Perjalanan Dua Masa Alun-Alun Yogyakarta: Dalam Transisi dari Jaman Kerajaan Hingga Milenial
- Yolaninda Sehnur
- Apr 27, 2019
- 10 min read
Updated: May 8, 2019
Anggita Putri Sekarini, Bety Oktaviani, Veronica Phrita K D, Yola Ninda Dwi W D S.
Pernahkah kalian mengunjungi Kota Yogyakarta? Jika iya, kalian sudah pergi ke mana saja? Bisa dipastikan bahwa orang-orang yang mengunjungi Yogyakarta selalu mengunjungi Keraton Yogyakarta dan Malioboro. Tidak heran jika Malioboro menjadi ikon Kota Yogyakarta, mengingat letaknya yang persis bersebelahan dengan Stasiun Yogyakarta. Hal ini tentu saja membuat pengunjung semakin mudah mengunjungi Malioboro. Malioboro merupakan jalan lurus yang membentang dari Stasiun Tugu hingga titik nol kilometer. Di sepanjang jalan ini berjajar banyak toko-toko baju batik dan oleh-oleh khas Yogyakarta, mal, dan tentunya bangku-bangku untuk duduk-duduk santai di sore hari menikmati ramainya Malioboro.
Lurus dengan jalan Malioboro, kita akan menemui satu lagi ikon Kota Yogyakarta yang terkernal, apalagi kalau bukan Keraton Yogyakarta. Keberadaan keraton ini menegaskan status daerah ini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono dan wakilnya Pakualam. Keraton Yogyakarta selalu menarik minat para pengunjung kota Yogyakarta. Hal ini karena aspek historis yang kuat sebagai bukti kejayaan Kerajaan Mataram di masa lalu. Selain itu juga pengalaman mengamati dan merasakan budaya Jawa yang masih dijaga dengan lestari menjadi pengalaman yang tidak ada duanya.
Pada jaman dahulu hingga kini, Keraton Yogyakarta menjadi tempat tinggal raja yang secara administratif adalah gubernur D.I. Yogyakarta. Sebagai pusat kerajaan, Keraton Yogyakarta juga memiliki ciri khas seperti pusat kerajaan yang lainnya. Keberadaan Alun-alun Selatan (kidul) dan Alun-alun Utara (lor) menjadi ciri bahwa Keraton Yogyakarta dari jaman dulu hingga kini menjadi pusat kerajaan.
Sangat menarik memperbincangkan tentang dua alun-alun ini. Terutama dalam dunia kontemporer saat ini, kita dapat menemukan alun-alun hampir di setiap kota di Indonesia. Kini kita mengenal alun-alun sebagai tempat rekreasi. Bisa hanya sekedar duduk-duduk bersama pacar, bermain bersama anak-anak, untuk jogging, atau pesta rakyat yang diadakan di waktu-waktu tertentu untuk memperingati hari ulang tahun sebuah kota, misalnya. Hal ini menandai sebagai pentingnya keberadaan alun-alun sebagai sebuah infrastruktur kota, khususnya Alun-alun Selatan dan Utara di Kota Yogyakarta.
Alun-alun ini, sesuai dengan namanya, terletak di sebelah Utara dan Selatan Keraton Yogyakarta. Jika kita amati dari jalan menuju alun-alun Selatan, sekilas memberikan kesan bahwa alun-alun Selatan lebih terkesan privat daripada alun-alun Utara. Hal ini karena letak alun-alun Utara yang langsung dapat kita lihat setelah menyeberangi perempatan titik nol kilometer. Alun-alun Utara pada hari ini nampak lebih sepi pengunjung daripada alun-alun Selatan. Kegiatan pariwisata malam hari selanjutnya selain Malioboro adalah Alun-alun Selatan.
Alun-alun Selatan dan Alun-alun Utara kini menjadi salah satu daya tarik wisata. Yang dikunjungi tidak hanya wisatawan lokal tapi juga mancanegara. Sebagai sebuah penanda kekuasaan pada masa lalu, alun-alun mengalami alih fungsi infrastruktur. Dari awal pembangunan alun-alun pada masa kerajaan hingga kini mengikuti perkembangan jaman.
Alun-Alun Selatan dan Utara dalam Sejarah
Ruang publik merupakan salah satu unsur lingkungan binaan yang ikut serta membentuk citra sebuah kota. Ruang ini digunakan oleh kelompok orang yang tinggal dalam wilayah teritori secara bersama-sama, yang kontrol ruang ini bukan pada perorangan tetapi pada kelompok atau agen yang mewakili kelompok tersebut (Habraken, 1998). Alun-alun merupakan salah satu konsep ruang terbuka publik yang dikenal oleh masyarakat Jawa tradisional.
