top of page
Writer's pictureNur Muhammad Swastika Ardhi

Pedestrian Stasiun Tugu: Jalan Pulang Pedagang Pasar Kembang

Updated: Jul 3, 2019

Lia Sukma Catartika & Nur M. Swastika Ardhi


Orang-orang yang pernah singgah di Yogyakarta dan mengunjungi Malioboro kemungkinan besar mengetahui keberadaan Stasiun Tugu, salah satu stasiun terbesar di Yogyakarta. Meski bukan yang pertama, Stasiun Tugu lebih iconic dibanding dengan Stasiun Lempuyangan. Bagaimana tidak, Stasiun Tugu merupakan stasiun yang indah dan berjarak hanya beberapa meter saja dari kawasan Malioboro, mau tidak mau, pengunjung Malioboro pasti melihat keberadaan stasiun tersebut

Wajah Baru Pedestrian Selatan Stasiun Tugu (Sumber: dok. pribadi)

Eksistensi Stasiun Tugu Yogyakarta

Stasiun Tugu dibangun pada tahun 1887, sedangkan Stasiun Lempuyangan dibangun pada tahun 1872. Dalam laman situsbudaya.id dikatakan bahwa Stasiun Lempuyangan dibangun oleh perusahaan kereta api milik swasta Nederlandsch Indisch Spoorweg Maatschappij (NISM), sedangkan Stasiun Tugu merupakan wujud turut campurnya dua kekuasaan yang memiliki pengaruh besar bagi Yogyakarta, yaitu Staatsspoorwegen (SS) yang menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah Hindia Belanda serta Kesultanan Yogyakarta. Di sisi lain, kedua perusahaan tersebut juga menjadi salah satu penyebab munculnya bahasa Jawa dari kereta yaitu “sepur” (spoor).


Kemudian, dilansir dari genpijogja.com, selain menjadi salah satu stasiun yang memiliki predikat stasiun tercantik Hindia-Belanda pada masanya, Stasiun Tugu juga menjadi stasiun yang sering dilewati untuk transit karena memiliki dua operator dengan jalur yang berbeda. Alhasil, mulai dibangun hotel-hotel di sekitar Stasiun Tugu sejak tahun 1908 dalam rangka memanfaatkan peluang banyaknya pengunjung yang transit di Yogyakarta melalui stasiun tersebut dan menjamu tamu-tamu penting yang lebih sering berhenti di Stasiun Tugu dibanding Stasiun Lempuyangan.


Banyak cerita sejarah yang dimiliki oleh Stasiun Tugu. Tidak hanya keindahan dan struktur stasiun yang berubah dari tahun ke tahun, melainkan juga keberadaan masyarakat kecil di sekitar Stasiun Tugu yang memiliki kisah mereka sendiri. Apa yang disebut dengan memori kolektif tentu juga dimiliki oleh masyarakat yang sedikit banyak bersinggungan dengan keberadaan Stasiun Tugu itu sendiri. Kaitannya dengan stasiun, masyarakat yang merasakan keberadaan Stasiun Tugu terdekat adalah mereka para Pedagang Kaki Lima yang ada di trotoar selasar Selatan Stasiun Tugu.


Sudah sejak tahun 1980an para PKL mulai berjualan di trotoar selatan stasiun. Keberadaan mereka turut meramaikan Jalan Pasar Kembang. Trotoar yang merupakan daerah Sultan Ground itu menjadi “ladang” penghasilan kurang lebih 70 pedagang dari Yogyakarta dan luar Yogyakarta baik yang memiliki izin maupun tidak. Memiliki izin berarti memiliki sertifikat dan membayar pajak yang nominalnya bervariasi, ada yang mengatakan dibawah Rp 4.000 hingga Rp 65.000.


Pedagang di trotoar selatan stasiun ini bermacam-macam. Mereka menjual minuman, makanan, rokok, dan hal-hal lainnya. Namun tidak semua pedagang menjual hal yang berbeda sehingga pemandangan toko atau warung dengan barang yang sama sudah menjadi hal yang biasa.


