top of page
Writer's pictureAsyifa Nadia Jasmine

Pasar Ramadhan Tiba

Updated: May 26, 2019

Pipin Mukharomah, N M Swastika Ardhi, Asyifa Nadia J, Lia Sukma C.

Suasana Pasar Ramadhan Menjelang waktu Berbuka Puasa

Pasar Ramadhan UGM adalah salah satu aktivitas publik perkotaan yang menjadi pusat masyarakat untuk mengadakan pertukaran sosial dan ekonomi. Interaksi antara penjual dan pembeli membangun pola-pola sosial dan ekonomi tersebut bersifat sementara maupun continue. Namun, dibalik adanya pertukaran ekonomi, aktivitas penjualan, ada suatu masalah lingkungan yang mengganggu aktivitas dan kenyamanan di Pasar ramadhan yaitu sampah. Di sepanjang Pasar Ramadhan sampah seakan menjadi pemandangan biasa, meskipun pihak penyelenggara maupun pedagang sudah menyediakan tempat sampah, namun kesadaran akan kebersihan lingkungan pada masing-masing individunya (pembeli/pengunjung) dalam aktivitas publik masih sangat kurang. Pola konsumsi masyarakat yang cenderung “tidak biasa” dan ditambah pula dengan kesadaran akan kebersihan yang masih kurang, tentu akan berimbas pada peningkatan jumlah sampah.


Pasar Dadakan? Pasar Tumpah? Pasar Ramadhan?

Histeria saat ramadhan tentu tidak bisa dilepaskan dari beragam kuliner takjilnya. Antusiasme masyarakat terhadap kuliner takjil tidak pernah berhenti, begitu pula dengan laju pasar ramadhan yang menjadi tempat dimana pola konsumsi itu berada terus berjalan dan berkembang. Pasar dadakan tersebut begitu istimewa sebab hanya buka saat bulan puasa saja, dan lagi banyak aneka makanan yang jarang ditemui seperti biji salak, kolak, serta makanan tradisional lainnya.


Dilansir dari laman Kompas.com, dari banyaknya pasar ramadhan di Yogyakarta ini, ada satu pasar yang disebut-sebut sudah ada sejak puluhan tahun lalu yakni Pasar Ramadhan Kauman. Bahkan dalam lama tersebut juga dikatakan masyarakat sekitar Kauman mulai merintis pasar sejak tahun 1980. Rintisan dari pasar tersebut berkembang dan mempengaruhi daerah lain dan berlangsung hingga sekarang. Beberapa pasar tersebut yakni Pasar Sore Kauman, Pasar Ramadhan Jogokaryan, Pasar Jalur Gaza Nitikan, Pasar Sore Lembah UGM, dan Pasar Ramadhan Pakualaman. Akan tetapi. dari banyaknya pasar dadakan tersebut dan berangkat dari rasa penasaran kami mengenai pola-pola aktivitas yang terjadi di sana, kami memilih Pasar Ramadhan UGM menjadi fokus tulisan ini sebab tidak lain karena akses yang mudah dijangkau.


Lapak-lapak pedagang serta lahan jalanan parkir sudah mulai padat terisi sejak pukul empat sore. Terisi para pembeli yang sibuk mengantri membeli dagangan, memarkirkan kendaraan, dan nongkrong sembari menunggu bedug maghrib. Jalanan BulakSumur yang biasa longgar menjadi sempit dan ketika mendekati waktu berbuka puasa, para tukang parkir menjadi dua kali lipat lebih sibuk dari waktu biasanya. Sebaliknya, lapak pedagang justru mulai berangsur sepi ketika menjelang waktu berbuka puasa sebab para pembeli sudah duduk tenang di sepanjang jalan pedestrian sembari mengobrol atau bertukar tawa.


Sembari berjalan-jalan, kami mengamati pula bagaimana tata kelola pasar dadakan ini serta pola aktivitas manusia yang terjadi di sana terkhususnya pola konsumsi. Terbukanya lahan publik di tengah area privasi UGM sebenarnya juga menjadi pertanyaan kami, mengapa kawasan ini yang harus dipilih menjadi titik perdagangan? Serta mengapa pula nama dari pasar tersebut “Pasar Ramadhan UGM’ padahal lokasinya berdampingan dengan kampus UNY?


