top of page

Merekam Realita: Representasi dan Presentasi

Updated: Dec 29, 2018

Harits Naufal Arrazie dan Fathi Mujadidi


Dokumenter selama ini dianggap sebagai sidestream dalam dunia perfilman. Ketenarannya tentu kalah jauh dengan film-film mainstream yang sering menghiasi sinema layar lebar.


Namun, genre dokumenter dalam kategori film pun telah berkembang lebih jauh dari apa yang sebelumnya pernah dikenal sebagai film dokumenter. Kemudian, muncul pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan film dokumenter? Beberapa orang mungkin akan mengatakan bahwa secara umum, apa yang dianggap sebagai film dokumenter adalah film yang ‘mendokumentasikan’ kenyataan. Kenyataan yang dimaksud adalah orang atau tempat disertai dengan kejadian yang secara nyata terjadi tanpa direkayasa. Lebih singkatnya, bisa dikatakan bahwa dokumenter adalah film non-fiksi yang merepresentasikan fakta dan kebenaran atas sesuatu.


Mengatakan dokumenter hanya sebatas representasi dari kenyataan-kenyataan yang terjadi, atau sebagai rekaman yang dikatakan sebagai fakta dan kebenaran dalam suatu kejadian, adalah sebuah kesalahan fatal. Apabila begitu, maka mudah sekali untuk mengatakan bahwa apa yang dilakukan seseorang ketika ia merekam kemacetan di lampu merah dari siang hingga malam hari adalah sebuah film dokumenter. Lebih dari itu, film dokumenter juga berbicara mengenai presentasi; bagaimana bentuk penyajian dan penyampaian ide serta pesan dari apa yang dicitrakan berupa kejadian-kejadian nyata—beserta orang dan tempat di dalamnya.


Sheila Curran Bernard (2010), salah seorang filmmaker non-fiksi menjelaskan bahwa “film dokumenter membawa penontonnya ke dalam dunia dan pengalaman baru melalui presentasi dari informasi yang faktual mengenai orang, tempat, dan kejadian yang nyata, umumnya—meskipun tidak selalu—digambarkan melalui penggunaan gambar dan benda yang nyata.” Meskipun begitu, Bernard juga menekankan bahwa “informasi faktual itu sendiri bukan menjadi satu-satunya hal yang bisa mendefinisikan dokumenter.” Ini yang kemudian dikatakan olehnya sebagai keputusan pilihan dari filmmaker dalam menyajikan elemen faktual tadi, sampai pada kemampuan mereka untuk “menenunnya ke dalam narasi yang berusaha untuk menunjukkan sisi menarik yang sama besarnya dengan sisi kebenarannya dan bahkan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya.”


Konsep

Antropologi erat dengan metode penelitian observasi partisipan. Antropolog menghimpun data mereka dengan terjun langsung ke lapangan dan hidup bersama subjek kajiannya, seperti yang dilakukan Bronislaw Malinowski (1922) di kepulauan Trobriand. Antropolog menghimpun data dengan mencatatnya lalu dituangkan menjadi sebuah etnografi. Seiring perkembangan teknologi, etnografi kini tak hanya tersaji dalam bentuk tulisan, melainkan juga dalam bentuk visual. Film dokumenter etnografis berbasis metode partisipan mulai muncul dan dibuat di Amerika Serikat dan Eropa sekitar tahun 1960-an, dengan berbagai macam bentuk dan berbagai jenis judul. Kemudian pada era yang sama, di Paris muncul pula hal serupa dan tetap memiliki kaitan dengan apa yang disebut “pergerakan dokumenter etnografis”. Seorang antropolog asal Prancis, Jean Rouch (1947) telah lebih dahulu membuat film dokumenter partisipan dengan mengambil orang-orang Afrika sebagai subjeknya.


Perkembangan ini kemudian menjadi sebuah sub-disiplin dalam antropologi yang dikenal dengan antropologi visual. Morphy dan Banks (1999) menerangkan bahwa terdapat dua fokus perhatian dalam antropologi visual. Pertama, antropologi visual menyangkut penggunaan materi visual dalam penelitian antropologi. Kedua, antropologi visual merupakan studi mengenai sistem budaya yang terlihat (kasat mata). Mengutip pula Jay Ruby (1996) yang mengatakan bahwa:

one agenda of visual anthropology is to analyse the properties of visual systems, to determine the properties of visual systems and the conditions of their interpretation and to relate the particular systems to the complexities the social and political processes of which they are a part. A second agenda is to analyse the visual means of disseminating anthropological knowledge itself.

