top of page

Olahraga Lari: Kebutuhan Fisik Atau Gaya Hidup?

Updated: May 14, 2019

Danielle Anastasia D, Sekar Fadilah Zahra, V Tasha Florika

Lapangan Pancasila, 17.09 (pribadi)

Perkembangan olahraga sendiri dimulai sejak adanya revolusi industri. Olahraga mengalami proses yang dinamis di mana revolusi tersebut mengubah minat, kebiasaan, dan pengejaran kelas masyarakat, yang meninggalkan kesan yang berbeda pada perkembangan olahraga. Selain itu, industrialisasi dan urbanisasi juga secara fundamental bertanggung jawab atas perubahan dan perkembangan dalam olahraga yang pada akhirnya mendorong produsen untuk mencari tenaga kerja murah dan dengan mendorong imigrasi melalui pabrik paling efisien yang dijalankan di kota besar dan kecil. Urbanisasi tersebut, memunculkan kebutuhan akan olahraga yang dikomersialkan. Sementara industrialisasi secara bertahap memberikan standar hidup dan waktu luang yang begitu vital bagi dukungan semua bentuk rekreasi (Betts, 1953).


Dari adanya masa industrial tersebut, intensitas dan sterilitas kerja dalam proses produksi kapitalistik cenderung mengurangi kepuasan kerja seminimal mungkin dengan mengimbangi pemenuhan fisik dan kepuasan psikologis di luar tempat kerja. Bagi banyak orang pekerja olahraga datang untuk mengisi kekosongan ini. Melalui keterlibatan dalam olahraga, individu dapat secara langsung mendapatkan rasa harga diri dan prestasi pribadi yang hilang di tempat kerja.


Faktor lain dalam daya tarik olahraga adalah perasaan komunitas atau solidaritas kelompok yang ditawarkannya. Dengan cara ini, ia membantu menetralkan kebosanan yang terkait dengan kehidupan dalam masyarakat urban-industri yang ter-atomisasi. Olahraga pun, juga memasok kebutuhan sosial dan budaya yang telah tergeser oleh industrialisasi. Olahraga yang terorganisasi menyediakan keduanya dan seiring waktu tersedia bagi orang-orang yang bekerja, semakin beralih ke olahraga. Akhirnya, daya tarik olahraga dihubungkan dengan potensinya untuk memberikan pelarian yang mengasyikkan sebagai dunia mimpi yang jauh dari pekerjaan industri monoton dan kenyataan pahit dalam kehidupan kota (Wheeler, 1978). Seiring berjalannya waktu, olahraga pun kian berkembang dan popular bersamaan dengan munculnya industri olahraga seperti pengelolaan sarana dan prasarana olahraga yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan baik itu bagi industri itu sendiri, masyarakat serta stakeholder olahraga (Purnomo, 2010).


Demikian halnya dengan Indonesia sendiri, modernitas yang semula membuat masyarakat pasif untuk bergerak secara fisik, kini mulai memperhatikan olahraga sebagai bentuk pelepas stress, salah satunya dengan olahraga lari. Meski konon olahraga lari berasal dari sejarah pertarungan antara pasukan Persia dan Yunani yang membuat lari menjadi olimpiade bergengsi (Iqrozen.blogspot.com), lari bisa diadopsi menjadi olahraga harian yang menurut CNN Indonesia paling murah dan paling fleksibel. Kebutuhan untuk berlari tidak serumit olahraga lain karena bisa dilakukan dimana saja dan hanya membutuhkan pakaian dan sepatu. Dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi, lari adalah alternatif olahraga bagi para pekerja yang super sibuk namun tetap ingin menyempatkan waktunya untuk berolahraga.


Namun, olahraga lari juga bisa menjadi ajang pelepas stress bagi siapa saja hingga menyehatkan jantung, meningkatkan metabolisme tubuh, memperlancar aliran darah, dan membakar lemak (Cahyu, 2017). Olahraga ini, ditemukan hingga di dalam lingkungan kampus sekalipun, di mana warga kampus membutuhkan kegiatan pelepas stres dari kepadatan perkuliahan yang menyergapnya.


Olahraga Lari di Lingkungan Kampus

Dengan adanya fenomena yang menarik ini, kami tertarik untuk melakukan observasi pada hari Minggu di tempat jogging khas mahasiswa yaitu Grha Saba Pramana UGM. kami melakukan observasi sesuai dengan 3 poin pembahasan dalam artikel kami kali ini yaitu gaya bicara, gaya berpakaian, dan atribut yang melekat pada objek. Kami memulai pada gaya pakaian karena ini menjadi impresi kami ketika sampai disana. Seperti olahraga pada umumnya, mereka yang sedang lari pagi disana menggunakan celana training, kaos, dan sepatu. Ada yang sambil menggenggam tempat minum yang berisi air mineral dan adapula yang sambil memegang handphone sambil menggunakan headset sambil mendengarkan lagu.


Melalui perilaku ketika olahraga lari, dibagi menjadi dua yaitu olahraga individu dan kelompok. Untuk individu sendiri, mereka memiliki ciri khas menggunakan headset dan menaruh handphone didalam kantong celananya, sehingga untuk individu sendiri akan lebih sedikit berbicara dan fokus untuk olahraga. Berbeda dengan kelompok, ada yang kelompok karena mencari uang atau yang biasanya diistilahkan dengan “danusan” atau kelompok satu geng hingga pasangan.


Mereka yang berkelompok, ada yang fokus untuk berolahraga dengan berpencar dan di akhir olahraga, bertemu di titik kumpul. Ada pula yang menggunakan kesempatan lari di GSP sebagai moment berharga dengan mengabadikannya di handphone masing-masing. Selesai berolahraga, mereka akan beristirahat sambil ngobrol soal perkuliahan atau bergosip bersama. Dari usia, mereka rata-rata adalah mahasiswa dan sisanya keluarga.


