top of page

Menelusuri Ketersediaan Fasilitas & Aksesibilitas Pariwisata bagi Penyandang Disabilitas di D.I.Y

Updated: Jul 5, 2019

Pariwisata Inklusif dalam Bingkai Infrastruktur Kota: Menelusuri Ketersediaan Fasilitas dan Aksesibilitas Pariwisata bagi Penyandang Disabilitas di Yogyakarta


Oleh:

Akhmad Khanif

Alfian Nurhidayat

Muhammad Dian saputra Taher

Vidya Ramadhani


Sebuah kota tidak hanya dikenal sebagai kawasan pusat perdagangan dan hunian modern, tetapi kota juga banyak dijadikan tujuan alternatif berwisata. Karena kota dianggap sebagai tempat yang menyajikan kemajuan dari perkembangan infrastruktur di suatu wilayah dan tentunya menjadi tjuan yang sangat nyaman bagi semua orang, begitulah kiranga ekspektasi masyarakat jika berkunjung ke kota untuk berwisata. Akan tetapi, apakah semua kota sama halnya demikian memnerikan fasilitas sesuai dengan yang diharapkan, khususnya bagi para mereka yang berkebutuhan khusus. Pelayanan sektor pariwisata di Indonesia saat ini belum memusakan. Pelayanan publik di bidang pariwisata memengaruhi jumlah kunjungan wisatawan (Husein dan Zakiyah, 2016). Pelayanan pariwisata merupakan pelayan publik yang menjadi hak warga negara di mana pelayanan tersebut bisa menyentuh semua kalangan termasuk wisatawan yang masuk dalam kategori penyandang difabel. Pada kenyataannya banyak tempat wisata belum menyediakan fasilitas yang representatif untuk semua kalangan, penyediaan fasilitas pelayanan publik masih jauh dari harapan.

Pada saat ini, yang terjadi di lapangan masih banyak sekali permasalahan terkait penyediaan fasilitas dan sarana publik yang belum bisa memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas di Indonesia. Salah satu dari sekian banyak kebutuhan yang diperlukan, kebutuhan adanya model pariwisata yang ramah terhadap penyandang disabilitas dengan dukungan oleh pembangunan infrastruktur kota yang memerhatikan hal-hal tersebut sangat diperlukan. Setiap orang pasti mempunyai kesamaan hak untuk melakukan pariwisata tanpa pandang bulu tidak mengenal kaya atau miskin, tua atau muda, sakit atau sehat, dan manusia yang normal atau yang penyandang disabilitas semua orang mempunyai kesamaan hak dan kesempatan dalam berwisata. Selama ini konsep pariwisata hanya dirancang untuk orang-orang yang normal saja, bagaimana dengan orang-orang yang berkebutuhan khusus. Demi memudahkan penyandang disabilitas dalam melakukan pariwisata atau kunjungan perlu kiranya dibuat sebuah konsep pariwisata yang ramah terhadap kaum penyandang disabilitas. Konsep pariwisata yang ramah terhadap penyandang disabilitas ini misalnya setiap tempat atau obyek daya tarik wisata menyediakan berbagai fasilitas dan aksesibilitas yang memang diperlukan oleh wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik. Misalnya menyediakan alat komunikasi khusus bagi wisatawan yang tuna rungu, menyediakan korsi roda untuk yang tidak bisa berjalan, dan sarana penujang lainnya.

Saat melakukan kegiatan berwisata, wisatawan difabel memiliki masalah yang membuat mereka tidak nyaman. Menurut Smith (dalam Pagan, 2012) bahwa ketidaknyaman dan ketidakmampuan penyandang difabel untuk menikmati tempat wisata antara lain disebabkan oleh: a) intrinsic barriers atau keterbatasan yang dimiliki oleh para penyandang difabel; b) environmental barriers yaitu adanya keterbatasan fasilitas yang ada pada tempat pariwisata; dan c) interactive barriers termasuk di dalamnya kurangnya fasilitas untuk memudahkan komunikasi dengan para penyandang difabel. Ketidaknyamanan difabel dapat menghalangi mereka untuk memperoleh informasi serta pengetahuan yang ingin disampaikan ketika berada di suatu tempat wisata. Rasa tidak nyaman tersebut juga dapat membuat wisatawan difabel enggan untuk datang lagi ketempat wisata tersebut karena timbul perasaan tidak nyaman yang dapat berdampak pada keinginannya untuk bersedia datang ke tempat wisata itu lagi atau tidak.

Yogyakarta selain dikenal sebagai kota perjuangan, kebudayaan dan pendidikan, juga dikenal dengan kekayaan sumber daya alam dan budayanya. Sampai sekarang Yogyakarta masih menjadi kota yang menjadi tujuan wisata terkemuka bagi wisatawan domestik dan juga mancanegara. Yogyakarta menjadi daerah wisata terkemuka karena telah tersedianya sarana dan prasarana sebagai penunjang kepariwisataan, seperti akomodasi, restoran/rumah makan, telekomunikasi, tempat hiburan dan lain-lain (Badan Pusat Statistik, 2016). Yogyakarta juga dikenal dengan kearifan masyarakatnya, setiap wisatawan yang datang ke Yogyakarta akan dijamu dengan keramah-tamahan, dan kehangatannya. Wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta tidak hanya wisatawan normal, namun juga didalamnya ada wisatawan dengan kebutuhan khusus atau disabilitas.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat ada 25.050 disabilitas yang ada di Yogyakarta, atau sekitar 1 banding 146 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk total Daerah Istimewa Yogyakarta. Badan Pusat Statistik (2010) mencatat jumlah difabel di Indonesia ada sekitar 9.046.000 atau sekitar 4,74 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia (Kusumaningrum, 2012). Sering kali di Indonesia para penyandang disabilitas belum mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Bahkan, dalam UU No.10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan telah dicantumkan kesetaraan sebagai asas dari kepariwisataan. Namun, pada kenyataannya kesetaraan bagi penyandang difabel masih belum dapat terpenuhi secara maksimal dan merata.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri saat ini, dalam upaya perbaikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasaran fasilitas dan aksesibilitas kepada penyandang disabilitas telah membuat peraturan, yaitu Peraturan Daerah DIY No.4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Selain itu, Kota Yogyakarta merupakan kota di Wilayah DIY yang beberapa tahun terakhir ini mempunyai kebijakan berpihak kepada penyandang disabilitas. Hal tersebut sudah terlihat dengan beberapa keputusan Walikota Yogyakarta tentang penerapan pendidikan inklusi, pekerjaan kepada penyandang disabilitas (adanya penghargaan kepada perusahaan yang memberikan pekerjaan kepada penyandang disabilitas), serta kebijakan jaminan pembiayaan kesehatan daerah kepada penyandangdisabilitas serta beberapa kebijakan layanan yang sudah mulai berpihak kepada penyandang disabilitas (SAPTA Jogja dalam Husein dan Zakiyah, 2016).

Dikutip dari jogjakota.go.id (2014) bahwa Kota Yogyakarta pernah menerima penghargaan di bidang pariwisata sebagai The Best Performance kategori “gold” yang diberikan oleh Menteri Pariwisata RI, Arif Yahya dalam acara Travel Club Tourism Award (TCTA). Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi menarik untuk ditelusuri terkait bagaimana konsistensi dari pemerintah Kota Yogyakarta mengemban amanah sebagai Kota yang mendapat penghargaan The Best Performance dalam bidang pariwisata sudah selayaknya menerapkan konsep pariwisata inklusif yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Hal tersebut adalah upaya untuk pemenuhan atas kebutuhan fasilitas dan aksesibilitas untuk penyandang disabilitas di lokasi pariwisata, terkait dengan pemenuhan kebutuhan sarana, prasarana, fasilitas dan aksesibilitas.

Kebutuhan Fasilitas Pariwisata bagi Penyandan Disabilitas

Sebenarnya Indonesia telah mengatur tentang Kegiatan Kepariwisataan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009. Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa negara telah menjamin hak berwisata bagi semua orang termasuk difabel sehingga difabel juga memiliki hak yang sama untuk berwisata. Hak untuk berwisata tersebut juga termasuk didalamnya adalah tentang kenyamanan dan keterjangkauan bagi wisatawan difabel. Pembuatan suatu objek wisata menjadi yang nyaman untuk difabel diperlukan adanya fasilitas-fasilitas khusus tentunya. Fasilitas-fasilitas tersebut juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan telah menjelaskan standart fasilitas minimal yang ada pada sebuah bangunan.