Film dokumenter tak lain dan tak bukan juga merupakan salah satu manifestasi dari antropologi visual. Meskipun belum disepakati secara umum mengenai apa yang dimaksud sebagai produk film dokumenter dalam ranah antropologi, banyak antropolog menggunakan media film ini sebagai sarana penyajian data yang mereka dapatkan di lapangan (Heider, 2007). Beberapa dari mereka pun semacam memberikan pengertiannya masing-masing mengenai film yang mereka dokumentasikan sebagai bentuk dari antropologi visual.


Nicole Brenez (2014), berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai film secara keseluruhan--entah itu berupa fiksi, dokumenter ataupun lainnya, sinema adalah seni yang deskriptif. Dan deskripsi, sebagai sebuah bentuk sastra yang pertama dan paling utama, menemukan pemenuhannya tersendiri dalam penciptaan karya seni. Pemahaman Brenez dalam memandang film lebih kepada pendekatannya yang berlandaskan nilai estetika ketimbang apa yang bisa dimanfaatkan secara praktis dari film itu sendiri.


Mengutip dari Kathryn Ramey (2014) mengenai seorang antropolog asal amerika bernama Robert Ascher--yang lulus dari University of California tahun 1960--, beliau menganggap bahwa film adalah salah satu respon secara estetik dari pemahaman antropologis. Kemudian dia juga menyatakan bahwa dalam membuat film, kontrol yang dimiliki atas antropolog atas pembuatan filmnya haruslah sama dengan cara mengontrol pembuatan tulisan mereka. Namun, sentimen yang ia miliki ternyata berbanding terbalik dengan apa yang ia sampaikan karena menurutnya, pembuatan film dokumenter secara tradisional itu malah terkadang bersifat invasif dan membuat banyak terjadinya kesalahan tafsir dan pembacaan terhadap suatu budaya tertentu, alih-alih memberikan simpati.


Terlepas dari semua itu pemahaman yang secara umum disampaikan oleh para antropolog mengenai antropologi visual, dan khususnya pada film dokumenter, kebanyakan berkutat pada subjektifitas atas pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Secara singkat, media film yang dituangkan dengan gaya dokumenter ini memang tidak memiliki batasan-batasan yang kaku, sehingga tiap individunya mampu memberikan pemahaman masing-masing atas film yang mereka sebut dengan dokumenter.


Mempertanyakan Kenyataan

Festival Film Dokumenter (FFD) 2018 menjadi tempat yang tepat untuk mendapatkan ragam perspektif mengenai film, khususnya film dokumenter. FFD menjadi wadah bagi banyak penggandrung film, tak terkecuali, tentu saja, bagi mahasiswa dari jurusan yang setiap harinya berkutat dengan gambar bergerak ini. Salah satunya Beni. Mahasiswa jurusan Film dan Televisi dari Universitas Jember. Film fiksi menjadi genre favoritnya karena di kampus maupun di daerahnya, jarang ditemukan ruang-ruang apresiasi yang khusus menayangkan film dokumenter.


Selain sebagai mahasiswa film, minimnya ruang apresiasi itu menjadi motif utama Beni rela merogoh kocek berangkat ke Jogja agar dapat langsung melihat, berdiskusi, sekaligus memperdalam perspektifnya mengenai film, khususnya film dokumenter. Dengan menyambangi FFD, Beni berharap dapat mengetahui lebih lanjut standard film dokumenter secara umum, juga mengetahui isu-isu apa saja yang diangkat dalam film dokumenter. Terlebih lagi, FFD adalah ruang apresiasi film dokumenter skala besar yang pertama kali ia datangi.

Film dokumenter menarik perhatian Beni karena dianggap berbeda dengan genre film-film lain pada umumnya. Perbedaan itu, Beni bercerita, terletak pada isu yang dibawakan. Jika film genre action lebih menonjol dari segi visual karena menyajikan adegan-adegan menakjubkan, dokumenter memiliki keunggulan dari konten yang termuat di dalamnya. “Dokumenter selalu mengangkat realitas yang terjadi, dan tak jarang itu kehidupan sehari-hari,” ujar Beni.


