca orasinya di Aksi Kamisan. Robet dalam orasinya mengingatkan soal dwifungsi saat militer masih bernama ABRI. Ia pun memberi contoh lagu Mars ABRI yang dipelesetkan oleh para demonstran pada saat aksi demonstrasi 1998 menuntut mundurnya Soeharto. (tempo.co, 2019).
Kembali ke cerita Gandi. Gandi juga menjelaskan bahwa demonstrasi yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Ia sebagai ‘penggembira’ menganggap jika demo pada tahun 1998 lebih mengarah untuk menjatuhkan kedigdayaan Orde Baru setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa. Suasana saat itu pun menurutnya tidak selalu seperti yang dikatakan media massa, ia lebih suka menggambarkannya dengan masih adanya rasa senang untuk berdemo. Sedangkan yang sekarang menurutnya lebih sarat akan kepentingan golongan dan kepentingan tertentu. Kami pikir jawaban Gandi menyiratkan jika militansi para pendemo kala itu lebih kuat ketimbang yang sekarang. Karena melakukan aksi demo dengan kepentingan tertentu, maka para pendemo ini juga tidak melakukan aksinya dengan hati yang senang seperti para pendemo pada tahun 1998, terlebih para mahasiswa penggembira.
“Kalo pendemo dulu seperti pendemo sekarang yang kalau kena senggol dikit aja udah langsung lapor ke komnas HAM lah ke mana lah, mau berapa ribu orang yang di visum buat jadi barang bukti kekerasan,” ucap Gandi.
Refleksi
Tahun 1998 selain terkait dengan krisis ekonomi dan politik juga memperlihatkan mengenai bagaimana rakyat terutama mahasiswa turut bergerak untuk menjatuhkan rezim yang berkuasa kala itu. Dua informan yang kami temui memberikan sudut pandang mereka mengenai tahun tersebut, tak melulu seperti yang diceritakan pada umumnya. Kami mendapati jawaban yang malah membuat kami memikirkan kembali bahwa menjelang reformasi memang banyak kemarahan yang terwujud melalui demonstrasi, tetapi disamping itu ada juga aktor-aktor yang hadir untuk ‘menggembirakan’ suasana. Ada sebagian dari orang-orang yang turun ke jalan ketika itu hadir dengan niat yang membulat untuk melengserkan Orde Baru, tetapi tidak sedikit pula yang ingin menampilkan diri sebagai ‘pembela rakyat’ dan menggunakan momentum untuk membesarkan nama. Meskipun begitu orang-orang yang turut hadir dari aksi ke aksi ada yang memilih untuk tetap berada dalam jalan sunyi ketimbang menerima pinangan partai-partai politik yang ingin menggaet mereka.
Suasana huru-hara nyatanya masih memberikan ruang menyenangkan bagi sebagian orang. Di tengah represi yang menekan sendi kehidupan rakyat, ada saja orang-orang yang merasakan kegembiraan dari terjun dalam aksi menuntut turunnya sang penguasa. Pernyataan yang dilontarkan juga menabrakkan pandangan kami yang seakan kaku memandang peristiwa-peristiwa kala itu serigid “semua demi tumbangnya Orde Baru” namun menafikkan adanya berbagai macam kesan yang dirasakan oleh orang-orang yang menyandarkan diri mereka sebagai ‘penggembira’ ditengah panasnya situasi.
Referensi:
1. Brata, N. T., 2003. Gerakan Massa "Pisowanan Ageng" Remaking Tradisi untuk Mendobrak Stagnasi Reformasi, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Pratikno, 1998. Keretakan Otoritarianisme Orde Baru dan Prospek Demokratisasi. JSP, 2(2), pp. 18-33.
2. Sulisno, 2012. Dekonstruksi Budaya-Budaya Adiluhung Pasca Reformasi: Studi Kasus Pertunjukan Wayang Karya Slamet Gundono. Bali, The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”.
Media Online:
1. Kompas.com, 2008. Keberuntungan Yogyakarta Punya Rakyat yang Istimewa. [Online]
Available at: https://nasional.kompas.com/read/2008/10/03/07192665/keberuntungan.yogyakarta.punya.rakyat.yang.istimewa.?page=all [Accessed 29 may 2019].
2. krjogja.com, 2018. Mengenang Gejayan Kelabu. [Online]
Available at: https://krjogja.com/web/news/read/65678/Mengenang_Gejayan_Kelabu [Accessed 29 May 2019].
3. tempo.co, 2019. Fakta-fakta Penangkapan Robertus Robet. [Online]
Available at: https://nasional.tempo.co/read/1182866/fakta-fakta-penangkapan-robertus-robet/full&view=ok [Accessed 29 March 2019].
Comments