top of page
Writer's pictureFikra Ahnaf

Politik Elektoral, Ormas Islam, dan Sentimen Agama Pasca Reformasi

Eliesta Handitya | 16/395822/SA/18360

Foto oleh TEMPO

Pada suatu siang di Kota Jakarta yang sibuk dan riuh, kendaraan melenggang tanpa lelah. Beriring matahari berwarna jingga kusam dan jejak sudut-sudut kota nan berdebu, saya mendengar  suara klakson dan para penjaja asongan meneriakkan dagangan mereka di tepi trotoar. Sembari menjejak hiruk pikuk Jakarta, di beberapa kesempatan saya menyempatkan diri menengok spanduk dan billboard yang terpampang, terbentang di tepi jalan dan jembatan penyeberangan. Nampak satu, dua, tiga papan iklan produk pabrikan, promosi universitas, dan beragam carut marut reklame dan spanduk— berebaran di sepanjang jalan yang terlewati. Namun, diantara sekian banyak spanduk yang tertemui, mata saya tertumbuk pada spanduk bertuliskan “Cawapres dari Ormas Islam" di sebuah sudut jalan di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. Spanduk tersebut merupakan iklan layanan masyarakat yang dipublikasi oleh Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI)— sebuah gabungan organisasi masyarakat berbasis agama yang diinisiasi oleh PBNU, Persis, Al Irsyad Al Islamiyah,  Mathla'ul Anwar, Ittihadiyah, dan berbagai ormas islam yang berada di kisaran Jakarta (Permana & Nashrullah, 2019). Meskipun LPOI mendeklarasikan diri sebagai lembaga bervisi islam moderat (Antara, 2011), spanduk tersebut memberikan kesan selintas buat saya berkenaan dengan pandangan tentang bagaimana politik dan agama berkelindan dalam dalam ruang lingkup politik elektoral di Indonesia.


Spanduk bertulis “Cawapres dari Ormas Islam” tersebut memang tidak akan saya bahas lebih dalam dalam artikel ini, melainkan hanya menjadi pemantik diskusi berkenaan dengan bagaimana agama dan ormas berbasis agama memainkan peranan krusial dalam kontestasi politik elektoral di Indonesia. Beberapa dari kita barangkali mengira bahwa pertalian antara agama dengan politik elektoral seperti termaktub dalam spanduk tersebut merupakan fenomena yang lazim terjadi dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Namun, sesungguhnya, pertalian diantara keduanya dalam konstelasi politik di Indonesia merupakan fenomena yang cukup baru. Kelindan agama dengan politik elektoral, dalam lintasan sejarahnya, sejatinya baru dimulai sekira pasca Reformasi tahun 1998 berkumandang.


Di masa Orde Baru, gerakan berbasis agama dilabeli sebagai gerakan ekstrem kanan  oleh pemerintah. Bahkan, menurut R.William Liddle (1996) dalam “The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation”, gerakan berbasis agama menjadi musuh bersama nomor dua setelah komunisme (Partai Komunis Indonesia) yang dicap sebagai ekstrem kiri. Dalam artikel yang ditulis oleh Noorhaidi Hasan (2009), pada tahun 1978 ketika diberlakukan peraturan normalisasi kehidupan kampus, pemerintah melarang aktivitas dakwah dilakukan di lingkup universitas (Hasan, 2009).


Represi terhadap Gerakan Berbasis Agama di Era Orde Baru

Pada era Orde Baru, Pemerintahan Soeharto sama sekali tidak mengakomodasi gerakan massa dan politik berbasis agama dalam ranah publik. Bahkan, semenjak akhir 1960-an hingga pertengahan 1980-an, para aktivis dan politisi yang bergerak dalam lajur politik berbasis agama mengalami diskriminasi, persekusi, hingga dipenjarakan. Selain itu, ekspresi keagamaan seperti misalnya penggunaan jilbab pun dilarang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di masa itu bahkan melarang keras penggunaan hijab di sekolah-sekolah negeri (Liddle, 1996), melalui SK 052/C/Kep/D.82 yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. pada 17 Maret 1982 (Jo, 2018). Ekspresi bergama menjadi hal yang tabu dalam ranah publik dan politis di masa Orde Baru. Bisa dikatakan, ekspresi politik berbasis agama pada masa itu pun begitu tercungkil dan terpinggirkan.  Agama sebisa mungkin tidak hadir dalam ruang publik dan lepas sepenuhnya dari relung aktifitas berpolitik.


Apabila dilihat melalui kacamata pandang yang lebih luas, pergerakan organisasi massa berbasis agama— khususnya islam— sesungguhnya memiliki posisionalitas di wilayah politik, jauh sebelum rezim Orde Baru berkuasa dan membungkami ruang gerak politik agama. Pada masa Kolonialisme Jepang tahun 1942 hingga 1945, gerakan berbasis agama (khususnya islam) mulai dimobilisasi untuk kepentingan perang. Di masa tersebut, gerakan berbasis agama dianggap tradisional dan sangat terbelakang (Liddle, 1996). Meskipun demikian, gerakan berbasis agama di masa kolonial Jepang memiliki posisi cukup penting dalam konstelasi perpolitikan dan pergerakan di masa pra-kemerdekaan.