Dokumenter juga dapat menjadi alat yang tepat untuk melancarkan kritik. Beni memberi contoh lewat film soal Ahok dan Nyanyian Akar Rumput yang menceritakan sosok penyair yang raib saat Orde Baru berkuasa, Wiji Thukul. Dengan kekhasan isu dalam setiap filmnya, bagi Beni, dokumenter juga dapat menjadi sarana yang tepat untuk mengedukasi penonton. Penonton akan lebih mudah memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Juga, isu yang dibawa dalam film dokumenter sedikit banyak mampu menunjukkan keberpihakan dari si pembuat film, juga idealisme yang dipegang oleh siapapun yang menjadi subjek dalam film dokumenter itu sendiri.


Percakapan kian asik saat masing-masing dari kami mulai menyalakan rokok. Menonton film, biasanya, adalah aktivitas yang diperuntukkan untuk mengisi waktu luang. Pindah dari satu kenyataan ke kenyataan lain yang bisa dinikmati. Namun, untuk film dokumenter, Beni punya pendapat berbeda. Memang, menonton dokumenter juga dapat menjadi sarana melepas penat. Tapi, bagi Beni, dokumenter lebih cenderung merangsang penontonnya untuk berpikir kembali, mempertanyakan ulang realitas yang kini berlangsung. Dari situ, rasa peka penonton dalam memandang sesuatu akan meningkat. “Misal film soal cadar tadi. Itu cuma cara berpakaian mereka saja yang berbeda, padahal selebihnya mereka sama seperti kita,” Beni memberi contoh.


Hal inilah yang menurut Beni menjadi penting untuk diperhatikan setiap kali menonton film, khususnya film dokumenter. Penyelenggaraan FFD tahun ini tentu banyak memberi pengalaman dan perspektif baru bagi Beni, terlebih ia adalah mahasiswa film. Beni berharap festival-festival sejenis seperti FFD banyak diselenggarakan di kota-kota lain. Dengan tawa kecil dari giginya, ia juga berharap suatu saat film yang ia ciptakan dapat diputar di FFD.


Memperkaya Perspektif

Penyelenggaraan FFD tahun ini tak hanya mendapatkan perhatian dari mahasiswa film seperti Beni. Mahasiswa ilmu komunikasi seperti Rizky, juga tertarik menyambangi FFD. Jurusan kuliah Rizky sama sekali tak ada hubungannya dengan film, apalagi film dokumenter. Rizky mengetahui film dokumenter lewat obrolan-obrolan ringan di warung kopi. Di tempat itu pula, Rizky acap berdialog dengan filmmaker dari beragam komunitas film. Percakapan-percakapan ringan seperti itu yang membuat Rizky semakin tertarik dengan film dokumenter. Dan, juga dari obrolan di warung kopi, Rizky mengetahui adanya penyelenggaraan FFD.


Tentu Rizky menyenangi film, terutama film fiksi. Namun, untuk film dokumenter, Rizky merasa ada daya tarik tersendiri. Serupa dengan Beni, isu-isu yang diangkat dalam film dokumenter menjadi daya tarik bagi Rizky, seperti kehidupan sehari-hari. “Isu-isu seperti itu tak jarang luput dari perhatian. Namun lewat dokumenter, bisa disampaikan dengan baik dan mampu menyadarkan penonton,” cerita Rizky. Terlebih lagi, Rizky juga beranggapan bahwa pendekatan dalam film dokumenter sangat sederhana, sehingga apa yang disajikan terlihat lebih jujur. Film dokumenter juga membuat perspektif Rizky semakin kaya dalam melihat persoalan. Ini yang menjadi salah satu motif Rizky untuk datang ke FFD seorang diri.


Tetapi, dokumenter benar-benar menggugah Rizky ketika ia memahami bagaimana sebuah film dokumenter diproduksi. Rizky beranggapan bahwa penggarapan film dokumenter tak mungkin selesai dalam waktu seminggu dua minggu. Karena mengangkat realitas, penggarapan film dokumenter sudah barang tentu akan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Pembuat film diharuskan terjun langsung ke lapangan untuk mengambil gambar. Tak ada teknologi-teknologi canggih seperti dalam film fiksi saat penggarapan dokumenter. Semuanya nyata merekam apa yang ada di lapangan, apa yang terlihat oleh mata, apa yang terdengar oleh telinga.