Namun, implementasi dari kebijakan tersebut masih sangat minim. Fasilitas minimal yang dimaksud tersebut meliputi: Ukuran Dasar Ruang, Jalur Pedestrian, Jalur Pemandu, Area Parkir, Pintu, Ramp, Tangga, Lift, Lift tangga, Toilet, Pancuran, Wastafel, Telepon, Perlengkapan dan Peralatan Kontrol, Perabot, Rambu dan Marka. Adanya fasilitas-fasilitas tersebut diharapkan difabel akan merasa nyaman dan aman ketika di tempat-tempat umum serta tidak ada kesenjangan antara difabel dengan masyarakat pada umumnya. Setiap penyandang disabilitas membutuhkan fasilitas-fasilitas khusus untuk dapat menunjang kemandirian mereka ketika berwisata. Tunarungu adalah difabel dengan kekurangan pada pendengaran, tunagrahita adalah difabel dengan kekurangan mental, tunanetra/low vision adalah difabel dengan kekurangan penglihatan serta tunadaksa adalah difabel dengan kekurangan/cacat tubuh. Adapun fasilitas pariwisata yang diperlukan oleh penyandang disabilitas menurut Firdausa dkk (2017) adalah sebagai berikut.

Tunarungu, fasilitas yang dibutuhkan oleh tunarungu adalah teks penjelasan dan pemandu khusus. Wisatawan tunarungu membutuhkan teks penjelasan pada setiap atraksi yang dikunjungi, fasilitas tersebut diperlukan agar wisatawan dapat memahami dengan jelas maksud atau pesan yang ingin disampaikan pada setiap atraksi wisata. Pemandu khusus diperlukan bagi tunarungu, yaitu pemandu yang menguasai bahasa isyarat, karena jika tanpa bahasa isyarat wisatawan tunarungu akan kesulitan dalam melakukan perjalalanan wisata karena mereka sulit berkomunikasi tanpa bahasa isyarat.

Tunagrahita, fasilitas yang dibutuhkan oleh tunagrahita adalah atraksi yang menyenangkan dan mudah dipahami. Selain atraksi, setiap aspek yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata seperti akomodasi, traansportasi dan lain-lain harus mudah dipahami serta lebih sederhana. Tunagrahita memiliki keterbatasan mental sehingga mereka cukup sulit untuk memahami dan mengontrol emosi mereka, apalagi ketika mereka sudah merasa kelelahan maka akan lebih sulit ketika melakukan perjalanan wisata.

Tunanetra, fasilitas yang dibutuhkan oleh tunanetra adalah guiding block, huruf braile, dan audio. Guiding block dibutuhkan oleh tunanetra yang menggunakan tongkat sebagai alat bantu mereka untuk menentukan arah. Huruf braile dibutuhkan oleh tunanetra ketika membaca teks menggunakan tangan mereka, didalam paket wisata hal ini harus sangat diperhatikan agar wisatawan tunanetra dapat memahami penjelasan dari setiap atraksi dan lain-lain. Audio disini dapat berupa penjelasan ketika di wahana/atraksi bisa juga berupa panduan alur perjalanan ketika melakukan kegiatan wisata, karena pengunjung tunanetra akan kesulitan untuk memahami alur ketika di tempat yang baru mereka datangi.

Tunadaksa, fasilitas khusus yang dibutuhkan oleh tunadaksa ketika melakukan perjalanan wisata, antara lain ramp, toilet khusus untuk tunadaksa, dan juga tangga dengan pegangan. Ramp adalah jalur bidang miring yang diperuntukkan oleh difabel yang menggunakan kursi roda, ramp sangat penting bagi tunadaksa karena tanpa ramp tunadaksa akan sangat kesulitan untuk menjangkau tempat yang lebih tinggi. Toilet khusus bagi tunadaksa dibutuhkan karena jika hanya toilet biasa tanpa ada pegangan dan ukuran yang tidak cukup luas untuk dilewati kursi roda maka akan menyulitkan bagi tunadaksa. Sementara itu, pegangan yang ada di tangga adalah untuk keamanan dan kenyamanan bagi tunadaksa.

Membangun Infrastruktur Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata Ramah Difabel

Kawasan Malioboro terletak sebelah selatan Stasiun Tugu yang membentang lurus sepanjang 1 km, hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta atau daerah titik nol km. Atraksi wisata yang ditawarkan di Malioboro adalah wisata belanja bagi yang ingin memcari barang-barang atau oleh-oleh khas Yogyakarta, maka Malioboro adalah pusatnya. Kawasan wisata ini tentunnya harus dilengkapi dengan fasilitas yang baik dan juga ramah bagi semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas supaya wisatawan lebih nyaman. Secara umum kawasan Malioboro belum bia dikatakan sebagai tempat wisata yang ramah untuk penyandang disabilitas, karena Malioboro belum bisa dinikmati oleh semua golongan dan kalangan. Akan tetapi, kawasan ini telah memberikan petunjuk jalan bagi tunanetra berupa guiding block dalam bentuk garis kuning dengan kontur timbul di sepanjang trotoar kawasan Malioboro. Lain halnya di Keraton dan Taman Sari, ketiadaan fasilitas jalur pemandu di Keraton dan Taman Sari membuat penyandang disabilitas tuna netra menjadi sulit untuk berjalan, berkeliling di area wisata secara mandiri. Namun hal ini bisa di atas dengan adanya tim pemandu wisata yang ada di Keraton maupun Taman Sari. Tim pemandu wisata akan memandu sekaligus menjaga apabila ada penyandang tuna netra yang datang berwisata. Pihak dari Keraton Yogyakarta juga menyatakan alasan bahwa mengapa fasilitas-fasilitas khusus bagi pengunjung difabel hingga saat ini belum ada adalah karena jumlah pengunjung difabel yang berkunjung belum signifikan, bahkan mereka juga menyatakan pembangunan ramp yang ada di Keraton adalah untuk menyambut kedatangan Gus Dur dan bukan untuk wisatawan tunadaksa.

Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas pariwisata Kota Yogyakarta untuk penyandang disabilitas menunjukkan belum masuk kategori ramah. Fasilitas yang sudah tersedia belum bisa digunakan secara maksimal oleh penyandang disabilitas pada saat berwisata seperti fasilitas kursi roda, jalur pemandu, alat audio visual, buku panduaan, peta wisata yang bertuliskan huruf brille serta toilet. Selain penyediaan fasilitas yang belum ramah dan memadai, aksesibilitas untuk penyandang disabilitas juga berdasarkan hasil penelitian masih kurang. Rata-rata dari pengelola wisata belum menyediakan tempat khusus parkir kendaraan penyandang disabilitas, dan juga belum menyediakan alat transportasi khusus di tempat wisata, kemudian ada upaya perbaikan atau peremajaan transportasi khusus penyandang disabilitas (Firdausa dkk, 2017).

Pemerintah seharusnya dalam meremajakan Kota Yogyakarta tidak lupa pula untuk meningkatkan serta memperbaiki fasilitas bagi penyandang disabilitas agar kebutuhan mereka bisa terpenuhi juga. Sebenarnya Kota Yogyakarta sudah cukup baik dalam hal penanganan permasalahan penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi para difabel, namun pengelolaan yang tidak tepat membuat banyak fasilitas menjadi tidak terurus. Tadinya wajah kota yang bagus dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut di awal terbentuknya, sekarang menjadi banyak yang rusak dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah ataupun pihak-pihak terkait lainnya.

Jika ditelaah secara lebih dalam, potensi dari jumlah calon wisatawan dengan kebutuhan khusus yang berkunjung ke Yogyakarta cukup besar. Hal tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan secara lebih optimal oleh pemerintah Kota Yogyakarta untuk mendapatkan keuntungan. Namun, sampai saat ini Biro Perjaalanan Wisata yang ada di Kota Yogyakarta belum memberikan pelayanan yang optimal dalam menyusun paket wisata bagi orang dengan kebutuhan khusus atau difabel. Pada akhirnya, sebuah kota harus berbenah diri untuk dapat dikatakan sebagai kota yang ramah bagi siapa saja, termasuk penyandang disabilitas. Memang tidak mudah bagi sebuah kota untuk mewujudkan impiannya sebagai tujuan ataupun hunian yang nyaman bagi semua orang. Kota secara perlahan akan membangun satu per satu infrasturktur yang sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Karena permasalahan di kota sangat kompleks, tidak hanya saja berbicara disabilitas tetapi lebih dari itu. Kota akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya menyesuaikan perkembangan zaman. Tetapi perlu diingat, butuh pengontrolan dari masyarakat agar kota dapat berjalan sesuai dengan fungsinya, membuat semua orang nyaman dan dapat hidup dengan tentram di kota tersebut.

