Apabila kita ketahui, bahwa kehidupan sekarang ini terasa kian kompleks. Tidak dapat dipungkiri manusia sebagai pelaku utama dalam terciptanya berbagai tindakan dalam proses keinginan agar dapat hidup lebih baik lagi. Selanjutnya dari keinginan tersebut melibatkan berbagai aspek yang ada di kehidupan ini. Keterlibatan itu sendiri adalah hubungan yang muncul antara manusia dengan lingkungannya. Kemudian salah satu hal yang menarik bagi saya terkait manusia memenuhi kebutuhan dan berhubungan dengan lingkungan adalah pagar. Kenapa pagar? Apa istimewanya? Pasti diantara kita akan berpikir bahwa hal ini tidak lah penting untuk dibahas. Saya tidak dapat menyalahkan pemikiran yang demikian karena saya pun awalnya berpikir demikian. Tetapi hal yang perlu diketahui adalah jangan kita menghakimi suatu pemikiran apabila kita tidak mau memikirkannya. Sehingga di sini saya akan mencoba memberikan suatu tulisan terkait ketertarikan saya dalam mengulik fenomena pagar dalam lingkungan masyarakat di Indonesia melalui perpektif kebudayaan dengan fokus permasalahan dibalik identitas pagar.
Dari ketertarikan saya ini, memunculkan beberapa pertanyaan, antara lain: 1) bagaimana sifat pagar terhadap permasalahan dalam masyarakat? 2) bagaimana budaya masyarakat terkait pagar dibalik masalah integrasi bangsa? Tujuan dari pembahasan ini sendiri adalah untuk menjawab dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sehingga diharapkan dari pembahasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam membuka pikiran mulai dari hal-hal yang kecil yang ada di sekitar kita dan menjadikannya pembelajaran dalam kehidupan.
Permasalahan Pagar yang Implisit
Dalam bagian ini saya akan mencoba fokus untuk menjawab pertanyaan yang pertama yakni bagaimana sifat pagar terhadap permasalahan dalam masyarakat? Sebelum kita mengetahui hubungan sifat yang ada, untuk lebih meyakinkan pembaca bahwa apakah pernah terjadi masalah terkait pagar? Saya akan memberikan beberapa contoh kasusnya. Pertama, permasalahan sempitnya ruang yang dihadapi oleh perumahan (sumber: tribunstyle.com). Apabila kita melihat komplek perumahan yang biasanya ada di kota, maka akan terlihat rumah-rumah yang tersusun rapi dengan batas pagar dengan ukuran yang tidak begitu luas. Dibandingkan dengan perumahan yang ada di desa maka, tidak banyak pagar yang dibangun dan tidak terlihat batas-batas yang jelas. Sehingga perumahan di desa cenderung terlihat luas walaupun memang rumah yang dibangun juga relatif sedikit. Namun apabila kita melihat rumah yang berdampingan di desa tanpa pagar pembatas dan halaman sering digunakan secara bersama-sama tanpa harus merasa dibatasi.
Kedua, permasalahan pembongkaran pagar gedung yang dapat memicu konflik (sumber: news.detik.com). Berbeda pada kasus yang pertama, kasus kedua ini pagar malah menjadi suatu yang harus dijaga agar tidak memicu suatu konflik. Hal ini dikarenakan ada tujuan lain yang diinginkan yakni demi terjaganya kawasan. Perlu kita ketahui bahwa kasus ini berbeda dengan yang kasus pertama karena sifatnya yang umum. Adapun kasus lain yang ada dalam pikiran saya (karena saya belum mendapatkan contoh kasusnya) yakni pagar yang fungsinya sebagai pembatas akan memunculkan konflik terhadap keberlangsungan kehidupan bermasyarakat atau antarindividu kepemilikan pagar. Pagar sendiri ternyata tidak hanya berfungsi sebagai pembatas atau pelindung tetapi juga dapat digunakan sebagai peredam kebisingan. Upaya untuk menghadapi kebisingan ini adalah mengendalikannya dengan cara memasang penghalang (barrier) dalam bentuk pagar, seperti misalnya pada arsitektur tradisional Bali. (Kusuma, Sudibyakto, dan Galuh, 2003)
Dari contoh kasus di atas, kita ketahui bahwa pagar dapar menjadi penyebab suatu permasalahan baik dari pemilik hingga ke kalangan masyarakat umum. Banyak kasus tentang permasalahan pagar, tetapi tidak banyak tulisan yang menyampaikan sebab dan akibat permasalahan ini secara implisit. Mungkin menurut dugaan saya, permasalahan ini dianggap begitu biasa dan tidak perlu diperdulikan. Akan tetapi menurut saya akan menjadi suatu permasalahan yang kian pelik ketika suatu permasalahan tidak ditangani segera walaupun permasalahan itu terlihat kecil atau sederhana. Hal ini juga dapat mengganggu integritas bangsa.
