top of page

Petualangan Tiga Sekawan Menjelajah Lika-Liku Kantin

Updated: May 8, 2019

Eliesta Handitya, Fikra Ahnaf D, Meivy Andriani L.


Menilik Sejarah Kantin

Sampai saat ini, belum bisa dipastikan kapan pertama kali istilah kantin digunakan--apakah sudah ada sejak zaman peradaban kuno atau justru baru ada ketika memasuki era modern? Kita juga sering bertanya-tanya, apa yang sebenarnya membedakan kantin dengan rumah makan lainnya seperti foodcourt, kafetaria, warung, kedai, dan sebagainya.


Jika merujuk pada pengertian yang sesungguhnya, kantin berasal dari bahasa Belanda yaitu kantine. Kantine sendiri mempunyai arti sebuah ruangan dalam sebuah gedung umum yang dapat digunakan pengunjungnya untuk makan, baik makanan yang dibawa sendiri maupun yang dibeli di sana. Pola yang terjadi di dalam kantin yaitu datang, bayar, makan, dan berkumpul. Mungkin hal yang cukup membedakan kantin dengan tempat-tempat makan lainnya adalah letak dan pola-pola interaksi yang terjadi di dalam kantin.


Kami mengakui, dalam mengemas tulisan yang membahas mengenai kantin—terlebih soal sejarah kantin--kami mengalami banyak kesulitan karena terbatasnya sumber bacaan. Namun, ada satu titik terang yang kami rasa bisa kami jadikan satu acuan dalam mengetahui sejak kapan istilah kantin digunakan. Salah satu artikel yang cukup memberi gambaran adalah artikel oleh Lillian Stevens (1903) yang pada saat itu menggunakan istilah “army canteen” atau kantin tentara. Definisi tersebut berkaitan dengan latar belakang kejadian yang terjadi saat itu, yaitu perang dunia. Namun kapan kantin seperti yang kita bayangkan saat ini mulai muncul, lalu membiak?


Dalam analisis kecil yang kami lakukan, kantin-kantin seperti yang kita bayangkan sekarang ini mulai ada ketika institusi pendidikan modern dan gedung-gedung perkantoran didirikan. Untuk konteks Indonesia, kantin mulai ada ketika institusi-institusi pendidikan modern mulai masuk dan juga dibangunnya gedung-gedung perkantoran. Namun tidak menutup kemungkinan jika kantin juga ada sebelum institusi pendidikan modern dan gedung-gedung perkantoran ada.

Selain merujuk pada artikel milik Lillian Stevens, kami juga mengutarakan sejarah kantin berdasarkan pengalaman hidup kami maupun orang-orang yang lebih tua dari kami.


Berdasarkan pengalaman kami sendiri, kantin dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang cukup signifikan. Saat TK, sekitar tahun 2004 hingga 2005-an, kantin serupa dengan kios-kios kecil yang menjual makanan ringan dan minuman kemasan. Tidak menyediakan makanan berat seperti nasi. Lalu, saat SD, kantin mulai menyediakan makanan yang lumayan berat, tetapi bukan nasi. Memasuki masa SMP dan SMA, kantin mulai menjual makanan berat seperti nasi.


Mengenai harga, tentu kantin mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Jika dahulu lima ribu rupiah sudah bisa membeli nasi ayam dan sayur beserta minumnya ataupun soto, gorengan, lengkap dengan minum, mungkin saat ini, uang sebesar lima ribu rupiah hanya bisa untuk membeli nasi dengan lauk gorengan maupun makanan sejenis. Jika ingin membeli nasi ayam dan soto tentu membutuhkan uang yang lebih banyak lagi—paling tidak lima belas ribu rupiah sudah dengan makan berat (main course). Selain itu, semakin menjejak jenjang hidup yang lebih tinggi, kami merasa selera kami pun turut berubah. Ketika menginjak bangku SMA, kami mungkin saja merasa puas ketika membeli soto yang harganya enam ribu rupiah atau jajanan es doger yang hanya seribu sampai tiga ribu rupiah, dan itu sudah kami anggap mahal di masanya.