Tanggapan #1

Bacaan “Pariwisata Inklusif dalam Bingkai Infrastruktur Kota: Menelusuri Ketersediaan Fasilitas dan Aksesibilitas Pariwisata bagi Penyandang Disabilitas di Yogyakarta” yang ditulis oleh Putra merupakan tulisan yang sangat menarik karena, seperti yang telah disebutkan sebelumnya oleh Putra, masyarakat yang menyandang disabilitas juga melakukan aktivitas pariwisata, sama seperti masyarakat yang tidak memiliki kekurangan dalam segi fisik maupun mental. Tentu saja, kiranya hal tersebut merupakan sesuatu yang perlu dibahas dikarenakan masyarakat di Indonesia belum memiliki kesadaran penuh atas keberadaan penyandang disabilitas, pun bagaimana mereka juga memiliki hak untuk menikmati pariwisata. Tidak imbangnya fasilitas yang memadai untuk penyandang disabilitas dengan yang tidak menjadikan pembahasan ini cukup menarik untuk diulik. Dengan pusat perhatian di daerah perkotaan sebagai tempat wisata, tentulah seharusnya kota besar seperti Yogyakarta memiliki insfrastruktur yang memadai untuk masyarakat yang menyandang disabilitas, baik di kawasan pariwisata maupun kawasan yang bukan ditujukan sebagai tempat wisata.

Saya beranggapan bahwa melalui tulisan ini, Putra menyampaikan betapa besar perhatian dan empatinya terhadap masyarakat penyandang disabilitas. Dengan mengangkat keterangan secara mendetail tentang bagaimana kondisi para difabel di Yogyakarta sebagai pembuka tulisan, Putra seakan meminta para pembaca untuk kembali membuka mata dan sadar akan keberadaan masyarakat penyandang disabilitas, lebih spesifiknya lagi, dalam dunia pariwisata di perkotaan. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa terdapat masyarakat yang menyandang disabilitas di sekitar mereka, kecuali jika memiliki keluarga atau kerabat yang juga menyandang disabilitas. Karena itu pula, tidak sedikit masyarakat yang kurang atau malah tidak menyadari ada atau tidaknya infrastruktur dan fasilitas untuk masyarakat penyandang disabilitas. Kalaupun ada, mereka cenderung akan mengabaikan keberadaan infrastruktur dan fasilitas untuk para penyandang disabilitas tersebut karena tidak merasa memerlukan hal tersebut. Ini juga menunjukkan kurangnya perhatian masyarakat ynag bukan penyandang disabilitas terhadap masyarakat yang menyandang disabilitas. Kurangnya perhatian dari masyarakat biasa ini juga yang agaknya mempengaruhi pembangunan infrastruktur dan fasilitas bagi masyarakat yang menyandang disabilitas karena belum tentu pemerintah dapat menjangkau seluruh informasi mengenai pemerataan fasilitas untuk para penyandang disabilitas dengan minimnya kontribusi masyarakat terhadap pembangunan untuk memudahkan masyarakat penyandang disabilitas untuk menjalani hidup mereka. Dengan angka yang disajikan oleh Putra pada tulisannya mengenai jumlah penyandang disabilitas di Yogyakarta, yaitu 25.050 orang penyandang disabilitas atau sekitar 1 banding 146 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada di Yogyakarta, merupakan hal yang sangat perlu untuk diperhatikan mengenai penyediaan secara lengkap soal infrastruktur dan fasilitas bagi para penyandang disabilitas di Yogyakarta. Kiranya hal tersebut juga tengah dan telah diusahakan oleh pihak pemerintah, dan masih akan terus dikembangkan demi kenyamanan masyarakat yang menyandang disabilitas.

Selain menyampaikan kepedulian terhadap masyarakat penyandang disabilitas, Putra juga membawa pembaca kepada pembahasan yang lebih spesifik, yaitu mengenai hak atas masyarakat penyandang disabilitas terhadap fasilitas-fasilitas yang disediakan untuk para penyandang disabilitas itu sendiri tersebut dalam aspek pariwisata. Seperti yang telah dikutip oleh Putra pada tulisan sebelumnya, Yogyakarta merupakan kota yang terkenal menjadi tujuan wisata terkemuka bagi wisatawan, domestik maupun macanegara. Terdapat berbagai alasan sehingga Yogyakarta menjadi kota yang terkenal sebagai tempat berwisata yang terkemuka seperti itu. Dengan titel terkenal lain selain kota pendidikan, kota perjuangan maupun budaya, Yogyakarta berhasil menarik perhatian wisatawan karena memang adanya fasilitas-fasilitas penunjang kepariwisataan, seakan-akan Yogyakarta itu sendiri memang didesain sebagai kota pariwisata, kota di mana tidak hanya ada hiruk pikuk, tetapi juga tempat untuk menarik napas sejenak dari kepenatan hidup perkotaan yang umumnya terkenal melelahkan, kota besar yang memiliki sisi kesibukan dan juga sisi kenikmatan berwisata di saat yang bersamaan. Permasalahan yang dibawa oleh Putra adalah, apakah, atau sudahkah, tempat-tempat wisata ini, yang bertujuan sebagai tempat mengistirahatkan diri dari kepenatan, memiliki sarana, prasarana, fasilitas dan aksesibilitas yang memadai untuk para penyandang disabilitas? Tentu bukan hanya masyarakat biasa yang berhak menikmati pariwisata dengan fasilitas yang lengkap, para penyandang disabilitas pun memiliki kapasitas yang sama mengenai hak untuk mendapatkan aksesibilitas yang sesuai bagi mereka.

Setelah pembahasan-pembahasan tersebut, Putra juga menyertakan usaha-usaha yang telah, dan tengah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk masyarakat yang menyandang disabilitas di Yogyakarta dengan melakukan perbaikan pelayanan serta membuat peraturan untuk memenuhi kebutuhan sarana, prasarana, fasilitas, dan aksesibilitas bagi masyarakat penyandang disabilitas oleh pemerintah. Tidak hanya itu, Putra pun menulis usaha pemerintah dalam memperhatikan masyarakat penyandang disabilitas dengan cara menciptakan kebijakan yang berpihak kepada para penyandang disabilitas. Melalui tulisannya, Putra menyampaikan bahwa ia tertarik untuk menilik konsistensi pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mempertahankan penghargaan di bidang pariwisata, The Best Performance kategori “gold” yang diberikan oleh Menteri Pariwisata RI, Arif Yahya dalam acara Travel Club Tourism Award (TCTA), melalui perhatiannya terhadap fasilitas di bidang pariwisata yang ditujukan untuk masyarakat dan wisatawan yang menyandang disabilitas. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang juga perlu diperhatikan oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengembangkan pariwisatanya serta nama Yogyakarta sebagai kota yang terkenal sebagai tempat berwisata dan juga terkenal dengan keramahannya. Bila keramahan tersebut dapat diaplikasikan secara infrastruktural, dalam hal ini, menjadikan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah wisata yang fasilitasnya ramah terhadap penyandang disabilitas, maka tentu saja itu merupakan hal positif yang dapat dikembangkan dan dipertahankan oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Putra menambahkan dengan detail beserta penjelasannya mengenai fasilitas-fasilitas yang perlu untuk dipasang atau ditempatkan di tempat pariwisata untuk masyarakat atau wisatawan yang menyandang disabilitas, dengan menyebutkan jenis-jenis disabilitasnya secara rinci pula, dan menjabarkan kegunaan yang akan diperoleh dari fasilityas-fasilitas khusus tersebut. Seperti tunarungu yang memerlukan fasilitas berupa teks penjelasan dan pemandu khusus, tunagrahita yang memerlukan fasilitas berupa yaitu atraksi yang menyenangkan dan mudah dipahami, tunanetra yang memerlukan fasilitas berupa guiding block, huruf braile, dan audio, serta tunadaksa yang ketika melakukan perjalanan wisata, membutuhkan fasilitan khusus antara lain ramp, toilet khusus untuk tunadaksa, dan juga tangga dengan pegangan. Dengan penjelasan-penjelasan yang merinci tersebut, pembaca akan dengan mudah memahami fungsi-fungsi yang akan diberikan oleh fasilitas yang ditempatkan di daerah wisata dan mengapa fasilitas yang ada tersebut penting bagi masyarakat atau wisatawan penyandang disabilitas. Penjelasan tersebut dapat pula meningkatkan kesadaran pembaca terhadap masyarakat dan wisatawan yang menyandang disabilitas bahwa mereka sangat memerlukan fasilitas yang memadai untuk berwisata, sama seperti masyarakat dan wisatawan-wisatawan lain ingin menikmati liburan dengan aman, nyaman, dan tidak merasa kesulitan. Dengan pemaparan seperti itu, diharapkan munculnya empati pembaca sebagai masyarakat biasa terhadap masyarakat penyandang disabilitas sehingga akan ada naiknya kesadaran terhadap kebutuhan penyandang disabilitas.