Pagar hanyalah benda mati yang tidak berdaya. Sehingga apabila ingin kita melihat penyebab dari timbulnya permasalahan yang disebabkan oleh pagar adalah kembali kepada manusia yang telah membuatnya. Dari sisi lain, keberadaan pagar menimbulkan akibat yang beragam tergantung dari permasalahan yang dihadapi, ada yang berdampak negatif dan ada pula yang berdampak positif. Seperti contoh yang telah dipaparkan di atas kita ketahui dampak ini memiliki sifat yang relatif tergantung dari respon yang diberikan terhadap berdirinya suatu pagar. Pagar menjadi nilai seseorang terhadap pemiliknya, ntah itu stigma yang muncul karena adanya nilai yang dilanggar dari si pemilik ataupun nilai baru yang tidak ada di dalam lingkungan masyarakat. Salah satu sumber kebisingan di daerah urban adalah kendaraan bermotor.
Budaya Masyarakat dalam Menangkal Permasalahan dan Menjaga Integrasi
Dalam bagian ini saya akan fokus ke pertanyaan saya yang kedua yakni bagaimana budaya masyarakat dapat menjadi pagar dibalik integrasi bangsa? Kembali pada definisi pagar yang ada. Menurut KBBI, pagar adalah yang digunakan untuk membatasi, mengelilingi, menyekat, perkarangan, tanah, rumah, kebun, dan sebagainya. Definisi lain mengatakan pagar adalah struktur tegak yang dirancang untuk membatasi atau mencegah gerakan melintasi batas yang dibuatnya. Pagar umumnya dibedakan dengan dinding menurut kekokohan kontruksinya: suatu dinding umumnya didefinisikan sebagai pembatas yang terbuat dari batu bata atau beton, yang tidak hanya membatasi gerakan, melainkan juga pandangan (walaupun definisi ini kadang saling tumpang tindih).[1] Dari definisi tersebut maka kita ketahui bahwa pagar diartikan sepenuhnya sebagai suatu simbol bagi pemiliknya yang memiliki tujuan dalam hal menjaga apa yang ada di dalamnya yang memiliki sifat kokoh terhadap ancaman apapun yang berasal dari luar.
Apabila kita mengingat peninggalan sejarah pagar, maka kita akan menemukan salah satu situs Pagar Batu. Upaya masyarakat dalam melestarikan Situs Pagar Batu masih sangat kurang. masyarakat kurang peduli dikarenakan tidak adanya rasa memiliki akan sejarah daerahnya, mereka merasa tidak memiliki hubungan terhadap peninggalan tersebut. Masyarakat tersebut merasa kewajiban untuk merawat dan melestarikan peninggalan tersebut adalah kewajiban keturunan Pagar Batu dan Pemerintah. Upaya pemerintah dalam melestarkan situs megalitik pagar batu juga masih belum dalam bentuk konkret, karena terdapat beberapa hambatan yang ditemui yaitu dari masyarakat yang berada di sekitar situs. (Flora Pakpahan, 2014) Pagar dianggap memiliki fungsi ketika hanya si pemilik masih hidup, tidak dijaga dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya.
Pada bagian ini, saya akan mencoba membahas tentang budaya Indonesia yang memiliki nilai seperti pagar dan harus selalu dijaga dari generasi ke generasi. Budaya seperti apakah itu? Budaya yang tercipta sendiri sebelum munculnya pagar sebagai simbol itu sendiri yakni pagar budaya, pagar untuk saling menjaga melakukan tindakan yang membangun equilibrium dengan cara-cara yang sederhana seperti konsep serawung, gotong royong, berbagi dan lainnya. Budaya ini dapat menjadi tali penguat pagar persatuan dan kesatuan yang telah ada sejak dulu dan perlunya pelestarian dari generasi ke generasi. Budaya ini menjadi penting karena kaitannya dengan integrasu bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa hanya akan terus kuat apabila keterikatan satu dengan yang lain tetap terjaga dan akan menjamin apabila integrasi yang kokoh tidak akan menggoyahkan persatuan dan kesatuan dengan mudahnya.