Warung dan toko di trotoar ini kerap menjadi ruang publik warga sekitar yang bekerja maupun tinggal di daerah Jalan Pasar Kembang. Tukang becak, ojek, pedagang, bahkan preman-preman di sana sering melakukan interaksi di warung dan toko-toko tersebut, lebih tepatnya warung yang menyediakan makanan atau minuman. Interaksi-interaksi tersebut melebar hingga ke warga Yogyakarta pada umumnya, sebagai akibat dari ramainnya salah satu warung Soto di trotoar tersebut yang sudah ramai sejak pagi hari. Bagi yang tidak pernah makan di warung tersebut mungkin tidak akan tahu keberadaannya. Namun hal ini berbeda untuk mereka yang pernah menyantap soto di warung itu, banyak cerita dan pengalaman yang tertumpahkan di sana. Akhirnya, warung soto tersebut menjadi salah satu icon trotoar selatan Stasiun Tugu Yogyakarta.


Trotoar selatan Stasiun Tugu berada di antara batas tentang trotoar yang beralih fungsi menjadi tempat berdagang, dengan trotoar yang tidak beralih fungsi karena memang jarang ada pejalan kaki yang lewat di sana. Orang-orang yang lalu lalang di Jalan Pasar Kembang juga tidak begitu merasakan fungsi dan eksistensi dari trotoar tersebut. Mungkin hanya keadaan jalan macet karena pengunjung yang parkir di pinggir kios di trotoar tersebut saja yang membuat mereka sadar ada “kehidupan lain” di daerah itu. Selebihnya, hanya jalan umum yang mau tidak mau harus dilewati untuk menuju wilayah Kotabaru dari arah timur. Hal ini sehubungan dengan pandangan Hinkle (dalam Hidayah 2008) tentang teori aksi yang salah satunya mengatakan bahwa sebagai subjek, manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi baik PKL maupun pemerintah (dalam hal ini PT KAI) keduanya memiliki maksud dan tujuan mereka masing-masing tentang apa yang akan dan sudah mereka lakukan.


Puluhan tahun berlalu, kondisi PKL di trotoar tersebut awalnya tidak mengalami masalah yang berarti. Namun ketika Yogyakarta semakin ramai serta pariwisata di Yogyakarta juga semakin berkembang, kehidupan PKL di trotoar selatan stasiun mulai sedikit “terusik”.


Revitalisasi Pedestrian di Tanah PT. KAI

Kondisi Trotoar Selatan Stasiun Tugu Sebelum Revitalisasi (Sumber: news.detik.com)

Trotoar Selatan Stasiun Tugu yang Mulai Di"bersihkan" (Sumber: news.detik.com)

Stasiun Tugu Yogyakarta berlokasi tepat di dekat Malioboro—kawasan pariwisata dengan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Wisatawan yang turun di Stasiun Tugu Yogyakarta pun dapat langsung berwisata di kawasan Malioboro ini. Banyaknya lalu-lalang para pejalan kaki ini mengakibatkan adanya kebutuhan pedestrian demi menjaga keselamatan dan kenyamanan para pejalan kaki itu sendiri. Namun kenyataannya di kawasan wisata Malioboro ini banyak para pedagang kaki lima (PKL) yang kurang tertata sehingga tidak sedikit yang berjualan di trotoar jalan yang tersedia—khususnya di sebelah selatan Stasiun Tugu Yogyakarta.


Menurut Nasution (2016), guna mengembalikan kenyamanan pedestrian, terdapat rencana untuk mengarahkan Kawasan Malioboro menjadi kawasan pedestrian yang menjadi satu kesatuan dalam kebijakan revitalisasi Stasiun Tugu dan Malioboro. Nasution (2016) juga menambahkan bahwa, salah satunya rencana ini dapat ditempuh dengan pembatasan jumlah kendaraan yang akan berlalu-lalang di sekitar Kawasan Malioboro agar area parkir yang berada di jalur pedestrian dapat dihilangkan. Kedua jalan di Kawasan Malioboro yakni Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo termasuk target area pedestrian berdasarkan RTRW Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029.