Pada hampir setiap tempat kediaman Bupati, kepala distrik di Jawa, pasti akan dijumpai sebuah lapangan yang luas, yang di tengahnya ada sepasang beringin. Lapangan inilah yang disebut ‘alun-alun’. Pada kota-kota bekas kerajaan kuno seperti Yogyakarta dan Surakarta memiliki dua alun-alun yang masing-masing terletak di utara dan selatan Keraton. Di permukaan alun-alun ini tidak boleh ada rumput tumbuh dan diatasnya ditutupi dengan pasir halus (Paulus, 1917). Sejak jaman Majapahit sampai Mataram, alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komplek Keraton. Pada masa lalu, Keraton dalam masyarakat tradisional merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat kebudayaan. Alun-alun bisa dikatakan sebagai pusat kemasyarakatan, seperti sebagai tempat upacara kegiatan kerajaan, rekreasi, hiburan, pasar malam, dan berbagai kegiatan ekonomi. Uniknya, pusat kemasyarakatan ini justru terletak di belakang Keraton, yaitu di Alun-alun Utara karena Keraton menghadap ke selatan.
Alun-alun Utara) yang terletak di depan Pagelaran merupakan gambaran suasana yang ngelangut, yaitu suasana tanpa tepi, suasana hati manusia dalam semedi yang di dalamnya ada banyak godaan dan cobaan yang tercermin dari luasnya alun-alun sebagai gambaran luasnya masyarakat dengan berbagai sifat yang akan mempengaruhi iman seseorang untuk madhep (menghadap) Tuhan. Dua beringin yang berada di tengah Alun-alun Utara menggambarkan kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Konsep alun-alun ini dikelilingi empat unsur penting dalam sebuah pemerintahan, yaitu istana di bagian selatan, masjid di bagian batar, pasar di bagian utara, dan penjara di bagian timur. Konsep ini bisa kita lihat di Keraton Yogyakarta. Pasar Beringharjo yang berada di sebelah timur-utara letaknya dipisahkan oleh jalan dengan masjid di sebelah barat. Hal ini digunakan untuk menunjukkan pemisah makna simbolik keduanya, di mana pasar melambangkan duniawi sedangkan masjid melambangkan kesucian atau kehidupan rohani. Empat lokasi penting ini juga melambangkan empat penjuru mata angin. Akses jalan di tengah alun-alun seperti membelah menjadi dua bagian dan diapit dua pohon beringin merupakan lambang antara Keraton, masjid, dan pagelaran merupakan hal yang tidak terpisahkan. Jalan di tengah ini merupakan simbol kerukunan antar umat dan keharmonisan antara raja dengan rakyatnya.
Alun-alun Selatan) terletak bersebrangan dengan Alun-alun Utara. Jalan keluar masuk Alun-alun Selatan berjumlah tujuh. Dari selatan kita bisa masuk melalui plengkung gadhing. Kemudian dari timur kita bisa masuk melalui jalan Langenarjan di sebelah utara dan jalan Langenastran di sebelah selatan. Lalu dari utara bisa masuk melalui jalan Pamekang yang berada di sebelah barat dan timur Siti Hinggil. Juga dari barat bisa masuk melalui jalan Ngadisuryan di sebelah utara dan jalan Patehan di sebelah selatan.
Pada jaman dahulu Alun-alun Selatan digunakan untuk berbagai keperluan yang menyangkut kepentingan Keraton Yogyakarta, seperti digunakan untuk berlatih atau gladhen para prajurit keraton menjelang Grebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun (Grebeg Mulud, Grebeg Sawal, dan Grebeg Besar). Alun-alun Selatan juga digunakan untuk tempat menghadap bagi abdi dalem Wadana Prajurit dalam tradisi di bulan Puasa pada malam tanggal 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa. Selain itu, pada masa Sultan Hamengkubuwono VII, setiap Senin dan Kamis siang diadakan pertandingan panahan, adu harimau melawan kerbau, dan hiburan prajurit rampigan menangkap harimau.
