top of page

Pernikahan Anak di India: Peningkatan Kesadaran akan Konsekuensinya


Sumber: India Today

Pernikahan dini merupakan suatu isu umumnya ditemukan di negara-negara berkembang. Belakangan ini, di Indonesia sendiri pun terdapat berbagai macam kasus mengenai pernikahan anak di bawah umur. Meskipun telah ada regulasi yang mengatur usia layak menikah, namun tidak sedikit orang tua yang malah mendorong anaknya untuk “menghindari zina” atau dengan kata lain, mengikuti ajaran agama Islam. Tidak hanya di Indonesia, India juga mengalami masalah yang sama.


India merupakan salah satu negara yang dikenal akan isu pernikahan anak. Dilansir dalam situs "Girls Not Brides", pernikahan anak di India paling banyak melibatkan perempuan di bawah umur yang berada dalam kondisi sosio-ekonomi yang miskin. Dituliskan pula bahwa umumnya, yang terlibat dalam pernikahan anak ini adalah perempuan berumur di bawah 18 tahun atau laki-laki berumur di bawah 21 tahun. Terjadinya pernikahan dini di India dipengaruhi oleh sistem kepercayaan maupun sistem kasta yang dianut oleh masyarakat India. Banyak perempuan yang dinikahi dengan laki-laki dari kasta yang lebih tinggi, demi meningkatkan kesejahteraan dan reputasi keluarga perempuan – dan juga sebaliknya. Pernikahan anak ini membawa berbagai macam konsekuensi – khususnya konsekuensi kesehatan – yang umumnya berbahaya bagi sang istri. Dalam esai ini, saya akan mencoba membahas mengenai pernikahan anak di India, tindakan preventif apa saja yang telah dilakukan, serta konsekuensinya. Harapan dengan ditulisnya esai ini adalah dapat terbangun suatu kesadaran atas konsekuensi dari pernikahan anak, di atas keuntungan yang didapat.


Pernikahan Anak di India

Pernikahan anak adalah segala pernikahan formal maupun informal dimana satu atau kedua belah pihak berada di bawah umur 18 tahun. Batas umur menjadi faktor terpenting dalam pernikahan anak, dan melalui batas umur inilah pernikahan anak umumnya diatur. Aturan mengenai batas umur pernikahan merupakan cara terpenting untuk mengamankan anak laki-laki dan perempuan dari pernikahan sebelum mereka siap. Penting pula untuk hukum mengakui anak-anak sebagai anak-anak sepenuhnya dan mendapatkan perlindungan hukum penuh. Keberadaan aturan mengenai batas umur pernikahan juga membantu para aktivis yang bekerja untuk menghentikan keluarga-keluarga yang ingin menikahi anak-anaknya dengan menyediakan instrumen hukum yang jelas.


Secara global, undang-undang yang mengatur larangan atas pernikahan anak telah diberlakukan sejak tahun 1929 melalui The Child Marriage Restraint Act of 1929, dan telah mengalami pembaharuan pada tahun 2006 melalui The Prohibition of Child Marriage Act. Undang-undang ini melarang perempuan dibawah umur 18 tahun dan laki-laki dibawah 21 tahun untuk menikah. Orang tua atau saudara dari perempuan maupun laki-laki yang memperbolehkan terjadinya pernikahan dapat dipidana sampai dengan 2 tahun penjara. Situs “Girls Not Brides” mencatat bahwa mayoritas negara di dunia memiliki batas umur 18 tahun untuk pernikahan, namun masih terdapat negara-negara yang melegalkan pernikahan di bawah batas umur selama mendapatkan konsen dari orang tua. India merupakan negara penyumbang pernikahan anak terbesar di dunia, mencapai satu per tiga dari keseluruhan kasus di dunia. Menurut undang-undang di India, pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang melibatkan perempuan lebih muda dari 18 tahun dan laki-laki lebih muda dari 21 tahun – mengikuti definisi dari The Prohibition of Child Marriage Act.


Penelitian yang dilakukan oleh Sama Resource Group for Women and Health membuktikan bahwa definisi yang dimiliki oleh literatur-literatur India atas istilah “pernikahan dini” tumpang-tindih dengan istilah “pernikahan anak”. “Pernikahan dini” memiliki berbagai macam faktor yang umumnya memiliki konotasi positif, seperti atas pilihan, aspirasi, situasi, maupun kesempatan yang dapat diterima oleh komunitas asal para mempelai. Sedangkan pada “pernikahan anak”, sudah jelas bahwa pernikahan tersebut terjadi pada seseorang yang masih di bawah umur di mata hukum. Dilema atas umur yang dianggap pantas untuk menikah masih menjadi perdebatan di India dan masih belum menemukan titik temu.

