Yolita Andindya, Alfian Aulia.
Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Waktu dimana anak-anak sekolah menyelesaikan kegiatan belajar mereka. Kami sempat melihat beberapa kali di burjo, di angkringan atau di warung-warung kecil banyak pelajar-pelajar yang masih menggunakan seragam sedang duduk-duduk. Terkadang ada yang merokok, bermain gitar, bermain handphone, atau bersenda gurau bersama teman yang lainnya. Tempat-tempat seperti itu biasanya memang dijadikan tempat tongkrongan atau tempat berkumpul bagi pelajar-pelajar, khususnya di perkotaan, yang sekolahnya pun ada di sekitar tempat itu. Tongkrongan di sini kami sebut sebagai rumah kedua. Rumah kedua di sini adalah sebuah konsep yang berarti tempat yang disinggahi oleh para siswa yang melakukan aktivitas layaknya di rumah. Aktivitas ini berupa beristirahat setelah lelahnya menempuh perjalanan waktu delapan jam untuk belajar, mengobrol dengan sesama, bermain gitar, makan, bahkan ada juga yang diskusi soal pelajaran.
Tak jarang, pelajar-pelajar ini juga menggunakan tongkrongan itu sebagai tempat untuk singgah ketika ingin bolos. Hal ini juga dibahas dalam artikel yang ditulis oleh Sariyasni dan Budiyono yang mengatakan bahwa kebiasaan membolos kelihatanya dipengaruhi dari berbagai faktor yang mana bisa berasal dari internal dan eksternal. Faktor internal yang menjadikan siswa membolos yaitu malas untuk masuk kelas, kurang perhatian dari orang tua, diajak teman dan lain lain, Faktor eksternal yang menjadikan alasan siswa untuk membolos adalah salah satunya mata pelajaran yang kurang diminati, pengaruh game online diwarnet, tidak suka dengan guru yang mengajar, tidak betah duduk lama dan pengaruh pergaulan teman (Sariyasni dan Budiyono, 2019).
Budaya nongkrong dengan sistem tersebut memang masih banyak dan sulit untuk lekang oleh waktu. Dari sistem ini muncul rasa “pride” karena tongkrongan yang dianggap sebagai rumah kedua ini benar-benar diamanahi oleh angkatan-angkatan atas atau senior. Seperti yang dikutip oleh Efianingrum dalam jurnal seminar nasional, berlangsungnya proses imitasi/peniruan ketika pelajar mewarisi kultur dari kakak-kakak kelasnya (Septi Gumiandari, 2009).
Selain itu para pedagang di sana sudah seperti orang tua sendiri bagi para siswa. Ketika datang ke sana anak-anak tidak lupa untuk bersalaman dan juga langsung menghabiskan dagangan yang ada disana. Fenomena ini menurut kami yaitu suatu cara bagi pelajar yang ada di perkotaan untuk mencari jati diri untuk berkembang dengan menambah relasi sosial. Dalam tulisan ini kami mengambil contoh sebuah pos satpam kecil yang berada di pinggir jalan raya, dibatasi oleh pagar, yang biasa pelajar SMAN 112 Jakarta sebut Rancho dan salah satu tongkrongan di SMAN 9 Yogyakarta, sebuah angkringan yang biasa disebut Bulan dan kemudian dalam tulisan pula ini kami ingin mengomparasikan contoh kasus tongkrongan pelajar di Jakarta dan di Jogja dari sudut pandang antropologi perkotaan dengan memakai perspektif urban space untuk menjelaskan bagaimana makna nongkrong dan proses di dalamnya.
Nongkrong ala Pelajar Menengah
Sudah menjadi sebuah tradisi bagi anak-anak Rancho untuk membawa gitar ketika pergi ke sana. Gitar adalah media untuk mendapatkan informasi apapun termasuk untuk anak-anak yang ingin belajar gitar. Rancho di sore hari bagaikan gula yang dikerumuni oleh semut, sangat ramai. Disana ada tiga pedagang yang sekaligus berfungsi sebagai orang tua. Pedagang satu yang bernama Bang Ade, dia berjualan ketoprak dan gado-gado, pedagang kedua yaitu Bang Buluk yang berjualan mie ayam, dan satu lagi yang sangat kramat bagi orang-orang disana yaitu Bang Isa yang berjualan segela jenis rokok dan minuman.