Namun ketika rezim Orde Baru tumbang, keadaan politik berbalik seratus delapan puluh derajat. Semenjak reformasi berkumandang dan demokratisasi mulai tersemai subur di Indonesia, ruang-ruang politik elektoral yang di masa Orde Baru disentralisasi oleh Golkar (Golongan Karya), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia), konstelasinya bertransformasi secara total. Banyak partai baru terbentuk, demikian halnya dengan gerakan massa— terutama yang berbasis agama— tumbuh subur pada masa ini. Partai-partai baru terbentuk, pun demikian halnya dengan gerakan massa yang tumbuh menyubur di era ini setelah mengalami represi selama berpuluh tahun lamanya. Semenjak saat itu pula, gerakan massa berbasis agama— khususnya gerakan islam mulai menjajaki peran penting dalam kehidupan publik dan politik. Eskalasi penggunaan simbolisme religi dan gerakan massa berbasis agama di masa pasca reformasi pada akhirnya turut mengubah lanskap kehidupan politik di Indonesia. Sejak saat itu, simbol religius— khususnya menyoal simbolisme islam— akhirnya muncul sebagai ekspresi yang sifatnya terbuka. Semangat gerakan berbasis agama pun mulai terdiseminasi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sejak saat itu, cita-cita untuk mengimplementasikan negara yang berhukum dan berkultur syariah mulai santer terdengar (Karim, et al 2014). Islamisasi gencar digaungkan, termasuk salah satunya dalam konteks perkembangan politik massa di Indonesia.


Ketika menyoal reformasi dan munculnya tendensi religiusitas di ruang-ruang publik, kita tidak bisa melepaskannya dari berbagai gerakan massa berbasis agama yang muncul pasca Orde Baru tumbang, salah satunya misal Front Pembela Islam (FPI). Front Pembela Islam merupakan organisasi massa berbasis agama yang didirikan oleh Habib Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998, tepat pada saat reformasi sedang hangat digulirkan. Dalam perkembangannya, FPI menjelma menjadi garda pengaman kota— menjadi kaki tangan militer yang bersama Pam Swakarsa (pasukan sipil-militer), menjaga dan mengontrol situasi sosial dan kondisi “moral” masyarakat setempat— dengan melakukan terapi kejut (shock therapy) misal penggerebekan (Imamah, 2017). Reformasi seolah menjelma angin segar— bahkan dunia baru— bagi gerakan massa berbasis agama untuk mulai menjelajahi ruang publik dan mengintervensi kehidupan sehari-hari masyarakat.


Aksi Bela Islam: Sentimen Agama sebagai Sarana Mobilisasi Massa

Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi massa (ormas) islam memegang peranan sangat penting dalam konstelasi perpolitikan di Indonesia. Aulia Nastiti dan Sari Ratri (2018) dalam artikelnya berjudul “Emotive Politics: Islamic Organizations and Religious Mobilization in Indonesia” menyebutkan bahwa ormas islam bahkan menjadi salah satu penyokong yang cukup signifikan dalam memobilisasi suara secara elektoral. Ormas berbasis agama di Indonesia— terutama ormas islam— dianggap memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan, jika dibandingkan dengan aktor-aktor politik yang lain. Hal tersebut didorong karena ormas berbasis agama merupakan organisasi yang bersifat patronase (patron-klien). Sehingga, suara massa seringkali tergantung sepenuhnya dengan sang oleh sang patron—dalam hal ini adalah pimpinan ormas seperti kyai atau habib.


Otoritas moral menjadi salah satu faktor yang terus menjaga fanatisme para anggota ormas. Selain itu, ormas islam dinilai lebih luas dalam melakukan penetrasi sosial (Nastiti & Ratri, 2018), sehingga lebih mudah mengarakan suara massa dalam konteks politik elektoral, ketimbang partai politik yang sifatnya kaku dan formal. Salah satu studi kasus yang menunjukkan signifikansi keterlibatan ormas agama dalam “menyeret” pandangan publik terhadap pilihan politik adalah Aksi Bela Islam, yang pada tahun 2016 menuntut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang saat itu menjabat sebagai pelaksana tugas (plt) Gubernur Jakarta atas dugaan penistaan agama.


Sekitar tahun 2016, Basuki Tjahaja Purnama, dilaporkan telah melakukan penistaan agama islam dengan mengolok-olok isi Surah Al Maidah 51 dalam pidatonya di Kepulauan Seribu yang viral di kanal youtube. Video dugaan penistaan agama tersebut kemudian dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan pada 14 Desember 2016 silam (Oktaviani, 2018). Dalam video tersebut, Ahok dianggap mengolok-olok Al Maidah 51 demi memecah belah rakyat demi kepentingannya memperoleh kekuasaan dengan “cara kotor” (Oktaviani, 2018). Ahok lantas divonis dua tahun penjara pada 9 Mei 2017. Pemidanaan terhadap Ahok tersebut terjadi pasca demonstrasi terjadi besar-besaran yang dilakukan oleh aktivisme yang menamakan diri mereka sebagai Aksi Bela Islam. Aksi Bela Islam merupakan gerakan yang diinisiasi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI).


Kasus Ahok ini bisa jadi merupakan implementasi nyata bagaimana agama mampu secara signifikan mendorong opini publik melalui otoritas bernuansa moralistik banal. Nastiti and Ratri (2018) menyebutnya sebagai politik emosional (emotive politics), yang menggunakan politik identitas sebagai cara untuk menggiring opini publik. Otoritas moral digunakan sebagai strategi menyetir suara publik, dengan meletakkan Ahok sebagai pendosa yang telah melecehkan agama islam. Selain itu, identitas Ahok sebagai seorang Kristen dan peranakan Tionghoa semakin memperuncing ketegangan, sehingga demonstrasi besar bernuansa sentimen identitas terhadapnya tak terhindarkan lagi.


Dalam kasus Ahok mengenai penistaan agama ini, ormas islam seperti Organisasi Salafi Modern Islamiyah, Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Umat Islam (FUI), dan Majelis Zikir (Sheany, 2018), berhasil memobiliasi massa untuk berdemonstrasi dan menuntut pemenjaraan Ahok. Sentimen tersebut, selain disetir karena kasus penistaan agama yang dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan, juga merupakan implikasi dari ketakutan masyarkat jika kelak mereka dipimpin oleh pemimpin Kristen (non-muslim). Sebab, seturut surah al maidah 51 yang melarang kaum nasrani dan yahudi sebagai pemimpin (terjemahan Al Maidah 5:51).