Memang penertiban tersebut sudah terlaksana. Seperti yang telah dirilis oleh tirto.id bahwa, penggusuran paksa pedagang di selatan Stasiun Tugu Yogyakarta dilakukan oleh PT KAI Dop 6 atas dasar pemberian kekancingan tanah Sultan Ground kepada pihak PT KAI pada Desember 2015. Penertiban ini memiliki berbagai latar belakang seperti kondisi trotoar yang kumuh dan penuh sesak oleh para PKL.


Mengutip dari krjogja.com, Executive Vice President PT KAI Daop 6 Yogyakarta Hendy Helmi kepada wartawan di kompleks Kepatihan, Kamis (14/7/2016) mengatakan pihaknya akan segera melanjutkan rencana revitalisasi sisi selatan Tugu menjadi kawasan pedestrian yang menghubungkan Bong Suwung dengan Malioboro. Menurutnya, KAI sudah melakukan pemetaan dan pendataan terkait pedagang yang berada di kawasan tersebut. Revitalisasi itu terjadi pada bulan Juli 2017. Dilansir dari krjogja.com, 75 pemilik kios di Jalan Pasar Kembang diminta untuk mengosongkan tempat berjualan pada 5 Juli sedangkan surat diterima oleh para PKL pada 3 Juli 2017.


Menurut salah satu tukang becak yang berada di kawasan Stasiun Tugu, Pak Jawab, Senin (27/5) menjelaskan bahwa adanya penertiban ini telah melalui proses panjang. Adanya pemberian beberapa surat peringatan secara berkala dan juga pemberian tenggat waktu untuk melakukan penertiban. Ia menambahkan bahwa beberapa PKL yang berlokasi di selatan Stasiun Tugu ini tidak mendapat ganti tempat atau relokasi. Kebanyakan para PKL memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing. Hal ini tentu berkaitan dengan adanya status kepemilikan tanah yang mereka tempati. Para PKL yang berlokasi di selatan Stasiun Tugu ini kebanyakan berstatus ilegal atau tidak memiliki surat-surat. Mengutip dari merdeka.com bahwa, Owi (61), salah satu pemilik warung yang dibongkar mengatakan bahwa sudah sejak tahun 1994 dirinya berjualan di sisi selatan Stasiun Tugu Yogyakarta. Ia juga menambahkan bahwa, dirinya mendapatkan uang ganti rugi sebesar Rp 3,2 juta dari PT KAI sebagai biaya ganti rugi.


Trotoar Setelah Dilakukan Revitalisasi (Sumber: dok. pribadi)

Meski adanya pro-kontra dalam permasalahan ini namun masyarakat sekitar hanya bisa bersikap pasrah dalam menghadapinya. Tanah kepemilikan PT KAI tersebut memang sudah direncanakan untuk pembangunan pedestrian sekaligus penertiban demi kenyamanan para pejalan kaki dan wisatawan yang baru saja turun dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Tata kelola perkotaan yang dianggap menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan berlaku pada kasus ini.


Pemerintah menginginkan adanya estetika dan kebersihan dalam pengelolaan setiap sudut kota, terutama pada destinasi wisata. Mengutip dari kabarkota.com bahwa Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Gatot Saptadi mengatakan, pada prinsipnya, rencana pembangunannya masih akan mengacu pada embrio materplan yang lama. Ia juga menambahkan bahwa, “Kalau kita bicara investasi, maka semestinya kita juga menyiapkan infrastruktur yang bisa mengembalikan investasi itu.”