Pelajar di sana sudah menjadi keharusan untuk menghabiskan dagangan ketiganya setiap hari, hal ini sudah menjadi tradisi dikarenakan senior selalu memberi perintah kepada adik-adiknya untuk nongkrong disana dan juga harus menghabiskan dagangan ketiganya tersebut. Secara kultural senior ketika berada di Rancho, senior memegang penuh kendali dan bisa berbuat apa saja. Konsep rumah kedua ini pun juga diperkenalkan oleh para senior, yang berkata bahwa “di tempat ini (Rancho) kalian bisa mendapatkan masa SMA yang bisa dikenang, kalian bisa kenal dengan teman-teman lintas angkatan dan juga anggap saja tempat ini adalah kerajaan kalian yang harus kalian lindungi dengan rasa bangga membawa nama sekolah kalian." Doktrinasi senior ini kemudian membentuk kultur yang berkelanjutan sampai ke angkatan-angkatan selanjutnya.
Ketika hari mulai malam Rancho tidak kunjung sepi. Para pelajar masih memakai seragamnya. Sudah menjadi hal yang biasa pelajar di sana memakai seragam sampai larut malam agar suasana nongkrong menjadi afdol. Para pedagang pun sudah mulai membereskan lapaknya dan anak-anak langsung membeli rokok beberapa bungkus di Bang Isa agar bertahan sampai larut malam. Gitar pun mulai dimainkan dan hingar bingar suara ocehan pelajar mulai ramai.
Biasanya sekitar jam delapan malam, seorang guru yang rumahnya dekat dengan tongkrongan datang dan mengusir kami, di sinilah proses kejar-kejaran dengan guru terjadi. Curangnya guru ini memakai motor untuk mengejar kami, sedangkan kami berlarian tanpa arah agar guru ini bingung dan pada akhirnya pulang karena kelelahan melihat tingkah anak-anak yang rusuh berlarian. Setelah guru itu pulang, Rancho kembali ramai. Biasanya di Rancho terbagi dalam beberapa kelompok sesuai angkatan, disini sangat terlihat jenjang senior dengan junior. Biasanya yang paling ramai dan duduk di lantai itu adalah senior, kemudian para junior duduk di aspal dan hal yang biasa jika junior disuruh-suruh untuk membeli sesuatu untuk senior. Senioritas menjadi hal yang sudah biasa terjadi disana. Tidak jarang juga mereka duduk dalam satu lingkarangan namun tetap terlihat dari aktifitas dalam lingkarangan tersebut, seperti adanya forum lintas angkatan untuk membahas suatu acara sekolah.
Sama halnya konsep nongkrong di sekolah-sekolah Yogyakarta. Sempat kami melewati salah satu sekolah yang berada di Sagan, yaitu SMAN 9 Yogyakarta yang biasa disebut Trappsila. Sebuah angkringan dan kios jus tak jauh dari sekolah itu merupakan tempat nongkrong pelajar-pelajar disana. Angkringan yang seringnya dikunjungi oleh laki-laki biasa disebut Bulan, sedangkan kios kecil jus itu biasanya ditempati oleh perempuan untuk sekedar minum dan makan ayam geprek. Budaya nongkrong ini menjadi salah satu kultur pelajar di Jogja dengan tujuan membangun relasi antar angkatan.
Tidak jauh berbeda juga dengan pelajar di Jakarta, pelajar-pelajar itu tidak langsung pulang, melainkan ke tongkrongannya masing-masing. Mereka makan, mengbrol, bermain kartu atau catur, bermain gitar dan merokok. Beberapa dari mereka ada yang tidak berseragam. Kami berasumsi yang tidak berseragam itu adalah senior-senior mereka. Selain itu, Jogja yang terkenal dengan kota event membuat nongkrong ini menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan informasi mengenai ilmu event. Handop, salah satu alumni Trappsila dan anak tongkrongan juga mengatakan bahwa “dari nongkrong aku bisa deket sama anak angkatan 14. Kalau engga, mana berani." Selain itu, Handop juga bilang, lewat nongkrong mereka bisa konsultasi soal event-event tahunan sekolah yang rutin mereka adakan kepada senior-seniornya.
