top of page

Pesta dalam Duka: Semiotika dalam Upacara Kedde


Replika Umah Humba dan Jalannya Upacara Kedde di FIB, UGM (Sumber: Dok. Pribadi)

Oleh : Pipin Mukharomah & Salma Gracia Utomo


Upacara Kedde merupakan sebuah ritual adat kematian yang berasal dari Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ritual ini merupakan ajaran dari kepercayaan Marapu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Sumba. Dalam Revitalisasi Desa Adat & Dampak Sosial Budaya di Pulau Sumba yang ditulis oleh Robert Ramone, Marapu didefinisikan sebagai falsafah hidup atau tata nilai mendasar yang dipegang dan dianut oleh masyarakat Sumba. Dalam kehidupan masyarakat Sumba, Marapu mempunyai dua peranan penting. Pertama adalah sebagai pedoman hidup atau tatanan nilai masyarakat Sumba dan kedua Marapu berperan sebagai ‘penolong’ dan pemberi kesejahteraan, maksutnya adalah ketika penganutnya mampu menjalankan aturan dan pedoman hidup yang sudah digariskan dalam kepercayaan Marapu, maka orang yang menjalankannya akan hidup dalam keselamatan.


Ajaran yang ada dalam Marapu juga meliputi keseimbangan energi kehidupan yang menjadi sumber kebahagiaan hidup. Simbol keseimbangan tersebut adalah hubungan antara Ina Mawolo dan Ama Marawi, antara perempuan dan laki-laki nenek moyang orang Sumba. Roh mereka dipercaya selalu ada di antara orang-orang yang masih hidup, keberadannya disimbolkan dalam bentuk yang beraneka rupa. Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa orang Sumba mementingkan simbolisasi dalam sebuah ritual untuk menghormati roh nenek moyang, juga demi keselamatan hidup mereka di dunia (Laura-UGM, 2018).


Beberapa waktu lalu, kami berkesempatan untuk menjadi salah satu saksi berlangsungnya Upacara Kedde di Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Ritual adat ini menjadi menjadi salah satu rangkaian dari Festival Sumba 2018 yang dilaksanakan pada 23-31 Oktober 2018 oleh Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA)-UGM dan Departemen Antropologi Budaya UGM.


Ada yang berbeda dari ritual adat Sumba,  setiap ritual adat dilaksanakan pasti terdapat prosesi penyembelihan hewan, baik dalam ritual adat kematian, pernikahan, maupun ritual-ritual adat lainnya. Hewan yang disembelih dalam ritual adat ada beragam, tetapi yang paling umum digunakan adalah kuda, kerbau, ayam, dan juga babi. Pada Upacara Kedde yang kami saksikan beberapa waktu lalu, panitia penyelenggara Festival Sumba 2018 menyediakan dua ekor kerbau untuk melengkapi prosesi ritual, satu ekor berwarna hitam dan yang lain berwarna putih. Jika diperhatikan, warna kerbau yang dipilih untuk reka adegan atau tiruan Upacara Kedde juga mengandung suatu simbolisasi. Warna hitam yang selalu dicirikan seperti roh jahat, gelap, kematian, dan sebagainya sedangkan putih artinya kebaikan, kesucian, bersih, dan sebagainya. Akan tetapi, kami juga belum tahu betul alasan dipilihnya kerbau tersebut memang disengaja atau tidak.


Upacara Kedde pada Festival Sumba 2018


Sore itu, halaman depan Gedung Soegondo di Fakultas Ilmu Budaya UGM ramai oleh

pengunjung, mereka melingkar mengelilingi replika Rumah Humba yang ada di bagian utara halaman. Orang-orang terlihat antusias untuk melihat berlangsungnya Upacara Kedde, terlihat dari suasana riuh dan ramai yang tercipta oleh kerumunan pengunjung. Pengunjung mulai menduga-duga akan seperti apa Upacara Kedde yang ditampilkan oleh warga Sumba nanti, kapan lagi dapat melihat Upacara Kedde di Jogjakarta, bukan?


Sesaat sebelum ritual dimulai, orang-orang mulai sibuk mempersiapkan diri, mencari spot terbaik agar dapat melihat dengan jelas berlangsungnya ritual tersebut, tidak lupa menyiapkan kamera ataupun handphone untuk mengabadikan momen ini. Panitia yang bertugas terlihat hilir mudik, sibuk mempersiapkan Upacara Kedde agar berjalan lancar tanpa kendala. Suasana bertambah ramai ketika orang-orang Sumba yang diundang mulai berkumpul di depan replika rumah adat Sumba (Rumah Humba).


Warga Sumba yang akan melaksanakan Upacara Kedde mengenakan pakaian adat berupa kain tenun khas Sumba, lengkap dengan parang-parang yang menjadi senjata andalan orang Sumba. Mereka mulai meneriakan teriakan-teriakan seperti ajakan dan tentunya mengundang perhatian para pengunjung yang datang. Fakultas Ilmu Budaya menjadi ramai dengan teriakan ajakan mereka yang saling berbalas. Menandakan bahwa ritual akan segera dimulai.