Melalui observasi kami, kawasan ini benar merupakan area stategis untuk berdagang, sebab dekat dengan area kampus, kos-kosan dan perkampungan. Pengelolaan pasar ramadhan ini pula juga atas kontribusi masyarakat sekitar yakni Kampung Kuningan, dan justru bukan dari kelompok-kelompok pedagangnya. Salah seorang warga yang kami temui mengatakan bahwa mulai dari perijinan kawasan, pembagian lahan lapak, pengelolaan sampah dan kebersihan, masyarakat Kampung Kuningan yang melakukannya. Selain itu, menurut Ilham (Pekerja Magang, 22) sistem pengelolaan kebersihan oleh masyarakat sudah baik, hanya saja penyediaan tempat sampah masih kurang. Berkaitan dengan pengolahan sampah dan kebersihan serta bagaimana pola konsumsi pedagang-pembeli, akan diuraikan pada bagian selanjutnya.


Konsumsi Makanan Ketika Bulan Puasa, Lebih Sedikit Kah?

Ketika bulan puasa, secara kasat mata tentu kita berpikir bahwa konsumsi makanan masyarakat terutama masyarakat muslim mengalami penurunan yang drastis. Hal tersebut karena masyarakat (muslim) yang biasanya mengonsumsi makanan dua sampai tiga kali sehari secara rutin pagi siang malam, menjadi hanya dua kali saja saat sahur dan saat berbuka. Namun kenyataannya justru tidak demikian. Terkadang kita tidak menyadari, ketika kita sedang menahan lapar makan siang misalnya, lalu tiba saatnya kita makan siang, kita akan cenderung mengonsumsi makanan secara berlebihan karena merasa sudah menahan lapar lama sekali. Belum lagi, fenomena “lapar mata” yang seringkali tidak bisa kita hindari.


Saat sedang berpuasa, selain tidur, banyak kegiatan lain yang masyarakat muslim lakukan dalam rangka menghabiskan waktu menunggu waktu berbuka puasa atau yang biasa kita sebut “ngabuburit”. Berkembangnya zaman dan teknologi, menyebabkan kegiatan ngabuburit ini semakin bervariasi. Yang mulanya berkeliling kampung, pengajian, dan kegiatan tradisional lainnya, kini ngabuburit bisa dilakukan hanya dengan duduk sembari menggunakan gawai untuk mengakses media sosial instagram, youtube, dan sebagainya. Sosial media ini bisa saja memicu adanya perasaan lapar hingga “lapar mata” karena konten-konten makanan yang sengaja maupun tidak sengaja kita lihat. Dilansir dari health.detik.com, psikolog dari LightHouse, Tara de Thouars, BA, M.PSI, mengatakan bahwa orang yang lapar mata akan cenderung makan dengan cepat dan dalam porsi yang banyak sehingga tidak akan menikmati santapan yang dikonsumsi. Fenomena “lapar mata” ini kemungkinan besar lebih bisa kita rasakan ketika hari-hari dalam bulan puasa dibanding hari-hari biasa.


Jika kita perhatikan, masyarakat muslim ketika bulan puasa cenderung mengonsumsi makanan yang lebih “tidak biasa” dibanding ketika bulan biasa. Hal ini terbukti dengan maraknya kegiatan “buka puasa bersama” ketika bulan puasa. Makanan yang dikonsumsi ketika buka puasa bersama tentu berbeda dengan makanan yang dikonsumi ketika makan malam biasa. Munculnya takjil yang beragam, hingga makanan-makanan hidangan utama yang terkesan lebih “mewah” dari biasanya. Dilansir dari news.detik.com, Febriyanto dkk (2019) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga meningkat antara 10-30% hingga 100-150% selama bulan puasa. Peningkatan tersebut termasuk pada anggaran ketika sahur dan berbuka puasa. Namun, peningkatan tersebut kami rasa lebih terasa ketika berbuka dibanding saat sahur karena sahur dalam hal ini memiliki beberapa faktor yang bisa mengurangi anggaran tersebut seperti tidak sempat sahur, terburu-buru saat sahur, dan lainnya.


