Okky Chandra B, Hanna Rahmayani W, Lowa Satada, Reza Altamaha.
Slogan-slogan di layar kaca sudah gencar ditayangkan sejak beberapa minggu silam untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Tembok dan tiang di jalanan tak lepas dari tempelan berupa pamflet-pamflet berisi seruan kebaikan. Selama bulan Ramadhan umat Muslim menahan diri untuk makan, minum, dan melakukan aktivitas seksual dari terbit fajar yang ditandai dengan masuknya waktu subuh hingga petang yang ditandai dengan masuknya waktu magrib. Selain itu, bulan puasa bagi umat Muslim menjadi sebuah momen untuk menguatkan kembali keimanan dan ketaqwaan masing-masing individu. Bagi kebanyakan orang, bulan ini mungkin terasa begitu berat karena tidak saja makan dan minum yang pantang dilakukan, tetapi hawa nafsu juga perlu ditahan – sebab itu hari-hari terasa berjalan lambat meskipun aktivitas cenderung berkurang.
Langit mulai sedikit menampakkan rona keemasan menjelang senja tiba. Datangnya waktu untuk berbuka puasa begitu dinanti-nanti oleh umat Muslim. Guna menunggu waktu tersebut, dilakukan berbagai macam aktivitas yang menyita waktu agar rasa lapar tak begitu terasa – “Ngabuburit”, begitulah istilah tersebut dikenal yang diartikan sebagai “menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan” (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Serba-serbi aktivitas dilakukan untuk membunuh waktu, dalam hal ini kami melihat aktivitas menarik yang terjadi di pasar Ramadan.
Keberadaan pasar Ramadan menjamur di berbagai tempat di Indonesia dan seakan telah membudaya bagi masyarakat luas, pun begitu pula di Yogyakarta. Umumnya pasar Ramadan menjajakan bermacam-ragam kudapan atau boleh dibilang sebagai takjil maupun makanan berat yang mengenyangkan. Pasar ini biasanya dikenal juga dengan dengan pasar sore Ramadhan. Yogyakarta sendiri menjadi tempat didirikannya pasar Ramadan yang cukup terkenal, diantaranya adalah Pasar Sore Ramadan Kauman, Kampung Ramadan Jogokariyan, Jalur Gaza Nitikan, Pasar Ramadan Pakualaman atau Gadjah Mada Festival, dan Pasar Ramadan Lembah UGM (bonvoyagejogja.com).
Kemunculan pasar Ramadan mampu menggaet banyak orang untuk mendatanginya, tak cuma umat muslim, bagi umat beragama lainnya pun turut mengunjungi pasar Ramadan. Untuk melihat secara lebih dekat dan mendalam keberadaan pasar Ramadan yang eksis selama bulan puasa, kami memilih untuk mengunjungi dan menjelajahi pasar Ramadan Lembah UGM. Pilihan kami jatuh ke pasar tersebut, selain letaknya yang dekat dan mudah dijangkau karena dekat dengan kampus, pasar tersebut memperlihatkan interaksi sosial yang menarik untuk ditelaah lebih jauh.
Pasar Ramadhan Lembah UGM
Pasar Ramadan Lembah UGM sebenarnya tidak hanya melingkupi Jl. Lembah UGM saja, akan tetapi apabila melihat dari ujung ke ujung, letak pasar Ramadan tersebut mengular dari jalan Prof. DR. Drs Notonagoro, Jalan Lembah UGM, sampai dengan Jalan Karangmalang. Jalan tersebut sebetulnya begitu lekat dengan imaji pasar Sunday Morning yang digelar rutin setiap minggu pagi, hanya saja ketika bulan puasa disulap menjadi pasar Ramadan yang aktivitasnya terlaksana di sore hari. Di kawasan sepanjang kurang lebih 300 meter, di sisi kiri jalan menuju Jalan Agro berderet berbagai macam stand makanan dan minuman yang menarik mata dan aroma yang memikat penciuman pengunjung untuk disantap saat berbuka puasa.