Dahulu sampai dengan sekitar tahun 1980, Alun-alun Selatan merupakan tempat yang sepi kecuali hari-hari tertentu saat ada kegiatan Keraton. Selain itu, pada saat malam hari alun-alun Selatan tempatnya sepi dan menyeramkan. Tidak ada orang yang berani melewatinya. Namun, sekarang suasananya sudah berubah. Keramaian dimulai ketika bangunan Sasana Hinggil yang baru, yang terletak di utara Alun-alun Selatan digunakan untuk pagelaran wayang kulit semalam suntuk setiap Sabtu malam kedua setiap bulannya. Jalan lingkar yang berada di sekitar Alun-alun Selatan kemudian mulai dibangun juga pada tahun tersebut. Selain itu juga dipasang lampu yang mengelilingi alun-alun, sehingga apabila malam datang suasananya tidak menjadi gelap lagi.
Sekarang, setiap saat Alun-alun Selatan selalu ramai oleh berbagai aktivitas, baik hiburan, olah raga, juga pedagang makanan dan minuman yang selalu ada di sana. Selain aktivitas tersebut, mesangin juga menjadi salah satu daya tarik di Alun-alun Selatan. Mesangin adalah kegiatan yang berarti masuk di antara dua pohon beringin yang berada di tengah-tengah Alun-alun Selatan. Mesangin dahulu terkait dengan ritual mubeng benteng yang dilakukan setiap malam 1 Suro untuk menyambut tahun baru dalam kalender Jawa. Sekarang, siapapun boleh melakukannya karena hal ini sudah menjadi salah satu hiburan dan daya tarik tersendiri.
Namun, sampai saat ini mesangin masih diyakini sebagai aktivitas ritual bagi sebagian orang. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat, bahwa barang siapa yang bisa melakukannya dengan benar maka keinginannya akan terkabul. Sebagian orang menyebutnya dengan ngalap berkah.
Dengan adanya berbagai aktivitas di Alun-alun Selatan juga mendorong tumbunya aktivitas perekonomian. Fungsi alun-alun sebagai ruang terbuka publik kemudian terdominasi sebagai fungsi ekonomi. Seperti sebuah pasar, banyak pedagang yang membuka lapak untuk berdagang di situ, mulai dari yang hanya menggelar dagangan di trotoar, sampai tenda-tenda layaknya los pasar. Alun-alun Selatan yang dulunya sangat sepi, menakutkan, dam angker kemudian sekarang berubah menjadi tempat yang ramai, bersih, terang, dan menjadi kawasan wisata di dalam benteng Keraton yang bernuansa spiritual kultural. Walaupun tempatnya sudah banyak berubah seperti sekarang, tentunya ada ciri khusus atau makna yang mendalam yang masih abadi sejak dahulu sampai sekarang.
Dari waktu ke waktu peran alun-alun mengalami banyak perubahan. Pada zaman prakolonial, antara alun-alun, keraton, dan masjid memiliki konsep keselarasan yang merupakan wujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos, yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Oleh karena itu, meskipun terdapat perubahan bentuk alun-alun dari jaman Majapahit sampai Mataram, tapi terlihat adanya kelanjutan konsep pemikiran mengenai penataannya. Perubahan pada alun-alun nyaris tidak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang berlebihan. Banyak masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka ini dengan paham ‘berhak melakukan apa saja’. alun-alun setidaknya bisa ‘bercerita’ mengenai sejarah suatu kota di masa lampau, baik alun-alun di Keraton maupun alun-alun Kabupaten.
Menilik Aktivitas di Alun-Alun Kidul, Kraton Yogyakarta
Sebagai orang yang tinggal di Jogja, tentu saja tidak asing bagi kami nama "Alun-alun Kidul”. Alun-alun Kidul (Selatan) atau anak jaman sekarang menyebutnya “Alkid” terletak di sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Dengan sejarah fungsi alun-alun yang sebelumnya sudah dijelaskan, kini wajah Alun-alun Selatan menjelma ruang publik yang sering dikunjungi oleh wisatawan lokal, maupun interlokal. Beberapa kali, kami telah mengunjungi Alun-alun Selatan di waktu yang berbeda, yakni pada pagi, siang, sore, dan malam. Beberapa perbedaan waktu itu ternyata juga membedakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang yang datang ke Alun-alun Selatan ini. Alun-alun Selatan yang mana ukurannya relatif lebih sempit dibandingkan dengan Alun-alun Utara Keraton memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang ke sana.