Integrasi kebangsaan tidak hanya diukur dari sejauh mana program pemerintah dalam melakukan pembagunan di wilayah wilayah dengan tingkat konsentrasi dan pendapatan besar bagi devisa negara, akan tetapi unsur penyatuan pulau-pulau kecil terdepan sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indoensaia menjadi penting dalam sistem pengelolaan secara terpadu dan terencana. (Wakim, 2014) Tidak hanya dari perbatasan atau bahkan hanya pusat tetapi pagar integrasi harus dibangun menyeluruh tanpa ada celah sedikit pun. Mulai dari internal hingga eksternal perlu adanya sikap toleransi dan saling dukung satu sama lain.
Bukan untuk mengakhiri pembahasan ini, tetapi ini menjadi bagian akhir dalam tulisan saya. Pagar merupakan simbolisasi benteng pertahanan dari kepemilikan yang hak dan tidak dapat diruntuhkan begitu saja. Begitu pula dengan apa yang ada di Indonesia, Indonesia memiliki tali persatuan dan kesatuan yang kuat dalam menjalin simbol pertahanan terhadap segala tindak penghancuran yang dilakukan. Demikian pula dengan pembatas halaman pada rumah tinggal modern dipergunakan pagar-pagar besi yang tinggi sehingga membuat pemisahan teritorial yang tegas sehingga mempunyai kesan tertutup, tidak komunikatif dengan tetangga. (Kartono, 2008)
Sehingga kita tahu bahwa permasalahan pagar bukanlah permasalahan individu semata, permasalahan yang dialami setiap kalangan masyarakat baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki. Budaya masyarakat di Indonesia seperti sifat pagar yang kokoh dan terkadang budaya tersebut juga menimbulkan respon yang beragam. Akan tetapi ketahuilah, bahwa yang perlu diperhatikan adalah tujuan dan makna yang terkandung di dalamnya, bukan apa yang menjadi kepentingan saja. Budaya gotong royong, saling membantu dan saling menjaga telah tertanam di dalam sanubari hati masyarakat Indonesia. Hal ini lah yang sebenarnya merupakan pagar sejati yang perlu dijaga kekokohannya dan jangan sampai runtuh apalagi musnah. Sehingga di sini saya mengajak kepada pembaca untuk mempertahankan pagar budaya kita, pagar bangsa kita, pagar yang lebih kuat dibanding pagar yang kita buat sendiri. Karena pagar ini adalah pagar yang senantiasa menjaga kita dalam kesejahteraan. Tanpa rasa pamrih untuk saling menjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Detiknews. (2013). “Rencana Jokowi Bongkar Pagar Gedung Bisa Picu Konflik Baru.” Tersedia dari: https://news.detik.com/berita/2372378/rencana-jokowi-bongkar-pagar-gedung-bisa-picu-konflik-baru Diakses pada 06.26 WIB 28 September 2018.
Kusuma, P., Sudibyakto, dan Dewi Galuh. (2003). “Analisis Sifat Akustik Pagar Pembatas Sebagai Peredam Bising Kendaraan Bermotor: Salah Stau Alternatif Pengendali Bising di Kota Denpasar.” Manusia dan Lingkungan Vol.X (3): 105-110. Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia.
Pakpahan, Flora (2014) “Pelestarian Situs Megalitikum Pagar Batu di Desa Pardomuan Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.” Undergraduate thesis, UNIMED.
Kartono, J. L. (2008). “Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya.” Dimensi Interior. Vol.3 (2): 124-136.
Tribunstyle.com. (2017). Wajib Baca! Warga Perumahan Pasti Punya Masalah Soal Pagar dan Garasi, Begini Solusinya!”Tersedia dari: http://style.tribunnews.com/2017/07/25/wajib-baca-warga-perumahan-pasti-punya-masalah-soal-pagar-dan-garasi-begini-solusinya? Diakses pada 06.31 WIB 28 September 2018.
Wakim, M. (2014). “Kepulauan Aru dan Integrasi Kebangsaan dalam Perspektif Sejarah dan Budaya” Balai Pelestarian Budaya Ambon, 10(1).
Comments