Penelitian yang sama membuktikan bahwa pernikahan anak berkaitan dengan kemiskinan, migrasi, norma gender dan seksualitas. UNICEF dan UNFPA (2017) menyatakan bahwa alasan di balik pernikahan anak di India berbeda-beda berdasarkan wilayah, kasta, serta suku. Namun, secara nasional, hal ini umumnya berakar dari anak perempuan di India dianggap memiliki nilai rendah, sehingga anak perempuan – khususnya yang berasal dari keluarga miskin – lebih berpotensi untuk mengalami pernikahan anak. Salah satu contoh kasus dari pernikahan anak yang berdasarkan pada status ekonomi dan sosial keluarga adalah pernikahan anak yang terjadi di Samata yang diteliti oleh Beniamino Cislaghi dan Parinita Bhattacharjee (2017).


Cislaghi dan Bhattacharjee (2017) mengatakan bahwa di Samata, pernikahan anak dipicu oleh adanya ancaman terhadap kehormatan keluarga atas keputusan orang tua dalam hidup anak perempuannya. Orang tua cenderung lebih khawatir atas perhatian yang didapat anak perempuannya ketika ia pergi ke sekolah dibandingkan konsekuensi ekonomi yang dihadapi jika mereka menyekolahkan anak perempuannya. Hal ini terwujud melalui pelecehan yang dialami oleh anak-anak dalam perjalanan ke sekolah di Samata. Anak laki-laki dianggap menghancurkan kehormatan keluarga ketika ia menggoda perempuan atau tidak menghormati lansia. Sedangkan anak perempuan dianggap mengancam kehormatan keluarga apabila terdapat laki-laki yang tergugah oleh seksualitasnya. Konsekuensi yang dihadapi oleh kedua jenis kelamin pun berbeda, dan lebih berat bagi anak perempuan karena anak perempuan tidak memiliki kendali atas tindakan anak laki-laki. Untuk menghindari hal ini, umumnya orang tua di Samata lebih memilih untuk menikahkan anaknya dibandingkan menyekolahkan anaknya untuk menghindari ancaman terhadap kehormatan keluarga yang terwujud melalui pelecehan (Cislaghi dan Bhattacharjee, 2017).


Konsekuensi Kesehatan

Pernikahan anak tentunya memiliki implikasi kesehatan, di mana pun ia berada. Konsekuensi kesehatan ini khususnya berdampak ke perempuan karena terkait dengan kehamilan dini dan proses kelahiran, dan kemudian berakibat pada angka mortalitas maternal yang tinggi. Terdapat konsekuensi kesehatan lain yang terkait dengan pernikahan anak, seperti kerentanan terhadap penyakit menular seksual, aborsi, serta gangguan mental. Namun di India, hal semacam ini umumnya tidak terjadi karena munculnya wacana mengenai pernikahan dini serta kesehatan (Sama Resource Group for Women and Health, 2015). Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan anak memiliki banyak konsekuensi kesehatan, khususnya terhadap perempuan.


Selain dalam aspek kehamilan dan kelahiran, pernikahan dini juga lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. UNICEF dan UNFPA (2017) mencatat bahwa satu dari empat perempuan yang mengalami pernikahan anak merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya. Selain berbentuk gangguan fisik, KDRT ini juga berbentuk gangguan psikis terhadap korbannya. Gangguan psikis ini juga tidak hanya disebabkan oleh KDRT, namun juga oleh sifat dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan anak yang juga pernikahan paksa kemudian menaruh tekanan terhadap kesehatan mental dari korbannya (Sama Resource Group for Women and Health, 2015).


Konsekuensi Sosial Budaya

Pernikahan anak tidak hanya memiliki konsekuensi kesehatan, namun juga memiliki konsekuensi sosial budaya. Meskipun begitu, aspek ini masih kurang dieksplorasi dan kurang ditekankan. Pernikahan anak juga memiliki implikasi atas agensi wanita dan anak perempuan. Data membuktikan bahwa pengambilan keputusan dan mobilitas wanita dalam suatu keluarga menunjukkan kekuatan hierarkisnya, dan juga membuktikan bahwa perempuan yang menikah dengan umur yang lebih muda cenderung termarginalkan dari pengambilan keputusan dalam rumah tangga natal maupun maritalnya (Sama Resource Group for Women and Health, 2015). Hal ini pantas untuk dieksplorasi lebih lanjut, karena terdapat indikasi bahwa pengambilan keputusan dan mobilitas dalam suatu rumah tangga tidak hanya bergender, namun juga berumur – apabila pihak yang terlibat lebih tua dan dianggap lebih dewasa dan mapan, maka ia akan menunjukkan kuasa hierarkisnya, namun apabila lebih muda, maka suaranya akan terabaikan.