Setelah Pembangunan Pedestrian

Penertiban yang dilakukan pada Rabu, (5/7/2017) ini masih terlihat mencari adanya solusi untuk mengatasi adanya masalah-masalah pasca penertiban. Banyak dari para PKL yang meminta ganti rugi atau permintaan relokasi yang diharapkan dapat segera diberikan. Dikutip dari kompas.com bahwa seorang pedagang, Anis Samino (44), mengaku harus kehilangan penghasilan sebesar Rp 600.000 sampai Rp 1.000.000 setiap harinya akibat kiosnya dibongkar. Namun sampai hari ini ia belum mendapat solusi soal pemindahan warungnya. Beberapa PKL juga merasakan hal yang sama akan tetapi sebagai masyarakat mereka hanya menunggu wewenang pemerintah dalam memberikan solusi akan permasalahan tersebut. Lalu, mengutip bisnis.tempo.co, Wagiman, pedagang soto di kawasan trotoar tak kuasa menahan tangis ketika membereskan sisa material warung sotonya yang sudah dirintis sejak 32 tahun lalu dan menghasilkan omzet Rp 700.000 hingga Rp 1.000.000 per hari. Relokasi tempat dengan sistem sewa yang sempat menjadi wacana dari PT KAI pun ternyata tidak ada padahal para pedagang sudah siap jika diminta untuk menyewa tempat. Mereka pun hanya bisa pindah entah ke mana dengan membawa ganti rugi yang berbeda-beda dan itu juga jika mereka memiliki sertifikat dagang.


Mengenai pembangunan pedestrian yang berada di selatan Stasiun Tugu ini memang menarik banyak perhatian. Penertiban ini membuahkan hasil adanya kesan yang lapang dan bersih ketika melewati kawasan tersebut. Ukuran pedestrian yang tergolong cukup besar juga memberikan kenyamanan bagi para pejalan kaki yang melewatinya. Menurut Rubenstein (1987, dalam Nasution 2016), karakteristik pedestrian dapat dilihat berdasarkan sarana perjalanannya yang terbagi atas:

  • Pedestrian penuh. Tipe ini menggunakan moda jalan kaki sebagai moda utama dari tempat asal ke tempat tujuan.

  • Pedestrian pemakai kendaraan umum. Tipe ini menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara dari tempat asal ke tempat kendaraan umum, atau pada jalur perpindahan rute kendaraan umum, atau tempat pemberhentian kendaraan umum menuju tempat tujuan akhir.

  • Pedestrian pemakai kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Tipe ini menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara dari tempat parkir kendaraan pribadi menuju tempat kendaraan umum dan dari tempat parkir kendaraan umum menuju tujuan akhir perjalanan.

  • Pedestrian pemakai kendaraan pribadi penuh. Tipe ini menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara dari tempat parkir kendaraan pribadi ke tempat tujuan akhir.

Jelas bahwa pedestrian selatan Stasiun Tugu yang sekarang menjadi pintu utama, menggunakan tipe pedestrian penuh. Tentu dengan sejumlah rambu-rambu larangan stop di tepi area pedestrian tersebut. Pedestrian yang terkesan sepi pejalan kaki itu juga kerap menjadi tempat drop-off orang-orang yang akan bepergian dengan kereta api.


Di dekat wilayah pedestrian tersebut, kami melihat angkringan dengan beberapa orang yang sedang nongkrong di sana. Orang tersebut berada di area parkir (bukan area parkir dalam stasiun) dekat dengan kantor layanan pengiriman barang KALog. Salah seorang dari mereka, Giarto, mengatakan bahwa sudah tidak pernah lagi melakukan interaksi dengan pedagang yang tadinya ada di sana, karena memang tidak semua tinggal di daerah Jalan Pasar Kembang. Giarto mengatakan bahwa revitalisasi ini secara tidak langsung menyebabkan ayah dari temannya meninggal karena diduga stres kiosnya yang sudah puluhan tahun dikelola sudah digusur. Menurut Giarto, hal itu tidak bisa dihindari. Ia mengatakan bahwa begitulah nasib wong cilik. “Yang punya surat-surat atau sertifikat dan tidak punya, dua-duanya sama-sama pasrah saja” kata Giarto. Ia menambahkan, “ya gampangnya, kalau sana ditutup digusur, ya tinggal buka di sini” katanya sembari menunjuk angkringan yang berada tepat disamping area pedestrian dan area rencana perluasan pedestrian. Ya, pemerintah masih berencana untuk melakukan revitalisasi di area sepanjang Jalan Pasar Kembang lain yang masih ada pedagang dan rumah-rumah kecil berizin di sana.