Gerakan menolak Ahok ini kemudian berkembang menjadi aktivisme besar berpusat di Jakarta, dan mampu memobilisasi massa yang sangat besar. Mobilisasi massa terjadi besar-besaran, bahkan massa tidak hanya datang dari sekitar Jakarta saja, tetapi juga dari berbagai kota dan daerah lain. Problema yang awalnya hanya berkenaan dengan posisi Ahok sebagai gubernur “penista agama” di lokus Jakarta, mendadak menjelma urgensi bagi masyarakat luas dengan menempatkan Ahok sebagai “musuh bersama islam”. Isu ini lantas membesar dalam skope yang tidak hanya berkenaan dengan topik politik saja, tetapi memainkan sentimen identitas secara terbuka.


Dalam kasus penistaan agama tersebut, agenda utama dari gerakan menolak Ahok sebagai gubernur merupakan resistensi masyarakat terhadap identitas Ahok sebagai Kristen (non-muslim), dianggap tak layak memimpin Jakarta, dengan meletakkan prinsip pada Surah Al Maidah 51 yang “melarang umat muslim memilih pemimpin nasrani”. Gerakan massa yang menamakan diri sebagai Aksi Bela Islam lantas melakukan demonstrasi dalam beberapa tahap. Pertama, pada 14 Oktober 2016 (dinamakan sebagai Aksi 1410) yang dikomandoi oleh Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab. Aksi tersebut menandai demonstrasi dalam bungkus narasi “melawan Ahok” selanjutnya, seperti Aksi Bela Islam II pada 4 November 2016. Kemudian, puncaknya adalah Aksi 212 pda 2 Desember 2016 yang dijuduli sebagai Aksi Bela Islam jilid III; aksi degan massa terbesar yang dihadiri sekira 3 Juta orang dari berbagai daerah di Indonesia (Agustin, 2017).


Fenomena tersebut menunjukkan bagaimana sentimen identitas, termasuk agama dan ras, dapat digunakan sebagai alat propaganda politik. Terlebih, ketika sentimen bernafaskan politik identitas tersebut disetir oleh gerakan massa berbasis agama yang memiliki kepentingan elektoral— sebab organisasi berbasis massa menjelma perantara antara politik informal jalanan dengan politik formal elektoral.


Hingga saat ini, gerakan 212 masih menjadi kekuatan politik massa, bahkan pasca Ahok dipenjara. Hal ini terbukti dengan munculnya reuni 212 dan koperasi berbasis syariah, 212 Mart yang diinisiasi oleh para alumni Aksi Bela Islam dan GNPF-MUI. Gerakan 212 pada akhirnya menjelma aktivisme berintensi politis praktis, apalagi ketika gerakannya tergabung dalam aksi 22 Mei 2019 (aksi Ifthor Akbar 212) yang menolak putusan pemenangan presiden (Aji, 2019).


“Pemimpin Kotaku, Imam agamaku”: Sebuah Konsep Kewarganegaraan Pasca Reformasi

Sentimen agama berkait erat dengan narasi tentang penistaan agama yang menjadi titik fokus dan menjelma politik emosional yang menjelma problema yang memiliki urgensi tinggi untuk dibicarakan dan ditindaklanjuti. Sentimen agama barangkali kelak menjadi strategi anyar dan efektif bagi elit politik dalam menggerakan massa melalui tangan kanan ormas islam demi meraup kepentingan politik elektoral.


Ahok sebagai representasi identitas minoritas (Kristen dan Peranakan Tionghoa), menarasikan peminggiran identitas berbasis sentimen agama secara struktural dan kultural terjadi di Indonesia, salah satunya dalam kasus penistaan agama yang memunculkan gerakan massa yang disetir oleh ormas berbasis agama. Bahkan, sentimen agama menjelma strategi menggerakan massa, melalui intensi dan motif politik emosional (emotive politics) yang mengkambinghitamkan identitas tertentu dalam rangka mendulang suara elektoral.


Bahkan, berdasarkan survey data yang dilansir dari tirto.id (25/09/18), penolakan terhadap pemimpin non-muslim melonjak pasca Aksi Bela Islam berkumandang. Bahkan, isu berkait agama dianggap memiliki kekuatan elektoral yang disinyalir berimplikasi pada kemunculan citra politisi “salih” pasca kasus Ahok (Ridhoi, 2018). Dalam demonstrasi tersebut, terjadi peminggiran identitas terhadap kelompok lain, dalam hal ini adalah identitas Ahok sebagai non-muslim, sekaligus identitasnya sebagai tionghoa— etnis yang dalam sejarahnya seringkali menjadi kambing hitam dalam problema politik di Indonesia. Konsep “pemimpin kotaku sebagai imam agamaku”, menubuh dalam konsep kewarganegaraan yang diamini oleh masyarakat Indonesia, dalam hal ini melalui penolakan terhdap pemimpin yang bukan muslim (non-muslim).

Agama lantas menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dengan politik elektoral di Indonesia pasca Reformasi. Sentimen agama pula menjadi praktik yang menubuh dalam masyarakat kita, bahkan digunakan sebagai strategi kepentingan yang memainkan politik emosional (emotive politik) dalam menyetir opini publik. Bahkan, aktivisme yang mulanya hanya berada dalam skala lokus kota, menjadi gerakan massa yang sifatnya nasional, dan meletakkan peranan Ahok bukan hanya sebagai tokoh politik, tetapi juga dicap sebagai seorang “musuh bersama islam” yang dianggap tidak layak dijadikan pemimpin “umat”.  []


Referensi

Permana, F. E., & Nashrullah, N. (2019, Maret 22). www.republika.co.id. Retrieved Juni 25, 2019, from https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/19/03/22/porxp5320-lembaga-persahabatan-ormas-islam-deklarasikan-pemilu-damai

Antara. (2011, Oktober 22). www.beritasatu.com. Retrieved Juni 25, 2019, from https://www.beritasatu.com/nasional/14466/lembaga-persahabatan-ormas-islam-dideklarasikan

Hasan, N. (2009). The Making of Public Islam: Piety, Agency, and Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere. Springer , pp. 229-249.