Namun begitu kami bertandang ke kantin sekolah beberapa waktu lalu, kami merasa kaget ketika membayar soto yang hanya seharga enam ribu (saat ini soto yang kami temui berkisar antara delapan sampai dua belas ribu rupiah). Sejalan dengan statemen Bourdieu mengenai pembedaan rasa (distinction of taste) bahwasannya preferensi rasa relatif karena dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang berbeda (Bourdieu 1984).



Beretnografi, Mengalami Suasana Kantin

Dalam upaya memahami konteks kantin, kami memutuskan untuk mampir dan nongkrong di kantin sekolah, juga kantin universitas. Kantin sekolah diwakili oleh SMA N 8 Yogyakarta, sementara kantin universitas diwakili oleh Kantin Fakultas Teknologi Pangan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Plaza BI, dan Fakultas Ilmu Budaya di lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Perjalanan pertama dimulai dari Kantin SMA N 8 Yogyakarta terletak di sebelah mushala, lapangan dan ruang kelas. Di sana, kami menemukan empat lapak kantin, yaitu warung Bu Untung, warung Bu Yani, warung Bu Mul, dan satu kantin tanpa nama.


Warung Bu Yani, yang terletak di dekat wastafel, adalah warung yang paling menarik perhatian kami. Lain dari warung Bu Mul dan Bu Untung, warung Bu Yani menawarkan makanan yang tampaknya lebih mahal dan lebih kekinian. Misalnya, ada lapak thai tea yang akhir-akhir ini sedang populer ditemukan di berbagai sudut kota. Selain itu, lapak Bu Yani juga menjual cilok, minuman yang diblender, dan burger yang kemungkinan besar adalah Mister Burger karena adanya logonya di meja tersebut.


Sementara, warung lain menjual berbagai nasi rames. Letak tersebut berdekatan, sehingga mudah untuk berpindah dari satu warung ke warung lain. Hal yang serupa kami temukan pula di kantin Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, dan kantin Bonbin di Plaza BI. Warung-warung berdempetan, sehingga kantin terasa penuh terutama pada jam-jam istirahat. Tetapi, memang ada beberapa perbedaan yang cukup ketara di antara kantin-kantin tersebut. Apa saja gerangan? Kami merangkumnya dalam beberapa poin:


Pertama, tipe meja yang disediakan dan jarak antar meja. Di SMA N 8 Yogyakarta, kami melihat meja yang disediakan adalah meja panjang yang bisa digunakan kedua sisinya, sehingga banyak orang bisa duduk dan makan di meja yang sama. Di kantin kampus, baik di FTP, FISIPOL, maupun Kantin Plaza BI lebih banyak meja yang berbentuk persegi dengan empat kursi. Bahkan di kantin FISIPOL, ada meja yang bisa digunakan sendiri dengan bangku tinggi yang biasanya ada di bar. Di Bonbin, ada meja panjang dan meja persegi. Meja persegi beserta kursinya tampak baru dan kokoh, sedangkan meja panjang serta kursinya terlihat tua dan lapuk. Seingat kami, meja panjang itu memang sudah ada semenjak Bonbin masih terletak di samping Pujale. Jarak antarmeja panjang pun sangat minim, sehingga terkesan padat di bagian tersebut.


Kedua, variasi makanan yang ditawarkan. Pada umumnya, kami melihat bahwa bakso, soto, nasi sayur atau nasi rames adalah menu yang hampir selalu ada. Yang menarik adalah warung pangan lokal di FTP, yang kami asumsikan menjual makanan-makanan dengan bahan dasar pangan lokal. Hal ini menarik, karena kami tidak menemukannya di kantin lain. Di kantin FTP, pun ada warung prasmanan, sehingga mahasiswa bisa mengambil makanan dengan porsi yang sesuai dengan dirinya. Kami ingat bahwa kantin FTP sering disebut-sebut sebagai kantin yang makanannya murah. Di FISIPOL, makanan yang dijual relatif lebih mahal. Majalah, yang bukan merupakan barang dagang di kantin lain, dijual di Bonbin. Selain itu, yang sangat berbeda dengan kantin lain adalah Bonbin memiliki kios yang menjual rokok, majalah, tisu, dan camilan. Camilan, seperti wafer dan biskuit, juga dijual di kantin SMA N 8 Yogyakarta. Di kantin FTP pun ada warung yang menjual camilan, tetapi hanya satu kios dan pilihannya tidak sebanyak di SMA N 8 Yogyakarta.


