Halimah, Iffah Fitri Annisa, Ilona Cecilia.
Sejak menempuh pendidikan di sekolah dasar hingga menengah atas kita telah diberikan berbagai ingatan peristiwa bersejarah Indonesia. Berbagai peristiwa perjuangan sebelum sampai mempertahankan kemerdekaan dikemas dengan sedemikian rupa. Bahkan peristiwa sejarah tersebut terus bertambah seiring berjalannya waktu. Meskipun ingatan peristiwa tersebut tidak dialami secara langsung oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang saat ini masih hidup, peristiwa tersebut telah menjadi ingatan kolektif kita semua.
Berada di bangku sekolah, kita dituntut untuk hafal dan mengenal betul seluk beluk berbagai peristiwa sejarah yang telah terjadi. Kegiatan ini semata-mata sebagai “cara” mengenang dan menghormati para pahlawan yang telah berjuang, seperti yang Ir. Soekarno pernah katakan di Hari Pahlawan tahun 1961, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”. Hal ini kemudian membentuk memori kolektif kita semua. Meskipun sebenarnya bisa dipertanyakan ingatan siapa saja yang tercatat dalam buku-buku pelajaran dan arsip sejarah tersebut. Sejarah yang selama ini kita pelajari di bangku sekolah pun jadi tanda tanya besar, ingatan siapa yang selama ini dicatat dalam sejarah? Apakah sudah sesuai dengan apa yang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sulit untuk dapat ditemukan jawabannya memang, mengingat setiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing dalam setiap peristiwa, begitu pula dalam peristiwa sejarah.
Dari beberapa peristiwa sejarah yang terjadi, kemudian dibangun ruang publik yang secara fisik dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Ruang publik (Kusno, 2009:3) juga aktif mengontrol dan membentuk kesadaran masyarakat yang tidak pernah lepas dari pemaknaan berbagai pihak yang mengisi ruang tersebut dengan berbagai benda, makhluk, bangunan, pengumuman, peraturan, monumen, pagar, cerita, representasi dan pertunjukkan, serta melibatkan wacana pengingatan, pengabaian, dan pelupaan.
Di balik bangunan bersejarah
Monumen dianggap sebagai bangunan atau tempat yang memiliki nilai sejarah, ia dipelihara dan dilindungi oleh negara. Monumen juga dijadikan sebagai wahana untuk mengenang peristiwa dan para tokoh di dalamnya. Ia juga dapat dikatakan sebagai pembentuk memori kolektif. Karena monumen menyimpan banyak cerita, ia memegang peran penting dalam merekonstruksi ingatan bersama. Walaupun apa yang tertulis dalam “sejarah” tidak sama dengan “masa lalu”. Sejalan dengan yang diungkapkan Deegan (2018), hanya masa lalu yang benar-benar sulit untuk diubah, sedangkan sejarah terus menerus diciptakan; dengan kata lain direkonstruksi. Menurutnya, monumen mampu berkontribusi dalam membentuk dua kategori berbeda dan konseptual atas memori kolektif: membentuk memori secara terbuka dan membentuk memori secara dangkal. Seperti Deegan yang menganalisis South Australian National War Memorial, Adelaide, kami pun mengunjungi Monumen Yogya Kembali, Sleman.
Monumen Yogya Kembali yang biasa disingkat “Monjali” terletak di Dusun Jongkang, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Monumen ini berbentuk tumpeng yang di dalamnya berisi museum, diorama, perpustakaan, sampai ruang berdoa untuk para pahlawan yang sudah gugur. Abdul Roob-- humas sekaligus pemandu di Monjali yang sudah bertugas sejak awal monumen ini berdiri, mengungkapkan bahwa bentuk tumpeng kerucut dari Monjali merupakan representasi rasa syukur kepada Tuhan. Berdasarkan okezone.com, Monjali dibangun untuk mengenang peristiwa kembalinya ibu kota Republik Indonesia ke Yogyakarta, atas gagasan Kolonel Soegiarto Walikota Yogyakarta 1983 (Wirayudha, 2015). Dipilihnya nama Yogya Kembali dengan maksud sebagai penanda peristiwa sejarah ditariknya tentara pendudukan Belanda dari ibu kota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 (Ernowo, 2011). Pada saat itu Indonesia dalam kondisi mempertahankan kemerdekaannya pasca-proklamasi 17 Agustus 1945 sebab Belanda kembali ke Indonesia setelah kekalahan Jepang.
Monjali dibangun pada 29 Juni 1985 ditandai dengan upacara tradisional penanaman kepala kerbau dan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII (Ernowo, 2011). Abdul Roob menjelaskan upacara ini dilakukan sebagai tradisi agar pembangunan berjalan lancar dan orang-orang yang terlibat diberi keselamatan. Monumen ini diresmikan pada 6 Juli 1989 oleh Presiden RI saat itu, Soeharto.
Dari serangkaian peristiwa mempertahankan kemerdekaan, peristiwa Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 dan Serangan Umum 1 Maret 1949 sangat melekat dengan Yogyakarta. Agresi Militer II menyebabkan jatuhnya ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir dan tokoh-tokoh lainnya. Dalam keadaan darurat saat itu akhirnya dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Sesuai dengan perkataan Soekarno kepada pejabat yang hadir, sebelum ditawan, saat rapat di istana (Matanasi, 2017).
