Perempuan Sumba melalui Kacamata Martha Heby
- Shafira Hendrawan
- Dec 7, 2018
- 6 min read
Oleh: Sekar Fadhilah Zahra dan Shafira Apriliana Hendrawan

Dalam buku ‘Alive in the Writing’ karya Kirin Narayan (2012), penulis menjelaskan mengenai person dan mencoba mengamati bagaimana sosok (person) ini bisa mengundang ketertarikan audiens melalui tulisan, serta bagaimana sosok tersebut bisa menginspirasi banyak orang dan mengubah pemikiran banyak orang. Narayan (2012) juga menjelaskan bahwa menggambarkan orang lain merupakan tantangan terbesar, apapun bentuk yang dipilih. Hal tersebut bisa saja beresiko untuk mengakhiri ‘reputasi’ orang lain dengan menarik perhatian pada sesuatu yang dia mungkin tidak ingin disebutkan sama sekali, contohnya aspek yang kurang sempurna seperti penampilan fisik mereka, kelakuan mereka, cara berhubungan dengan orang lain. Ini yang menjadi perhatian penting dan perlu diperhatikan kembali ketika mencoba menjelaskan seseorang dalam suatu penulisan. Dalam acara Simposium Sumba yang diadakan di Fakultas Ilmu Budaya, kami tertarik dengan salah satu topik pembicaraan yang berjudul “Kajian Hak Perempuan dan Mobilitas di Sumba” yang dibawakan Martha Heby. Kami juga tertarik dengan bagaimana isu tersebut mempengaruhi Martha Heby, baik dalam segi pemikiran maupun implementasi nyata dalam kehidupan.
Martha Heby dan Pembawaannya
Ketika memasuki ruang tempat salah satu panel Simposium Festival Sumba 2018 diadakan, semua audiens mulai berduduk rapi dan memenuhi ruangan. Dalam panel yang kami pilih mengenai “Mobilitas (Spasial/Sosial) Penduduk Sumba”, terdapat salah satu dosen Antropologi yaitu Suzie Handajani, M.A., sebagai moderator. Panel ini diawali dengan sambutan moderator untuk para pembicara atau panelis. Sambutan panel ini terbilang meriah, khususnya dalam ukuran simposium yang terkesan formal dan serius. Hal ini diakibatkan oleh moderator yang memiliki pembawaan santai dan meriah. Selama diskusi berlangsung, terdapat beberapa panelis yang sangat ahli dalam bidangnya dan sangat mengetahui mengenai Sumba dalam konteks mobilitas. Salah satu panelis yang sangat menarik menurut kami adalah Martha Heby. Dalam simposium ini, ia membahas mengenai Kajian Hak Perempuan dan Mobilitas di Sumba. Ketika ia memperkenalkan diri, ia ‘menegur’ panitia yang salah dalam menulis namanya. Ia pun mengatakan bahwa di Sumba jika kami salah menyebut nama orang maka kami harus memotong babi. Namun, ia memaafkan kesalahan ucapan yang dikatakan oleh moderator dengan selingan tawa dan candaan. Tindakan yang dilakukan ia secara gamblang menunjukkan sikapnya yang humoris dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat Sumba. Pembicaraan yang berlangsung antara pihak panitia dan Martha Heby secara tidak langsung menambah pengetahuan kami mengenai adat Sumba dan ia pun memaklumi kesalahan ini dikarenakan ketidaktahuan.
Ketika berada di depan meja pembicara atau panelis, kami melihat bahwa ia memiliki pembawaan yang sangat erat dengan Sumba, khususnya karena ia berasal dari Sumba. Hal ini terlihat jelas dari pakaian yang ia kenakan. Ia mengenakan kain tenun Sumba yang ia gunakan sebagai rok dan aksesoris lainnya seperti kacamata dan gelang yang digunakan memperlihatkan gaya busananya yang sangat modis namun tidak melupakan khas kebudayaannya dan dengan cara bicaranya yang memiliki khas logat Sumba semakin menegaskan bahwa ia berasal dari Sumba, dan ia tidak ragu-ragu dalam menunjukkan hal tersebut melalui penampilannya. Melalui ‘tegurannya’ terhadap panitia pun, kami melihat bahwa ia hanya ingin memberi pengetahuan lebih mengenai adat Sumba untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman. Dalam tegurannya pun diselingi candaan tawa ringan, yang juga menunjukkan bahwa ia merupakan sosok yang cukup humoris. Hal tersebut bertolak belakang dari asumsi yang dimiliki orang-orang mengenai orang Timur yang keras dan tegas. Sosok Martha Heby juga menggambarkan bahwa perempuan Timur, terutama Sumba, masih bisa ikut bercanda tawa dengan orang banyak.