Ketiga, tampilan kantin secara umum. Di setiap kantin yang kami datangi, pasti ada semacam ilustrasi dengan tulisan ataupun simbol tertentu. Misalnya, di SMA N 8 YOGYAKARTA, kami melihat adanya jadwal piket pengelolaan dan pengawasan kantin, tanda dilarang merokok, tata tertib kantin, meja yang dilapisi logo Yeos, Good Day, dan Zuperrr Keju, spanduk Hydro Coco, satu kulkas Coca Cola, dan banyak lagi. Larangan merokok pun ada di kantin FTP dan di beberapa bagian di kantin FISIPOL. Tidak seperti FTP yang melarang sivitas akademik untuk merokok di wilayah kampus, di FISIPOL disediakan tempat untuk merokok dan ada tempat yang bebas asap rokok. Di kantin lantai dua, sivitas akademik FISIPOL bisa merokok.


Lain lagi halnya di kantin Bonbin, yang memperbolehkan merokok dan menyediakan beberapa asbak, asbak alternatif dari kaleng rokok bekas, dan korek api bebas pakai di beberapa warung. Di FTP dan SMA N 8 Yogyakarta, kami tidak menemukan hal tersebut, sehingga kami memang tidak menemukan satu orang pun yang merokok. Lalu, hal yang membedakan kantin SMA N 8 Yogyakarta dengan ketiga kantin lainnya adalah tidak adanya lapisan meja dengan logo makanan atau minuman tertentu. Menurut penjelasan salah satu penjual di kantin SMA N 8 Yogyakarta, setahun yang lalu lapisan meja yang tadinya Good Day diganti menjadi Yeos. Ada sales yang datang dan sekarang produk Yeos dijual di kantin.


Pun, masing-masing kantin memberikan kesan tertentu dari tampilannya. Kantin FISIPOL terasa riuh dan dinamis karena adanya mural warna-warni yang tidak bisa kami temukan di kantin lain. Meja, kursi, “warung” yang terlihat terlampau modern dengan mesin dispenser minuman dingin a la gerai makanan cepat saji, mengagumkan kami. Kami merasa telah pindah ke foodcourt mal. Kantin FTP, Kantin Bonbin, dan SMA N 8 Yogyakarta tampak sederhana, tetapi Kantin Bonbin buat kami terasa lebih segar. Warna-warna monokrom dengan sentuhan dinding berlapis batu terlihat modern, tetapi meja dan kursi yang terlihat tua tidak mendukung kesan tersebut. Bonbin terasa spesial bagi kami, karena kami merasa ada di antara keriuhan manusia dan kesederhanaan bangunannya.


Keempat, aktivitas orang-orang di kantin. Beberapa perbedaan signifikan adalah kegiatan merokok yang bebas di Bonbin dan FISIPOL, kegiatan berbincang setelah makan di kantin kampus, penggunaan pembayaran digital, pemisahan tempat duduk antara perempuan-laki-laki dan murid-guru, dan penempatan piring atau gelas kotor setelah makan. Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, semua orang mematuhi peraturan untuk tidak merokok di kantin SMA N 8 Yogyakarta dan kantin FTP, sedangkan di kantin Bonbin dan kantin FISIPOL, disediakan tempat untuk merokok. Di Bonbin secara khusus, tidak ada larangan merokok, sehingga siapapun bisa merokok di bagian manapun.


Setelah makan, kami melihat biasanya orang akan duduk dan berbincang dengan teman makannya. Hal ini tidak kami lihat di kantin SMA N 8 Yogyakarta. Murid datang dan pergi dengan sangat cepat, karena mereka membungkus makanan dan makan dengan cepat di kantin. Hanya ada tiga orang murid laki-laki yang kami lihat berbincang setelah makan. Ternyata setelah kami amati lebih lanjut, murid SMA N 8 Yogyakarta biasanya duduk dengan teman sebaya dan tidak ada yang duduk atau berbincang akrab dengan gurunya.