Konsumsi masyarakat (baik muslim maupun tidak) dalam pasar ramadhan terbilang sangat tinggi. Hal ini tentu dapat dilihat dari ramainya lokasi pasar ramadhan tersebut. Tidak hanya masyarakat muslim saja yang datang ke sana, beberapa masyarakat beragama berbeda juga terkadang datang ke tempat tersebut untuk membeli makanan. Di sisi lain, stand makanan yang ada di sana justru tidak sevariatif yang kita pikirkan. Justru banyak stand-stand makanan yang menjual produk yang sama namun berada di lokasi yang berbeda dan cukup berjauhan. Meski begitu, stand­-stand makanan tersebut tetap saja ramai pengunjung dan tidak ada stand yang sama yang tidak didatangi pengunjung. Meski begitu, waktu juga sangat mempengaruhi keramaian pengunjung yang datang untuk membeli takjil di pasar ramadhan ini. Contohnya, ketika waktu masih pukul tiga sampai empat sore, pasar ramadhan masih terbilang sepi. Namun ketika datang pukul setengah lima sampai lima sore, pasar ini sangat ramai pengunjung. Lalu pengunjung pada weekdays dengan weekend menurut penjaga parkir disana mengalami peningkatan sekitar kurang lebih 20% ketika weekend.


Tidak hanya itu, titik keramaian sepanjang jalan pasar ramadhan berdasarkan observasi kami juga menunjukkan bahwa pengunjung yang datang ke pasar tersebut cenderung ingin segera mencari takjil atau jika bisa dibilang “terburu-buru”. Hal ini karena titik paling ramai di pasar tersebut ada pada lokasi yang berdekatan dengan perempatan, baik itu perempatan di dekat pom bensin ataupun perempatan dekat UNY. Pengunjung yang datang dari dua arah tersebut cenderung langsung memarkirkan motornya saat itu juga, dibanding mencari tempat parkir yang sepi sehingga dua titik tersebut penuh akan motor hingga dua baris dan memakan ruang jalan raya.


Dengan adanya alasan-alasan tadi, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya konsumsi masyarakat ketika bulan puasa tidak mengalami penurunan yang signifikan melainkan mengalami peningkatan yang memungkinkan munculnya produk-produk baru dari para produsen untuk memenuhi kebutuhan “takjil” masyarakat yang semakin variatif. Tetapi peningkatan konsumsi ini tidak hanya disebabkan karena adanya pasar ramadhan saja, melainkan juga pola kegiatan masyarakat khususnya di media sosial yang mengarah pada konsumsi makanan saat bulan puasa.


Perilaku Pedagang dan Pembeli terkait Produksi Sampah di Pasar Ramadhan

Setiap aktivitas publik seperti pasar Ramadhan UGM, selalu memungkinkan terjadinya relasi-relasi sosial yang tercipta serta perilaku sosial yang timbul sebagai bentuk reaksi dari aktivitas publik. Di Pasar Ramadhan UGM, ada tiga aktor yang menjadi subjek penelitian kami yaitu pedagang, pembeli dan masyarakat sekitar yang ikut terlibat dalam proses pertukaran sosial dan ekonomi. Kami mengatakan bahwa ini pertukaran sosial karena terdapat perilaku-perilaku imajiner yang berkaitan dengan ruang publik. Dalam hal ini kami menggaris bawahi produksi sampah sebagai akibat dari kegiatan pertukaran sosial dan ekonomi. Sampah yang diproduksi dalam rentang waktu 3 jam memiliki perbedaan yang cukup signifikan yaitu antara waktu sebelum buka puasa dan setelah buka puasa.


Kira-kira pukul 16.00 sore sampai 19.00 malam kami berkeliling sembari mengamati relasi antar penjual dan pembeli. Perilaku mereka dalam menjaga kebersihan lingkungan. Karena pada hakikatnya perilaku sosial manusia memiliki hubungan erat dengan lingkungan sekitar. Disini pola produksi sampah menjadi hal menarik ketika menghubungkannya dengan perilaku, relasi dan produksi sampah. Pasar Ramadhan menjadi ruang bagi perilaku pembeli dalam memproduksi sampah serta menentukan bagaimana perilaku pembeli maupun penjual dalam kepedulian dengan lingkungan. Tandal & Egam (2011) mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah terlepas dari lingkungan yang membentuk diri mereka.