Namun, dengan berbagai macam penjelasan dan pemaparan di atas, saya merasa ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam tulisan tersebut. Pertama, Putra telah menyampaikan gagasannya mengenai fasilitas-fasilitas apa saja yang perlu hadir dalam ranah pariwisata, tetapi saya rasa selain hal tersebut diperlukan adanya sosialisasi dari pihak pemerintah terhadap masyarakat penyandang disabilitas itu sendiri, karena jika setelah dibangun berbagai fasilitas di berbagai tempat pariwisata tetapi tidak ada sosialisasi terhadap para penyandang disabilitas tersebut, maka saya rasa akan percuma saja bila fasilitas-fasilitas tersebut sudah dibangun karena mungkin saja masyarakat atau wisatawan penyandang disabilitas masih enggan pergi ke sebuah tempat wisata ketika mengetahui belum adanya fasilitas untuk menunjang kenyamanan dan keamanan mereka selama berlibur di tempat wisata tersebut. Dengan adanya sosialisasi dari pemerintah terhadap masyarakat atau wisatawan yang menyandang difabel mengenai fasilitas-fasilitas yang sudah ada dan dibangun, yang minimal berupa pemberitahuan publik bahwa sudah terdapat fasilitas yang dapat menunjang kenyamanan para penyandang disabilitas, maka fasilitas-fasilitas yang dibangun tersebut akan segera terpakai karena informasi yang telah diberikan kepada masyarakat atau wisatawan penyandang difabel sehingga mereka tidak lagi enggan untuk mengunjungi tempat wisata tersebut, tidak perlu lagi merasa was-was karena tidak adanya fasilitas yang membuat mereka merasa nyaman berada di tempat wisata.

Selain itu pula, saya menemukan sebuah kekeliruan yang sebelumnya sempat disajikan oleh Putra. Putra menyajikan data berupa jumlah masyarakat yang menyandang disabilitas hanya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentu, hal ini bukanlah menjadi suatu masalah besar ketika bukan bidang pariwisata lah yang dibicarakan. Ketika sedang membicarakan soal pariwisata, tentu saja pengunjungnya bukanlah saja orang-orang yang ada di daerah wisata tersebut. Berbagai macam manusia yang datang dari berbagai jenis tempat, desa, kota, negara, bahkan benua, bisa saja berada di tempat wisata tersebut. Orang-orang dengan berbagai macam asal tempat tinggal dapat mengunjungi satu tempat wisata, dan mereka tidak tercatatat dalam data yang ada dan dilakukan di daerah wisata itu sendiri. Sama halnya dengan masyarakat dan wisatawan yang menyandang disabilitas. Tentu saja bukan hanya penduduk yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta saja yang akan mengunjungi tempat wisata di Yogyakarta yang terdapat fasilitas-fasilitas yang memudahkan penyandang disabilitas untuk melaksanakan aktivitasnya di sana, tetapi juga penyandang disabilitas lain yang berasal dari berbagai macam tempat akan datang ke tempat wisata tersebut. Ketika dalam kondisi seperti itu, saya rasa data mengenai penyandang disabilitas di Yogyakarta tidak terlalu tepat untuk dipakai sebagai acuan dalam esai tersebut. Tidak ada solusi yang saya tawarkan mengenai hal ini dikarenakan saya yang juga belum bisa menentukan data apa yang sebaiknya perlu digunakan dalam menulis esai tersebut.

Pada penghujung tulisannya, Putra membicarakan mengenai Malioboro dan menyebutkan bahwa meskipun Malioboro belum bia dikatakan sebagai tempat wisata yang ramah untuk penyandang disabilitas, karena Malioboro belum bisa dinikmati oleh semua golongan dan kalangan, tetapi juga kawasan ini telah memberikan petunjuk jalan bagi tunanetra berupa guiding block dalam bentuk garis kuning dengan kontur timbul di sepanjang trotoar kawasan Malioboro. Meskipun begitu, selain guiding block yang ada di Malioboro, saya rasa sudah terdapat ramp di jalanan sekitar lingkungan Malioboro. Meskipun tidak terlihat secara jelas karena jalan di Malioboro merupakan kawasan pedestrian yang datar-datar saja, sebenarnya terdapat ramp di sepanjang jalan pedestrian tersebut, di beberapa tempat tertentu. Tempat tersebut, yang menghubungkan antara jalan raya dan trotoar, akan sangat membantu penyandang tunadaksa yang memerlukan kursi roda dan harus turun dari kendaraan untuk berjalan-jalan di trotoar Malioboro. Selain itu pula, terdapat ramp di trotoar Malioboro yang menjadi jalan masuk ke halte Trans Jogja Malioboro yang akan sangat membantu orang-orang yang menggunakan kursi roda untuk bergerak agar bisa masuk ke halte dengan mudah dan bisa menaiki Trans Jogja. Jadi, selain ramah dengan tunanetra, saya juga merasa bahwa jalan Malioboro pun ramah terhadap penyandang tunadaksa, dan ke depannya pula, saya harap jalan Malioboro akan menjadi ramah terhadap masyarakat penyandang disabilitas secara general.

Ada hal ynag sesungguhnya perlu disayangkan dari keberadaan fasilitas yang membantu masyarakat atau wisatawan penyandang disabilitas, khususnya fasilitas difabel yang ada di Malioboro, dan saya rasa ini luput dari perhatian Putra. Guiding Block yang ada di Malioboro, berdasarkan berita dari tribunjogja (2019) disebutkan bahwa terdapat puluhan guiding block yang rusak di Malioboro. Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya guiding block di Malioboro adalah karena roda dari Pedagang Kaki Lima. Selain karena Pedagang Kaki Lima, dituliskan pula bahwa guiding block tersebut hilang dicuri. Hal ini juga bisa dianggap sebagai perwujudan minimnya empati dan perhatian masyarakat biasa terhadap masyarakat penyandang disabilitas. Guiding blok yang merupakan pemandu jalan bagi tunanetra merupakan hal yang sangat penting, tetapi dirusak begitu saja dengan mudahnya oleh para Pedagang Kaki Lima dan seenaknya saja dicuri. Itu menandakan betapa pentingnya peran siapapun itu –baik individu ataupun pemerintah, untuk meningkatkan kesadaran terhadap eksistensi masyarakat penyandang disabilitas. Guiding block bukanlah sebuah hiasan yang bisa dengan mudah dirusak ataupun dicuri, tetapi merupakan petunjuk yang amat penting untuk penyandang disabilitas. Dengan sikap seperti itu oleh masyarakat yang tidak menyandang disabilitas, bisa mengurangi kepercayaan terhadap fasilitas dan pemerinta selaku yang membangun fasilitas tersebut.Maka dari itu, selain gagasan mengenai apa saja fasilitas-fasilitas yang perlu dibangun, ada baiknya bila perlu adanya satu lagi sosialisasi dari pemerintah mengenai pentingnya menjaga fasilitas-fasilitas yang telah dibangun untuk kepentingan masyarakat penyandang disabilitas karena itu merupakan hak para penyandang disabilitas itu sendiri. Selain itu pula, sebelum adanya infrastruktur dan pembangunan fasilitas, ada baiknya bila pemerintah dapat memberi kesadaran terhadap masyarakat umum akan kehadiran penyandang disabilitas sebagai tindakan prevensi sehingga kejadian seperti merusak atau mencuri guiding block di Malioboro tidak perlu terulang terus yang kemudian akan menciptakan suasana aman bagi penyandang disabilitas yang berlibur ke Malioboro. Hal ini pun tidak hanya terjadi di tempat wisata, tetapi juga di jalanan-jalanan biasa di mana terdapat fasilitas untuk penyandang disabilitas sehingga jika pencegahan di tempat wisata bisa dilakukan, maka dapat berpengaruh pula ke jalanan-jalanan biasa.

Putra, melalui tulisannya, membawakan gagasannya dengan baik dan mudah dipahami. Pariwisata untuk masyarakat penyandang disabilitas merupakan hal yang perlu diperhatikan dengan seksama, khususnya mengenai fasilitas yang akan membantu para penyandang disabilitas tersebut untuk berwisata dengan lebih aman dan nyaman. Ada berbagai macam fasilitas yang perlu ditambahkan di berbagai tempat wisata, dan itu, menurut saya, perlu dibarengi dengan adanya sosialiasi yang memadai, baik kepada masyarakat penyandang disabilitas maupun masyarakat biasa.