Berbagai makanan ringan, berat, hingga minuman banyak dijajakan disepanjang jalan dan berhasil menarik minat pengunjung untuk sekedar berhenti dan turun dari kendaraan untuk ikut berdesakan untuk menemukan takjil incaran. Beberapa jenis panganan seperti telur gulung, sempol goreng, gorengan (khususnya mendoan), rice box (dengan berbagai jenis lauk), thai tea, teh, dan air mineral cukup mudah untuk ditemukan di sepanjang jalan. Panganan tersebut cukup banyak diserbu oleh kaum muda, baik bagi yang sedang berpuasa maupun tidak. Saking ramainya masyarakat memenuhi pasar ramadhan, jalan berdesakan dan saling senggol diantara sesama pengunjung terasa sudah biasa serta tidak dapat terhindarkan. Desak-desakan terjadi karena minimnya ruang bagi pejalan kaki yang mana sebagian besar jalur pejalan kaki bertransformasi menjadi lapak bagi para pedagang.
Menangkap Peristiwa
Pada kunjungan yang dilakukan beberapa saat lalu di Pasar Ramadhan Lembah UGM kami melihat jika memang antusiasme masyarakat terhadap adanya pasar ini cukup tinggi. Aktivitas pasar Ramadan sebetulnya sudah mulai terlihat semenjak pukul 14.00 – menjelang waktu tersebut, beberapa orang pedagang mulai menggelar lapaknya. Belum banyak memang yang datang di jam tersebut, tetapi apabila dilihat lebih dekat maka pedagang yang datang duluan merupakan pedagang yang menjajakan dagangannya dengan beratapkan tenda yang awalnya terlipat kemudian diberdirikan. Selanjutnya aktivitas para pedagang semakin terlihat. Pukul 15.00 para pedagang yang berdagang melalui gerobak dan meja sederhana mulai terlihat berdatangan. Bagi yang menggunakan gerobak harus mendorong gerobak mereka masing-masing menuju lokasi berjualan yang disepakati. Bedanya, bagi yang menggunakan meja pada saat pengangkutan dibantu dengan kendaraan roda empat agar lebih mudah dibawa menuju lokasi.
Mendekati pukul 16.00, pedagang sudah mulai riuh dan banyak yang telah menempati tempat jualannya masing-masing. Di jam tersebut, gerak-gerik petugas parkir juga sudah terlihat. Kami perhatikan para ada dua macam petugas parkir, pertama petugas parkir yang mengenakan rompi oranye dan yang kedua petugas parkir yang tidak mengenakan rompi, hanya menggunakan kaos atau baju pada umumnya. Petugas parkir yang mengenakan rompi oranye bertugas mengatur parkir di bagian kiri jalan, sedangkan petugas parkir lain memarkirkan kendaraan di sisi kanan jalan, bahkan di sampai pada halaman sebuah bangunan.
Menjelang jam 17.00, keramaian pengunjung yang berinteraksi dengan pedagang sudah terasa. Sewaktu kami berjalan dari depan Fakultas Bahas dan Seni (FBS) UNY, kami dapati sisi jalan yang digunakan pedagang untuk berjualan sudah terlihat sesak. Ada hal yang berusaha kami perhatikan dari para pengunjung, yakni ada pengunjung yang datang rombongan, berpasangan dan hanya sedikit pengunjung yang datang sendirian. Kami lihat juga kalau para pengunjung memang didominasi oleh anak-anak muda yang nampaknya merupakan mahasiswa-mahasiswi. Pendapat tersebut bergulir lantaran kami mendapati ada sebagian pemuda-pemudi yang mengenakan pakaian bertuliskan atau berlogo universitas/himpunan mereka masing-masing. Tak lupa juga kalau sebagian dari mereka masih menenteng tas punggung atau tas jinjing yang menyiratkan perbedaan dengan pengunjung lainnya. Selain para pemuda, kami lihat ada keluarga yang menyempatkan waktunya untuk menghabiskan waktu dan berbuka puasa disini. Rombongan keluarga biasanya memilih untuk berbuka puasa di pedagang yang menyediakan space yang lebih besar yang barangkali mereka dapat duduk disana dan saling bercakap-cakap satu sama lain.
