Perspektif Filsafat, Psikologi, dan Antropologi tentang Nilai
- Vidya Ramadhani
- Dec 28, 2018
- 10 min read
Arkan Syafera dan Vidya Ramadhani

Istilah “value” atau nilai jelas bukan hal yang asing di sekitar kita. Di tanah Indonesia, ‘nilai’ amatlah dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Ingin melakukan suatu hal harus mengikuti nilai yang ada di masyarakat. Tidak boleh melakukan ini karena tidak sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat. Tiap-tiap tempat memiliki nilai masing-masing yang mesti dan pasti dianut oleh masyarakat yang meninggali tempat tersebut. Tidak hanya masyarakat, masing-masing orang memiliki nilai yang dianut oleh pribadinya. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, nilai itu seperti apa? Tentu saja tidak mudah untuk menjawab hal tersebut karena kata nilai memiliki berbagai makna yang dipandang dari berbagai perspektif. Namun, dalam KBBI dijelaskan bahwa nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan dan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Kami menganggap penjelasan tersebut masih butuh diperdalam karena penjelasan tersebut tidak dapat sepenuhnya menjawab dengan jelas mengenai apa itu nilai bagi pemahaman kami tentang nilai itu sendiri, dilihat dari berbagai sisi sehingga dalam tulisan ini kami berminat untuk membahas nilai dalam berbagai perspektif, bagaimana sudut pandang-sudut pandang lain memandang dan menganggap nilai dalam studinya, karena nilai merupakan hal yang selalu ditemui di manapun kaki berpijak.
Nilai dalam Perspektif Antropologi
Nilai dalam bidang studi antropologi merupakan hal yang baru-baru ini muncul sebagai objek perhatian teori eksplisit bersama dengan sejumlah disiplin ilmu lainnya. Dalam sumber yang kami dapatkan, ditulis oleh Joel Robbins dan Julian Sommerschuh (2016), keduanya menyampaikan bahwa tujuan dari tulisan mereka adalah untuk meninjau berbagai pendekatan antropologis yang muncul bersama di bawah konsep nilai. Pada mulanya, keduanya menulis bahwa definisi awal menunjukkan bahwa 'nilai' harus dilakukan berkaitan dengan hal baik dan penting. Namun, hal tersebut rupanya memulai kesepakatan lain yang lebih besar tentang konsep nilai. Setelah meninjau pernyataan klasik dan yang lebih baru dari dua posisi, keduanya membahas pendekatan ketiga yang mencoba menghubungkan perspektif struktur dan tindakan, sehingga tulisan milik Robbins dan Sommerschuh tidak menyatakan dengan khusus makna dari nilai itu sendiri, melainkan untuk meninjau pendekatan antropologis yang berbeda mengenai konsep nilai.
Ada pun pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yang dapat dipilah menjadi strukturalis atau berorientasi terhadap aksi. Masa sebelumnya memperlakukan nilai sebagai fenomena obyektif yang tertanam dalam struktur budaya; kini nilai dianggap sebagai sesuatu yang harus terus-menerus dihasilkan oleh aktivitas manusia. Namun kemudian kedua belah pihak setuju bahwa konsep nilai dalam antropologi harus mampu mengatasi permasalahan tersebut. Robbins dan Sommerschuh mengutip penekanan seorah ahli teori nilai kontemporan bahwa nilai adalah
“a term that suggests the possibility of resolving ongoing theoretical dilemmas; particularly of overcoming the difference between what one might call top-down and bottom-up perspectives: between theories that start from a certain notion of social structure, or social order, or some other totalizing notion, and theories that start from individual motivation” (Graeber 2001: 20).
Dalam kutipan tersebut kami memahami bahwa nilai menurut Graeber merupakan istilah yang menunjukkan kemungkinan menyelesaikan persoalan-persoalan teoritis, teori yang berawal dari gagasan tertentu tentang struktur sosial, atau tatanan sosial, atau gagasan total lainnya, dan teori yang dimulai dari motivasi individu. Disebabkan oleh adanya persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, nilai muncul sebagai upaya menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Tentu saja nilai sebagai upaya untuk mengatasi persoalan tersebut hanya merupakan sebuah upaya.