Liddle, R. W. (1996). The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation. The Journal of Asian Studies, Vol. 55 , pp. 613-634.

Jo, H. (2018, February 28). historia.id. Retrieved June 27, 2019, from https://historia.id/kultur/articles/jilbab-terlarang-di-era-orde-baru-6k4Xn

Imamah, F. M. (2017). Discourse on Penistaan Agama of Basuki Tjahaja Purnama’s Blasphemy Trial in Twitter. Religió: Jurnal Studi Agama-agama , pp. 154-183.

Nastiti, A., & Ratri, S. (2018). Emotive Politics: Islamic Organizations and Religious Mobilization in Indonesia. Contemporary Southeast Asia , Vol. 40, No. 2 , pp. 196-221.

Oktaviani, Z. (2018, January 29). www.republika.co.id. Retrieved June 26, 2019, from https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/01/29/p3amax396-polri-berikan-sp3-kepada-ahok-atas-tuntutan-penistaan-agama

Sheany. (2018, April 17). jakartaglobe.id. Retrieved June 27, 2019, from https://jakartaglobe.id/context/understanding-212-movement

Agustin, D. (2017, May 10). nasional.republika.co.id. Retrieved June 27, 2019, from https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/05/10/opp5r4330-ini-7-rangkaian-aksi-bela-islam-sebelum-ahok-divonis-2-tahun-penjara

Aji, M. R. (2019, Mei 19). nasional.tempo.co. Retrieved Juni 27, 2019, from https://nasional.tempo.co/read/1206926/waktunya-semakin-dekat-inilah-lima-hal-tentang-aksi-22-mei/full&view=ok

Ridhoi, M. A. (2018, September 25). tirto.id. Retrieved Juni 27, 2019, from https://tirto.id/intoleransi-politik-meningkat-setelah-gerakan-menolak-ahok-c2kY

Fajri, M. S. (2018). THE REPRESENTATION OF A BLASPHEMY PROTEST IN JAKARTA IN LOCAL AND INTERNATIONAL PRESS. Indonesian Journal of Applied Linguistics, Vol. 7 No. 3, January 2018, pp. 705-713 , pp. 705-713.

Karim, S., Mamat, S. A., & Posssumah, B. T. (2014). Islamism and Democratization in Indonesia Post-Reformation Era: Socio-Political Analysis. International Journal of Islamic Thought , 79-86.


Tanggapan untuk tulisan Eliesta Handitya

Fikra Ahnaf Dhiauttaqi | 16/394688/SA/18214


Pertama-tama, tentu saya akan memberikan sebuah apresiai atas Esai #1. Dalam esai tersebut, Eliesta dengan sangat dalam memberikan kita pemahaman jika politik identitas yang berkaitan dengan agama masih tumbuh subur hingga saat ini. Perspektif sejarah yang digunakan saya rasa dapat membantu kita dalam menerima pemahaman tersebut. Walaupun hanya satu sisi saja yang dibahas, yaitu bagaimana politik identitas melalui agama hadir di Indonesia dan menyamaratakan gerakan gerakan tersebut.


Di dalam esai #1, gerakan Islam dinarasikan seolah-olah tunggal. Lengkap dengan sentimen SARA dan hal-hal yang berkonotasi buruk lainnya. Padahal, jika kita mau melihat sisi lain dari gerakan-gerakan Islam, tak selamanya gerakan Islam di identifikasikan dengan sentimen SARA dan hal-hal yang berkonotasi buruk. Sentimen-sentimen tersebut hanya hadir pada beberapa kelompok saja. Sedangkan kelompok lainnya justru tidak memiliki sentimen terhadap isu SARA. Pada akhirnya, kelompok-kelompok Islam di Indonesia banyak terpecah ke dalam beberapa golongan. Artinya, gerakan Islam itu tidak selamanya tunggal.


Gerakan Islam Tidak Tunggal

Pada Esai #1, narasi dari gerakan Islam itu sendiri adalah sesuatu yang tunggal. Antara kelompok satu dengan kelompok lainnya saling berkolerasi. Apalagi dalam konteks Jakarta. Seperti yang diperlihatkan di dalam aksi 411 maupun aksi 212.


Dilansir dari rmoljabar.com, aksi 411 dan 212 bukanlah suara mutlak seluruh umat Islam di Indonesia. Nyatanya setelah aksi tersebut di gelar, bisa kita semua lihat di sosial media bahwa masyarakat terpecah pada dua kubu. Sesama kader NU bahkan bisa bersitegang hanya karena keduanya pro dan kontra terkait aksi tersebut. yang lebih parah lagi, ada klaim bahwa pengikut aksi adalah kelompok dengan ketebalan iman yang tak diragukan, serta pemilik tunggal surga ilahi, sedangkan yang tidak ikut aksi adalah kafir-kafir yang walaupun ada sedikit iman, namun tipis miliknya. Ada juga yang menyebutkan bahwa pihak-pihak yang mengikuti aksi adalah pemecah belah bangsa yang selalu membawa isu SARA.