Selanjutnya, kami memutuskan untuk melakukan observasi kedua di sore hari, sekitar pukul lima sore. Dengan gojek melaju di jalan Pancasila, beberapa tenda-tenda makanan sudah mulai berdiri, para pemilik tempat makan sedang menyiapkan meja dan kursi di bawah tendanya. Dari balik pagar, terlihat orang-orang yang sedang berolahraga di sekitaran GSP dan Lapangan Pancasila. Ketika kami tiba di GSP, kami langsung duduk di tangga depan Lapangan Pancasila—yang juga ramai dengan orang-orang beristirahat.


Karena sudah cukup sore, orang-orang yang berolahraga tidak seramai yang kami kira. Di tengah Lapangan Pancasila, terdapat segerombol orang yang melakukan latihan softball dan juga ada pula kelompok orang yang sedang asyik menerbangkan drone di atas kepala kami. Tangga depan tulisan Grha Sabha Pramana pun ramai dipenuhi oleh orang-orang yang duduk sambil mengobrol, ada pula yang menyantap makanan kecil—serasa piknik. Di tangga paling bawah, ada sekelompok orang yang sedang melakukan olahraga push-up, sit-up, dan plank secara berkelanjutan selama kurang lebih 30 menit.


Dari asumsi kami, sepertinya mereka sedang melakukan latihan fisik. Ada pula yang masih jogging mengelilingi Lapangan Pancasila dan gedung GSP. Orang-orang yang jogging di sore hari cenderung lebih banyak keluarga yang membawa anak-anaknya. Dan anak-anak yang dibawa, kebanyakan juga ikut berolahraga bersama. Tak ayal, banyak anak-anak yang berkeliaran di sekitar GSP.


Asumsi kami akan orang-orang yang duduk beristirahat di tangga tersebut, sudah selesai berolahraga yang terlihat dari gaya pakaian mereka; baju kaos yang sudah berubah warna di beberapa bagian karena berkeringat, celana training gombrong, dan sepatu olahraga berbagai warna. Tak sedikit juga yang menggunakan topi, mungkin untuk mengahalangi sinar matahari ketika masih belum ditutup awan. Botol-botol minum yang isinya tinggal setengah, duduk manis di samping pemiliknya yang sedang mengondisikan napasnya setelah lelah berolahraga.


Asumsi pertama kami dalam melakukan observasi ini adalah kami akan menemukan banyak orang yang hanya ‘nampang’—maksudnya adalah orang-orang yang hanya berolahraga untuk eksistensi di media sosial. Namun ternyata, asumsi itu mati ketika kami mendapati orang-orang yang berolahraga tanpa telepon genggam di tangannya, tak seperti observasi kami di pagi hari. Rata-rata orang yang berlari pun menggunakan telepon genggamnya hanya sebagai alat pemutar music, dengan headset yang menggantung di dada.


Melihat apa yang menempel dan menjadi satu dengan orang-orang yang berolahraga ini, kami langsung berpikiran bahwa ruang publik—apalagi yang terbuka dan bersifat resmi—memiliki norma-norma sosialnya sendiri. Orang-orang yang berolahraga di sekitar Lapangan Pancasila dan GSP hampir semuanya berpakaian dengan sopan dan santun, celana training dengan panjang di bawah lutut dan kaos gombrong yang tidak terlalu ketat. Berbeda dengan ruang publik lainnya yang memang dikhususkan untuk berolahraga, misalnya studio fitness atau studio yoga. Tentu orang-orang akan lebih nyaman untuk menggunakan pakaian olahraga senyamannya, misalnya sport bra dan training yang lebih ketat untuk memudahkan gerak tubuh.


Sekitar pukul enam sore, langit sudah semakin gelap dan orang-orang mulai bergerak untuk pergi. Yang masih duduk-duduk, tertangkap obrolannya oleh kami, bahwa mereka mau menunggu ‘langit berganti warna, bagus kalau difoto nanti’, atau istilah guyonan kami, nyore. Selain kelompok yang masih duduk dan nyore di belakang kami, gerombolan-gerombolan di Lapangan Pancasila pun sudah mulai sepi, anak-anak yang ikut orang tuanya olahraga sudah kelelahan dan minta gendong—menambah olahraga orang tuanya. Observasi pun kami cukupkan ketika parkiran motor sudah sepi dan lampu-lampu jalan sudah mulai menyala.


Penutup

Dari sini, olahraga yang tadinya semata-mata menjadi ajang perlombaan bergengsi seperti olimpiade, kemudian berubah di masa revolusi industri hingga saat ini sebagai gaya hidup. Hal itu terbukti melalui orang-orang yang kami amati melakukan olahraga lari di lingkungan kampus seperti di Grha Sabha Pramana (GSP) yang biasanya melakukan olahraga secara rutin sebagai ajang pelepas stress atau bahkan sebagai bentuk leisure time di sela waktu kosong mereka. Gaya hidup itu, didukung dengan perilaku hingga pakaian mereka. Melalui olahraga lari, orang-orang tidak hanya sekedar mendapatkan kesehatan secara fisik saja, namun bisa menjadikan olahraga tersebut sebagai hobi, sebagai jalinan relasi, atau bahkan memperoleh “citra diri”.


Referensi

1. Wheeler, R. F. 1978. Organized sport and organized labour: the workers' sports movement. Journal of Contemporary History, 13(2), 191-210.

2. Betts, J. R. 1953. The technological revolution and the rise of sport, 1850-1900. The Mississippi Valley Historical Review, 40(2), 231-256.

6. Cahyu, 2017. Jadi Gaya Hidup, Ini Olahraga Favorit Para Kaum Urban.

32 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page