Kemudian Robbins dan Sommerschuh juga menulis bahwa cara berpikir yang lebih awal, sebagian besar berasal dari pemikiran Aristoteles, telah mengasumsikan bahwa bagaimana hal-hal seharusnya dapat disimpulkan dari apa yang terjadi. Cara pandang ilmiah, sebaliknya, menganjurkan pemisahan yang ketat antara fakta dan apa yang sekarang disebut 'nilai' (Robbins 2015a). Pertama, dalam mengambil posisi yang sebelumnya ditempati oleh konsep yang baik, gagasan tentang nilai mengasumsikan maknanya sebagai sesuatu yang diinginkan atau ingin dicapai oleh orang, sebagai lawan dari hak, yang mengacu pada hal-hal yang orang merasa berkewajiban untuk melaksanakannya (Venkatesan 2015: 442-43). Kedua, perbedaan antara fakta dan nilai menimbulkan pertanyaan apakah nilai-nilai adalah fenomena subyektif atau obyektif.
Menurut definisi Kluckhohn yang berpengaruh, nilai adalah 'konsepsi, eksplisit atau implisit, yang khas dari seorang individu atau karakteristik dari suatu kelompok, dari yang diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari mode, sarana, dan akhir tindakan yang tersedia' (1951: 395). Istilah kunci dari definisi tersebut adalah ‘diinginkan’ yang berarti bahwa nilai bukan hanya sekadar keinginan semata, melainkan keinginan yang dianggap benar oleh orang-orang. Ini adalah konsep-konsep yang diinginkan, ketika dibagikan oleh orang-orang, bahwa pemikiran Kluckhohn memperhitungkan keunikan budaya. Oleh karena itu, analisis komparatif budaya - antropologi - harus mengambil bentuk dari perbandingan nilai.
Robbins dan Sommerschuh menyatakan bahwa mereka telah menemukan nilai-nilai yang ada sebagai elemen struktur budaya atau ideologis dan sebagai produk dari tindakan manusia. Nilai-nilai budaya ditafsirkan sebagai representasi kolektif dari apa yang baik dan penting dalam kehidupan, dan nilai-nilai pribadi dipahami sebagai apa yang orang merasa layak perjuangkan. Kemudian mereka mempertanyakan bagaimana kedua tingkatan nilai ini dapat terhubung. Seperti yang dikatakan oleh Claudia Strauss
“knowing the dominant ideologies, discourses, and symbols of a society is only the beginning – there remains the hard work of understanding why some of those ideologies, discourses, and symbols become compelling to social actors, while others are only the hollow shell of a morality that may be repeated in official pronouncements but is ignored in private lives. Our key questions thus becomes: How do cultural messages get under people's skin […]? (1992: 1).”
Pertanyaan tersebut dijawab oleh pendekatan ketiga teori konsep nilai oleh Durkheim (1974). Nilai-nilai, menurut Durkheim, muncul ketika orang-orang berpartisipasi dalam ritual yang menuntun mereka untuk merasakan semacam negara tinggi yang ia sebut 'buih kolektif'. Perasaan ini, katanya, menuntun orang-orang pada pengalaman berada di hadapan sesuatu yang lebih besar, lebih penting, dan kita mungkin mengatakan lebih diinginkan daripada diri mereka sendiri dan hal-hal yang menjadi keinginan individu mereka sendiri (Durkheim 1974). Dengan pendekatan ini, dapat dipahami bagaimana nilai-nilai yang ada pada tingkat budaya menjadi menarik secara subyektif. Robbins berpendapat bahwa anggapan bahwa nilai-nilai pada tingkat subyektif dan obyektif akan terlihat sama tergantung pada 'model-faksisasi sosial' yang cacat.
Robbins dan Sommerschuh menutup tulisan mereka dengan membuat kesimpulan berupa tiga titik konvergensi. Pertama, tampaknya ada kesepakatan bahwa studi nilai membutuhkan gaya analisis holistik. Ini mengikuti dari sifat nilai: seperti makna, nilai berasal dari referensi ke set hubungan dan sering ke lebih besar dan karena itu hanya dapat dipahami berkaitan dengan hal ini. Kedua, para ahli konsep nilai tampaknya setuju untuk menolak ontologi 'datar' sosial yang telah menjamur dalam beberapa tahun terakhir dalam pendekatan-pendekatan seperti teori aktor-jaringan. Untuk melihat nilai secara tak terelakkan membawa hierarki ke cahaya: bahkan formasi sosial yang paling egaliter mengandung di hati mereka hirarki nilai, yaitu subordinasi ketidaksetaraan terhadap kesetaraan (Robbins 1994). Terakhir, dan yang paling penting, ada kesepakatan bahwa perhatian yang lebih besar terhadap nilai akan kembali ke antropologi perspektif yang mendasarinya tetapi semakin hilang selama bertahun-tahun: minat pada apa yang benar-benar penting bagi orang di seluruh dunia dan bagaimana perbedaan budaya tidak hanya sebagai sistem kekuasaan, produksi, atau makna, tetapi sebagai skema yang membantu mendefinisikan apa yang pada akhirnya baik dan diinginkan dalam hidup.