Ditambah lagi, penggarapan film dokumenter memerlukan riset terlebih dahulu, agar ditemukan isu atau topik apa yang ingin diangkat dalam film. “Tentu proses seperti ini menghabiskan banyak waktu. Namun, karenanya, pembuat film diharuskan hidup bersama subjek yang akan ia film-kan. Proses ini tentu pembelajaran berarti dan pembuat film jadi lebih memahami problem apa yang akan ia bawa dalam film,” tutur Rizky. Dokumenter semakin menarik bagi Rizky ketika pendekatan sederhana yang digunakan menjadi sebuah karya kompleks saat selesai diproduksi. Penonton seolah-olah hadir dalam film. Dan hal itu yang membuat dokumenter menjadi begitu berkesan.


Meskipun terkesan sangat apik, minimnya peminat film dokumenter juga membuat Rizky bingung. Dokumenter sangat mampu mengedukasi dan sangat berdampak nyata, terkhusus bagi dirinya sendiri yang juga sering membuat film. Sebagian besar orang yang ia kenal malah beranggapan bahwa film dokumenter adalah genre film dengan konsep membosankan yang hanya berisikan wawancara. “Semakin miris ketika aku mendengar ungkapan seperti ini keluar dari filmmaker,” cerita Rizky.


Tentu minimnya ketertarikan khalayak umum terhadap dokumenter menjadi sebuah tantangan. Dengan cukup sumringah, Rizky berkeyakinan bahwa peminat dokumenter dapat meningkat ke depannya. Orang-orang, Rizky bercerita, tak boleh hanya mengapresiasi film-film arus utama yang diputarkan di bioskop. Orang-orang juga harus mengetahui bahwa banyak film-film bagus yang disajikan secara sederhana, jujur, dan dekat. “Pemutaran film dokumenter skala besar seperti ini jarang ditemui dan terlalu ‘mahal’ untuk dilewatkan begitu saja,” ucapnya.


Reflektif

Paul J. Cloke (2004) memberikan beberapa poin penting perihal etnografi dalam bukunya Practising Human Geography. Yang pertama adalah etnografi akan memperlakukan orang-orang sebagai ‘agen’ yang berpengetahuan banyak serta tersituasi, dimana peneliti mampu mendapatkan gambaran dari mereka mengenai bagaimana dunia (dan kehidupan) dilihat, dihidupi, serta dilakukan. Hal tadi membuat etnografi menjadi metodologi yang meluas, mendetail, imersif--seperti saat menyaksikan tayangan tiga dimensi--, dan juga induktif. Terkadang ia juga melibatkan cakupan yang begitu luas dengan sifat oportunis secara metodologis sebagai sebuah kombinasi metode penelitian, namun yang jelas sebagai dasar utamanya haruslah menggunakan observasi-partisipan yang lebih panjang lagi.


Observasi-partisipan itu sendiri merupakan sebuah cara yang unik karena ia melibatkan cara-cara untuk mempelajari tentang apa yang orang-orang lakukan, dan mengapa mereka melakukannya. Serta seperti apa mereka terlihat saat melakukannya, dan apa yang dikatakannya kepada orang lain tentang hal tersebut. Selain itu pula etnografi akan melibatkan negosiasi-negosiasi antara apa yang akan ditulis oleh seorang peneliti dengan apa yang telah diperbuat olehnya. Dan yang paling utama dari semuanya adalah bahwa komponen serta alat utama dari penelitian, adalah si peneliti itu sendiri, serta bagaimana cara si peneliti biasa bertindak dalam suasana yang familiar dan kemudian belajar untuk belajar bertindak dalam keadaan yang lebih aneh serta tidak biasa dalam penelitiannya.


Pemahaman tadi memang bukan berasal dari seorang antropolog, namun apabila berkaca, maka bisa dikatakan bahwa sebetulnya etnografi adalah cara-cara mendapatkan pemahaman dengan semangat yang serupa dalam berbagai bidang yang bisa digelutinya; yaitu wawasan dan pengetahuan yang berasal dari orang-orang dalam suatu tempat tertentu, ditambah juga dengan kemampuan si peneliti untuk menyampaikannya dalam media-media yang akan ia usung.