Relasi, Informasi, dan Eksistensi dari Nongkrong
Budaya nongkrong agaknya tidak melulu memiliki konteks negatif. Nongkrong sendiri dapat diartikan dengan berbagai macam, bisa posisi duduk yang kurang sopan, atau berkumpul dengan teman-teman, berbincang, dan sebagainya. Nongkrong juga tidak melulu diidentikkan dengan pelajar-pelajar yang mengunjungi dan menetap di sebuah warung atau kios kecil, tetapi nongkrong juga bisa di kafe, mall, atau co-wokring space yang sekarang cukup sering kita temui. Dari nongkrong apapun itu jenisnya, banyak hal-hal positif juga yang didapat dari budaya nongkrong ini.
Menurut kompas.com dalam artikelnya, nongkrong itu bisa membantu para pelajar ini mengatasi stress, masalah percintaan, masalah akademik di sekolah, bahkan masalah keluarga. Dalam tongkrongan, justru jika ada yang bercerita, bisa mendapatkan solusi yang tidak hanya satu. Selain itu, dalam tongkrongan juga bisa mendapatkan banyak ide dan informasi. Hal-hal yang sebelumnya kita tidak tahu lewat pelajaran sekolah, akan tiba-tiba dibahas di tongkrongan, entah dengan senior atau dengan teman sendiri yang mendapatkan informasi dari tempat lain. Informasi itu juga bermacam-macam, informasi mengenai pelajaran, acara-acara sekolah, akses-akses jalan perkotaan menuju kemana-mana, atau bahkan referensi makanan dan buku.
Budaya nongkrong juga dapat membuat pelajar menjadi percaya diri dalam bertindak. Kami melihat bahwa anak tongkrongan sering kali disebut pentolan atau anak-anak yang mendominasi anak-anak angkatannya. Mereka yang sering mengajak untuk membuat acara, mereka yang sering mengeajar untuk berkumpul dan lain sebagainya. Sering kali, justru anak tongkrongan ini yang lebih dikenal oleh guru, entah karena “nongkrongnya” atau memang mereka anak tongkrongan tapi tetap sopan dengan guru.
Selain itu, dalam nongkrong juga mendapat relasi. Dalam tongkrongan dua sekolah yang kami contohkan diatas, itu tidak hanya satu angkatan saja yang singgah di tongkrongan. Namun ada senior-senior pendahulu, adik-adik kelas bahkan ada pelajar sekolah lain yang diajak temannya ke tongkrongan. Dengan begitu, tidak hanya kenal dengan teman-teman sebaya dan satu sekolah saja, lewat tongkrongan juga bisa kenal teman di luar sekolah. Banyaknya relasi yang dimilikki akan semakin mudah untuk menggali informasi.
Nongkrong dipahami sebagai wadah berkumpul pelajar, dan disanalah terbentuk ide-ide kreatif siswa untuk membuat acara non-formal sekolah nya. Budaya ini lah yang menimbulkan eksistensi bagi siswa yang nongkrong, karena mereka sudah pasti kenal dengan angkatan manapun, dan mempunyai ide-ide yang kreatif dengan pembahasan yang tidak terbatas di tongkrongan. Menurut kami urban space disini yaitu terbentuknya tongkrongan itu sendiri, dimana ruang-ruang kosong di kota dimanfaatkan oleh suatu komunitas atau kelompok untuk membuat tempat berkumpul untuk mereka. Sebagai makhluk sosial, pelajar juga butuh yang namanya ruang untuk berekspresi. Tongkrongan inilah yang dijadikan pelajar menjadi wadah untuk berekspresi dan ber-refleksi tentunya perihal kehidupan.
Daftar Pustaka:
1. Efianingrum, A. (2016). Realitas kekerasan pelajar SMA di Kota Yogyakarta. In Proceedings of the Seminar nasional: Meneguhkan peran penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam memuliakan martabat manusia, Yogyakarta.
2. Sariyasni, S., & Budiyono, B. (2019, March). STUDI TENTANG PERILAKU MEMBOLOS PADA SISWA SMA SWASTA DI KABUPATEN BANYUASIN. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL PROGRAM PASCASARJANA.
3. https://nasional.kompas.com/read/2010/12/10/03410657/about.html?page=all diakses pada tanggal 18 Mei 2019 pukul 22.30
Comments