Nilai dalam perspektif antropologi merupakan sesuatu yang sangat menarik karena banyak muncul perseteruan dan kontroversi dalam proses pemaknaan nilai itu sendiri. Dalam perspektif antropologi pada masa kini pula, nilai masih diperdebatkan maknanya, terlebih lagi dengan bagaimana para antropolog mengaitkan nilai dengan komponen-komponen kebudayaan dalam masyarakat dan mencari makna dari nilai itu sendiri dengan melibatkan pengaruh-pengaruh dari kebudayaan dalam masyarakat.
Nilai dalam Perspektif Filsafat
Saat tengah hari pada hari Kamis tanggal 13 Desember, kami coba mengobrol dengan Rodliyah Nur Wulan Utami (selanjutnya: Wulan). Dirinya mengawali pendidikan di SD Negeri Kesongo 1. Pendidikannya dilanjukan di SMP Negeri 1 Bawen, lalu di SMA Negeri 1 Ambarawa. Sekarang, Wulan masih tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pengalamnnya tidak jauh dari bidang seni, kepengurusan acara, dan ektrakurikuler di antaranya adalah staff UKM Teater Gadjah Mada, anggota KMF, anggota Gamelan Pustaka sebagai pemain slentum, staff Peksimida (Pekan Seni Mahasiswa Daerah), staff Gelanggang Expo UGM, staff Liga Seni atau Gadjah Mada Got Talent, dan anggota pramuka sebagai pemberi materi kepramukaan. Wulan antusias bercerita tentang materi nilai (value) karena baru keluar di Ujian Akhir Semester dua hari yang lalu. Meteri tersebut masih membekas jelas di ingatan Wulan. “Nilai itu tidak datang dengan sendirinya. Ada yang membawa (nilai). Ada pengembannya. Apabila pengemban ini mati, nilai masih akan tetap ada,” begitu Wulan menjelaskan nilai sesuai dengan bahasanya sendiri. Di Fakultas Filsafat UGM, nilai (values) diajarkan oleh Bu Jirzanah dalam mata kuliah Aksiologi sebanyak 3 sks. Bahan ajar acuannya merujuk pada karya seorang filsuf Risieri Frondizi. Seperti apa yang dikatakan Wulan di atas, Frondizi menganggap begitu pentingnya pengemban terhadap keberadaan nilai yang ditulis dalam bukunya berjudul Pengantar Filsafat Nilai yang diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya (2001)[2]:
“Seandainyapun tidak ada orang yang berusaha mereduksi nilai dengan status·benda-benda, tidaklah diragukan bahwa dimasa-masa yang lampau para pemikir telah mengacaukan nilai dengan objek material yang menutupinya, yaitu dengan ·pengembannya. Pengacauan ini bermula dengan adanya kenyataan yang sangat rill bahwa nilai itu tidak aapat ada di dalam dirinya sendiri, namun agaknya tergantung pada pengemban atau penopang nilai, yang pada umumnya adalah substansi yang berbadan. Kebutuhan akan pengemban ·untuk tinggal memberi sifat khas pada nilai, membuatnya·menjadi eksistensi yang bersifal parasitis, namun kekhasan tersebut tidak dapat membenarkan pengacauan antara pendukung dengan yang didukung-pengemban dengan nilai, secara negatif.”
Frondizi mengatakan bahwa nilai bukan merupakan benda atau pengalaman juga bukan berupa esensi, tetapi nilai adalah kualitas yang tidak riil. Sebab, nilai tidak dapat menambah realitas atau substansi objek melainkan hanya berupa sifat, kualitas, dan sui generis (dari jenis atau genusnya sendiri) yang dimiliki objek tertentu sehingga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang“baik”. Dalam menjelaskan nilai sebagai kualitas yang tidak riil, Frondizi menggunakan pendekatan epistimologi dan metafisis. Ihwal ini berkaitan dengan pengenalan kita terhadap keberadaan objek dan keberadaan objek itu sendiri.
