top of page

Mereka yang Semakin Terpinggirkan: Cerita Singkat dari Tiga PKL UGM

Updated: Jul 3, 2019

Bettina Otto, Fikra Ahnaf, Meivy Andriani

foto oleh Balairungpress

Ketika kita membicarakan sejarah Indonesia dan bagaimana ia muncul di area perkotaan, biasanya kita mengacu pada insiden yang terhubung dan terkonstruksi sebagai sesuatu yang penting. Sejarah seperti itu sudah memiliki cerita dan perhatian dari publik tertentu—termasuk wacana universitas. Dalam catatan singkat ini, kami ingin memperlihatkan sebuah isu yang tidak terlihat dalam cerita-cerita tentang sejarah sosial Indonesia. Mungkin saja, alasannya adalah ia bukan merupakan isu yang spektakuler.


Latar Belakang

Pedagang kaki lima (PKL) memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. PKL bisa menjual berbagai macam barang, seperti makanan, minuman, perlengkapan, perhiasan, dan banyak lagi. Sejak dahulu, ternyata PKL sudah sering menjadi pihak yang disalahkan atas permasalahan keindahan kota (https://historia.id/urban/articles/mula-pedagang-kaki-lima-D8mZv). Padahal, menjadi PKL merupakan salah satu strategi untuk bangkit dari keterpurukkan ekonomi yang digunakan oleh warga kota (Abidin Kusno, 2009). PKL bisa menjadi daya tarik bagi turis mancanegara ataupun domestik. Misalnya, PKL Malioboro yang legendaris merupakan salah satu hal yang memikat bagi turis, atau sebaliknya, turis-turis di Malioboro lah yang memikat bagi PKL. Atau PKL yang berjualan di kawasan kampus UGM. Fikra, salah seorang bagian dari kami menceritakan bagaimana pengalamannya sewaktu kecil sering membeli makan di PKL-PKL yang berjualan di dalam kampus UGM. Waktu itu, PKL yang berjualan di dalam kampus didominasi oleh penjual bakwan kawi gerobakan dan jamu. Mereka berjualan di area Gelanggang Mahasiswa dan Gedung PKKH. Namun, beberapa tahun kemudian, PKL yang dahulu berjualan di dalam kampus, mengalami relokasi berkepanjangan akibat Surat Rektor perihal penataan kampus. Mereka harus pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.


Dalam banyak panduan untuk turis, PKL dipuji-puji karena ia merupakan atraksi spesial yang ada di Yogyakarta. Semua turis harus mencoba makanan di sana setidaknya sekali. “Kamu belum sampai di Yogya kalau belum makan makanan tradisionalnya”, termasuk makanan yang dijual oleh PKL seperti yang dijelaskan di paragraf selanjutnya di bawah berita utama “Go for it! – Yogyakarta for connoisseurs” (Blank, Schrempf 2013, p. 25). Tenda-tenda di samping jalan mengacu pada ide mengenai ke-Indonesia-an. Citra itulah yang menjadi simbol Indonesia, khususnya Yogyakarta.


Apa itu PKL? Pedagang kaki lima adalah “istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan (DMJ) yang diperuntukkan bagi pejalan kaki” (https://arsip.ugm.ac.id/2014/03/26/pedagang-kaki-lima-di-universitas-gadjah-mada-era-1980-1990-an/). Dalam dokumen arsip UGM, dijelaskan bahwa PKL merupakan penyebab dari permasalahan sampah dan limbah air cuci yang mencemari sungai, serta pengambilan lahan milik pejalan kaki dan kendaraan bermotor. Maka dari itu, PKL kerap menjadi kambing hitam dalam permasalahan penataan kota. Di UGM, sebagai contoh, PKL telah berkali-kali direlokasi (http://bulaksumur.tripod.com/agustus/edisi11/pedagang.htm) dan melakukan demonstrasi kepada pihak UGM. Food court UGM (https://ugm.ac.id/id/berita/574-ugm-bangun-food-court-plaza-campus) adalah salah satu dari banyak kompleks pedagang yang diciptakan oleh UGM untuk mengatur keberadaan PKL.  


Dari relokasi pertama sampai relokasi sekian, permasalahan PKL UGM tampaknya memang sukar untuk diatasi. Berbagai macam ketidakpuasan dan penolakan tercatat dalam berita dan laporan singkat (http://www.balairungpress.com/2013/05/ugm-kembali-relokasi-pkl/). PKL sering dianggap “membandel”, sehingga mereka pantas untuk ditertibkan. Karena itu, kami menemui beberapa PKL untuk mengetahui bagaimana mereka mengingat dan berstrategi untuk terus bisa berdagang.