Selain itu, dalam aksi 22 Mei, gerakan Islam yang ada juga bukan merupakan gerakan yang tunggal. Suara umat Islam juga terpecah antara yang pro dan kontra. Sama dengan aksi-aksi sebelumnya. Saya juga menemukan fakta di lapangan jika kelompok-kelompok yang mengikuti aksi 22 Mei di depan kantor Bawaslu juga terpecah ke dalam dua kubu. Saat kerusuhan terjadi, beberapa kelompok mengatakan jika “Mereka bukan bagian dari kami. Mereka provokator. Tolong kami…..”


Sejauh dapat ditelusuri, gagasan bahwa Islam adalah ajaran universal dan tunggal  lekat dengan paham Wahabisme. Suatu gerakan keislaman yang lahir di Timur Tengah abad 17. Wahabi adalah paham Islam yang ditujukan sebagai upaya “memurnikan” Islam dari praktik-praktik keagamaan yang dinilai di luar kerangka Islam (Bosworth, 1997).


Untuk membuktikan jika gerakan Islam bukanlah gerakan yang tunggal, saya akan memberikan sebuah catatan etnografis saya selama berada di Jakarta tanggal 22 Mei.


Sebuah Catatan Etnografis

Jogja sore itu sama seperti biasanya. Jalan Kaliurang dipadati oleh kendaraan bermotor. Begitu pula Jalan Gejayan. Pun juga jalan-jalan lainnya di Kota Jogja. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi aksi massa. Tidak pula ada tanda-tanda akan terjadi kerusuhan. Jogja masih seperti biasanya.


Sore itu, saya bergegas menuju Stasiun Lempuyangan. Menyusul teman saya yang sudah lebih dulu sampai. Tujuan kami adalah Jakarta. Kebetulan, waktu keberangkatan kami bertepatan dengan tanggal dimana akan terjadi aksi massa di Jakarta. Aksi massa tersebut rencananya akan diadakan di depan kantor Bawaslu. Sebelum aksi massa tersebut dilakukan, media-media memang telah memberitakan mengenai aksi yang akan terjadi pada tanggal 22 Mei.


Beberapa orang yang menjadi agen motorik atau penggerak dari gerakan 22 Mei selalu menggunakan istilah ‘people power’. Sesuatu yang mungkin buruk konotasinya di Indonesia. Saya kira itu warisan ketakutan dari apa yang terjadi pada tahun 1998. Banyak pihak yang mengkhawatirkan jika aksi ini juga bisa menyerupai kerusuhan tahun 1998 yang menelan banyak korban, baik jiwa maupun materi.


Ketakutan-ketakutan tersebut juga menghinggapi diri saya pribadi dan teman saya. Kami baru menyadari jika kepergian kami ke Jakarta bertepatan dengan tanggal 22 Mei. Kami ke Jakarta hanya ingin melakukan liputan pada salah satu konser musik yang menghadirkan musisi dari Amerika, Turnover. Bukan untuk mengikuti aksi maupun kegiatan lain yang berkaitan dengan aksi tersebut. Kami jadi harus berfikir ulang mengenai aksebilitas dan juga akomodasi, karena biasanya ketika ada aksi akses dan akomodasi juga akan terhambat.


Sebelum memasuki gerbong kereta, saya bertanya pada teman saya “Apakah mungkin kita satu gerbong dengan orang-orang yang berangkat ke Jakarta untuk mengikuti aksi 22 Mei?”. Ketika memasuki gerbong kereta, dan menemukan tempat duduk yang sudah kami pesan, ternyata memang kami satu kereta dan bahkan ada pula yang satu gerbong dengan orang-orang yang berangkat ke Jakarta untuk mengikuti aksi 22 Mei.


Kami duduk seperti selayaknya penumpang kereta api. Berbicara satu sama lain untuk mengusir kebosanan. Kebetulan waktu itu juga sedang bulan puasa. Di dalam obrolan kami berdua, saya selalu menyelipkan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan aksi 22 Mei. Ada dua alasan kenapa saya menggunakan topik tersebut di dalam obrolan kami. Yang pertama, saya memang harus membicarakannya agar dapat menentukan akan kemana dan menggunakan apa di Jakarta. Yang kedua, saya penasaran, jika ternyata orang di sebelah kami adalah orang yang pergi ke Jakarta untuk mengikuti aksi 22 Mei, bagaimana respon nya ketika mendengar obrolan kami yang mungkin saja akan mendeskreditkan aksi tersebut.


Ternyata, di samping saya persis adalah orang yang ingin ke Jakarta untuk mengikuti aksi 22 Mei. Saya memang tidak menanyakannya langsung, namun dari pembicaraan orang di sebelah saya dengan teman-temannya sudah terlihat. Bahkan ketika saya dan teman saya membicarakan perihal aksi 22 Mei dengan konotasi yang terbilang buruk, mereka langsung melihat saya dengan mata yang seolah-olah ingin marah, atau saya juga kurang tau menandakan apa.


Dugaan saya ternyata salah. Mereka yang saya kira akan marah, ternyata justru menyapa saya dengan ramah. Bahkan mereka menawari saya makanan untuk berbuka puasa. Ini jadi satu indikasi pertama yang merubah pikiran saya mengenai kelompok-kelompok Islam yang akan melakukan aksi di Jakarta. Mereka yang selama ini saya kira keras kepala dan menakutkan, justru berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.


Pukul 3 dini hari, kami sampai juga di Jakarta. Situasi Stasiun Pasar Senen masih sama seperti hari-hari biasanya. Ada lalu-lalang orang yang datang dan pergi. Ada supir-supir taksi. Ada pula tukang-tukang ojek, dll. Berbanding terbalik dengan situasi Staisun Pasar Senen, saat itu kondisi di depan kantor Bawaslu sedang genting-gentingnya. Kerusuhan yang pecah pada pukul 9 malam, terus meluas hingga dini hari. Dari media sosial yang terus saya pantau, kondisi sangat mencekam sekali. Sekali-dua kali polisi harus menembakkan gas air mata ke arah kerumunan. Pun juga kerumunan menembakkan petasan ke arah polisi.


