top of page

Pendidikan Terbelenggu Kemiskinan : Kemiskinan Menjadi Pembatas Memperoleh Akses Pendidikan



Mendengar istilah Kemisikinan dan pendidikan rasanya bukan menjadi hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Konteks kemiskinan dan pendidikan begitu problematis untuk dibahas dinegeri kita hingga saat ini, inilah mengapa akhirnya saya termotivasi untuk mencoba lebih jauh dan melihat bahwa banyak yang dapat saya temukan ketika mengambil kasus ini, kembali lagi pada konteks kemiskinan dan pendidikan. Spesifikasi perlu dilakukan untuk melihat akses pendidikan Indonesia saat ini belum merata ditambah wacana pendidikan menjadi ruang gerak justru seakan dipersulit dengan adanya kemiskinan. Melihat kebijakan yang sifatnya wacana akhirnya hanya memberikan ruang harapan bagi kalangan bawah akan pendidikan murah dan dapat dijangkau, sehingga status sosial seseorang pun disini menjadi aktor yang seakan memainkan fungsi tersendiri. Sungguh probelematis jika melihat fenomena tersebut.


Menurut saya pendidikan menjadi pokok dasar dimana sejak lahir anak memiliki banyak potensi dan harapan untuk berhasil di kemudian hari. Pendidikanlah yang menjadi jembatan penghubung anak dengan masa depannya. Dapat dikatakan, pendidikan merupakan salah satu pembentuk pondasi bagi tumbuh dan berkembangnya seorang anak untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Kehidupan mendatang adalah kehidupan yang lebih modern dan persaingan semakin ketat, siapa yang kuat dialah yang menang salah satu pondasi dari kekuatan tersebut adalah dari pendidikan yang didapatkan dari mulai tahap sekolah bawah hingga perguruan tinggi. Kemudian, mengutip dari kata Muhardi bahwa dalam pendidikan akan didapat sumber daya manusia yng merupakan aset utama dalam membangun suatu bangsa. Dengan demikian, peningkatan kualitas suatu bangsa sesungguhnya bertumpu pada peningkatan kualitas sumber manusianya tentu jalan untuk mecapai itu adalah pendidikan, dan upaya tersebut hanya akan dapat dicapai salah satunya melalui penekanan pada pentingnya pendidikan. Ini artinya pendidikan mempunyai kontribusi yang sangat berharga dan signifikan dalam meningkatkan kualitas suatu bangsa.


Berdasarkan teori kemiskinan yang dikemukakan oleh Poverty Theory, berfokus pada tingkah laku individu dijelaskan bahwa ketidaksetaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Teori kemiskinan Struktural, menjelaskan pula bahwa hambatan-hambatan struktural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Selain itu juga, ada teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis dan Edward Banfield ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kelemahan dalam mengimplementasikan ketentuan dan aturan tersebut terletak pada para pelaku masyarakat itu sendiri. Ketidaksadaran akan pentingnya pendidikan yang baik menyebabkan bidang pendidikan ini seringkali dilihat sebelah mata oleh pihak, utamanya disini saya ingin menyoroti bahwa kalangan menengah kebawah enggan akan pendidikan yang mahal dan sulit untuk diakses bagi kalangan mereka karena merasa tidak akan diprioritaskan dalam akes pendidikan tersbut. Inilah kemudian yang harus dirubah bersama-sama bahwa saya bisa menilai terdapat rasa cangung dan malu yang menyebabkan kalangan ekonomi kelas bawah untuk menikmati pendidikan secara maksimal.


Menemui masyarakat dekat dengan wilayah tempat saya menjadi salah satu yang mendorong saya untuk membuat essay ini, bahwa sebenarnya terdapat fenomena yang cukup unik ketika ada bias kelas dalam pendidikan. Pengalaman yang menurut saya perlu saya bagi disini ketika di tempat tinggal saya terbagi dalam dua golongan yaitu sering menyebutnya dengan kalangan etan dalan dan kalangan lor dalan. dimana untuk masyarakat kalangan etan dalan adalah masyarakat yang ia tidak terlalu memperdulikan sekolah karena orientasi mereka dituntut untuk bekerja dan mencari uang sebanyak mungkin hal ini dilatarbelangi oleh keterbatasan ekonomi yang tinggi, sekolah dari kalangan masyarakat etan dalan ini maksimal hanya sampai SMA dan kebanyakan memutuskan untuk bekerja di luar jawa. Sedangkan untuk kalangan masyarakat alangan lor dalan dikategorikan sebagai kelompok ynag memiliki perekonomian jauh lebih baik dimana kebanyakan dari kalangan masyarakat lor dalan ini mampu menyelesaikan studinya hingga ke perguruan tinggi, selain orientasi yang dibangun adalah pendidikan yang utama tetapi juga latar belakang finansial dan budaya yang membangun pola pikir mereka.


Akan tetapi ketika saya mengamati masyarakat akan fenomena tersebut, finansial memang menjadi alasan terbesar untuk memilih bekerja daripada bersekolah. Kesadara-kesadaran tersbut yang mustinya kita bangun bersama bahwa walaupun mereka keterbatasan biaya tetapi pendidikan menjadi fondasi penting untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Sehingga pada dasarnya bahwa wikayah geografis juga tidak bisa menjadi patokan seutuhnya untuk melihat tidak meratanya pemenuahn pendidikan tetapi juga harus dilihat dari perspektif emik dan budaya masyarakat juga.


Melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik : 2007). Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial.


Terobosan terbaru dari Kemenristekdikti melalui pemberian Kartu Indonesia Pintar (KIP). Berdasarkan data pada tanggal 11 November 2017, pemerintah telah menyalurkan KIP pada jenjang Sekolah Dasar (SD) sebanyak 7.778.963 anak; Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 3.244.134 anak; Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 1.037.351 anak, dan; jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 1.436.186 anak. diharapkan masalah pendidikan dapat terselamatkan.


Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan seharusnya dapat diakses oleh seluruh masyarakat tetapi pada kenyataannya pendidikan menjadi ciri dari kelas sosial masyarakat. Mengapa saya menyebutnya kelas sosial masyarakat, karena ketika melihat sekarang ini orang dengan kemampuan menengah keatas rela merogoh saku dalam-dalam untuk memperoleh pendidikan dengan kualitas dan prasarana yang baik. Sedangkan ketimpangan terjadi ketika masyarakat dari golongan menengah bawah kesulitan akan hal tersebut. Problematis memang ketika membicarakan pendidikan disalah satu merupakan suatu hak bagi seluruh masyarakat dan faktor ekonomi sebagai penunjangnya, walaupun pemerintah juga tidak diam dalam mengatasi masalah ini sehingga dalam nalar singkat saya harus ada kesadaran dari semua pihak yakni terdiri dari pemerintah, orang tua dan peserta didik bahwa pendidikan bukan hanya melulu mengenai uang tetapi juga kemauan dan kesempatan. Karena menurut saya sekarang banyak orang yang tidak mampu tapi berprestasi dan kemudian disubsidi oleh negara karena kemauannya bersekolah sangat tinggi. Jadi kembali lagi bahwa pendidikan itu bekaitan dengan kemauan dan kesempatan yang ada, ketika mau memanfaatkan akses itu dengan baik maka masalah ekonomi bukan alasan utama orang putus sekolah atau tidak bersekolah.


Referensi :



10 views0 comments

Comments


bottom of page