Tanggapan 2

Area perkotaan yang umumnya harus menjangkau untuk diakses oleh setiap lapisan masyarakat terkadang memaparkan kondisi yang sebaliknya. Pada kenyataannya, kota yang dikatakan sebagai tempat dengan mobilitas tinggi dan harus aksesabel oleh setiap orang, ternyata belum sepenuhnya dapat dinilai demikian. Esai ini memaparkan bahwa ketika tempat pariwisata yang notabenenya merupakan tempat komersial dan dianggap paling aksesibel untuk setiap lapisan masyarakat, masih minim memperhatikan fasilitas untuk penyandang disabilitas. Di mana argumen yang dibangun adalah ketika setiap orang ingin merasakan tempat pariwisata sebagai sarana penghibur dan peghilang penat, maka ada segelintir dari mereka yang tidak dapat sepenuhnya merasakan hal ini karena mereka memiliki keterbatasan fisik dan semakin dibatasi lagi oleh adanya akses yang buruk di tempat pariwisata. Akses-akses ini dibangun dengan standar orang-orang dengan fisik sempurna sehingga mereka tidak begitu merasa, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang-orang berkebutuhan khusus di tempat pariwisata.

Esai ini setidaknya memaparkan dengan jelas, fasilitas-fasilitas apa saja yang diperlukan bagi penyandang disabilitas pada setiap keterbatasan yang dihadapi. Ada tunarungu, tunagrahita, tunanetra, dan tunadaksa yang semuanya memerlukan fasilitas khusus akan pariwisata dan pada esai ini dijelaskan secara komprehensif. Informasi ini akan menambah wawasan bagi orang normal serta jauh dari interaksi dengan penyandang disabilitas, dan yang terpenting bahwa pengembang pariwisata setidaknya lebih memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Tentunya setiap penyandang disabilitas ingin hidup secara mandiri pula, dan ketika mereka di tempat pariwisata maka kemandirian disabilitas akan sangat membantu mereka dalam menikmati suatu atraksi atau fasilitas pariwisata. Kemandirian penyandang disabilitas dapat dicapai ketika mereka mendapatkan akses ke suatu tempat wisata bersangkutan. Akses menurut KBBI merupakan ‘jalan masuk’ dan jalan bagi wisatawan penyandang disabilitas adalah fasilitas yang dapat memudahkan mereka masuk ke tempat wisata.

Esai ini menggunakan lingkup Yogyakarta yang menurut saya sangat relevan untuk isu-isu pariwisata dan isu-isu disabilitas. Data dalam esai ini menunjukkan bahwa Yogyakarta sebagai tempat terbaik yang memperoleh kategori ‘gold’ dan bahkan Yogyakarta merupakan wisata ke dua teramai di Indonesia yang dikunjungi wisatawan setelah Bali. Menurut pemaparan pengamat pariwisata, Yogyakarta mungkin akan kalah dengan Bali di bidang kekayaan alam dan budaya untuk keunikan pariwisata, tetapi menang dalam hal manejemen pariwisata dan infrastrukturnya. Oleh karena itu pemilihan lokasi dalam esai ini sangat relevan dibandingkan wilayah di Indonesia yang lainnya. Kemudian Yogyakarta dikenal dengan kota wisata tetapi juga kota pelajar yang di dalamnya banyak pendatang dari seluruh penjuru Indonesia bahkan luar negeri dan semua yang datang ke Yogyakarta tidak semuanya memiliki kesempurnaan, sebagian dari mereka merupakan penyandang disabilitas. Terlebih mereka pasti juga ingin merasakan dan menikmati berwisata di kota sebagai hiburan, setelah berhari-hari penat belajar.

Ditambah kepedulian pemerintah Yogyakarta dalam hal infrastruktur terhadap penyandang disabilitas yang terus meningkat. Data dalam esai ini disebutkan bahwa Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri saat ini, dalam upaya perbaikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasaran fasilitas dan aksesibilitas kepada penyandang disabilitas yang telah membuat peraturan, yaitu Peraturan Daerah DIY No.4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Peraturan ini setidaknya telah ditegakkan dalam pembangunan infrastruktur pariwisata di kawasan Malioboro, sebagai satu kawasan pariwisata teramai di Yogyakarta karena memiliki aspek sejarah, perbelanjaan dan kesenian sehingga setiap wisatawan belum dikatakan datang ke Yogyakarta kalau belum berkunjung ke Malioboro. Esai ini memaparkan bahwa fasilitas di Malioboro telah dilengkapi dengan akses untuk penyandang disabilitas yang dibangun oleh Pemerintah Daerah Yogyakarta.

Namun selain dari kelebihan-kelebihan tersebut, esai ini tidak luput dari kekuranagan, di antaranya adalah pemaparan dalam esai ini terlalu umum. Esai ini hanya memaparkan secara umum fasilitas yang seharusnya ada di tempat pariwisata untuk penyandang fabel dan fasilitas apa saja yang telah dibangun di Yogyakarta menurut perspektif penulis, padahal sangat penting untuk melibatkan perspektif pemerintah atau pengembang pariwisata sebagai pembangun fasilitas khusus bagi penyandang difabel dan tentunya perspektif difabel sebagai pelaku dan pengguna fasilitas-fasilitas tersebut. Perspektif pemerintah diperlukan untuk menyimpulkan apakah pembangunan yang dilakukan sudah ramah terhadap difabel, terlebih Yogyakarta menggembor-gemborkan sebagai kota ramah difabel di Indonesia. Kemudian perspektif penyandang difabel diperlukan, apakah pembangunan yang telah dilakukan pemerintah sudah berdampak terhadap mereka, apakah mereka lebih mudah mengakses tempat pariwisata yang telah dibangun akses untuk kemudahan dan kemandirian penyandang difabel, apakah sudah efektif pembangunan tersebut atau masih kurang. Kemudian lebih penting lagi perspektif wisatawan lain yang bukan penyandang difabel, apakah mereka telah memahami fasilitas khusus untuk difabel dan fasilitas umum. Apakah mereka melakuakan penyimpangan dengan menggunakan fasilitas khusus difabel sehingga akan menyulitkan para penyandang difabel ketika berada di tempat pariwisata.

Kekurangan lain yang perlu disampaikan adalah pemilihan tempat pariwisata, perbandingan yang dilakukan saya rasa tidak sesuai antara Malioboro, Taman Sari dan Keraton Yogyakarta. Untuk Malioboro mungkin akan mudah menemukan akses yang telah dibangun seperti guiding block bagi penyandang tuna netra, akses jalan yang mudah bagi penyandang tuna daksa dan toilet khusus yang dilengkapi dengan peralatan canggih bagi penyandang difabel di km 0. Namun untuk Taman Sari dan Keraton Yogyakarta yang notabenenya merupakan bangunan cagar budaya, sehingga tidak boleh diubah untuk fasilitas-fasilitas tertentu. Membangun fasilitas untuk penyandang difabel pada dua tempat ini akan memungkinkan perubahan struktur bangunannya, sehingga menyebabkan hilangnya keaslian dari bangunan cagar budaya ini.

Di Malioboro, jika ditelusuri lebih lanjut maka akan ditemukan ketidaksinkronan fakta, bahwa sebenarnya fasilitas yang telah dibangun kurang sesuai dan tak layak dengan penyandang difabel (Net. Brio Yogyakarta, 2019). Aksi yang dilakukan pada tanggal 25 Februari 2019 oleh Yayasan Penyandang Disabilitas Yogyakarta di Malioboro adalah sebuah protes yang disuarakan oleh penyandang difabel mengenai fasilitas Malioboro yang belum ramah difabel. Pertama, untuk guiding block baru yang dibangun menggunakan logam dirasakan kurang sesuai dengan penyandang disabilitas, karena kurang timbul dan block besinya hilang baik dicuri maupun lepas, terlebih warnanya yang kurang mencolok menyusahkan mereka, penyandang tuna netra yang memiliki low vision. Ibu Cika sebagai direktur Yasayasan Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa ketika pembangunan infrastruktur pedestrian di Malioboro dibangun, mereka telah memberi masukan-masukan yang sesuai dengan kondisi penyandang difabel, tetapi pada kenyataannya mereka hanya diberi tahu setelah selesai pembangunan sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa.

Kemudian kawasan Malioboro yang dijuluki sebagai pusat perbelanjaan dan mengandalkan perbelanjaan sebagai something to buy dalam prinsip pariwisatanya, ternyata tidak ramah terhadap penyandang difabel. Hal ini dipaparkan oleh Ibu Cika kembali bahwa mall-mall pusat perbelanjaan di Malioboro tidak memiliki jalan khusus untuk penyandang tuna daksa. Semua jalan merupakan tangga yang tidak dapat dinaiki oleh penyandang tuna daksa, terlebih mereka yang menggunakan kuris roda. Mungkin dapat kita ambil satu contoh kasus di Mall malioboro sebagai Mall terbesar di kawasan ini, tidak terlihat ada fasilitas jalan untuk difabel (khususnya tuna daksa) berbelanja dan memasuki mall ini karena semuanya tangga. Hal ini sangat miris jika dilihat kembali fakta bahwa pusat perbelanjaan harus all inclusive terlebih kawasan perbelanjaan di Malioboro merupakan branding bagi tempat ini.