Selain kuasa hierarkis, pernikahan anak juga memiliki implikasi bahwa pihak yang menikah merupakan ‘social rejects’ (Sama Resource Group for Women and Health, 2015), mereka dinikahkan karena mereka berasal dari kelompok yang termarginalkan dan melalui pernikahan tersebut, maka mereka dapat memperbaiki status sosial mereka. Sederhananya, permasalahan sosial budaya yang terdapat dalam pernikahan anak tidak hanya timbul karena adanya pernikahan itu, namun juga menjadi alasan terjadinya pernikahan itu. Kurangnya fokus terhadap konsekuensi sosial budaya ini sebenarnya sangat memprihatinkan, karena pihak-pihak yang terlibat tetaplah harus hidup diantara masyarakat. Ketika mereka mendapat tatapan dari orang lain, kemudian timbul marginalisasi baru terhadap mereka.


Sebuah Refleksi

Meskipun pada beberapa tahun terakhir pernikahan anak di India telah menurun, namun tingkat pernikahan anak di India masih tergolong tinggi dibanding wilayah-wilayah lain di dunia. Hal ini membuktikan bahwa meskipun telah ada undang-undang yang melarang pernikahan anak, India masih belum cukup meningkatkan kesadaran atas bahaya yang ditimbulkan dari pernikahan anak. Tidak hanya konsekuensi kesehatan yang dimilikinya, namun juga terdapat konsekuensi sosial budaya yang menyertainya. Pernikahan anak yang umumnya melibatkan anak-anak yang berasal dari kelompok marginal ini harus diberdayakan, khususnya melalui pendidikan. Dengan adanya edukasi, anak-anak ini bisa lebih banyak mengetahui tentang akibat dan bahaya yang ditimbulkan oleh pernikahan anak.


Masih banyak keluarga di India, khususnya yang berasal dari kelompok miskin dan marginal, percaya bahwa dengan menikahkan anak perempuannya ke seseorang yang berasal dari hierarki sosial lebih tinggi, kehormatan keluarganya dapat meningkat dan membaik. Kentalnya tradisi di India menjadi salah satu faktor terbesar yang mengakibatkan terjadinya pernikahan anak, dan tidak dapat diubah begitu saja. Mengubah tradisi juga berarti mengubah gaya hidup masyarakat tersebut, sedangkan mereka hanya mengetahui satu gaya hidup semasa hidup mereka. Realita yang terjadi dalam pernikahan anak adalah ketidaksetaraan gender dan kemiskinan antargenerasi karena terpotongnya masa pubertas oleh pernikahan anak. Melalui pemberdayaan, siklus fatal ini dapat terhindari, karena masa anak-anak dan remaja merupakan masa dimana semangat belajar bisa ditempa dan dengan adanya pendidikan, maka generasi muda bisa memiliki kekuatan untuk mengakhiri pernikahan anak di India.


Referensi

Cislaghi, B. and Bhattacharjee, P. (2017). Honour and Prestige: The influence of social norms on violence against women and girls in Karnataka, South India. Diperoleh dari https://www.girlsnotbrides.org/resource-centre/honour-prestige-influence-social-norms-violence-women-girls-karnataka-south-india/ pada 23 September 2018


Girls Not Brides. (n.d.) About child marriage. Diperoleh dari https://www.girlsnotbrides.org/about-child-marriage/ pada 15 November 2018


Girls Not Brides. (n.d.). Child marriage & the law. Diperoleh dari https://www.girlsnotbrides.org/child-marriage-law/ pada 23 September 2018


Sama Resource Group for Women and Health. (2015). Dataspeak: Early Marriage and Health. Diperoleh dari https://www.girlsnotbrides.org/resource-centre/dataspeak-early-marriage-health/ pada 23 September 2018


UNICEF, UNFPA. (2017). Ending Child Marriage in India [Brochure]. Diperoleh dari https://www.girlsnotbrides.org/resource-centre/ending-child-marriage-india/ pada 23 September 2018

7 views0 comments

Comentarios


bottom of page