top of page

Perilaku Berkendara Masyarakat Yogyakarta berkaitan dengan Stereotype “Yogyakarta Istimewa"


Keadaan Lalu Lintas di Yogyakarta melalui Kamera CCTV

Ketika mendengar kata Yogyakarta, kebanyakan orang akan beranggapan bahwa kota ini memliki kekhasan berupa budaya yang masih kental. Namun apakah masyarakat brbudaya dapat ditemui pada seluruh aspek kehidupan di Yogyakarta, termasuk budaya ketertiban. Ketertiban tentunya diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, ketertiban akan mengantarkan pada keteraturan. Salah satu ketertiban yang penting adalah ketertiban lalu lintas di jalan raya, mengapa hal ini penting, pertama karena pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, kedua volume kendaraan yang semakin bertambah berkaitan dengan taraf hidup masyarakat yang semakin meningkat, ketiga khususnya Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar sehingga setiap tahunnya selalu ada peningkatan penduduk dari elemen pelajar yang tidak diimbangi dengan penduduk yang keluar dari Yogyakarta, keempat banyaknya penduduk dari luar yang masuk ke Yogyakarta mestinya akan berpengaruh terhadap budaya ketertiban berlalu lintas yang masih terbawa dari daerah asal penduduk tersebut. Setidaknya keempat hal tersebut dapat menjadi pusat perhatian bagaimana pelanggaran dalam berlalu lintas yang dilakukan masyarakat di Yogyakarta.

Tabel Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di D.I Yogyakarta.

Sumber: https://yogyakarta.bps.go.id/dynamictable/2017/08/02/31/kepadatan-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-d-i-yogyakarta.html.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kepadatan Penduduk terbesar dimiliki Kota Yogyakarta sebesar 12, 699. Sehingga tidak heran bahwa pada tahun 2017 jumlah kendaraan di Yogyakarta meningkat sebesar 211% untuk kendaraan roda dua dan 344% untuk kendaraan roda empat, dari tahun sebelumnya. Bahkan survei menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan kota termacet dengan peringkat ke 4 di Indonesia (TribunJogja.com). Asumsinya dengan banyaknya penduduk dan semakin meningkatnya jumlah kendaraan di Yogyakarta maka pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengendara akan semakin banyak.

Tetapi lebih jauh lagi ada etika yang mengatur masyarakat Yogyakarta dalam kehidupan sehari-hari. Dari hasil analisis K Bertens (2004: 6) disimpulkan bahwa etika memiliki tiga posisi, yaitu sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai moral, dan (3) filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau buruk. Saya akan lebih terfokus pada posisi pertama yaitu etika sebagai sistem nilai, ini terbagi ke dalam dua cakupan yaitu etika formal dan etika non formal. Etika formal merupakan etika yang telah dibuat dan disepakati bersama serta tertulis, seperti dalam hal ini adalah etika berkendara telah diatur oleh pemerintah yang tercantum dalam Undang Undang nomor 22 Tahun 2009. Sedangkan etika non formal merupakan etika yang telah disepakati bersama serta bukan dalam bentuk tertulis, dalam hal berkendara tentunya suatu masyarakat memiliki konsep kepercayaan yang lebih jauh akan mengikat dan mengatur perilaku pengendara dalam berkendara, aturan inilah kiranya yang saya maksud dengan aturan non formal. Kepercayaan ini misalnya dapat berupa semboyan masyarakat yang menjadi ideologi atau perilaku bersama yang dilakukan oleh masyarakat dalam berkendara, meskipun perilaku ini melanggar tetapi karena dilakukan secara massal dan sudah disepakati bersama maka tetap dianggap benar oleh masyarakat.

Tentunya kita sudah mengetahui bahwa Yogyakarta memiliki gelar Istimewa karena perbedaannya dalam sistem pemerintahan yang masih mempertahankan sistem kerajaan. Keistimewaan ini tentunya menjadi penjelas bahwa Yogyakarta memiliki ciri khas yang menjadi pembeda dengan daerah lain. Sehingga dapat ditarik pertanyaan, apakah perbedaan Yogyakarta ini juga tercermin dalam etika berkendara masyarakatnya yang juga “Istimewa”?.