Serangan Umum 1 Maret 1949 benar-benar dipersiapkan dan direncanakan sebagai bentuk pembuktian kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan cukup kuat --begitu juga Republik Indonesia. Sebagaimana dikisahkan oleh Kepala Bagian Operasional Monjali, Nanang Dwinarto, saat ditemui di kantornya Selasa, 28 Mei 2019. Ia mengungkapkan, “Saat itu Belanda berbohong kepada PBB kalau di Indonesia sudah tidak ada lagi pemerintahan, tidak ada lagi TNI. Ini bekas saya jajah, jadi harus saya kuasai lagi”, saya ini merujuk pada Belanda. “Oleh karenanya kebohongan ini ditepis oleh masyarakat Yogyakarta, TNI, dan Raja, dengan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949. Dengan tujuan untuk membuktikan ke dunia internasional kalau TNI masih ada”, Nanang menambahkan. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dikomandoi oleh Letkol Soeharto dan panglima perang Jenderal Soedirman.
Monumen dan Ingatan Sosial
Nanang menyatakan visi museum Monjali adalah sebagai pembentuk karakter bangsa yang dijiwai semangat ‘45, dengan tujuan mengenang semangat kemerdekaan. Ia menekankan bahwa perjuangan yang dikenang di museum Monjali masih sangat relevan dengan bangsa Indonesia saat ini, yakni bukan hanya memperjuangkan kemerdekaan bangsa, tetapi juga mempertahankan kemerdekaan yang tidak diakui oleh Belanda.
Pernyataan Nanang mengenai visi museum seakan mendukung perkataan Deegan bahwa monumen mampu berkontribusi dalam membentuk memori kolektif. Monumen sebagai ruang publik dapat membuka jalan untuk sedikit lebih memahami kondisi kita dan dinamika politik memori dalam konteks sejarah Indonesia (Kusno, 2009:4). Sejalan dengan pernyataan Kusno bahwa memori kolektif dirajut melalui proses pengingatan dan pelupaan.
Monjali dibangun untuk mengingat perjuangan bangsa Indonesia pada peristiwa Agresi Militer Belanda II, Serangan Umum 1 Maret, dan kembalinya ibu kota Republik Indonesia ke Yogyakarta, serta mengenang para tentara yang gugur. Pembentukan memori kolektif di Monjali melalui museum dan diorama yang menggambarkan perjuangan tahun 1945 sampai 1949, perpustakaan yang berisi segala tulisan terkait, dan ruang berdoa, untuk mendoakan para pahlawan yang telah gugur.
Kami sependapat dengan pernyataan Kusno, bahwa bangunan bisa menyimpan suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia karena usianya yang lebih pendek (2009:14). Karena museum dapat mengabadikan dan menstabilkan memori dengan bantuan objek yang Kusno harap mampu bertahan selama-lamanya. Namun dengan adanya monumen dan museum yang mengabadikan peristiwa, kita jadi sering merasa abai untuk mengingat. Pendidikan sejarah yang terlihat masih kurang, mungkin disebabkan oleh keberadaan museum atau monumen tersebut. Jadi ketika ingin mempelajari sejarah, anjuran untuk datang ke museum lebih terdengar. Meminjam pernyataan Kusno, monumen--museum juga--justru sering membuat kita lupa karena kita merasa tidak perlu mengingat lagi (2009:15). Itulah mengapa Nanang menyarankan datang ke museum Monjali menjadi penting.
Kita semua belum lahir dan tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa sejarah tersebut secara langsung, namun melalui Monjali kita diberi penglihatan, ingatan-ingatan, dan rasa--yang sebenarnya belum jelas, namun dapat dikatakan kita ikut mengingat dan merasakannya. Dengan kata lain museum adalah suatu ruang memori yang membantu menyeleksi bagian mana dari masa lalu yang bisa dan perlu diingat dan bagian mana yang boleh dilupakan (Kusno, 2009:15).
Referensi:
1. Deegan, C. (2018). “Why do public monuments play such an important role in memory wars?”. Constellations, 9(1), 20-33.peristiwa Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 dan Serangan Umum 1 Maret 1949
2. Ernowo, P. (2011). “Mengenal Sejarah Yogyakarta Melalui Monjali”. okezone.com. https://lifestyle.okezone.com/read/2011/01/14/408/413849/mengenal-sejarah-yogyakarta-melalui-monjali diakses pada 6 Juni 2019.
3. Fathoni, R. S. (2018). “Monumen dan Ingatan Sosial”. wawasansejarah.com https://wawasansejarah.com/monumen-dan-ingatan-sosial/ diakses pada 9 Juni 2019.
4. Kusno, A. (2009). Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
5. Matanasi, P. (2017). “Apa jadinya Jika Tak Ada PDRI?”. tirto.id https://tirto.id/apa-jadinya-jika-tak-ada-pdri-b9ZG diakses pada 9 Juni 2019
6. Wirayudha, R. (2015). “Peristiwa Yogya Kembali, Pintu Kebebasan RI dari Cengkeraman Belanda”. okezone.com https://news.okezone.com/read/2015/06/29/337/1172885/peristiwa-yogya-kembali-pintu-kebebasan-ri-dari-cengkeraman-belanda diakses pada 9 Juni 2019.
Σχόλια