Mengamati Latar Belakang

Kami mendatangi PKL di saat maghrib, saat orang-orang pergi untuk berbuka puasa. Gelap, tetapi jalanan terlihat ramai. Ada beberapa tenda di samping motor dan mobil yang melewati jalanan. Barisan PKL itu diterangi oleh lampu yang redup, tendanya terbuka setengah, dan setengahnya lagi tertutup oleh poster yang menjelaskan makanan apa yang mereka jual. Sulit untuk berjalan di sana, apalagi ada banyak motor dan mobil yang harus kami lewati. Tenda-tenda itu dirangkai beberapa jam sebelum maghrib. Kami melihat orang-orang duduk di karpet di jalanan, di mana motor dan mobil mungkin menempuh kecepatan 30-50 kilometer per jam. Kami memasuki tenda Pak Pomo yang menjual bakmi. Tenda Pak Pomo terletak di samping pintu masuk ke UGM.


Tenda-tenda itu baru bersebaran di pinggir jalan ketika sore hari. Kami cukup sering datang ke sana, tetapi kami tidak tahu nama PKL tersebut. Biasanya kami mengingat mereka melalui makanan yang mereka jual dan muka mereka. Kami tidak pernah ngobrol dengan mereka sebelumnya. Tetapi, mereka adalah orang-orang yang kami temui selama hidup kami di Yogya. Mereka berperan sebagai pemasok makanan kami. Sebelumnya, mereka hanyalah pedagang biasa yang menjual makanan di pinggir jalan, tanpa suara, tanpa sejarah. Melalui pertemuan kami, para PKL menjadi figur yang terikat dalam konteks yang lebih besar dengan cerita dan sejarahnya masing-masing, seperti foto V-J Day in Time Square.


Figur

Kami berbincang dengan tiga orang. Satu PKL yang tendanya terletak paling dekat dengan pintu masuk ke UGM, dan dua PKL yang berjarak tiga tenda dari Pak Pomo, yakni Bu Siti dan Pak Arjun.


Tenda milik Pak Pomo masih kosong ketika kami menghampirinya. Kami bertanya, bagaimana rasanya menjadi seorang PKL. Dengan lugas, ia menjelaskan bahwa menjadi PKL tidaklah mudah karena adanya peraturan baru di UGM yang mengatur mereka untuk berdagang di luar kampus. Itulah alasan ia berdagang di tempatnya sekarang selama beberapa tahun. PKL tidak perlu membayar sewa; mereka hanya diharuskan untuk menjaga tempat mereka bersih. Listrik yang mereka gunakan didapatkan dari perumahan terdekat. Meskipun begitu, Pak Pomo tidak mengeluh. Ia mengaku bersyukur karena memiliki kesempatan untuk menjual makanan dan mendapatkan uang. Cukup sulit sebenarnya, karena semenjak beliau pindah ke tempat baru, penjualannya menurun. Dulu mahasiswa UGM bisa datang ke tempatnya untuk makan, tetapi sekarang Pak Pomo merasa kalau mahasiswa lebih suka pergi ke warung yang lebih dekat dengan tempat mereka tinggal yang menawarkan fasilitas Wi-Fi. Selain itu, Go-Food juga bisa menjadi pilihan mereka. Pak Pomo menerangkannya dengan percaya diri, ia menghadapi segala tantangan dengan sabar. Beliau pun telah berusaha untuk menggunakan strategi baru, seperti mengikuti bisnis Go-Food. Namun, beliau gagal. Pak Pomo dan kawan-kawannya membentuk organisasi PKL untuk menghadapi peraturan baru dari UGM. Mereka bernasib sama; belum ada kemajuan yang signifikan untuk usaha mereka. Kami bertanya, mengapa ia memilih tempat ini untuk menjual makanannya? Jawabannya sederhana: beliau tidak perlu membayar biaya sewa. Melalui Pak Pomo, kami melihat bagaimana figur dalam budaya makanan Yogyakarta mentransformasikan perspektif kami. Pak Pomo berkata, ia adalah orang yang kalah dalam pembangunan kota.


Bu Siti dan Pak Arjun sudah dikerubungi oleh lebih banyak pengunjung saat kami sampai. Rupanya, mereka memulai usaha mereka di jalanan karena alasan yang sama dengan Pak Pomo: mereka semua memiliki anggota keluarga yang sakit yang harus mereka rawat. Menjual makanan adalah cara yang mudah dan mungkin dilakukan oleh mereka dengan situasi seperti itu. Pak Arjun dan Bu Siti memiliki tiga anak yang masih sekolah. Cukup silit, apalagi Bu Siti tidak mendapatkan tidur yang cukup tiap malam. Beliau pulang ke rumah pukul dua pagi dan bangun pukul lima pagi untuk mempersiapkan anak-anaknya yang akan berangkat ke sekolah. Banyak di antara pelanggan mereka adalah mahasiswa UGM, terutama mahasiswa Fakultas Kehutanan. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, ada banyak mahasiswa internasional yang datang ke tempat mereka, berbincang dan makan bersama mereka. Bu Siti dan Pak Arjun sadar akan adanya perubahan pelanggan mereka. Namun, mereka tidak terkejut akan perubahan tersebut, tidak seperti Pak Pomo yang harus pindah ke tempat lain karena perintah UGM. Bu Siti menjelaskan dengan ceria, mereka menerima tempat itu, PKL lainnya, dan pelanggannya.