Jakarta sedang genting-gentingnya malam itu. Situasi Pasar Senen memang masih relatif aman. Namun, orang-orang terus memantau dan membicarakan perihal kerusuhan tersebut. Mereka khawatir jika kerusuhan akan meluas hingga ke Pasar Senen.


Dua Kondisi Yang Berbeda Ada dua kondisi berbeda yang saya lihat langsung selama berada di Jakarta. Pertama, ketika saya baru saja sampai di Jakarta, sekitar pukul 3 dini hari. Saat akan menuju ke indekos teman saya yang berada di daerah Kemanggisan, saya melewati daerah Tanah Abang yang saat itu sedang bergejolak. Yang kedua, saat saya akan menuju daerah Jakarta Selatan, saya juga melewati lagi daerah Tanah Abang, namun dengan kondisi yang berbeda dengan malam harinya.


Malam hari, ketika kerusuhan sedang genting-gentingnya, saya tidak sengaja dilewatkan Tanah Abang oleh supir Go Car. Sopir Go Car tersebut juga tidak sadar jika ternyata akan melewati daerah tersebut. Akhirnya saya meminta agar berhenti sebentar saja karena penasaran dengan apa yang terjadi saat itu. Hal pertama yang saya lihat adalah petasan yang membumbung tinggi ke angkasa. Lalu, dibarengi dengan teriakan massa dan bunyi lemparan batu. Asap sisa gas air mata juga masih terlihat. Sekali-dua kali beberapa remaja berpakaian ala Islam Timur Tengah mondar mandir membawa pentungan kayu atau menggenggam batu. Yang perlu saya garis bawahi disini adalah ‘remaja’. Kenapa kelompok-kelompok tersebut di isi oleh remaja? Saya rasa kondisi itu juga sudah dijelaskan oleh Eliesta di dalam Esai #1. Bagaimana bentuk-bentuk dari kelompok-kelompok Islam dan sentimen-sentimen apa saja yang disuarakan. Saya menduga remaja-remaja tersebut merupakan ‘orang bayaran’ atau ‘preman setempa’t, karena saya melihatnya di Tanah Abang, yang notabene basis salah satu ormas Islam.


Berbanding terbalik dengan kondisi malam hari, di Siang hari para peserta aksi justru didominasi oleh orang-orang dewasa yang rapi-rapi. Tidak semuanya terlihat memakai gamis maupun atribut Islam lainnya. Terlihat pula beberapa orang-orang kantoran yang mengikuti aksi tersebut. Saya melihatnya justru aksi di siang hari tergolong damai. Tidak ada caci-maki maupun umpatan-umpatan yang berbau SARA. Bahkan ketika ditanya perihal kerusuhan yang terjadi tadi malam, massa tersebut menolak dengan tegas jika perusuh adalah dari kelompoknya. Mereka menyebut kelompok perusuh itu sebagai provokator, bukan kelompok Islam yang sama dengan mereka. Dari sini saya jadi berfikir jika gerakan Islam ini ternyata memang tidak tunggal. Tidak selamanya gerakan-gerakan Islam berkonotasi buruk. Seperti yang banyak dibingkai oleh media.

Daftar Pustaka:

Bosworth. 1997.


Tanggapan untuk tulisan Eliesta Handitya

Bettina Debora Otto (2018/01/M/SP/3315)


Esai Eliesta Handitya menjelaskan sangat di dalam bagaimana politik identitas terkait dengan agama dan akibat-akibat yang mana muncul dari gerakan tersebut. Dengan perspektif sejahara Indonesia, dia berfokus bermacam-macam pengaruh misalnya kepentingan dan struktur orma. Dia juga berhasil menggambarkan situasi jenderal politik identitas Indonesia dengan contoh yang sangat tetap yaitu contoh gerakan 212, mekanisme-mekanisme mobilisasi, identitas muslim dan non-muslim terkait juga dengan kasus Ahok (Basuki Tjahaya Purnama; BTP). Akibatnya, dia mengkristal semua pengaruhi tersebut lengkap tetapi juga padat dalam pengalaman kota Jakarta dia supaya pembaca merasa konteks ruang kota tertentu, yaitu konteks Jakarta. Khususnya aspek terakhir adalah pusat disiplin antropologi. Melalui menghubungkan fenomena dengan konteks, antropologi menciptakan pengetahuan yang sangat berharga untuk memahami persoalan sosial dan budaya.


Menurut pendapat saya, satu kekurangan dalam esai yang ditulis Eliesta Handitya adalah karena esai itu menghindari pertanyaan mengapa gerakan 212 terjadi hanya di dalam ruang kota Jakarta? Pertanyaan ini bisa didekati dengan konsep kewarganegaraan dari bermacam-macam perspektif akademis. Konsep tersebut terkait secara dekat dengan konsep kebangsaan. Kaitan ini juga diisi dengan ide-ide hak, kewajiban dan persamaan. Namun, kewarganegaraan tidak dibatasi dengan aspek-aspek ini. Untuk menjawab pertanyaan mengapa gerakan 212 khususnya terjadi dalam bentuk ini di ruang kota Jakarta (selain sebab bahwa gerakan itu tentang pemilihan gubernur Jakarta) saya akan menjelaskan bagian sejarah dari istilah dan konsep kewarganegaraan.


Kewarganegaraan muncul pertama kali pada zaman dahulu Greek Antiquity. Organsisasi masyarakat dan kebijakan didasarkan pada ruang kota. Oleh karena itu, sistem Yunani dikenal dengan istilah neagara kota. Perspektif ini sudah menuju argumen utama bahwa kewarganegaraan tidak harus dikaitkan dengan kebangsaan sementara ruang kota menjadi signifikan untuk bentuk konsep kewarganegaraan.