Menurut Martha Heby
Dalam penyampaiannya mengenai Hak Perempuan di Sumba, Martha Heby menjelaskan dengan detail seperti organisasi penting yang bergerak untuk menonjolkan aktivitas perempuan di Sumba. Pada awal mulanya, ia sangat sulit mencari tahu mengenai kegiatan apa saja yang berhubungan dengan perempuan di Sumba karena minimnya dokumentasi sejarah mengenai perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Martha Heby gigih dalam usahanya untuk menceritakan wajah perempuan Sumba dan lika-liku hidup yang dialami oleh perempuan Sumba karena keberadaan adat yang ‘mengekang’. Salah satu kasus yang dijelaskan oleh Martha Heby adalah kasus mengenai pendidikan bagi perempuan Sumba. Ia menjelaskan bahwa dalam pendidikan, perempuan-perempuan di Sumba kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitar, khususnya karena faktor ekonomi yang membatasi. Ia juga menjelaskan bahwa dalam adat Sumba, perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi cukup menikahi lelaki yang kelas sosial tinggi untuk membantu keluarganya. Menurutnya, organisasi keagamaan memiliki peran dalam mengembangkan pendidikan perempuan di Sumba. Peran organisasi keagamaan ini diwujudkan dengan pemberian beasiswa kepada perempuan-perempuan Sumba, khususnya mereka yang berasal dari kalangan ‘hamba’ (kalangan bawah). Dari penjelasannya yang terkesan berpengetahuan luas, kami mendapat kesan bahwa lain dari cerita yang ia angkat, Martha Heby merupakan perempuan Sumba yang bisa mendorong batasan-batasan yang ditentukan oleh faktor ekonomi dan adat. Hal tersebut diwujudkan dengan mengenyam pendidikan yang membuatnya berpengetahuan luas dan lebih terbuka dengan dunia luar. Kami pun mempertanyakan, apakah ini yang menjadi motivasinya untuk memperjuangkan hak perempuan di Sumba?
Lalu, Martha Heby menjelaskan mengenai Yappa Mawini (tangkap bawa lari perempuan) adalah salah satu tradisi di Sumba, khususnya Sumba bagian Tengah, yang tidak dianggap sebagai tindakan kriminal. Tradisi ini bermula ketika seseorang lelaki yang mulai menyukai salah satu perempuan desa, lalu ketika dia berpergian sendiri sang lelaki menarik paksa wanita itu dan menikahinya. Tindakan ini menurut kami adalah salah satu tradisi yang kurang adil dan tidak lagi kontekstual di masa kini karena ketiadaan hak perempuan untuk menolak. Kepasrahan ini dikatakan oleh Martha Heby terjadi karena semua sudah menjadi sistem adat yang ada sejak dahulu. Melalui ceritanya yang sangat menghanyutkan, kami merasakan bahwa Martha Heby sangatlah berempati dengan perempuan-perempuan yang mengalami Yappa Mawini. Kami sempat memiliki asumsi bahwa rasa empati ini terbangun karena Martha Heby pernah mengalami Yappa Mawini, namun asumsi ini terbukti salah setelah kami berbincang dengannya.
Apa yang mempengaruhinya?
Selesai acara, kami sempat berbincang-bincang dengan ia. Kami pun menanyai alasan ia mengangkat kasus-kasus yang melibatkan hak perempuan Sumba dan peraturan adat yang membelenggu perempuan di Sumba. Ia menjelaskan bahwa kasus yang dihadapi perempuan Sumba ini bukan mengada-ada, karena kasus tersebut sudah sering terjadi di lingkungannya. Hal ini pun menjawab asumsi yang kami miliki ketika simposium berlangsung. Ia terbukti semakin tergerak karena kedekatannya dengan Sumba. Martha Heby merasa bahwa ia terbilang beruntung karena memiliki kesempatan untuk mencari pendidikan di luar Sumba. Ia kemudian menilai bahwa pengalamannya membuat ia berefleksi ke dunia luar. Keterbukaannya mengenai kasus ini menyadari kami bahwa di Sumba, perempuan kurang memiliki hak untuk berpendapat dan berpendidikan, ia pun sempat merasakan hal yang sama terjadi padanya. Setelah ia melihat keluarga, teman, yang juga perempuan mengalami kasus seperti ini, ia pun tergerak untuk menumbuhkan hak perempuan di Sumba. Ia juga menjelaskan bahwa perempuan bisa berpendidikan tinggi dan perempuan juga mempunyai hak untuk menyuarakan pendapatnya.
