top of page

Pameran dan Orang Sumba: Sebuah Cerita

Arkan Syafera dan Vidya Ramadhani

Senin, 19 Oktober 2018 kami mengunjungi Bentara Budaya Yogyakarta, melihat-lihat pameran Sumba yang diselenggarakan di sana. Perjalanan dari kampus menuju Bentara Budaya cukup dekat, hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit. Tempat parkir motor pun cukup sepi, sehingga kami dapat parkir dengan mudah. Kami memasuki Bentara Budaya dan disambut oleh ruangan yang amat sepi, serta seorang wanita yang sedang mengoceh tanpa henti kepada penjaga pameran.


Bentara Budaya Yogyakarta terletak di Jalan Suroto 2, Kotabaru, Gondokusuman, Yogyakarta. Jaraknya terbilang cukup dekat dengan Fakultas Ilmu Budaya UGM, tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke sana. Bahkan, jarak tersebut dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Berdasarkan laman resmi Bentara Budaya Yogyakarta, Bentara Budaya sepenuhnya didirikan oleh harian Kompas dan didukung dana oleh Kompas Gramedia, menampung dan mewakili wahana budaya bangsa dari berbagai kalangan, latar belakang, dan cakrawalan yang mungkin berbeda.


Bentara Budaya Yogyakarta merupakan tempat digelarnya banyak pameran seni seperti yang dituliskan pada laman resmi Bentara Budaya Yogyakarta sebagai berikut:

“Sebagai utusan Budaya, Bentara Budaya menampung dan mewakili wahana budaya bangsa, dari berbagai kalangan, latar belakang, dan cakrawalan yang mungkin berbeda. Balai ini berupaya menampilkan bentuk dan karya cipta budaya yang mungkin pernah mentradisi ataupun bentuk-bentuk kesenian massa yang pernah populer dan merakyat Juga karya-karya baru yang seolah tidak mendapat tempat dan tak layak tampil di sebuah gedung terhormat. Sebagai titik temu antara aspirasi yang pernah ada dengan aspirasi yang sedang tumbuh, Bentara Budaya siap bekerja sama dengan siapa saja.”


Pameran Sumba yang diselenggarakan di Bentara Budaya Yogyakarta terbilang cukup sepi saat kami kunjungi. Mungkin karena waktu penyelenggaraannya yang cukup lama, yaitu selama satu minggu, maka orang-orang mengunjungi pameran ini dalam waktu yang berlainan sehingga tempat tersebut tidak ramai di satu waktu tertentu saja. Bahkan, keadaan yang sepi tersebut membuat kami lebih nyaman mengelilingi pameran ini, tidak berebut dengan orang-orang lain untuk melihat foto-foto, kain, dan barang-barang lain yang dipamerkan.


Sambil berjalan mengelilingi pameran ini, kami ditemani oleh lagu berjudul Humba yang diputar berulang-ulang di tempat tersebut. Lirik dan musiknya memberikan suasana tenang dan begitu kuat rasa terhadap Sumba di dalam lagu tersebut.


Foto-foto yang diambil dipamerkan pada pameran Sumba disusun sedemikian rupa mengelilingi ruangan Bentara Budaya yang berbentuk persegi. Beberapa foto yang berhubungan satu sama lain disusun bersebelahan, sehingga lebih mudah untuk melihat secara urut dan kronologis. Sebagian foto diberi keterangan dan sebagian lagi tidak diberi keterangan. Foto-foto yang tidak diberi keterangan sebenarnya sudah jelas isinya sehingga kami rasa tidak perlu memasukan keterangan lagi di bawah foto-foto tersebut.

Warga Sumba memasak daging penyu

Dalam foto di atas, sang fotografer yang bernama Ferganata Indra Riatmoko memberi keterangan “Memasak Daging Penyu – Warga menggunakan cangkang penyu untuk memasak daging penyu di Pantai Tanjung Karoso, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Jumat (21/2). Praktik perburuan serta pencurian telur penyu merupakan beberapa penyebab terancam punahnya hewan yang dilindungi tersebut”. Dalam keterangan tersebut menggambarkan bahwa sepertinya warga Sumba tidak memiliki pengetahuan atau kesadaran akan penyu sebagai hewan yang dilindungi. Hal yang satu ini, sayangnya, membuat salah satu di antara kami cukup sedih.