Sarjana-sarjana filsafat dan sosial tertarik dengan persoalan kewarganegaraan pada akhir abad keduapuluh. Misalnya, Etienne Balibar (1988) meneliti kejadian konsep tersebut dan menerangkan bahwa kewaraganegaraan bukan suatu konsep yang tetap, tetapi berubah terhadap tempat dan waktu (723). Karenanya, konsep kerwarganegaraan mempunyai artinya berbeda untuk orang-orang yang berbeda walaupun satu situasi. Balibar membuktikan tesis ini sebagai berikut:


Not only because, as Aristotle has already shown, each political regime builds the distribution of powers into a specific definition of citizenship but also because, in juridically (or quasi-juridically) delimiting a certain type of „human being“ and a certain model of rights and duties, this definition crystalizes the constitutive social relations of a society at the level of the individual.“


Hal penting pertama tentang kutipan itu adalah istilah “political regime” yang tidak hanya berarti kebangsaan. Oleh karena itu, konsep kewarganegaraan dibuat lebih luas untuk bisa memasuki situasi-situasi kebijakan lain dari nasionalisme dan kebangsaan dan dalam kasus ini situasinya adalah kota Jakarta. Dalam ruang kota Jakarta, kewarganegaraan sudah ditetapkan secara khusus, karena pilgub juga didasarkan pada sistem birokrasi dan pemerintahan kota. Selain itu, konsep kewarganegaraan tidak menuju ke arah bangsa (seperti nation-building) tetapi berfokus kepada setiap individu manusia dalam sistem tertentu. Dalam proses menciptakan atau mengubah warga negara, definisi manusia juga berubah. Seluruh hierarki dan hubungan-hubungan sosial menjadi berubah bentuk dalam seorang warga negara misalnya dengan relasi hak istimewa sosial atau minoritas. Berarti, seorang Basuki Tjahaya Purnama (BTP) sebagai warga negara Jakarta dan juga sebagai orang keturunan Tionghoa juga diisi dengan hubungan dia dengan Muslim sebagai majoritas di Indonesia. Menurut Balibar, siapa pun yang menjadi warga negara dalam kerangka tertentu memiliki hak dan suara publik yang menggambarkan kekuatan dan kepentingan tertentu dalam satu saat tertentu (Balibar 1988, 724). Ide-ide tentang kesamaan, kewajiban dan hak tidak ditemukan secara jelas dalam warga negara. Salah satu orang sarjana yang melanjutkan ide ini adalah Kipnis yang meneliti migrasi dan kewarganegaraan. Dia menyimpulkan bahwa kewarganegaraan lebih berdasarkan pada ekslusi daripada kesamaan. Oleh karena itu, konsep  kerwarganegaraan diizinkan kekerasan dan juga kemungkinan  membuat seorang manusia kurang dari kemanusiaan dalam sistem kebangsaan sebagai orang “stateless”. Konsep kewarganegaraan sendiri menyebabkan ketidaksamaan dan akibatnya diskriminasi dan kekerasan (Kipnis 2004, 259-265).  


Kipnis melanjutkan pikiran Balibar dalam perspektif kebangsaan yang sangat produktif juga. Akan tetapi saya akan memilih jalur lain yang berfokus pada persoalan kota dalam konsep kewarganegaraan. Menurut Appadurai dan Holston, kewarganegaraan mendirikan keanggotaan dalam satu masyarakat tertentu. Dalam abad ke-18, keanggotaan itu menjadi kerangka nasional padahal ada bermacam-macam konteks-konteks lain yang juga memiliki kemampuan untuk mendirikan kewarganegaraan, misalnya agama, kelas atau juga kota. Akan tetapi kewarganegaraan (dalam Bahasa inggris citizenship, yang sudah mewujudkan relasi dengan city), intinya bermaksud keanggotaan yang membuat identitas terutama dalam konteks tertentu. Yang penting tentang konteks kota adalah relasi dengan kerangka nasional. Dalam kerangka itu, kota juga istimewa karena membentuk dan merepresentasikan kebijakan negeri dalam bentuk tertentu yang terdiri dari sumber-sumber nasional dan juga dari kekuatan-kekuatan global (Appadurai & Holston 1999, 3). Dari sini juga berasal peran posisi istimewa ibu kota sebagai pemimpin dalam satu negara, misalnya ibu kota Indonesia yaitu Jakarta sebagai global city. Dalam kata-kata Appadurai dan Holston, posisi kota dalam persoalan kewarganegaraan dijelaskan sebagai berikut:


Their crowds [the crowds of the city] catalyse that decisively expand and erode the meanings, rules and practices of [national] citizenship. Their streets conflate identities of territory and contract with those of race, class, culture and gender to produce the reactive ingredients of both progressive and reactionary political movements (1999, 2).