Akhirnya pedestrian yang sepi ini tidak hanya menjadi jalan pulang pengunjung, perantau, turis dari Yogyakarta, melainkan juga menjadi jalan pulang bagi para pedagang Jalanan Pasar Kembang.

Referensi Media Massa

1. Aditya, I. (2017). PKL Selatan Stasiun Tugu Tolak Penggusuran. Diambil dari https://krjogja.com/web/news/read/37175/PKL_Selatan_Stasiun_Tugu_Tolak_Penggusuran

2. Damaledo, Y.D. (2017). LBH Yogyakarta Kecam Penggusuran Pedagang oleh PT KAI. Diambil dari https://tirto.id/lbh-yogyakarta-kecam-penggusuran-pedagang-oleh-pt-kai-cr1d

3. Edi, P. (2016). Tata Kawasan Stasiun Tugu, PT KAI bongkar Lapak Pedagang. Diambil dari https://www.merdeka.com/peristiwa/tata-kawasan-stasiun-tugu-pt-kai-bongkar-lapak-pedagang.html

4. Liem, D. (2018). Stasiun Tugu, Stasiun Paling Cantik di Indonesia. Diambil dari Aditya, I. (2017). PKL Selatan Stasiun Tugu Tolak Penggusuran. Diambil dari https://krjogja.com/web/news/read/37175/PKL_Selatan_Stasiun_Tugu_Tolak_Penggusuran

5. Lutfiyanti, G. (2019). Pengembangan Stasiun Tugu, Pemprov DIY dan Pemkot Yogya Tetap Fasilitasi PKL. Diambil dari http://jogja.tribunnews.com/2019/05/22/pengembangan-stasiun-tugu-pemprov-diy-dan-pemkot-yogya-tetap-fasilitasi-pkl

6. Sigit, A. (2016). Revitalisasi Selatan Stasiun Tugu Dilanjutkan, Pedagang Tak Peroleh Ganti Rugi. Diambil dari https://krjogja.com/web/news/read/2716/Revitalisasi_Selatan_Stasiun_Tugu_Dilanjutkan_Pedagang_Tak_Peroleh_Ganti_Rugi

7. Syaifudin, T. (2017). Dinilai Kumuh, Kios-kios di Selatan Stasiun Tugu Dibongkar. Diambil dari https://regional.kompas.com/read/2017/07/05/11290541/dinilai.kumuh.kios-kios.di.selatan.stasiun.tugu.dibongkar?page=all

8. Redaksi. (2018). Stasiun Tugu Yogya Akan Berbasis TOD, Ini Rencana Perluasan Areanya. Diambil dari https://kabarkota.com/stasiun-tugu-yogya-akan-berbasis-tod-ini-rencana-perluasan-areanya/

9. Wicaksono, P. (2016). KAI Siapkan Anggaran untuk Menata Stasiun Tugu. Diambil dari https://bisnis.tempo.co/read/830564/kai-siapkan-anggaran-untuk-menata-stasiun-tugu/full&view=ok

10. Sejarah Stasiun Kereta Api Yogyakarta. Diambil dari https://situsbudaya.id/sejarah-stasiun-kereta-api-yogyakarta/


Daftar Pustaka

1. Hidayah (2008). Strategi Bertahan Hidup Pedangan Asongan di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta dan Balapan Solo [Berkas PDF]. Dimensia (2) 2, 32-38. Diambil dari https://journal.uny.ac.id/index.php/dimensia/article/view/3404

2. Nasution. (2016). Analisis Penilaian Fasilitas Pedestrian di Kawasan Perkotaan (Kasus: Jalan Malioboro - Jalan Margo Mulyo Yogyakarta) [Berkas PDF]. Jurnal Bumi Indonesia, 5(2), 2-10. Diambil dari http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/715/688

33 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page