Hal yang tak luput dari penglihatan adalah tombol penyebrangan yang terlalu tinggi, seolah-olah hanya diperuntukkan bagi mereka yang normal dan tidak memiliki kebutuhan khsus. Berbicara mengenai mereka yang tidak menyandang disabilitas dan pariwisata di Malioboro, maka tidak luput dari attitude wisatawan non difabel ini. Terkadang saya melihat masih banyak wisatawan yang tidak mau mengalah mereka melewati guiding block, mungkin mereka tidak mengetahui fungsinya atau mungkin mereka sengaja mencari sensasi dengan melaluinya. Atau mereka yang menutupi jalan dan besi penyangga bagi tuna daksa, bahkan para penjual-penjual di sekitar Malioboro sering menetapkan lapaknya di atas guiding block sehingga menutupi akses bagi penyandang tuna netra.

Pembangunan pedestrian Malioboro merupakan contoh tempat wisata yang merupakan public place juga di area kota yang ramah terhadap penyandang disabilitas yang dikabarkan selesai pada tahun 2001. Namun jika melihat kenyataan contoh yang paling nyata sudah tidak ramah dengan penyandang difabel maka bagaimana tempat-tempat wisata yang lain dapat mencontoh, apakah mencontoh dari keburukan? Tentu saja tidak. Perlunya penataan kembali dan pelibatan mereka yang terkait ketika pembangunan kota merupakan hal yang utama yang dapat dilihat ketika pemenuhan fasilitas pariwisata kepada penyandang difabel. Selain keterlibatan ini, akses yang telah dibuat seyogyanya diujicobakan apakah sudah memenuhi syarat dan menjadikan penyandang difabel semakin mudah dan mandiri ketika berada di area ini.

Lebih penting dari itu adalah bahwa akses pariwisata untuk penyandang difabel merupakan tanggung jawab bersama yang diemban baik oleh pemerintah, pengembang pariwisata, wisatawan dan mereka yang terlibat di dalam pemenuhan pariwisata. Bahwa Peraturan Daerah DIY No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas harus diwujudkan dalam bidang pariwisata dengan kerja sama dari semua pihak yang terkait. Kesetaraan bagi kaum penyandang difabel di bidang pariwisata dapat diciptakan bukan hanya dengan rencana-rencana, namun dengan aksi nyata bagaimana kepedulian kita akan hal ini dengan mendahulukan mereka yang berkebutuhan khusus maka setidaknya dapat membuat kemudahan bagi mereka. Namun hak ini tidak cukup terpenuhi tanpa ada aksi nayata dari pemerintah dalam mengubah infrastruktur yang inklusif bagi penyandang difabel. Lalu bagaimana rencana pemerintah dalam mewujudkan kota Yogyakarta yang inklusif dan aksesibel bagi penyandang disabilitas? Esai ini belum memaparkan rencana-rencana pemerintah terkait hal ini

Secara umum Pemerintah Kota Yogyakarta telah menetapkan dan menargetkan “Jogja Aksesibel 2024” Perwujudan Aksebilitas dan Kebijakan Kota yang Inklusif Di Yogyakarta, Suatu Keniscayaan. Trget ini adalah suatu perwujudan untuk pembangunan inklusif, yakni suatu pembangunan yang memastikan semua kelompok masyarakat marjinal dan tereksklusi (excluded) terlibat dalam proses pembangunan. Terdiri dari triga prinsip berupa partisipasi, nondidkriminasi, dan asesibilitas, diharapkan pembangunan inklusif dapat memasukkan dimensi disabilitas serta penyandang disabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan (Bappenas.go.id , 2018). Melalui Perda No. 4 Tahun 2012 dan pembangunan inklusif, “Jogja Aksesibel” ditargetkan fasilitas umum yang telah ada sebelum berlakuknya Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan syarat aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas paling lama tahun 2024.

Ja’farudin (2018) memaparkan survei yang dilakukan oleh OHANA Indonesia, Organisasi Penyandang Disabilitas DIY, dan Departemen Arsitektur ITS di Malioboro dan Balaikota Yogyakarta pada tahun 2018, menjelaskan bahwa hambatan dan tantangan untuk mewujudkan aksesibilitas di DIY sebagai berikut, (1) komunikasi dan koordinasi Pemerintah Kota/ Kabupaten di DIY untuk mengimplementasikan penuh aksesibilitas penggunaan fasilitas umum bagi penyandang disabilitas menuju Jogja Aksesibel 2024 (harus didukung dengan pengetahuan hak dan kewajiban bagi masing-masing sektor yang berkepentingan); (2) sosialisasi kepada petugas pelayan public dan komunitas yang masih kurang terhadap akses bagi penyandang disabilitas ; (3) kurangnya edukasi bagi petugas pelayan public dan teman-teman komunitas secara umum terkait aksesibilitas pelayanan publik bagi penyandang disabilitas di kawasan bublik termasuk Malioboro; (4) kurangnya pelibatan berbagai pihak dalam keberlanjutan program untuk mewujudkan Jogja Aksesibel termasuk di Malioboro dan Balaikota Yogyakarta.

Dari hambatan-hamnatan tersebut dapat dilihat bahwa kerja sama dan koordinasi dari berbagai sektor belum berjalan lancar untuk menjadikan Jogja Aksesibel, terlebih banyak sektor-sektor terkait pariwisata yang belum mengetahui secara pasti akses-akses apa saja yang harus dibangun untuk penyandang disabilitas di tempat wisata. Target Jogja Aksesibel 2024 menjadi angin segar bagi penyandang disabilitas, hal ini seperti harapan bagi mereka untuk dapat menikmati fasilitas pariwisata yang sesuai dengan kebutuhan mereka karena pembangunannya melibatkan mereka. Terlebih ketika melihat fakta bahwa Kawasan Malioboro yang merupakan Kawasan percontohan sebagai Jogja Aksesibel belum sepenuhnya memfasilitasi kaum penyandang disabilitas. Koordinasi dan kerja sama harus diperkuat oleh beberapa sektor untuk dapat mewujudkan pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas.

Bagaimana mempersiapkan pariwisata inklusif bagi penyandang disabilitas? Tentunya dimulai dari fasilitas publik. Penyandang disabilitas dalam berwisata bukan mencari seberapa bagus mereka dapat melihat/merasakan/mendengar tetapi mencari seberapa bagus dan mudah akses yang terdapat pada tempat tersebut sehingga mereka tidak merasa terekslusi lagi. Fasilitas publik yang baik dan ramah bagi penyandang disabilitas adalah fasilitas yang melibatkan proses perancangan dan pembangunannya dengan pihak terkait terutama penyandang disabilitas untuk aksesabilitas di DIY. Ketika suatu siklus pembangunan telah sesuai dengan penyandang disabilitas maka dapat dikatakan bahwa pembangunan itu inklusif. Pelibatan dan partisipasi penyadang disabilitas menjadi hal yang penting dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan yang inklusif.

Akhirnya esai ini akan lebih baik jika melibatkan perspektif dari penyandang disabilitas ketika berbicara mengenai pembangunan pariwisata inklusif di Yogyakarta. Seperti pembangunan Jogja Aksesibilitas 2024 yang harus melibatkan kaum penyandang disabilitas untuk setiap siklus pembangunan, akan lebih baik jika esai ini melibatkan perspektif penyandang disabilitas dalam membangun argument-argumen dan membangun fakta-fakta pendukung. Solusi belum dipaparkan dalam esai ini, meski judul yang digunakan adalah “Pariwisata Inklusif dalam Bingkai Infrastruktur Kota: Menelusuri Ketersediaan Fasilitas dan Aksesibilitas Pariwisata bagi Penyandang Disabilitas di Yogyakarta” sebagai pengamat tentu memiliki penilaian tersendiri bagaimana infrastruktur yang baik bagi penyandang disabilitas, tetapi kembali lagi bahwa pengamatan dari perspektif pelaku (penyandang disabilitas) adalah yang terbaik dalam masalah ini.

Hingga saat ini Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi pelopor dalam penyediaan pembangunan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, namun dalam pembangunan pariwisata nyatanya belum ramah difabel. Esai ini tidak memaparkan secara jelas dan rinci (setelah hasil penelusuran) di mana saja letak pariwisata yang ramah difabel dan memiliki aksesabilitas inklusif serta di mana yang tidak. Akan lebih baik pula jika disajikan perbandingan pembangunan pariwisata inklusi di luar negeri yang mungkin bisa menjadi acuan untuk pembanguan inklusif yang dimaksud seperti apa. Namun secara lebih rinci esai ini sudah memaparkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan sesuai dengan penyandangnya sehingga dapat dikatan memenuhi syarat tanpa indikator.