Selain membicarakan mengenai motivasi di balik perjuangannya, kami pun sempat berbagi mengenai cerita serupa seperti kasus Yappa Mawini , namun di tempat yang berbeda. Kami pun berbagi mengenai bride kidnapping yang terjadi di Kyrgyzstan dan membicarakan kesamaannya dengan tradisi Yappa Mawini. Selama kami berbagi cerita tersebut, Martha Heby terlihat sangat menyimak, dan mengatakan bahwa ia terkejut hal yang serupa seperti salah satu adat di Sumba ini terjadi di tempat yang sangat jauh dari Sumba. Mendekati akhir pembicaraan kami, kami pun saling bertukar terima kasih karena wawasan yang kami dapat selagi kami saling berbagi cerita. Dari perbincangan yang kami lakukan dengan Martha Heby, kami dapat melihat bahwa ia sangat terjun ke dalam isu mengenai hak perempuan ini karena terdorong dari situasi dan kondisi yang pernah ia alami di Sumba.
Wibawanya yang Mempengaruhi
Pembawaan dalam perbincangan yang dimiliki oleh Martha Heby menjadi gambaran bahwa perempuan Sumba tidak sekeras atau setegas stereotip yang dimilikinya. Hal ini dibuktikan dengan pembawaannya yang sangat santai dan ramah, serta penuh candaan. Candaan yang ia berikan ke audiens memudahkan kami untuk membangun relasi dengannya, meski relasi yang terbangun tidak terlalu dalam. Bukan hanya itu, mulai dari saat ia maju ke depan meja panelis hingga penutup acara, sikap keterbukaannya membuat kami merasa nyaman untuk saling bertukar pikiran dengan dirinya. Pembawaan yang dimiliki membuat kami tidak ragu-ragu untuk menginisiasikan perbincangan. Bahkan, setelah kami selesai bertukar pikiran dengan dirinya, kami merasa terdorong untuk menjaga relasi dengannya. Hal ini kami lakukan dengan saling bertukar pesan, khususnya mengenai topik yang sudah dibahas dalam simposium. Tukar pikiran yang kami lakukan mengenai paralelitas kasus Yappa Mawini dan bride kidnapping di Kyrgyzstan menunjukkan keterbukaannya terhadap pengetahuan baru yang berkaitan dengan bidangnya. Kami pun saling berterima kasih atas informasi yang telah dibagikan untuk memperluas pengetahuan. Kami mendapati bahwa banyak perempuan di luar sana yang belum mendapatkan hak berpendapat atau haknya untuk berpendidikan karena pengekangan adat.
Setelah perbincangan kami dengan Martha Heby selesai, kami masih membicarakan bagaimana seseorang bisa sangat terdorong untuk memperjuangkan hak orang lain. Situasi dan kondisi lingkungan sekitar menjadi faktor utama dari terdorongnya seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, jika situasi dan kondisi tersebut tidaklah menguntungkan, maka seseorang akan terdorong untuk berjuang keluar dari situasi dan kondisi tersebut. Sama halnya dengan Martha Heby. Ia mengalami situasi dan kondisi yang mengekangnya di Sumba, dan secara pribadi, ia telah mendobrak batasan-batasan yang mengekangnya. Setelah bercermin dengan kehidupan di luar Sumba, ia pun merasa bahwa perempuan Sumba juga bisa melakukan hal yang sama, namun harus ada pihak yang memperjuangkan mereka. Oleh karenanya, Martha Heby pun memutuskan untuk menjadi salah satu pejuang hak perempuan Sumba. Kami pun menyadari bahwa banyak perempuan di luar sana yang pantas untuk diperjuangkan haknya, dan Martha Heby pun membangun rasa simpati dalam diri kami.
Referensi
Narayan, K. (2012). Alive in the writing: Crafting ethnography in the company of Chekhov. Chicago: University of Chicago Press.
Commentaires