Kami tidak tahu adegan apa yang menandakan dimulainya ritual ini. Namun, tak lama setelah mereka selesai berbalas terikan, dua ekor kerbau yang menjadi “gong utama” pada ritual ini memasuki halaman Gedung Soegondo. Seketika perhatian para pengunjung langsung tertuju pada dua ekor kerbau yang berjalan diiringi oleh rombongan warga Sumba. Tentu kerbau yang digunakan dalam ritual adat berbeda dari kerbau yang biasa kita lihat, kedua kerbau tersebut didandani dengan daun kelapa muda dan kain merah pada tanduknya. Pada Upacara Kedde yang sebenarnya, kerbau-kerbau ini akan disembe- lih dan dagingnya akan dimasak dan menjadi santapan para tamu yang hadir pada upacara tersebut.


Prosesi Upacara Kedde terus berlanjut, ketika kedua pihak keluarga berhadap-hadapan, mereka mulai berkomunikasi dengan bahasa ibu mereka, bahasa suku Sasak. Kami teringat dengan prosesi tukar pantun pada pernikahan adat Sunda, dimana kedua pihak keluarga saling berbalas pantun dengan teriakan, sama dengan apa yang kami lihat ketika kedua pihak keluarga saling berhadapan ketika prosesi Upacara Kedde berlangsung. Dibelakang suara teriakan-teriakan itu terdapat suara-suara alat musik Sumba yang menjadi pengiring komunikasi antar dua keluarga, meramaikan suasana.


Kondisi di halaman Gedung Sugondo menjadi riuh dan warga Sumba larut dalam euforia yang tercipta, sayangnya kami tidak dapat mengerti apa yang mereka bicarakan. Setelah prosesi saling berbalas perkataan yang berlangsung cukup lama, prosesi berlanjut dengan saling menyapa antara anggota kedua keluarga. Ada yang unik dengan cara orang Sumba saling bertegur sapa. Berbeda dengan budaya orang Jawa yang akan cipika-cipiki ketika menyapa keluarga atau orang-orang terdekat, orang Sumba akan saling menggesekkan hidung mereka ketika mereka bertemu keluarga atau orang terdekat.


Tak lama kemudian dua orang perwakilan dari masing-masing keluarga maju ke tengah lingkaran keluarga, saling berhadapan, kedua perwakilan ini seperti sedang melakukan transaksi serah terima atas dua kerbau yang mereka dibawa. Setelah prosesi transaksi selesai, seolah-olah seperti ada yang memberi tanda bahwa inilah waktu dimana kerbau-kerbau yang dibawa akan disembelih, beberapa orang dari mereka (orang Sumba) berpura-pura sedang menyembelih kerbau dengan parang-parang yang mereka bawa. Meski prosesi penyembelihan dalam ritual upacara ini hanya rekayasa, tetapi hal tersebut tetap membuat para penonton di sekitar bergidik ngeri dan mundur beberapa langkah.  


Para laki-laki Sumba bersemangat ketika mereka berpura-pura menyembelih kerbau-kerbau itu, tempo alat musik yang dimainkan juga menjadi semakin cepat, orang-orang Sumba yang datang berteriak-teriak seakan mereka menyaksikan langsung penyembelihan kerbau. Tak lama kemudian, tempo musik berangsur-angsur mulai melambat, orang-orang Sumba tidak lagi berteriak, dan dua kerbau yang dijadikan alat peraga juga dibawa mundur.


Namun, upacara Kedde tidak selesai sampai disini. Orang-orang Sumba berkumpul di depan tiruan rumah adat Sumba, bernyanyi dan menari bersama dengan diiringi oleh permainan alat musik. Tak lama kemudian, seperti seorang pemimpin yang memimpin berjalannya upacara Kedde maju ke tengah, berbicara sambil berteriak dengan bahasa mereka, seolah mengakhiri berlangsungnya upacara Kedde. Para pengunjung satu-persatu mulai meninggalkan halaman depan Gedung Soegondo. Akan tetapi, euforia orang Sumba tidak berakhir sampai disitu, mereka masih terus menari dan bernyanyi hingga penonton berangsur-angsur pergi, tersisa panitia-panitia yang sibuk hilir mudik menyiapkan lanjutan rangkaian acara untuk malam nanti.


Makna Pesta dan Duka dalam Upacara Kedde


Hampir pada setiap ritual adat masyarakat Sumba selalu ada prosesi penyembelihan hewan, baik pada ritual adat pernikahan, ritual adat kematian, atau pada pesta adat lainnya. Oleh karena itu, setiap ritual adat yang diadakan menjadi identik satu sama lain sehingga sekalipun ketika ritual kematian diadakan, warga masyarakat juga bersemangat layaknya mengadakan pesta adat.