Esai Replay

Mewujudkan Indonesia yang ramah bagi penyandang disabilitas mencakup berbagai sektor, termasuk pariwisata. Menanggapi dari penanggap satu dan dua mengenai tulisan “Pariwisata Inklusif dalam Bingkai Infrastruktur Kota: Menelusuri Ketersediaan Fasilitas dan Aksesibilitas Pariwisata bagi Penyandang Disabilitas di Yogyakarta”, saya menilai memang fasilitas dan aksesibilitas pariwisata untuk penyandang disabilitas sudah mulai digalakkan keberadaannya, tetapi hal tersebut dinilai masih sangat kurang untuk menunjang kegiatan berwisata bagi penyandang disabilitas. Penanggap satu dan dua sebelumnya sudah memaparkan tanggapannya mengenai ketersediaan fasilitas dan aksesibilitas pariwisata bagi penyandang disabilitas di Yogyakarta. Saya sendiri akan membagi tanggapan dari kedua penanggap dalam tiga bagian, yaitu mengenai aksesibilitas, fasilitas dan peran pemerintah dan masyarakat dalam menanggapi persoalan pariwisata inklusif.

Aksesibilitas penting untuk mewujudkan kesamaan, kesetaraan, kedudukan dan hak kewajiban serta peningkatan peran penyandang disabilitas dan lansia. Maka diperlukan sarana dan upaya yang memadai, terpadu/inklusif dan berkesinambungan yang pada akhirnya dapat mencapai kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas. Penanggap satu dan dua dalam menanggapi tulisan mengenai aksesibilitas pariwisata bagi penyandang disabilitas sudah menjelaskan secara baik namun masih terkesan umum. Keduanya sama-sama memaparkan mengenai guiding block di sepanjang area malioboro, yang menurut saya hanya melihat kondisi di area itu saja. Padahal aksesibilitas bagi penyandang disabilitas seharusnya dimulai saat pertama kali wisatawan akan bepergian menuju lokasi wisata tersebut, dalam hal ini kawasan malioboro.

Saya disini akan memulai dengan menilik aksesibilitas area parkir yang sudah seharusnya ramah terhadap penyandang disabilitas. Tempat parkir kendaraan yang dikendarai oleh penyandang disabilitas seharusnya diperlukan tempat yang lebih luas untuk naik turun kursi roda, daripada tempat parkir yang biasa. Tetapi yang terlihat di Taman Parkir yang ada di kawasan Malioboro seperti Taman Parkir Abu Bakar Ali menurut saya tidak ramah terhadap penyandang disabilitas terutama bagi penyandang tuna netra dan tuna daksa. Untuk area parkir motor menurut saya terlalu curam untuk diakses oleh mereka. Sedangkan daerah untuk menaik-turunkan penumpang (Passenger Loading Zones) sebenarnya melum terlalu memadai, apalagi jalanan sekitaran kawasan Malioboro ini termasuk salah satu titik kemacetan. Para penyandang disabilitas atau bahkan driver kendaraan akan kesulitan menemukan titik pemberhentian yang sekiranya dapat dilalui setelah penumpang dengan disabilitas turun dan menuju area pedestrian Malioboro.

Selain itu, aksesibilitas seperti penyebrangan pun perlu diperhatikan untuk penyandang disabilitas. Pelican crossing dinilai memudahkan penyandang disabilitas, terutama pengguna kursi roda karena tidak perlu naik atau melewati undakan di jembatan penyebrangan. Di kawasan Malioboro sendiri telah tersedia zebra cross di beberapa titik untuk memudahkan wisatawan untuk hilir mudik di kawasan sepanjang jalan Malioboro. Pelican crossing harus dibuat lebih lebar agar pengguna kursi roda lebih nyaman dan aman ketika melintas. Musababnya, jika ada dua buah kursi roda yang ingin menyeberang secara berdampingan, maka jalur yang lebar dapat memberikan akses yang lebih memadai.

Selanjutnya yaitu mengenai fasilitas bagi penyandang disabilitas, seperti yang dijelaskan oleh penulis dan kedua penanggap bahwa pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta konsisten dalam mempertahankan penghargaan di bidang pariwisata, The Best Performance kategori “gold” yang diberikan oleh Menteri Pariwisata RI, Arif Yahya dalam acara Travel Club Tourism Award (TCTA), melalui perhatiannya terhadap fasilitas di bidang pariwisata yang ditujukan untuk masyarakat dan wisatawan yang menyandang disabilitas. Tetapi jika menilik lebih jauh, bentuk fasilitas apa saja yang sudah dihadirkan oleh pemerintah? Apakah sudah sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas?. Penanggap satu menjelaskan mengenai kasus di Mall malioboro sebagai Mall terbesar di kawasan ini, yang dinilai tidak terlihat ada fasilitas jalan untuk disabilitas (khususnya tuna daksa) berbelanja dan memasuki mall ini karena semuanya tangga. Sebenarnya Mall Malioboro sendiri sudah dapat dikata ramah terhadap penyandang disablitas. Hal tersebut terlihat dengan dibuatnya lift di kawasan mall yang mampu memudahkan menyandang disabilitas untuk menikmati dan berbelanja di kawasan Mall Malioboro. Untuk aksesibilitas menuju Mall Malioboro pun dapat dikata sudah mudah bagi penyandang tuna netra dan tuna daksa. Sudah terdapat ramp yang dapat digunakan untuk naik menuju kawasan Mall Malioboro.

Penanggap satu menjelaskan bahwa diperlukan adanya sosialisasi dari pihak pemerintah terhadap masyarakat penyandang disabilitas itu sendiri, karena jika setelah dibangun berbagai fasilitas di berbagai tempat pariwisata tetapi tidak ada sosialisasi terhadap para penyandang disabilitas tersebut, maka rasanya akan percuma saja bila fasilitas-fasilitas tersebut sudah dibangun karena mungkin saja masyarakat atau wisatawan penyandang disabilitas masih enggan pergi ke sebuah tempat wisata ketika mengetahui belum adanya fasilitas untuk menunjang kenyamanan dan keamanan mereka selama berlibur di tempat wisata tersebut. Sejalan dengan pendapat penanggap satu, penyebarluasan informasi mengenai Yogyakarta sebagai kawasan pariwisata yang ramah terhadap penyandang disabilitas sudah seharusnya digalakkan oleh pemerintah.

Penyediaan Fasilitas dan Aksesibilitas menjadi tanggungjawab setiap orang atau badan termasuk instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan.Dalam merencanakan, dan melaksanakan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan, harus dilengkapi dengan penyediaan fasilitas dan aksesibilitas serta wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas. Permasalahan mengenai fasilitas dan aksesibilitas dapat dikata salah satunya dikarenakan para penyandang disabilitas masih dijadikan sebagai objek yang tidak dilibatkan dalam konsultasi perencanaan pembangunan ruang publik di Indonesia. Akibatnya, bentuk sarana dan prasarana ruang publik masih jauh dari konsep ramah kepada para disabilitas. Seperti yang sudah dijelaskan oleh kedua penanggap bahwa banyak trotoar yang disalahgunakan menjadi tempat berdagang sehingga jalur guiding block untuk penyandang tuna netra tidak optimal untuk dipergunakan semestinya. Selain itu, dengan adanya pedagang kaki lima, jalur yang harusnya dapat dilintasi oleh penyandang disabilitas seperti tuna daksa yang memakai kursi roda sulit aksesnya karena hampir separuh trotoar untuk pedestrian digunakan untuk berdagang, belum lagi orang-orang yang hilir mudik arahnya tidak sejalan karena ada yang berjalan berlawanan arah. Hal tersebut membuat aksesibilitas penyandang tuna daksa dengan kursi roda malah menjadi terganggu dan sulit untuk melintas apalagi jika kawasan Malioboro sedang ramai-ramainya.

Tidak hanya trotoar, halte bis di Indonesia termasuk Trans Jogja juga dinilai belum ramah terhadap para penyandang daksa yang menggunakan kursi roda. Kebanyakan pintu masuk halte bis di Indonesia tidak menyediakan jalur atau ramp yang landai agar dapat dilewati kursi roda. Walaupun ada, seringkali jalur tersebut dengan kecuraman hingga 45 derajat, sehingga para penyandang daksa yang menggunakan kursi roda kesulitan untuk menaikinya. Selain itu, lampu lalu lintas juga menjadi kesulitan tersendiri bagi disabilitas yang buta warna. Walaupun sudah diberikan panel khusus penghitung mundur, para disabilitas masih kesulitan untuk membedakan apakah hitungan mundur tersebut berwarna merah atau hijau. Sebab mereka yang buta warna melihat semuanya sebagai abu-abu. Hal tersebut dapat diakali dengan penggunaan kata pada rambu. Misalkan rambu sedang berwarna merah maka disampingnya diberi led berupa tulisan kata merah sehingga membuat para penyandang buta warna bisa mengetahui rambu-rambu di jalan dan tidak kesusahan.