Kehadiran kaum muda di pasar Ramadan memberikan nuansa tersendiri. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kawasan perkotaan selalu diiringi dengan perubahan konsumsi maupun gaya hidup dari masyarakat urban yang tinggal didalamnya. Kawasan perkotaan yang mengalami transformasi ini menyebabkan berpusatnya kegiatan yang memiliki nilai ekonomis, tak terkecuali pasar Ramadan Lembah UGM. Untuk mewadahi perubahan gaya hidup masyarakat ini, dalam kawasan perkotaan yang berkembang diperlukan sarana-sarana yang menunjang kebutuhan masyarakat itu. Jenis fasilitas yang marak dibangun di kawasan perkotaan tersebut seperti cafe (kafetaria), resto (restorant/rumah makan), factoryoutlet, fashion centre, kantor bank, shopping centre, bursa saham dan lain-lain. Bulan Ramadan memberikan sentuhan yang berbeda lantaran mampu memindahkan titik-titik berkumpulnya kaum muda di tempat yang sebelumnya tidak begitu dilirik karena biasanya mereka lebih memilih berkumpul di mall ataupun café.
Menurut tokoh filsafat post-modernis, Jean Baudrillard dalam (Pawitro, 2011), memasuki era post-modernis generasi muda (kaum anak muda) yang dikenal sebagai milenial memiliki kecendrungan pola hidup yang lebih konsumtif. Kongkow atau nongkrong ditempat tertentu telah menjadi kegiatan rutin bagi anak muda, sehingga kongkow bukan lagi sebagai kebutuhan tetapi telah melebur pada budaya keseharian masyarakat urban, khususnya anak muda.
Pada awalnya, kegiatan kongkow ini dilakukan di warung kopi telah menjadi budaya di masyarakat contohnya di Aceh, Makassar, Medan, dan kota-kota di Pulau Jawa (Ulung, 2011:05 dalam Pramita, 2016:03). Gaya hidup yang biasa mengunjungi cafe-cafe atau resto-resto pada dasarnya telah menjadi tren sejak krisis moneter tahun 1998-2003 lalu, mereka menginginkan menu atau jenis masakan yang berbeda dari masakan rumahan dan suasana yang ditawarkan oleh cafe atau resto tersebut (Pawitro, 2011). Kongkow atau nongkrong juga merupakan kegiatan untuk mengisi waktu luang, menghilangkan rasa capek, dan melepas kepenatan, selain itu kongkow dikenal sebagai ruang egaliter karena variasi orang yang datang berasal dari berbagai latar budaya yang berbeda (Syaifullah, 2016). Pendapat tersebut menguatkan asumsi kami bahwa pasar Ramadan tak sekedar menjadi tempat bagi orang-orang, khususnya para pemuda untuk mencari hidangan berbuka, tetapi disitu mereka menemukan ruang yang mengakomodasi gaya hidup mereka.
Memasuki waktu berbuka puasa, yakni sekitar jam 17.30. Kami mendapati kondisi lalu lintas cukup semrawut. Kondisi ini terjadi lantaran parkiran kendaraan banyak yang sudah terisi sedangkan waktu berbuka segera tiba tapi tempat parkir belum didapatkan. Keadaan jalan yang hanya dibuka setengah juga menyulitkan kendaraan yang akan lewat. Orang-orang yang mulai duduk dan menepi juga menyampaikan nuansa ramainya pasar Ramadhan. Waktu berbuka terasa begitu cepat, sebab satu jam setelahnya para pedagang sudah mulai mengepak dagangannya dan lewat dari jam 19.00 kepadatan di kawasan tersebut sudah berkurang.
Penyemarak Pasar
Hal menarik lainnya yang kami jumpai di Pasar Ramadhan Lembah UGM ini adalah selain penjaja makanan yang bertebaran mencari keuntungan juga ada segelintir orang yang memanfaatkan keramaian ditempat ini untuk mendapatkan uang seperti para pengamen atau pengemis. Ketika kami sedang menikmati makanan berbuka puasa di sisi jalan, dalam beberapa waktu hadir pengamen yang silih berganti menyambangi kami. Beberapa dari mereka membawa gitar atau speaker untuk memutarkan lagu.
Tidak hanya pengamen, kami amati hadir pula pengemis di sekitar pasar ini, ada yang masih kanak-kanak dan ada juga yang sudah tua. Beberapa yang kami temui adalah anak-anak kecil yang berkeliling menghampiri para pengunjung sambil membawa amplop-amplop kecil yang diserahkan ke pengunjung dengan harapan mereka akan iba dan memberikan uang. Para pengunjung yang iba pun dengan sukarela mengisi uang di amplop-amplop itu. Tapi bagi sebagian orang dan menolak untuk memberi santunan.