Sedangkan, di kantin kampus semuanya bercampur baur, bahkan terkadang dosen duduk satu meja dengan mahasiswa. Batas-batas antara gender dan posisi menjadi lebih kabur di kantin kampus. Kemudian, di kantin Bonbin dan FISIPOL, tersedia pilihan metode pembayaran digital dengan Go-Pay, Kether, dan OVO. Di kantin SMA N 8 Yogyakarta dan di FTP, belum ada metode pembayaran non-tunai. Memang, rupanya ekspansi penggunaan metode pembayaran digital sedang digenjot oleh Go-Pay.


Selain itu, setelah seseorang makan di kantin kampus, mereka akan mengembalikan peralatan makan ke suatu pos pengembalian dan membuang sampah pada tong sampah yang sudah disediakan. Artinya, mereka diharapkan bisa mandiri dengan mengatur sendiri sampah mereka. Hal ini kontras dengan yang kami amati di SMA N 8 Yogyakarta, di mana kami tidak menemukan pos pengembalian dan hanya ada satu tong sampah di daerah kantin. Namun, murid pun tidak selalu makan camilan di kantin, sehingga mereka bisa membuang sampah di tong sampah yang disediakan di lorong kelas. Menurut kami, ini menunjukkan bahwa mahasiswa diberikan tanggung jawab yang lebih besar.


Kantin dan Keterhubungannya dengan Institusi

Kantin, jika mendasarkan diri pada amatan kami, bukanlah sebuah rumah makan yang berdiri sendiri. Keberadaannya tidak lepas dari sebuah institusi yang ditempelinya. Dalam pengamatan kami, kantin selalu meletak di dalam lembaga sebut saja perkantoran, rumah sakit, sekolah, atau universitas.


Menyelidiki kantin sekolah menengah (SMA N 8 Yogyakarta) dan beberapa titik kantin fakultas di Universitas Gadjah Mada, kami menemukan bahwa sebagai sub-institusi dari sebuah lembaga, kantin-kantin tersebut jelas berkelindan erat dengan lembaga yang menaunginya. Salah satu contoh paling nampak, adalah terdapatnya tata tertib dan peraturan yang berbeda di setiap kantin yang kami kunjungi. Namun, jika diselidiki lebih lanjut, tata-tertib kantin tersebut tidak dapat dilepaskan dari peraturan yang diterapkan oleh lembaga yang mengatapi mereka.


Salah satu contohnya, misal di SMA N 8 Yogyakarta yang tata-tertib kantinnya cukup kaku. Salah satu poster yang menarik perhatian, yaitu himbauan dilarang merokok. Hal ini jelas ada hubungannya dengan peraturan sekolah yang melarang warganya untuk merokok. Yang menarik, kami pun juga melihat beberapa tata tertib ditempel di beberapa sudut tembok kantin, ditandatangani oleh kepala sekolah. Hal ini menjadi perhatian kami karena adanya kekhawatiran mengenai gizi dan kebersihan makanan yang dijual di kantin.


Hal yang sama kami temui di Kantin Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Peraturan fakultas yang tidak memperbolehkan mahasiswa merokok di lingkungan kampus, membuat kantin menjadi area bebas rokok meskipun tidak ada peraturan tertulis yang nampak mencolok seperti yang tertera di kantin SMA N 8 Yogyakarta. Namun, larangan merokok tersebut didukung oleh infrastruktur kantin yang tidak menyediakan korek dan asbak seperti yang ada di Plaza BI (Kantin Bonbin).