Pada pertengahan bulan lalu, salah satu anggota dari kami mengunjungi Alun-alun Selatan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 11.00. Suasana Alun-alun Selatan pada saat itu masih sepi. Hanya terlihat ada beberapa pedagang yang berada di sebelah pojok timur-selatan alun-alun. Mereka menjual es degan, bakwan kawi, dan tahu gejrot. Sedangkan, alun-alun digunakan untuk kegiatan olahraga oleh beberapa siswa sekolah menengah. Semakin waktu mendekati pukul 12.00, pengunjung alun-alun semakin ramai. Tak lain, mereka hanya sekedar berteduh dan membeli es degan dengan bakwan kawi. Selain itu, tak jarang pula kami menemukan bahwa orang yang datang ke alun-alun hanya untuk membeli dan mencoba apa yang dinamakan tahu gejrot, kuliner khas yang beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial.
Kemarin, hari Selasa tanggal 23 April 2019, kami mengunjungi kembali Alun-alun Selatan. Pukul 16.30 kami tiba di sana. Kami memarkirkan motor kami di pinggir jalan sebelah selatan alun-alun. Kemudian, kami berjalan ke barat, mengelilingi tepi alun-alun. Kami memutuskan untuk membeli es goreng, jajanan yang baru-baru ini sedang viral di beberapa media kuliner, terutama kuliner Jogja. Sebenarnya, banyak sekali jajanan di Alun-alun Selatan yang diangkat ke media sosial sehingga menjadi viral dan tentu saja hal berpengaruh pada meningkatnya pendapatan ekonomi para pedagang yang ada di Alun-alun Selatan. Selain es goreng, ada beberapa kuliner yang cukup terkenal hingga setiap hari membuat alun-alun ramai oleh pengunjung, yakni cilok gajah, bakso tusuk, cilor dan odong-odong atau mobil warna-warni. Selain kuliner, cukup banyak pedagang yang menjual beberapa mainan anak-anak seperti layang-layang dan gelembung.
Kami membeli dua buah es goreng seharga lima ribu rupiah. Es goreng yang cukup terkenal di Alun-alun Selatan ini terletak di sebelah barat alun-alun. Cara pedagang es goreng untuk menarik perhatian wisatawan menurut kami berbeda dengan pedagang lainnya. Ia menggunakan satu mic beserta speaker, kemudian ia dengan ramahnya menjajakan dagangannya disertai pantun-pantun yang mengundang tawa para wisatawan. Setelah kami membeli es goreng, kami ingin mencoba jajanan yang menarik juga bagi kami, yakni cilor. Cilor adalah salah satu jajanan yang komponennya terdiri dari adonan aci dan telur, kemudian digoreng. Kami membelinya, untuk menemani diskusi kami tentang Alun-alun Selatan ini. Kemudian, kami mencari tempat duduk, tepat berada di halaman alun-alun, kemudian mengobrol hingga pukul 18.30.
Dari pengamatan kami, saat ini Alun-alun Selatan telah berubah menjadi destinasi kuliner dan ruang publik bagi masyarakat. Para wisatawan berkunjung untuk mengisi waktu luangnya di tengah kesibukan kota Yogyakarta. Mereka datang bersama orang terdekat seperti keluarga, kekasih, teman, dan lain sebagainya. Pemandangan yang sangat apik yang kami amati adalah di kanan dan kiri kami, kami banyak melihat beberapa pasang kekasih yang saling menatap dengan raut wajah yang romantis, banyak anak-anak yang berlarian memainkan layang-layang dan gelembung yang mereka beli di alun-alun, bapak-ibu yang sedang jogging mengelilingi alun-alun, serta para pedagang yang sibuk melayani pembeli.
Selain itu, Alun-alun Selatan menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi yang ada di Yogyakarta. Adanya jajanan yang kekinian membuat wisatawan tertarik untuk datang hanya sekedar membeli jajanan, atau datang dan duduk menikmati keramaian di alun-alun. Tempat yang memiliki sejarah panjang ini, kini menjadi salah satu ikon Kota Yogyakarta karena aktivitas masyarakat yang kompleks di dalamnya.
Alun-Alun Utara Hari Ini
Melalui observasi yang telah dilakukan, terlihat jelas adanya perbedaan di antara kedua alun-alun yang letaknya berdekatan ini. Berlainan dengan Alun-alun Selatan (Alun-Alun Kidul), Alun-Alun Utara (Alun-alun Lor) memiliki fungsi lain setelah majunya zaman yang diikuti berkembangnya teknologi. Alun-alun Utara yang identik dengan dua pohon beringin mulai disesaki kendaraan bermotor di tepiannya. Hal ini disebabkan munculnya beraneka ragam usaha kuliner yang menjadi daya tarik wisatawan. Dipadukan dengan pemandangan alun-alun yang tampak lebih lengang, kokohnya bangunan Kraton, dan diterangi lampu berwarna kuning hangat. Di Alun-alun Utara, pengunjung dapat melihat bagaimana budaya dan teknologi berkolaborasi dalam satu ruang yang sama. Kafe-kafe yang berjejer rapi disisipi satu-dua angkringan, motor serta mobil yang terparkir di samping megahnya Kraton dengan nuansa adat Jawa yang kental. Alun-alun Utara merupakan salah satu tempat di Yogyakarta yang mampu menunjukkan kolaborasi infrastruktur dengan kebudayaan yang keduanya berjalan beriringan namun tetap membawa fungsi dan cirinya masing-masing.