Sama halnya dengan produk film dokumenter, tujuan utama yang ingin dicapai adalah bagaimana kenyataan-kenyataan yang ada dalam berbagai aspek kehidupan diabadikan dalam bentuk rekaman yang terkompilasi menjadi sebuah film secara utuh. Rekaman-rekaman yang diambil adalah apa yang terjadi secara nyata, faktual, tanpa berusaha untuk menciptakan suasana-suasana tertentu. Tidak ada tendensi untuk melakukan arahan kepada orang-orang yang berada dalam cakupan lensa kamera, begitu pula dengan tidak adanya pengaturan-pengaturan tempat yang sengaja dibuat untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu; semuanya dibiarkan berjalan alami saja karena memang yang terjadi begitu adanya.


Proses produksi juga merupakan satu hal yang harus digarisbawahi, mengingat apa yang dipahami oleh orang-orang sebagai film dokumenter berkutat pada cara-cara si pembuat film mengerjakan langsung film-nya di lapangan. Ini juga berkaitan dengan teknik dan metode-metode yang digunakan ketika sedang melakukan penelitian etnografi, tentang bagaimana cara mendapatkan wawasan tertentu yang ada di tempat itu dan mengabadikannya.


Namun yang kembali menjadi hal penting adalah ketika representasi dari kenyataan-kenyataan tadi sudah direkam dan diambil dalam bentuk gambar, yang tersisa adalah bagaimana si sutradara--yang berperan juga laiknya peneliti--memberikan pemahaman dan pesan-pesan yang ingin disampaikannya, menggunakan cara-cara tertentu supaya pemahaman dan pesan tadi mampu sampai dari akal pikiran pembuat film kepada orang-orang yang menonton filmnya. Menjadi krusial karena tanpa adanya presentasi yang memadai dari apa yang sudah didapatkan, maka sulit untuk menerima wawasan-wawasan yang ada dalam filmnya; sama seperti menulis data-data hasil etnografi, yang tidak cuma mengandalkan data dari lapangan saja melainkan kemampuan penulis untuk melakukan elaborasi atas data yang ia dapatkan dengan pengetahuan yang ia miliki sebagai peneliti dan juga konsep serta teori yang sudah ada sebelumnya.


Penutup

Film dokumenter sejatinya menjadi sebuah upaya merekam realitas dan menyajikannya dalam bentuk visual. Semua yang disajikan dalam dokumenter adalah apa yang direkam dan tak melibatkan teknologi-teknologi canggih laiknya film fiksi. Kekhasan dokumenter juga terletak pada isu yang diangkat. Tak jarang, pilihan isu jatuh pada problem keseharian yang luput dari perhatian atau pada isu-isu tertentu yang terlalu banal untuk dipersoalkan. Karena itu, film dokumenter adalah bentuk representasi sekaligus presentasi dari suatu realitas. Ia dikatakan representasi karena merekam secara nyata subjek dan objek di dalamnya. Ia menjadi presentasi karena menyajikan problem (isu) dari subjek dan objek yang direkam.


Referensi

Banks, Marcus dan Howard Murphy. et al. 1999. Rethinking Visual Anthropology. Connecticut: Yale University Press.


Brenez, Nicole. 2014. "Contemporary Experimental Documentary and the Premises of Anthropology: The Work of Robert Fenz" dalam Arnd Schneider dan Caterina Pasqualino (Eds.) Experimental Film and Anthropology. London: Bloomsbury.


Cloke, Paul J. et al. 2004. Practising Human Geography. London: SAGE.

Bernard, Sheila C. 2010. Documentary Storytelling: Creative Nonfiction on Screen. Massachusetts: Focal Press.


Heider, Karl G. 1996. Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film. Massachusetts: Allyn & Bacon.


Ramey, Kathryn. 2014. "Do No Harm--the Cameraless Animation of Anthropologist Robert Ascher" dalam Arnd Schneider dan Caterina Pasqualino (Eds.) Experimental Film and Anthropology. London: Bloomsbury.


Ruby, Jay. 1996. "Visual Anthropology" dalam David Levinson dan Melvin Ember (Eds.) Encyclopedia of Cultural Anthropology. New York: Henry Holt and Company.

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page