1. Etika Masyarakat Kota Yogyakarta dalam Berkendara

Setiap pengendara pasti setuju bahwa traffic light memiliki kekuatan untuk mengatur ketertiban di persimpangan pada jalan raya, sehingga apabila dilanggar akan menyeabkan kerugian baik bagi si pelanggar maupun pengendara lain. Namun pengendara akan lebih setuju apabila pada saat lampu Apill menunjukkan siap-siap untuk berhenti (warna kuning) maka pengendara malahan menambah kecepatan berkendaranya, menghindari lampu merah, bahkan setelah beberapa detik lampu merah banyak pengendara yang masih melintasi jalan yang berarti melanggar lalu lintas. Kebanyakan pengendara di Yogyakarta melakukan hal tersebut terlebih kendaraan bermotor. Bahkan lebih parahnya di Jalan Soedirman, tepatnya pada simpang empat Gramedia banyak pengendara setelah berselang lampu merah yang lumayan lama masih tetap menerobos, yang diikuti oleh pengendara-pengendara lain, sehingga mengganggu pengendara yang memiliki giliran untuk berjalan. Padahal tepat di simpang empat tersebut ada pos polisi dan pada waktu-waktu tertentu, ada polisi yang mengatur ketertiban lalu lintas pada wilayah tersebut. Namun, karena etika yang telah terbentuk dalam diri pengendara yaitu bahwa pada jalur tersebut boleh melanggar maka masih sering terjadi pelanggaran berupa penerobosan lampu Apill bersama-sama oleh pengendara, hal ini seakan-akan menjadi hal yang lumrah dilakukan serta dianggap bukan pelanggaran. walaupun ada polisi yang berjaga di tempat tersebut, mungkin dapat dikatakan bahwa di persimpangan empat Jalan Soedirman ini polisi seperti “kehilangan wibawa” sehingga tidak disegani lagi oleh pengendara atau saking bosannya polisi menjumpai pelanggaran yang sama tersebut sehingga mendiamkan dan seolah-olah mendukung pelanggaran yang dilakukan oleh pengendara di persimpangan empat jalan Soedirman tersebut.

Pelanggaran selanjutnya adalah adanya salah pemberhentian pada jalur pemberhentian lampu Apill yang memuat perbedaan prioritas jalur, terdepan merupakan zebra cross, setelahnya adalah markah untuk pengendara sepeda, barulah garis pengendaraan bermotor. Hal yang terjadi di Yogyakarta adalah sedikitnya pelanggaran pada jalur ini, memang sering ada kendaraan yang berhenti pada jalur sepeda, akan tetapi hanya satu atau dua kendaraan. Menurut penuturan adalah pengendara ibu-ibu yang membawa banyak belanjaan yang mungkin terburu-buru dan orang tua yang mungkin tidak memahami dengan arti dari markah pemberhentian sepeda ini. Bahkan saya pernah mengalami, ketika pengendara melewati batas pada markah ini maka akan dilihat-lihat (seperti dicibir lewat pandangan) oleh pengendara di belakangnya, sehingga mungkin akan timbul perasaan malu pada pengendara yang melanggar ini.

Hal lain yang menjadi perhatian saya adalah jarangnya pengendara di Yogyakarta membunyikan klakson. Mungkin hal ini dianggap sederhana dan kurang diperhatikan, namun bagi saya pembunyian klakson berdampak pada emosional pengendara sehingga menjadi etika yang penting. Pada pragraf sebelumnya telah dipaparkan bahwa Yogyakarta termasuk kota termacet di Indonesia, namun hal ini tidak menyebabkan pengendara membunyikan klakson dengan mudah saat macet terjadi. Klakson digunakan untuk peringatan pengendara yang kurang peka misalkan terhadap perubahan lampu Apill atau memperingatkan pengendara yan melanggar lalu lintas.