Selain tumbuhnya kegiatan ekonomi dengan hadirnya kafe dan angkringan di sekitar Alun-alun Utara, di sana juga turut menjadi sarana kebudayaan yang berbeda dengan fungsi Alun-alun Selatan. Sekaten, contohnya. Perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW memiliki nilai tersendiri bagi penduduk Jawa termasuk Yogyakarta. Sehingga, ketika perayaan Sekaten yang bermaksud untuk merayakan kelahiran junjungan umat Islam telah memasuki tanggalannya Alun-alun Utara akan berubah menjadi arena perayaan tersebut. Baju-baju, makanan, hingga arena permainan ditawarkan dalam perayaan Sekaten yang berlokasi tepat di depan bangungan Kraton yang sangat kental akan kebudayaan jawa. Alun-alun Utara pada saat-saat ini dapat terlihat sebagai sebuah infrastruktur publik yang digunakan jauh berbeda dengan fungsi sebenarnya di zaman dahulu. Bahwa dikarenakan kemajuan teknologi, Alun-alun Utara yang pada awal pembuatannya dimaksudkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dapat berubah dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tetapi tetap sesuai dengan aturan yang sudah ada.
Melihat dari bagaimana fungsi Alun-alun saat ini menimbulkan gambaran bahwa sejatinya Alun-alun Utara telah kehilangan fungsi seperti di masa lalu. Alun-alun Utara kini beralih fungsi dan lebih bebas untuk digunakan masyarakat. Bahkan sedikit menambah infrastruktur di dalam area Alun-alun Utara pun kini diperbolehkan. Sehingga, masyarakat dapat lebih menikmati Alun-alun Utara sebagai ruang berwisata ataupun untuk menghabiskan waktu luang.
Namun, Alun-alun Utara nampaknya tidak serupa dengan Alun-alun Selatan di mana Alun-alun Selatan merupakan ‘tempat’ wisatawan bertujuan untuk singgah tepat di Alun-alun Selatan. Alun-alun Utara terkesan hadir sebagai pelengkap dari wisata yang kini hadir. Alun-alun Utara menjadi ‘pemanis’ ruang kebudayaan meliputi wisata budaya Kraton Yogyakarta, wisata kuliner, hingga wisata sejarah seperti Museum Kereta. Oleh sebab itu pula, hal ini menjelaskan mengapa Alun-alun Utara di hari biasa (bukan perayaan hari besar) terlihat lebih sepi dibandingkan dengan Alun-alun Selatan. Karena berdasar pengamatan selama ini, pengunjung bertandang ke Alun-alun utara dikarenakan wisata lain yang ada di sekitar Alun-alun Utara.
Referensi
1. Warpani, Suwardjoko. Tanpa Tahun. Alun-alun. SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota diakses melalui https://tataruang.atr-bpn.go.id/Bulletin/upload/data_artikel/ pada 21 April 2019
2. Indrianingrum, Lulut, Anis Nur Azizah, Gilang Eko Prasetyo, Nurul Hidayah. 2015. Pergeseran Peran dan Fungsi Alun-alun Kaliwungu sebagai Ruang Terbuka Publik dalam Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan, No 1 Vol. 17 diakses melalui https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jtsp/article/viewFile/6887/5030 pada 22 April 2019
3. Hardinoto. 1992. Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang. Universitas Kristen Petra diakses melalui https://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/ALUN-ALUN.pdf pada 23 April 2019
4. Mumfangati, Titi. Tanpa Tahun. Wisata Budaya Alun-alun Selatan Karaton Yogyakarta diakses melalui https://bpad.jogjaprov.go.id/public/article/501/alun-alun_selatan.pdf pada 22 April 2019
5. https://www.tembi.net/2017/11/07/filosofi-alun-alun-lor-keraton-kasultanan-yogyakarta/ diakses pada 23 April 2019
Comments