Persoalan fasilitas layanan publik terutama pelayanan transportasi masih sangat jauh dari harapan penyandang disabilitas, sebuah permasalahan yang belum bisa diselesaikan. Walaupun sebagian telah dilengkapi berbagai kelengkapan yang ramah difabel seperti ramp kursi roda peron, jalur kusus tuna netra, petunjuk arah akses menuju halte yang belum mendukung bagi pengguna akomadasi Trans Jogja. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan Pelayanan Publik yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan Publik tersebut termasuk pelayanan jasa transportasi publik. Pelayanan Publik yang mudah diakses itu diselenggarakan oleh institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang- undang untuk kegiatan Pelayanan Publik, dan badan hukum lain yang dibentuk untuk Pelayanan Publik.

Betapa pentingnya akses khusus untuk penyandang disabilitas dalam moda tranportasi publik. Standar yang baik bisa dilihat mulai dari bus, halte khusus, tangga berjalan yang aman dan nyaman dan bahkan ada mobil yang khusus untuk antar jemput bagi para disabilitas. Moda transpotrasi, Trans Jogja sebenarnya secara tidak langsung sudah mengakomodir kebutuhan bagi tunarungu dan tunanetra. Contohnya adanya adanya pemberitahuan suara oleh petugas yang menandakan halte berikutnya yang bisa didengar oleh penyandang tunanetra. Khusus untuk disabiltas fisik yang memakai kursi roda atau tongkat penyanggah memang masih minim dan belum merata pelaksanaannya.

Hal lain yang mesti diperhatikan dalam memenuhi kebutuhan disabilitas dibidang transporasi publik adalah pengadaan penanda isyarat misalnya seperti di beberapa negara luar sebagai penandanya adalah lampu yang berkedip yang merupakan bahasa isyarat bagi tunarungu serta bunyi atau suara bagi tunanetra. Khusus disabilitas fisik lebih kepada aksesbelitas tingkat kelandaiaan yang sesuai. Pengawasan juga harus dilakukan pada para pelaksana kunstruksi bangunan di mana dari disain awal harus bisa mengakomodir para penyandang disabilitas. Dikutip dari Marwandianto (2018), bahwa setiap jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat penerangan Jalan, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat dan fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan. Sedangkan Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi trotoar, lajur sepeda tempat penyeberangan Pejalan Kaki, Halte, dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. Penyediaan fasilitas pendukung tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah untuk jalan nasional, pemerintah provinsi untuk jalan provinsi, pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa, pemerintah kota untuk jalan kota dan badan usaha jalan tol untuk jalan tol.

Selain aksesibilitas berpa fisik, perlu juga memperhatikan aksesibilitas non fisik bagi penyandang disabilitas. Dikutip dari Syafiie (2014), aksesibilitas nonfisik dikaitkan dengan bagaimana informasi, komunikasi dan teknologi dapat digunakan atau dipahami penyandang disabilitas. Hal ini terkait dengan bagaimana merespon kebutuhan penyandang disabilitas, yakni, pertama, yang harus diingat adalah ketika kita ingin menyediakan atau menyebarluaskan informasi, hendaknya kita berpikir apakah informasi yang kita buat dapat dipahami oleh penyandang disabilitas rungu, low vision/netra atau kesulitan belajar (learning disability). Kedua, untuk dapat membuat informasi yang lebih aksesibel, penting untuk memodifikasi bentuk media informasi dalam format tertentu, misalnya mencetak dalam font yang besar agar dapat diakses oleh individu low vision. Ketiga, memberikan layanan “communication support”, yang bertujuan agar penyandang disabilitas lebih memahami informasi yang ada, misalnya membacakan teks tertentu untuk tunanetra, menggunakan catatan atau tulisan ketika berkomunikasi dengan penyandang rungu-wicara, menyediakan alat bantu dengar adaptif di bioskop dan sebagainya.

Dalam sebuah tempat pariwisata, akan ada sarana prasarana/fasilitas penunjang tempat pariwisata tersebut, baik berupa fasilitas umum maupun fasilitas pariwisata. Fasilitas umum menurut Pasal 1 ayat 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional adalah sarana pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam melakukan aktifitas kehidupan keseharian. Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 12 menjelaskan tentang pengertian fasilitas pariwisata yaitu semua jenis sarana yang secara khusus ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatan wisatawan, dalam melakukan kunjungan ke destinasi pariwisata. Fasilitas tersebut digunakan agar akses bagi para wisatawan terjamin, baik wisatawan penyandang disabilitas maupun wisatawan pada umumnya. Akan tetapi pada praktiknya sering terjadi pembangunan fasilitas yang belum ramah disabilitas/tidak aksesibelyang mengakibatkan hak atas pariwisata para penyandang disabilitas tidak bisa terpenuhi secara utuh.

Bentuk pelayanan publik lain perlu dilengkapi dengan perangkat dalam format yang dapat diakses oleh disabilitas seperti misalnya dalam format huruf braille, pengeras suara, huruf dicetak besar, penggunaan sinyal dan bahasa tubuh (sign language) ataupun dalam bentuk lainnya yang ramah terhadap penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, ataupun penyandang disabilitas lainnya. Mewujudkan kota yang ramah terhadap disabilitas juga harus mempertimbangkan berbagai aspek, misalnya keterjangkauan sarana bagi disabilitas, meningkatkan kualitas layanan, lingkungan sosial yang positif serta mewujudkan partisipasi aktif para disabilitas. Para perencana pembangunan haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap disabilitas (disability policy). Dengan mempedulikan kebutuhan ruang publik bagi disabilitas, otomatis kota itu dapat dikatakan sebagai kota yang ramah bagi semua orang. Sebab disabilitas juga punya hak yang sama dengan orang normal untuk menikmati ruang publik kota yang lebih baik.

Daftar Pustaka

_______. 2009. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sekretariat Kabinet. Jakarta.

_______. 2016. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Sekretariat Negara. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Kepariwisataan Daerah Istimewa Yogyakarta 2015. BPS. Yogyakarta.

Bappenas.go.id. 2018. Finalisasi RPP Penyandang Disabilitas Indonesia, Kementerian PPN/Bappenas Libatkan Penyandang Disabilitas. https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/finalisasi-rpp-penyandang-disabilitas-indonesia-kementerian-ppnbappenas-libatkan-penyandang-disabilitas/ Diunduh tanggal 27 Juni 2019.

Firdausa, Q. P., Handoyo, F., Hani, A. F., Rahayuningsih, H., Sholihah, A. N. 2017. Paket Wisata Bagi Difabel di Yogyakarta. Jurnal Pariwisata Terapan. 1(2): 116-128.

Husein, R. & Zakiyah, U. 2016. Pariwisata Ramah Penyandang Disabilitas: Studi Ketersediaan Fasilitas dan Aksesibilitas Pariwisata untuk Disabilitas di Kota Yogyakarta. Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Kebijakan Publik. 3(3): 482-505.

Ja’faarudin. 2018. OHANA Usulkan Kebijakan untuk Difabel kepada DPRD DIY dan Pemkot Yogyakarta. http://jogjakartanews.com/baca/2018/12/13/4926/ohana-usulkan-kebijakan-untuk-difabel-kepada-dprd-diy-dan-pemkot-yogyakarta Diunduh tanggal 27 Juni 2019.

Kusumaningrum, H. 2012. Aksesibilitas untuk Pengunjung Difabel di Obyek Wisaya Museum Benteng Vredeberg. Tesis. Magister Kajian Pariwisata, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Marwandianto. 2018. PELAYANAN TRANSPORTASI PUBLIK YANG MUDAH DIAKSES OLEH PENYANDANG DISABILITAS DALAM PERSPEKTIF HAM (Public Transportation Services Easily Accessed by People with Disability in Human Rights Perspective ). Jurnal HAM Vol. 9, No. 2: 175-190.

Net. Brio Yogyakarta. 2019. DUHH, Pedestrian Malioboro ‘Tak Ramah’ Difabel - NET YOGYA. https://www.youtube.com/watch?v=zQCOE6iPqic Diunduh tanggal 27 Juni 2019.

Pagan, R. 2012. Time Allocation in Tourism for People with Disabilities. Annals of Tourism Research. 39(3): 1514-1537.

Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta.

Syafiie. 2014. PEMENUHAN AKSESIBILITAS BAGI PENYANDANG DISABILITAS. INKLUSI, Vol.1, No. 2: 269-308.

Wardhani, C.M. (2019). Puluhan Guiding Block Malioboro Rusak di https://jogja.tribunnews.com/2019/02/12/puluhan-guiding-block-malioboro-rusak (akses 27-6-2019)

96 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page