Seorang wanita menjemur kain tenun

Foto di atas diberi keterangan “Menjemur kain tenun ikat selepas pewarnaan biru. Prosesnya masih dikisahkan sacral dan hanya boleh dilakukan oleh perempuan.” oleh sang fotografer –Transpiosa Riomandha. Tenunan tersebut diwarnai dengan pewarna alami yang berasal dari tanaman indigo. Kain-kain hasil tenunan dipamerkan pula di bagian tengah Bentara Budaya Yogyakarta ini, dikelilingi oleh foto-foto yang terpajang.


Kisah dari Sumba


Wanita yang mengoceh kepada penjaga pameran ternyata adalah seorang yang berasal dari Sumba, namanya Sinta. Ia dengan antusias menyambut festival serta pameran Sumba yang sedang digelar. Sinta menceritakan dengan semangat pengalaman masa kecilnya selama tinggal di Sumba, mulai dari tempat tinggalnya sampai dengan panjang pantai di dekat rumahnya.


Kami sempat mengobrol dengan Sinta yang kemudian semakin banyak menceritakan berbagai macam hal sambil berkeliling pameran. Ia menceritakan soal rumah-rumah dan makam yang ada di daerah Sumba. Setiap rumah memiliki batu makam karena menurut kepercayaan orang Sumba jika seseorang meninggal hanya raganya yang pergi sedangkan jiwanya tetap tinggal bersama keluarga, maka dibangunlah batu makam di depan rumah sebagai bentuk penghormatan. Sinta bercerita bahwa batu makam tersebut tidak boleh ditempatkan di bagian belakang rumah karena rumah tersebut akan mengalami masalah dan kesialan.


Sinta juga bercerita mengenai rumah-rumah adat di sebuah bukit. Masing-masing rumah adat di sana dimiliki oleh satu suku, beberapa suku bahkan mengumpulkan rumah adatnya di satu tempat sehingga ketika ada pesta adat akan sangat ramai. Rumah-rumah tersebut dibangun di bukit untuk menghindari serta mempersulit penyerangan yang ditujukan kepada rumah-rumah adat tersebut. Sinta kemudian bercerita bahwa semasa kecil ia pernah menonton orang-orang dewasa berperang. Karena peraturan tidak tertulis di sana adalah dilarang menyakiti perempuan dan anak-anak, maka Sinta bisa menonton dengan santai karena para lelaki dewasa tersebut menaati peraturan.


Tanduk di rumah Sumba

Tanduk-tanduk kerbau yang ada pada foto tersebut terdapat pada tiap rumah di Sumba. Tanduk-tanduk tersebut menandakan status sosial pemilik rumah. Semakin besar dan panjang tanduknya, maka semakin tinggi pula status sosial seseorang. Selain itu, seseorang yang intens menghadiri berbagai upacara adat juga diberikan tanduk kerbau sebagai tanda penghormatan.


Sinta juga bercerita bahwa di Sumba terdapat acara membangun rumah adat. Ada pula acara yang harus dihadiri oleh semua warga Sumba, bahkan yang sedang merantau sekalipun. Jika ada satu orang saja yang tidak hadir saat acara tersebut berlangsung, acara tersebut akan diulang.


Saat kami sibuk mengagumi kain-kain yang dipajang pada pameran tersebut, Sinta kembali menceritakan sesuatu yang membuat kami agak terkejut.


Motif kain tenun Sumba

Awalnya Sinta meminta kami untuk menebak berbentuk apakah motif bagian bawah dari kain tersebut. Kami kemudian menebak-nebak motif tersebut merupakan gambar rumah adat atau perisai, tapi ternyata kami salah. Sinta menyebutkan bahwa motif tersebut menggambarkan alat kelamin wanita. Kain dengan motif tersebut biasa digunakan untuk seorang gadis yang hendak menikah. Kami membelalakkan mata.


Pameran Sumba yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta memberikan hal-hal yang biasa ada pada sebuah pameran. Foto-foto yang disajikan cukup banyak sehingga dapat mengelilingi seluruh galeri Bentara Budaya Yogyakarta. Musik yang diputar memberikan kesan dan rasa yang sangat “Sumba”, seakan-akan pengunjung sedang berada di Sumba. Kain-kain yang dipamerkan juga dipajang dengan baik dan dapat dilihat langsung dengan mudah karena berada di tengah galeri. Secara keseluruhan, pameran yang merupakan salah satu rangkaian acara Festival Sumba 2018 ini cukup dapat dinikmati baik untuk sekadar berjalan-jalan maupun untuk mengetahui lebih banyak tentang Sumba.



Referensi

Bentara Budaya. “Bentara Budaya Yogyakarta”. Kompas Gramedia. 1 November 2018, 13.04. http://www.bentarabudaya.com/profil/bentara-budaya-yogyakarta

10 views0 comments

Comments


bottom of page