2. Adanya Gap di Beberapa Wilayah Yogyakarta dalam Etika Berkendara

Perbedaan pola pengendara di berbagai wilayah di Provinsi Yogyakarta, dalam hal ini Bantul dan Gunung Kidul. Bantul merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk terbesar ke dua setelah Yogyakarta. Berdasarkan data wawancara yang saya dapat, intensitas pelangaran lalu lintasnya lebih sedikit dibandingkan di Yogyakarta. Hal ini berarti bahwa pengendara di Bantul lebih tertib daripada d Yogyakarta. Pengendara di Bantul relatif lebih menaati aturan lalu lintas, seperti saatnya berhenti pada lampu merah maka masyarakatnya akan benar-benar berhenti, pada pelanggaran lain seperti pelanggaran melewati garis batas antara pengendara yang berlawanan arah jarang terjadi dibandingkan di Yogyakarta. Bahka ketika ada kendaraan yang hampir bertabrakan maka dua kendaraan tersebut akan sama-sama berhenti dan berkata monggo yang berarti mempersilakan kendaraan lain untuk melewati jalur yang sama-sama akan dilewati. Di Yogyakarta, apabila terjadi kejadian semacam ini maka akan terjadi cekcok kecil di antara pengendara yang hampir bertabrakan. Adapun hal yang menjadi alasan mengapa perbedaan tersebut dapat terjadi menurut pengalaman narasumber karena perbedaan lebar jalan dan volume kendaraan. Di Bantul kondisi jalan lebih lebar serta volume kendaraan lebih sedikit dibandingkan Yogyakarta, sehingga pengendara lebih efisien dalam menggunakan waktu di jalan raya serta tidak melanggar lalu lintas karena efisiensi ini.

Berbeda dengan kasus di Gunung Kidul yang memiliki wilayah paling luas serta penduduk yang paling sedikit dibandingkan wilayah lain di Provinsi Yogyakarta. Dari data ini maka dapat disimpulkan bahwa volume kendaraan di Gunung Kidul lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah lain (kecuali pada hari libur dan musim liburan). Namun kelengangan ini justru menjadi kesempatan bagi para pengendara yang melewati jalan-jalan di Gunung Kidul. Hal ini didasarkan pada data wawancara, bahwa karena kondisi jalan di Gunung Kidul yang sepi maka sering terjadi pelanggaran lalu lintas seperti menerobos lampu merah serta kecepatan pengendara yang melebihi batas normal dalam artian yang telah diatur pada jalur masing-masing.


3. Nilai Lokal Masih Dipegang Masyarakat Yogyakarta

Dalam penelitian Mulyana menyatakan bahwa etika sosial yang bersifat didaktis yang bersifat mendidik banyak tercermin dalam masyarakat Jawa. Pada intinya ajaran etika Jawa dapat dirumuskan dalam tiga macam 1) bersikap baik kepada Tuhan; 2) bersikap baik kepada sesama manusia; 3) bersikap baik kepada manusia dan alam. Hal itu tersirat misalnya dalam ungkapan-ungkapan tradisional yang menyimpan ajaran, petuah, dan etika sosial yang mendalam. Ungkapan seperti memayu hayuning budi dan aja siwayah-wayah adalah ungkapan etika sosial yang memiliki makna supaya menjadi manusia harus menjaga keselamatan dunia dan tidak sewenang-wenang. Etika ini yang menurut saya menjadi alasan mengapa masyarakat Yogyakarta memiliki keunikan yang masih menjaga tradis dalam bentuk gelar Keistimewaannya tentunya juga menjaga apa yang telah diungapkan Mulyadi tersebut. walaupun eksistensi dari ungkapan-ungkapan tradisional tersebut semakin surut namun penggunaannya lebih kepada praktik dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pada pencerminan etika dalam berkendara masyarakat Yogyakarta masih sedikit pelanggaran yang dilakukan karena ada gagasan yang mengatur masyarakat supaya tidak melakukan hal-hal yang dapat mencelakakan orang lain. Memang hal ini mungkin tidak terlalu dapat disoroti, tetapi perlu saya ungkapkan dalam esai ini bahwa masyarakat Yogyakarta memiliki keistimewaan dalam perilaku atau etikan bagaimana mereka berkendara yang berhubungan dengan keistimewaannya sehingga dapat dijadikan pembelajaran terutama bagi pengguna kendaraan di jalan raya.


Daftar Pustaka

Anonim. 2018. Wow, Jumlah Kendaraan di Kota Yogya Naik Hingga 200%. http://jogja.tribunnews.com/2018/02/26/wow-jumlah-kendaraan-di-kota-yogya-naik-hingga-200 . Diakses tanggal 27 September 2018 Pukul 23.50.

Badan Pusat Statistik Provinsi D.I Yogyakarta. 2017. Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I.Yogyakarta. https://yogyakarta.bps.go.id/dynamictable/2017/08/02/31/kepadatan-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-d-i-yogyakarta.html. Diakses tanggal 27 September 2018 Pukul 23.56.

Bertens, K 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mulyana. 2000. Pencerminan Budaya dalam Perilaku Kode-kode Bahasa (Sikap Kultur Masyarakat Jawa dalam Kulturnya. Disertasi Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page