Di Plaza BI atau lebih akrab disebut kantin Bonbin adalah kantin yang terletak di sebelah barat Fakultas Filsafat, dan di seberang Selasar Fakultas Psikologi. Lokasinya terletak tepat di pusat kluster sosial humaniora. Kantin bonbin menjadi ruang hibrid yang mempertemukan mahasiswa dari berbagai fakultas, sehingga tidak ada satu peraturan yang pasti dari satu-dua fakultas yang menaunginya. Mahasiswa pun bebas merokok, bahkan jika beruntung dan tidak ketahuan, bisa meminum “minuman jahat” selayaknya bir, atau anggur merah; saling bertukar botol di bawah meja bonbin nan riuh. Lucunya, di kantin ini kita bisa menemukan asbak-asak bertebar di meja. Baik asbak yang biasa ditemui di toko, atau asbak-alternatif yang dibikin dari kaleng rokok bekas, lalu dengan bebas digunakan oleh khalayak-perokok-kampus. Selain itu, beberapa penjual pun menyediakan fasilitas korek api, bahkan ada kios yang menjual rokok itu sendiri.


Menarik sekali bagi kami untuk melihat bagaimana pranata sosial yang ada di kantin terejawantahkan dalam penyediaan infrastruktur. Misal di kantin Fakultas Ilmu Budaya—yang meskipun tertera beberapa aturan larangan merokok di poster atau x-banner yang bertebaran di sekitar fakultas—kantin yang meletak di basement Gedung Soegondo ini memiliki area luar (outdoor) yang sengaja dipergunakan untuk merokok. Memang, secara informal, Fakultas Ilmu Budaya cukup dekat dengan budaya merokok. Bahkan, mahasiswa kerap merokok bersama-sama dengan dosen mereka di kantin. Serupa dengan Fakultas Ilmu Budaya, kantin di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) cukup fleksibel terhadap aturan merokok, asal perokok menaati tata tertib yang tertera. Ada ruang-ruang tersegregasi untuk merokok, salah satunya di rooftop kantin, alih-alih di lantai dasar melalui himbauan yang ditempel di dinding.


Namun, satu hal lain yang menarik ketika membahas keterhubungan kantin dengan institusi, adalah ketika kami menyambangi kantin FISIPOL yang baru saja direnovasi. Kantin ini, sejalan dengan desain besar FISIPOL sebagai kampus melek digital, memiliki desain bergaya industrial dengan sudut-sudut ruang yang kotak dan tajam. Tata ruang kantin FISIPOL ini juga terkesan futuristik dengan lukisan dinding bergambar ruang angkasa, UFO, dan dimensi aerospasial yang seolah menggambarkan FISIPOL sebagai kampus ultra-modern melalui desain kantinnya. Selain itu, keberadaan sistem OVO untuk pembayaran digital juga menguatkan impresi soal FISIPOL yang melek teknologi.



Pengelolaan Sampah Makanan di Kantin

Sampah makanan tampaknya menjadi satu hal cukup pelik yang luput diperhatikan lebih jauh. Beberapa kantin yang kami datangi juga cukup menunjukkan bagaimana sampah makanan kadang sangat tidak diperhatikan. Mulai dari tidak tersedianya tempat sampah yang memadai, maupun kesadaran bersama akan sampah yang masih kurang. Menurut Markus Häyhtiö, Atte Harjanne, dan Johanna Rajakangas-Tolsa (2017), sumber utama limbah makanan adalah sisa-sisa makanan yang tidak dihabiskan. Sisa-sisa makanan menyumbang sampah yang cukup banyak, disusul dengan sampah-sampah lainnya seperti sedotan plastik, kemasan makanan, puntung rokok, dan lain-lain.


Untuk mengelola lebih jauh mengenai sampah makanan tersebut, Markus Häyhtiö, Atte Harjanne, dan Johanna Rajakangas-Tolsa (2017) menawarkan sebuah program berupa Sustainable New Service Development (SNSD). Gambaran umumnya, program tersebut menuntut pengembangan proses yang komprehensif. Proses produksi makanan dan proses manajemen permintaan harus sangat diperhatikan, termasuk tuntutan pada nilai-nilai energi dan gizi makanan, juga dampaknya bagi lingkungan. Kassinis and Soteriou (2003) juga menambahkan, terdapat lima hal yang juga harus diperhatikan yaitu kesadaran lingkungan dari pemberi jasa, kesadaran lingkungan dari konsumen, proses pengembangan untuk menciptakan pengurangan biaya, permintaan pemasok, dan kepuasan karyawan/penjual.