Sumarwan (2014) mengatakan bahwa ruang lingkup perilaku konsumen mencakup tentang pembuangan dari produk setelah tidak dipergunakan lagi. Isu tentang limbah padat seperti besi, logam, dan plastik merupakan masalah lingkungan yang utama. Produksi sampah oleh penjual dan pembeli di Pasar Ramadhan tidak lepas dari pola konsumsi termasuk perilaku konsumsi oleh pembeli. Dari kerja lapangan kemarin, kami mengamati beberapa penjual menyediakan kantong plastik atau kardus untuk sampah sisa bahan membuat makanan, sedangkan para pedagang tidak menyediakan tempat sampah untuk para pembelinya. Inilah yang menjadi problematika, para pembeli dituntut kesadaran dan perilaku sosialnya terhadap ruang lingkungan. Bagaimana para pembeli bisa berperilaku semestinya terhadap produksi sampah yang mereka hasilkan sisa konsumsi makanan.


Beruntungnya, pihak pengelola Pasar Ramadhan menyediakan beberapa kantong plastik di beberapa titik sehingga perilaku sosial negatif seperti membuang sisa sampah bisa sedikit teratasi. Namun tetap saja dapat dinyatakan bahwa peran perilaku jauh lebih penting dalam memelihara kebersihan lingkungan dibanding persoalan kelengkapan sarana. Tanpa tindakan nyata, sarana selengkap apa pun tidak akan mampu berfungsi untuk mewujudkan kebersihan lingkungan (Wibowo, 2009). Menjelang waktu berbuka kami melihat beberapa pembeli membuang kantong plastik sembarangan di jalan maupun di depan stan para pedagang. Produksi sampah di Pasar Ramadhan juga mengganggu akses publik dan kenyaman ruang publik.


Para pedagang cenderung lebih memiliki kepedulian terhadap produksi sampah yang dihasilkan daripada para pembeli. Meskipun tidak jarang para pedagang juga melakukan perbuatan yang sama. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Wibowo (2009) bahwa tindakan terhadap sampah bervariasi antar individu dan tergantung pada tempat dan situasi. Secara psikologis, orang-orang, benda-benda, serta kejadian-kejadian bermakna yang terdapat di sekitar individu membangun suasana atau situasi lingkungan di suatu tempat. Kemudian relasi antar pedagang dan pembeli yang bersifat sementara menurut kami merupakan salah satu alasan bahwa tidak ada tuntutan diantara mereka untuk mengurus masalah sampah, karena sampah adalah teritorial masing-masing serta memang pedagang sendiri tidak memiliki hak untuk menuntut pembeli untuk membuang sampahnya sembarangan, atau lebih tepatnya pedagang tidak mempermasalahkan “sampah” itu sendiri.


Pengelolaan Sampah Pasar Tumpah Ramadhan di UGM

Masyarakat yang berkunjung di pasar ramadhan ini tentu paling tidak membeli satu atau dua makanan. Hal ini juga berkaitan dengan bungkus makanan yang digunakan para pedagang untuk menjaga baik kebersihan makanan itu sendiri atau pun untuk salah satu marketing yang dipakai untuk menarik para pelanggannya. (Baliekbis.com, 2018) mencatat bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 50 negara tempat pembuangan sampah terbesar di dunia. Sementara itu, Japan External Trade Organization (JETRO) memproyeksikan bahwa kondisi ini akan semakin memburuk di masa mendatang dengan jumlah produksi sampah sekitar 9200 ton per hari pada tahun 2025.


Ketika kami berada di lapangan—Pasar Tumpah Ramadhan di sekitar kawasan kampus UGM—ada lebih dari 20 PKL yang berjejer berjualan dan tentu masing-masing PKL akan menghasilkan sampah. Kami sempat menyusuri satu persatu PKL yang berada di kawasan kampus UGM mulai dari pintu timur Masjid Kampus UGM ke arah utara. Bisa dihitung jari bahwa para PKL ini menyediakan tempat sampah, bahkan untuk dagangannya sendiri juga sangat minim. Pihak pengelola pasar tumpah ini—Pak Sudarjo dan Pak Mujiro—menjelaskan bahwa setiap PKL yang hendak berdagang dipungut biaya sekitar Rp 250.000,00 sampai Rp 300.000,00 sesuai dengan letak yang dianggap strategis atau tidak bagi para pedagang. Biaya tersebut sudah termasuk biaya pembangunan kampung dan pembersihan sampah-sampah hasil dagangan PKL untuk selama sebulan berdagang.