Selain itu ada juga para pengamen waria yang berkeliling menghampiri para pengunjung. Kebanyakan yang kami jumpai mereka sama sekali tidak bernyanyi tetapi hanya memutar lagu melalui speaker. Hampir sebagian pengunjung yang dihampiri pengamen waria ini justru langsung memberikan uang, berbeda sekali ketika yang menghampiri mereka adalah para pengamen lain atau seperti para pengemis. Beberapa teman kami yang ikut bersama kami pun juga melakukan hal demikian, dan setelah kami tanya mereka menjelaskan jika mereka segera memberi uang agar pengamen waria segera pergi.
Ada lagi penyemarak yang kami temui di pasar ini, yakni pantomimer. Lewat sandiwara tanpa kata dan sedikit trik sulap yang ia tampilkan di dekat stand pedagang takjil, mata orang-orang untuk beberapa saat tertuju padanya dan tak sedikit yang nampak kagum. Setelah melakukan pantomime, orang tersebut lalu melepas topinya dan menyodorkan topi tersebut layaknya bungkusan yang biasa pengamen sodorkan untuk mengais pundi-pundi rupiah. Dibalik para penyemarak tadi, ada satu lagi yang menyita perhatian kami, yaitu para pemulung. Kami sempat melihat beberapa pemulung yang cukup sigap mengais sampah plastik dengan dibantu perkakas sederhana.
Refleksi
Keberadaan pasar Ramadan Lembah tidak hanya menjadi ruang bagi orang-orang untuk ngabuburit atau menghabiskan waktu mereka menunggu bedug magrib, tetapi tercipta berbagai aktivitas yang beragam di dalamnya. “…, in countries where Muslims are the majority, consumption increases during this month of restraint” (Halimmatussadiah, 2015). Pernyataan tersebut seakan terwadahi dengan keberadaan pasar yang memberikan dampak pada peningkatan konsumsi dan perekonomian.
Disini sebetulnya kami lebih tertarik menelaah interaksi yang tercipta di pasar Ramadan. Apabila melihat hubungan antara pedagang dan pengunjung tidak begitu tampak perbedaan yang ada, malahan kesan membaur terlihat disini. Meskipun begitu, masih ada pihak-pihak yang kami lihat tidak dalam kondisi yang setara dengan pengunjung maupun pedagang. Mereka adalah penyemarak yang kami sempat tuliskan di uraian sebelumnya. Keberadaan mereka kami pikir menambahkan keberagaman yang tercipta di pasar Ramadan, namun sewaktu kami berada disana dan mengamati perilaku pengunjung – tidak semua pengunjung atau pun pedagang akan memalingkan pandangan pada mereka, entah sekedar untuk berinteraksi ataupun memberikan respon dari aktivitas para penyemarak. Lantas apakah pasar Ramadan telah mampu menjembatani kepentingan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya atau malah masih timpang?
Referensi
1. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. V ed. s.l.:Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
2. Bon Voyage Jogja City Guide, 2019. 5 Pasar Kaget Ramadhan Paling Meriah dan Dinanti di Jogja. [Online]
3. Available at: https://bonvoyagejogja.com/5-pasar-kaget-ramadhan-paling-meriah-dan-dinanti-di-jogja/ [Accessed 18 May 2019].
4. Halimmatussadiah, A., 2015. Why Ramadan is a special economic season in Indonesia. [Online] Available at: https://theconversation.com/why-ramadan-is-a-special-economic-season-in-indonesia-43399 [Accessed 18 May 2019].
5. Pawitro, U., 2011. Trend Kawasan Perkotaan-Industri Properti dan Gaya Hidup Metropolitan. Yogyakarta, Seminar Nasional SCAN#2.
6. Pramita, D. A., 2016. Hanging Out at Coffee Shop as Student’s Lifestyle in Mato Kopi Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Sosiologi, 5(6), pp. 1-12.
7. Syaifullah, A., 2016. Perubahan Makna Nongkrong: Studi Kasus Interaksi Sosial Mahasiswa di Kafe Blandongan, Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Comentários