Siapa yang Mendengar Suara Mereka?

Ketika kami menemui PKL di UGM yang berjuang untuk menemukan strategi beradaptasi dengan peraturan baru UGM, kami bertanya pada diri kami sendiri. Bagaimana para PKL bisa mengartikulasikan pandangan mereka tentang kondisi hidup dan kerja mereka? Siapa yang mendengar mereka? Pertanyaan inilah pertanyaan mendasar yang memandu kami dalam pertemuan kami dengan Pak Pomo, Bu Siti, dan Pak Arjun. Pertanyaan tersebut mungkin terasa sederhana, tidak penting, dan tidak mendesak. Hal-hal tersebutlah yang membuat kami sadar bahwa: jika antropolog mengikuti narasi sejarah yang sudah mapan, kita akan tidak sadar dengan bagian-bagian penting yang membentuk proses urban yang mempengaruhi hidup kita sekarang dan di kemudian hari. Ketika peraturan UGM mengecualikan PKL dari kampus dan mahasiswa UGM tidak dekat dengan PKL seperti Pak Pomo, Bu Siti, dan Pak Arjun, bagaimana mereka—yang merupakan pekerja dan elit masa depan—melihat masyarakat yang ada di hadapan mereka?


Kami menggunakan konsep “subaltern” yang utamanya dibentuk oleh karya-karya Gayatri Spivak, sebagai cermin bagi situasi para PKL yang bertransformasi secara signifikan karena peraturan UGM. Tanpa bertujuan untuk merendahkan PKL yang tentunya memiliki suara di lingkungannya sendiri, kami pikir mereka tidak memiliki suara untuk masalah kondisi kerja mereka. Ada dua fakta yang mendukung hal ini: pertama, organisasi PKL belum cukup sukses dalam menantang peraturan UGM, dan kedua, adanya peran SKKK. Bu Siti bercerita pada kami, jika mereka meninggalkan sesuatu di tempat mereka berjualan, SKKK akan mengambil barang tersebut agar mereka tidak bisa mendapatkannya kembali. Bagaimanapun, tempat mereka berdagang adalah wilayah UGM. Sehingga, barang yang ada di sana pun dimiliki oleh UGM. UGM lah yang memiliki andil dalam menentukan apakah mereka boleh berdagang atau tidak.

Menurut Mark Griffiths, untuk mengoperasionalisasikan konsep subaltern dalam bidang penelitian ada tiga aspek penting: (1) Pendekatan anti-foundationalist terhadap subalternitas; (2) “hyper-self-reflexivity” yang dimiliki oleh subyek yang menginvestigasi; dan (3) keharusan untuk memberi nama subalternitas (2017, 300).


Pendekatan anti-foundationalist berarti memasukkan heterogenitas orang-orang subaltern. Tidak ada kriteria spesifik untuk melabelkan orang menjadi kategori-kategori subalter sebagai lawan dari elit atau non-subaltern sebagaimana mereka dikonstruksikan dalam kode-kode normatif dan etis. Sebaliknya, subalternitas adalah heterogenitas yang tidak bisa di “retrieve”, di mana perempuan, korban diskriminasi dan kekerasan, bahkan PKL termasuk sebagai bagian dari kaum subaltern. Kelompok-kelompok tersebut tidak sama (Matthews 2017, 304). Perspektif ini memperkenankan kami untuk melihat PKL sebagai kaum subaltern.

Poin kedua adalah alasan mengapa kami melibatkan diri kami dalam tulisan ini selagi kami menjelaskan apa yang kami temukan. Refleksi yang kami lakukan seharusnya bisa lebih dalam daripada mereka yang sudah familiar dengan relasi kuasa di negeri poskolonial ini.


Ketiga, keharusan untuk memberi nama subalternitas. Kami sadar bahwa data kami tidak bisa mengemas konsep subalternitas secara cukup. Namun, ciri-cirinya yang tidak jelas dan sugestif adalah indikator atas adanya relasi kuasa tersembunyi yang merugikan orang-orang tertentu. Tidaklah terlalu cepat untuk membayaknya subalternitas dalam situasi yang dialami oleh PKL di Yogyakarta dan orang-orang lainnya yang terpengaruhi secara negatif oleh pembangunan gaya hidup daring dan jasa beberapa tahun terakhir. Contoh kekerasan semacam ini bersifat drastis. Ia dapat menjelaskan bagaimana infrastruktur urban untuk kerja dan aksesibilitas mempengaruhi hidup orang-orang yang tidak diakui oleh wacana sosial.