Selain itu, pihak pengelola mulai membersihkan sampah setelah magrib menjelang isya dengan dua tim Kuningan sampai Karangmalang (sampai pertigaan). Mereka akan mengumpulkan sampah-sampah tersebut dan kemudian akan dibuang pada tps terdekat—yang juga pihak pengelola pasar tumpah akan dipungut biaya jika membuang sampah di tempat tersebut. Pihak pengelola pasar tumpah ini juga menyediakan wadah sampah berupa ember bekas cat berwarna putih yang disebarkan di beberapa titik sepanjang pasar ini sehingga diharapkan kesadaran masyarakat dapat membuang sampah pada tempatnya.


(Bernas.id, 2017) mencatat bahwa Youth For Climate Change DIY (YFCC) adalah organisasi pemuda yang peduli akan perubahan iklim serta dampaknya bagi bumi dan masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa Afrizal, ketua YFCC ini menceritakan program kerja rutin organisasinya. :Minggu pertama ini proker kita adalah joging bersama dilanjutkan memungut sampah di sunmor. Selain badan sehat lingkungan juga sehat.” Selain membersihkan sampah di sunmor, organisasi ini telah melakukan Gerakan Bebas Sampah menyongsong 2020 bersih seluruh dunia.


Ada banyak pihak yang peduli akan sampah yang dihasilkan di pasar tumpah yang berlokasi di kawasan Kampus UGM ini. (Dewangga, 2019) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada Februari 2019 produksi sampah se-DIJ mencapai 2.100 ton per hari. Khusus Sleman, produksi sampah per hari 800 ton. Meskipun sebelumnya pihak pengelola pasar tumpah—Pak Sudarjo dan Pak Mujiro—sudah mengungkapkan bahwa sampah-sampah pasar tumpah ini dibuang pada tps terdekat namun kesadaran masyarakat akan membuang sampah atau ikut andil dalam meminimalisir penggunaan sampah plastik masih sangat minim. Pak Sudarjo dan Pak Mujiro juga menambahkan bahwa harapan mereka kedepannya masyarakat akan terus sadar pada kesehatan dan kebersihan lingkungan. Mengingat ini adalah ruang publik yang mana harus dijaga kebersihan secara bersama.



Referensi

1. Azizah, K.N. 2018. 'Lapar Mata' Vs Lapar Beneran, Bagaimana Sih Membedakannya?.

2. Baliekbisadmin. (2018). Mahasiswa UGM Teliti Rekayasa Perilaku Membuang Sampah.

3. Bernas.id. (2017). Kisah Pejuang Lingkungan di Balik Sunmor UGM. Diambil dari

4. Dewangga, E. K. (2019). Produksi 800 Ton Sampah per Hari. Diambil dari

5. Munif, Ahmad. 2019. Anomali Konsumsi di Bulan Suci. news.detik.com. Diambil dari

6. Putri, A.D. (2017). Pasar Sore Ramdan UGM Melimpah Takjil Ngabuburit Tak

8. Tandali, A. N., & Egam, P. P. (2011). Arsitektur berwawasan perilaku (behaviorisme). Media Matrasain, 8(1). https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmm/article/view/314 (diakses 13 Mei 2019)

9. Wardhana,H. (2018). Jalan-jalan Sore di Pasar Ramadan UGM. Kompasiana. Diperoleh dari

10. Wardhani,K.H. (2018). 10 Tempat Berburu Kuliner Di Pasar Ramadhan Jogja. Tripzilla.id.

16 Mei 2019)

11. Wibowo, I. (2009). Pola perilaku kebersihan: Studi psikologi lingkungan tentang penanggulangan sampah perkotaan. Makara, Sosial Humaniora, 13(1), 37-47.


29 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page