Kantin dan budaya makan di luar rumah

Ketika membahas tentang kantin, menarik untuk membahasnya lewat konsep makan di luar. Kami memang tidak menemukan bacaan yang secara rigid membahas soal ide ini. Namun, jika dilacak secara analitis, kondisi yang megharuskan makan di luar (eating out), alih-alih membawa bekal atau memasak di rumah (dalam ruang domestik), barangkali juga tidak lepas dari masyarakat urban di era industri dan serba cepat, yang kehidupannya berkejaran dengan waktu. Memasak sendiri dengan bahan-bahan masak yang harus diracik, membutuhkan waktu lebih panjang. Maka dari itu, orang-orang pada akhirnya memilih untuk membeli makanan di luar rumah.


Dalam sebuah catatan akademis yang dilansir oleh Robin Fox, konsep eating out pertama kali dikenal pasca revolusi industri di Perancis. Hal ini terjadi karena pada masa itu, orang-orang kelas menengah atas mulai tidak punya waktu untuk memasak dalam ruang domestik. Mereka mulai menikmati waktu-waktu luang berada di ruang publik. Maka, konsep makan di luar sungguh berhubungan erat dengan maraknya teknologi dan kemunculan kelas pekerja yang barangkali mengurangi waktu bersiap menyiapkan makanan di rumah dengan persisten.


Yang menarik, Fox juga menjabarkan bahwasannya di era industri dan bisnis, waktu makan siang di luar rumah bahkan menjadi arena paling pas untuk berbincang tentang pekerjaan, dan mencapai kesepakatan bisnis (Fox 2014). Dan kesepakatan bisnis macam itu, barangkali kerap dilakukan dalam sebuah kantin yang menempel di sebuah institusi, tentu saja karena alasan praktis agar tidak membuang waktu di tengah hari yang sibuk.


Barangkali aktivitas makan-di-luar tidak hanya terjadi dalam ranah industri dan kalangan kelas pekerja saja. Pencapaian kesepakatan saat makan siang di kantin, terjadi pula di lokus kantin misalnya di kampus. Kantin kerap kali menjadi arena mahasiswa untuk bertemu dan membahas soal agenda organisasi, kesepakatan kerja barangkali antara dosen dengan dosen, atau mahasiswa dengan orang di luar terkait dengan pekerjaan. Atau yang paling sederhana, kantin menjadi arena untuk bertukar pikiran, sembari menghadapi piring dan sendok nan saling berdenting. Maka, dapat dikatakan, selain sifatnya yang transaksional, kantin menjelma ruang di mana masyarakat urban berdialektika di atas meja makan sembari menyelesaikan urusan perut yang tidak bisa diganggu gugat meskipun kesibukan sedang melanda. []



Referensi

1. Bimantara, J Galuh. 2019. "Go-Pay Perluas Pasar Ke Dunia Pendidikan –Kompas.Id". Kompas.Id. https://kompas.id/baca/utama/2019/01/23/go-pay-perluas-pasar-ke-dunia-pendidikan/ diakses pada 19 April 2019 pukul 20.00 WIB

2. Putri, Aditya Widya. 2017. "Perhatikan Jajanan Anak Anda Di Sekolah - Tirto.ID". Tirto.Id. https://tirto.id/perhatikan-jajanan-anak-anda-di-sekolah-cuw8. diakses pada 19 April 2019 pukul 20.03 WIB

3. Bourdieu, Pierre. 1984. “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste”. United States of America: Harvard College and Routledge & Kegan Paul Ltd.

4. Fox, Robin. 2014. "Food and Eating: An Anthropological Perspective." Social Issues Research Centre 1-22.

5. Markus Häyhtiö, Atte Harjanne, and Johanna Rajakangas-Tolsa. 2017. Sustainable New Service Development Insights of Food Wastage Data – Case: University Catering Unit. Consilience, No. 17 (2017), pp. 75-102.

6. Stevens, M.N. Lillian. 1903. Why the Army Canteen Should Not Be Restored. The North American Review, Vol. 176. No. 555 (Feb., 1903), pp. 215-222.

7. Kantin. (2018, Juni 26). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada 22:58, Juni 26, 2018, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kantin&oldid=1399991


Recent Posts

See All

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page