Di dalam setiap objek—baik lahiriah, empiris, atau bendawi—terkandung kualitas primer antara lain panjang, berat, dan sifat. Objek tidak akan ada apabila salah satu dari kualitas tersebut tidak ada. Selain kualitas primer, objek memiliki kualitas sekunder berupa kualitas yang dapat ditangkap panca indera. Misalnya, warna, rasa, dan bau. Kualitas sekunder berbeda dengan kualitas primer karena tingkat subjektivitas begitu berperan. Sebagai contoh, adanya perbedaan kepekaan indera antara individu satu dengan individu lain. Sekalipun demikian, kualitas sekunder juga membentuk sebagian esensi objek. Contohnya, warna sebagai kesan subjektif maupun warna berada dalam objek itu sendiri. Sebab, tidak ada satu benda pun yang tidak berwarna. Akan tetapi, nilai bukan merupakan kualitas tersier karena tidak dapat dimasukkan ke dalam kualitas ketiga sesuai dengan kriteria klasifikasi pada umumnya.
Wulan mengingat kembali materi yang pernah dijelaskan juga saat pelajaran sosiologi di Sekolah Menengah Atas (SMA) jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dimana nilai ini diklasifikasikan menjadi 6, yaitu nilai ekonomis, nilai teori, nilai politis, nilai agama, dan nilai estetika. Secara hierarkis, nilai bersangkutan dengan sesuatu yang luas seperti kenikmatan, religi, atau vital. Hakekatnya, metafisika—yang merupakan ilmu lama—membahas tentang ada (being). Akan tetapi, nilai (value) tidak sama dengan ada (being). Nilai tidak beruwujud. Ihwal ini pun ditekankan secara ontologis—yang memiliki bahasan lebih sempit dari metafisika. Secara ontologis ini, keberadaan nilai tidak lain adalah fenomena psikis atau bersumber dari jiwa. Dengan demikian, seseorang dapat memberikan penilaian dari dalam diri tentang sesuatu itu indah atau tidak indah maupun bagus atau tidak bagus.
Nilai dapat dibagi menjadi dua. Pertama, nilai subjektif yang memungkinkan seorang individu berbeda pendapat dengan individu lain. Nilai subjektif adalah suatu penilaian dari seseorang terhadap sebuah objek. Hal tersebut berkaitan erat dengan selera diri masing-masing. Misalnya, seseorang dapat menilai suatu lukisan bagus ketika lukisan tersebut sesuai dengan seleranya atau sebaliknya. Sebagai contoh, sebagus apa pun sebuah lukisan apabila dibilang tidak bagus maka lukisan tersebut menjadi tidak bagus karena pendapat individu sangat berpengaruh. Namun, nilai subjektif memiliki beberapa kekurangan dimana penilaian akan menjadi terbatas ketika dihadapkan dengan etis atau norma, kewajiban, dan religi. Ketiganya mempengaruhi atau setidaknya mengurangi kebebasan individu dalam membuat sebuah penilaian. Akibatnya, nilai objek tidak murni lagi karena ada batas-batas etis atau norma, kewajiban, dan religi tersebut. Berdasarkan subjektifitas, nilai disamakan dengan penilaian. Oleh sebab itu, nilai jadi tidak universal atau dengan kata lain tidak ada pedoman karena selera setiap orang berbeda-beda. Standarisasi nilai terhadap objek tidak ada.
Kedua, ada nilai objektif dimana penilaian bergantung kepada objektivitas fakta yang ada. Dalam hal ini, penilaian terhadap objek tidak dipengaruhi pendapat individu. Ketika pendapat seseorang terhadap suatu objek—misalnya hasil karya—rendah atau jelek, tidak akan mengurangi kebagusan dari objek yang bersangkutan. Nilai objektif pun tidak terlepas dari kekurangan. Objektifitas menyebabkan hilangnya hubungan antara individu sebagai subjek dengan objek karena segala sesuatu sudah terpaku pada objek yang ada. Nilai ini pun dapat meniadakan hubungan nilai dan penilai. Nilai yang sudah ada sulit diganggu gugat oleh penilai atau dalam istilah lain disebut saklek.
Ada beberapa pendapat tentang hubungan antara nilai dan fakta. Menurut kaum rasionalis, tidak ada hubungan di antara keduanya. Fakta bersumber dari pengalaman empiris, sedangkan nilai merupakan hasil penalaran abstraksi. Di sisi lain, kaum materialisme yang dipelopori oleh Karl Marx mengatakan bahwa fakta berhubungan dengan nilai. Ada kalanya nilai diturunkan setelah fakta. Dalam studi filsafat dicontohkan: manusia sebagai anak Tuhan merupakan fakta, maka dari itu nilai yang dapat diterapkan yaitu antarmanusia harus saling tolong-menolong. Kaum idelis memiliki cara berfikir lain dimana nilai turun dahulu, kemudian baru ada fakta. Berkaitan dengan hal tersebut, fakta akan menjadi positif jika digunakan dalam penegakan hukum atau aturan.