Ketika ada warga yang meninggal dunia, tetangga dan saudara akan berkumpul di rumah duka, bermain musik dan bernyanyi untuk menyambut tamu yang datang. Jadi, ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, suasana di rumah duka menjadi beraneka ragam. Ada suasana sendu karena berkabung dan terdengar tangisan kehilangan anggota keluarga, sekaligus ada tawa suka cita karena ketika momen seperti ini, sanak saudara akan berkumpul bersama. Suara musik tradisional tidak berhenti menyambut sanak saudara yang datang dan para tamu yang melayat. Tuan rumah yang sedang berkabung juga sibuk menyambut para tamu yang datang, menjamu para tamu dengan sirih-pinang, teh, kopi, dan bahkan makan dengan daging hewan yang disembelih (Kaleka, 2018).


Suasana yang berbeda-beda ini juga kami rasakan ketika kami melihat Upacara Kedde di FIB, UGM pada Jumat lalu, bahkan nyaris tidak ada aura duka yang menyelimuti. Warga Sumba yang datang dengan suka cita menampilkan Upacara Kedde tersebut, menari dan bernyanyi dengan gembira seolah-olah  bukan sedang menjalankan ritual kematian. Mungkin bagi orang awam yang tidak mengetahui apa itu Upacara Kedde akan mengira bahwa hal tersebut adalah pesta adat, bahkan mungkin tidak akan menyangka kalau itu merupakan ritual kematian.


Ada yang unik dari ritual adat kematian di Sumba, para tamu dan sanak saudara yang datang melayat tidak datang dengan tangan kosong. Mereka harus datang dengan buah tangan, minimal harus membawa satu lembar kain tenun (Kede, 2017). Adat semacam ini menjadi berat bagi keluarga-keluarga dekat dari yang meninggal dunia, menurut hukum adat yang berlaku mereka diharuskan membawa hewan, bisa berupa sapi, kerbau, atau bahkan kuda. Besar kecilnya hewan yang dibawa disesuaikan dengan status sosial dari keluarga yang berduka, atau juga disesuaikan dengan apa yang pernah diberikan oleh keluarga yang berduka. Tamu yang datang ke rumah duka dengan buah tangan berupa hewan akan disambut lebih ramai, berbeda dengan tamu yang datang hanya dengan kain tenun. Tamu yang membawa hewan akan disambut dengan nyanyian-nyanyian dan iringan musik tradisional, meramaikan dan membangun suasana pesta pada kediaman yang berduka.


Analisis Semiotika dalam Upacara Kedde


Terdapat makna simbolik dibalik beberapa elemen dalam upacara Kedde. Hewan-hewan yang dikorbankan dalam upacara Kedde diharapkan menjadi kendaraan bagi anggota keluarga yang meninggal untuk menuju alam roh yang kekal, atau dalam ajaran Marapu disebut Prai Marapu. Kemudian darah yang keluar dari hewan yang disembelih ketika ritual kematian dipercaya dapat melancarkan dan melanggengkan jalannya arwah untuk menuju alam yang kekal.


Terdapat makna simbolik dibalik mengapa sanak keluarga dan para tamu yang melayat harus membawa buah tangan berupa kain tenun atau hewan ternak. Kain-kain tenun yang dibawa oleh pelayat diharapkan dapat menjadi pakaian yang dibawa oleh arwah orang yang meninggal dunia menuju alam yang kekal atau menjadi pakaian ganti yang akan dibawa. Kain-kain tersebut juga dapat dibawa untuk dibagikan kepada anggota keluarga lain yang telah berada di alam roh. Meski demikian, pada kenyataannya hanya beberapa helai kain yang disertakan dalam penguburan.


Lambat laun berbagai upacara adat yang dilaksanakan, baik ritual kematian maupun pernikahan menjadi ajang gengsi antar satu keluarga dengan keluarga yang lain, sehingga anggota keluarga yang ditinggalkan atau sanak keluarga yang datang melayat berusaha keras memperoleh hewan ternak untuk disembelih. Tak jarang mereka rela berhutang untuk memenuhinya. Pola hidup yang seperti ini menjadikan masyarakat Sumba menjadi boros. Dari survei yang pernah dilakukan, banyak orang Sumba yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi mereka tetap mendukung tersedianya hewan untuk menjadi korban dalam ritual-ritual adat termasuk dalam upacara Kedde. Mereka menjadi tidak keberatan ketika terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan demi terlaksananya berbagai ritual adat.


Referensi


Laura-UGM. (2018). Menggerakkan Adat Melawan Boros. Policy Brief LAURA UGM. LAURA FIB-UGM.

Ramone, Robert. (n.d.). Revitalisasi Desa Adat & Dampak Sosial Budaya di Pulau Sumba. Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi.

Kede, Ola. (2017). Persembahan Istimewa Umat Marapu Sumba Saat Upacara Pemakaman. Retrieved from https://www.liputan6.com/regional/read/3005908/.

Dengi, Heinrich. (2014). Penyederhanaan Adat Kematian di Sumba Timur. Retrieved from http://maxfmwaingapu.com/2014/02/.

Kaleka, Rofinus D. (2018). Upacara Penguburan di Sumba, antara Duka dan Pesta Adat. Retrieved from https://www.kompasiana.com/rofinusdkaleka/5aa2bb9dbde575239f662c42/.

120 views0 comments

Comments


bottom of page