Mengapa PKL Dilarang Berjualan di Wilayah Kampus?

Sebelumnya, kami telah memaparkan bagaimana figur PKL menyikapi larangan berjualan di kawasan kampus UGM. Pada bagian ini, kami mencoba mencari tahu, apa sebenarnya yang terjadi di balik pelarangan tersebut. Tentu dari sudut pandang sang pemberi kebijakan, yaitu pihak UGM. Adakah sebuah agenda yang sedang di kejar oleh pihak UGM? Untuk apa dan untuk siapa agenda tersebut? Salah satu sumber yang akan kami gunakan disini adalah tulisan Bhirawa J Arifi, seorang Koordinator Forum Advokasi UGM yang pernah membuat tulisan mengenai pelarangan PKL di UGM dan ikut dalam upaya mengadvokasi PKL-PKL yang terdampak (https://maxbhirawaar.wordpress.com/2013/03/20/nasib-pkl-kampus-di-balik-educopolis-ugm/).


Bhirawa J Arifi mengatakan, puluhan tahun setelah Koesnadi Hardjosoemantri (Rektor UGM yang dikenal karena ‘merakyat’) menjabat sebagai rektor, UGM diberkati dengan seorang pemimpin baru yang mempunyai ambisi tinggi dan impian visioner untuk kampusnya di masa depan. Pemimpin baru tersebut bernama Sudjarwadi. Ketika Sudjarwadi menjabat sebagai Rektor UGM ke-13 pada tahun 2007, beliau mempunyai cita-cita untuk memajukan Kampus Kerakyatan sebagai salah satu perguruan tinggi dengan prestise yang dapat diakui oleh dunia internasional. Status UGM sebagai World Class Research University (WCRU) merupakan tujuan utama Sudjarwadi dalam misi besarnya. Namun untuk mewujudkan cita-cita tersebut, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh UGM agar status terhormat itu dapat dikuasainya. Salah satu persyaratan untuk mendapatkan status WCRU adalah menjadikan UGM sebagai kampus educopolis.


Tentu, menjadikan UGM sebagai kampus educopolis bukan tanpa resiko. UGM akan dihadapkan dengan perubahan-perubahan yang sangat drastis. Salah satunya adalah menata kampus UGM. Penataan wilayah dalam membangun kampus educopolis tertuang dalam SK Rektor dan juga grand design dari konsep educopolis itu sendiri. Grand design inilah yang akan menjadi langkah pertama dari perubahan terbesar yang akan menimpa ‘Kampus Kerakyatan’ dan seisinya. Salah satunya dengan melarang PKL berjualan di dalam wilayah kampus UGM.


Bhirawa J Arifi menambahkan, jika kita lihat dari segi hukum, memang PKL tersebut tidak mempunyai legalitas untuk berjualan baik di pinggir jalan maupun di lahan yang dimiliki oleh UGM. Walaupun dulunya pernah diberi izin oleh mantan Rektor UGM, izin tersebut tidak bisa dibuktikan secara sah dan tertulis sesuai dengan kesepakatan bahwa para pedagang mempunyai hak untuk berjualan di dalam lingkungan kampus. Kewenangan rektorat saat ini pun juga sudah cukup kuat bila suatu saat mereka ingin memaksa para PKL untuk mengangkat kaki. Permasalahan seperti ini menimbulkan keadaan yang sulit. Pertama karena PKL tidak ingin pindah dari lokasi biasa mereka karena dianggap sudah nyaman dan pengunjung yang datang cukup memberikan penghasilan yang baik tetapi dianggap menghalangi rencana besar UGM. Kedua pihak kampus juga tidak ingin menggusur PKL secara paksa karena ditakutkan akan mencoreng naman besar UGM sebagai Kampus Kerakyatan.


Referensi

  1. Barker, Joshua, Erik Harms, and Johan Lindquist. 2013. Introduction to Special Issue: Figuring the Transforming City. City & Society, Vol. 25, Issue 2, pp. 159–172, DOI:10.1111/ciso.12014

  2. Blank, Stefan; Schrempf, Simone (2013): CityTrip Yogyakarta und Borobodur. Fernwald: reise know-how verlag.

  3. Griffiths, Mark (2018): For speaking against the silence. Spivak's subaltern ethics in the field. In: Trans Inst br Geogr. Vol 43, 299-311.

  4. Kusno, Abidin. 2009. Ruang Publik, Memori, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

69 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page