Nilai dalam Perspektif Psikologi
Nilai juga dapat dilihat dari perspektif psikologi. Kami menggalinya dari salah satu mahasiswi jurusan Psikologi UGM angkatan 2016 bernama Melisa Simanjuntak. Dia menyelesaikan pendidikannya di Batam—sebuah pulau kecil buatan B.J. Habibie di dekat negara Singapura. Menurutnya, nilai dalam psikologi sangat berkaitan dengan jiwa seseorang. Apabila kita bertanya: apakah nilai mungkin berganti-ganti sesuai dengan keinginan individu? Jawabannya begitu berhubungan dengan askep psikis. Suasana psikologis—seperti kesenangan, keinginan, atau perhatian—diperlukan, tetapi suasana tersebut tidak dapat menyingkirkan unsur-unsur objektif. Mula-mula, usaha untuk mereduksi nilai dengan kondisi psikologis berkaitan dengan sesuatu yang menyenangkan, apa yang diinginkan, dan kepentingan yang memang sudah menjadi tujuan seorang individu. Bagi mereka yang mereduksi nilai dengan kondisi psikologis, memahami nilai tidak lebih daripada pengalaman pribadi semata. Di lain pihak—bagi mereka yang mereduksi nilai sebagai esensi—memahami nilai ini dengan mengacaukan “yang bukan realitas” (ciri khas nilai) dengan identitas (ciri khas esensi). Kemudian, mereka yang mereduksi nilai menjadi ide platonik begitu terikat pada keabadian nilai yang diri mereka asumsikan.
Penutup
Dalam tiga perspektif, nilai dapat dimaknai secara berbeda, namun ketiganya sama-sama dapat diterima sebagai makna dari nilai itu sendiri. Nilai yang berupa kualitas tidak riil kemudian dipelajari dalam ilmu antropologi sehingga menimbulkan kontroversi selama masa penelitiannya, namun dimaknai dengan lebih mendalam ke arah batiniah oleh disiplin ilmu yang lain seperti ilmu filsafat dan ilmu psikologi. Kedua disiplin ilmu tersebut memaknai nilai sebagai sesuatu yang berbeda satu sama lain, namun dalam semua perbedaan yang ada pada masing-masing penjelasang tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, terdapat persamaan yang merupakan inti besar dari nilai itu sendiri sehingga dalam hal ini, kami setuju bahwa dalam perspektif yang bermacam-macam pun, nilai masih dapat terus dipelajari dan digali maknanya.. Kesamaan yang ditemukan dalam perbedaan masing-masing disiplin ilmu tersebut pun juga memiliki hal yang bisa dipelajari, yaitu bagaimana kesamaan tersebut dapat terbentuk dan dari mana asal mula nilai tersebut ada sehingga bukan hanya nilai itu sendiri, namun asal-usul dari nilai tersebut tersendiri pun sangat menarik untuk diketahui dan dipelajari. Tentunya dalam disiplin ilmu manapun, nilai dan dari mana asal mula nilai itu sendiri merupakan sesuatu yang perlu untuk dipelajari dan diketahui, terlepas dari betapa abstrak dan penuh kontroversinya istilah tersebut.
Referensi
Durkheim, É. 1974. Sociology and philosophy. New York: Free Press.
Frondizi, R. (2001). Pengantar Filsafat Nilai (Cuk Ananta Nur, Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Graeber, D. 2001. Toward an anthropological theory of value: the false coin of our own dreams. New York: Palgrave Macmillan.
Kluckhohn, C. 1951. Values and value-orientation in the theory of action: an exploration in definition and classification. In Toward a general theory of action (eds) T. Parsons & E. A. Shils, 388–433. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Robbins, J. 2015a. Ritual, value, and example: on the perfection of cultural representations. TheJournal of the Royal Anthropological Institute 21: S1, 18–29.
Robbins, J. & J. Sommerschuh. 2016. Values. In F. Stein, S. Lazar, M. Candea, H. Diemberger, J. Robbins, A. Sanchez & R. (Eds). The Cambridge Encyclopedia of Anthropology. University of Cambridge.
Strauss, C. 1992. Models and Motives. In Human motives and cultural models (eds) R.G. D'Andrade & C. Strauss, 1–20. Cambridge: University Press.
Venkatesan, S. et al. 2015. “There is no such thing as the good: The 2013 meeting of the group for debates in anthropological theory.” Critique of Anthropology 35(4): 430-80.
Comments