Dalam konteks gerakan 212, maksud kutipan itu berarti beberapa hal beragam bentuknya terkait dengan kewarganegaraan untuk menjadi “progressive or reactionary movement” yang sangat memengaruhi ruang kota Jakarta dan kebijakan Indonesia. Yang pertama adalah koneksi baru antara kewaraganegaraan kota dan kewaraganegaraan nasional: gerakan 212 menjadi sangat penting untuk negara Indonesia sebagai contoh Islamisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia (compare report ISEAS dan juga Setijadi). Namun, gerakan 212 hanya berfokus  pada pilgub dalam satu kota Indonesia! Kaitan ini mewujudkan posisi kota dalam konteks negara: Kewarganegaraan yang terutama mengarahkan kerangka kota mulai dicampur dengan kewaraganegaraan bangsa. Selain itu, kewaraganegaraan agama dan kewaraganegaraan teritorial terkait dengan cara baru dengan gerakan 212 juga. Tuntutan gerakan tersebut memusatkan hal bahwa pemimpin kota harus berasal dari agama Islam untuk memerintah warga negara Muslim. Mulanya, tuntutan itu tidak kuat dalam masyarakat. Setelah BTP dituduh melakukan penistaan agama, dukungan tuntutan tersebut tumbuh sangat cepat. Menurut saya, itu terjadi karena identitas Muslim terserang secara peka yang akhirnya mengerahkan ribuan pendukungnya untuk ikut demonstrasi. Identitas dan kewaraganegaraan Muslim bertambah dari kewaraganegaraan kota yang di dalamnya seharusnya juga termasuk agama-agama lain. Oleh karena itu, secara harfiah, jalan-jalan kota negara menyatukan identitas-identitas territorial dan bergabung dengan identias agama, kelas, budaya dan jender sehingga menghasilkan komposisi dari kebijakan progresif dan reaktif (Appadurai & Holston 1999, 2). Hasil dari dinamika itu adalah uncertainty (ketidakpastian), yang juga dirasakan terkait dengan gerakan 212. Salah satu contoh adalah teman saya, yang merupakan keturunan Tionghoa. Waktu gerakan 212, dia merasa takut untuk meninggalkan rumah dia dan muncul dalam ruang publik kota. Setiap kali dia pergi ke luar, dia memakai penutup wajah supaya tidak terlihat sebagai keturunan Tionghoa (juga diteliti oleh Ingketria 2018, 111-113). Soal ini berlanjut ke aspek kedua oleh Appadurai dan Holston tentang kewaraganegaraan kota.


Hal yang Balibar jelaskan dengan satu kewaraganegaraan yang diisi dengan semacam hubungan masyakarakat, disuling oleh Appadurai dan Holston dengan konsep kewaraganegaraan formal dan kewaraganegaraan substantif. Kewarganegaraan formal berarti keanggotaan kota, misalnya dengan kemampuan memilih gubernur. Setiap anggota Jakarta diizinkan melakukan aktivitas ini. Namun, kewaraganegaraan substantif adalah susunan bermacam-macam hak sipil, sosioekonomi, politik dan budaya (Appadurai & Holston 1999, 4). Berdasarkan berbagai hak itu, tidak setiap warga negara kota Jakarta mempunyai posisi yang sama, berarti keamanan dan kenyamanan dalam ruang kota oleh teman saya tidak terjamin dari kota Jakarta, khususnya dalam sejarah sentimen-sentimen melawan orang-orang keturunan Tionghoa, sementara kenyamanan teman Muslim dalam ruang kota Jakarta bertambah seperti ditunjukkan dalam video-video pribadi di media sosial. Oleh sebab itu, kelompok-kelompok masyarakat menuntut perhatian khusus dari pemerintah atau kerangka tujuan kewaraganegaraan lain (Appadurai & Holston 1999, 8). Salah satu tokoh yang mewujudkan tuntutan ini adalah Bachtiar Nasir yang mengucapkan:


Islam accepts democracy but the question is, does democracy accept Islam? We’re the majority, therefore according to democratic principles, we should be the ones who determine the law (IPAC 2018, 4).


Dalam sistem demokratis, kelompok mayoritas itu tidak langsung terkait dengan kekuatan. Kutipan ini mengusulkan pertama, di Indonesia ada kelompok Muslim yang kepentingan sama. Esai Lista sudah melawan pendapat tersebut: Di Indonesia ada beragam kelompok Islam yang menuju posisi politik yang berbeda. Misalnya, di beberapa provinsi Indonesia sesungguhnya ada pemimpin yang bukan Muslim seperti juga hampir tiga tahun di Jakarta waktu BTP memerintah kotanya karena Jokowi sudah menduduki posisi presiden. Selain itu, demokrasi itu lebih dari persoalan majoritas-minoritas yang penting dalam pemilihan. Sistem demokrasi dipengaruhi oleh banyak kekuatan, salah satunya adalah pendapat mayoritas. Sebaliknya, keberhasilan sistem demokrasi bisa dilihat dari bagaimana kondisi minoritas dalam konteks tersebut. Sebenarnya, Appadurai dan Holston menggunakan argumen bahwa kelompok-kelompok minta diperhatikan secara istimewa dalam kondisi minoritas (Hoslton & Appadurai 1999, 8-9). Yang menarik adalah bahwa argumen tersebut juga digunakkan oleh anggota-anggota 212 yang sebenarnya berdasarkan pada mayoritas agama di Indonesia, yaitu Islam. Akan tetapi untuk mendukung hipotesa ini, penelitian harus dilanjut lebih mendalam dan juga secara etnografi. Esai Eliesta Handitya sudah adalah salah satu contoh untuk mulai meneliti hal ini.


Penelitian konsep kewarganegaraan diteruskan oleh James Holston dalam konteks Brasil. Dia berpendapat bahwa kewarganegaraan tidak hanya dinegosiasikan dalam ruang politik, tetapi juga dalam ruang sosial. Argumen ini sesuai pendekatan kewarganegaraan sebagai keanggotan kelompok sosial (Holston 2009). Kewarganegaraan tidak ditetapkan oleh hak sendiri, tetapi juga secara performative dalam konteks sosial (Holston 2009; Appadurai & Holston 1999, 14). Oleh sebab itu, kondisi kewarganegaraan oleh kelompok sosial lain juga dibentuk oleh gerakan 212 tanpa merelasikan dinamik tersebut langsung kepada ruang politik. Seperti Ingketria meneilti, gerakan 212 membentukkan kelompok warga neagara keturunan Tionghoa homogen yang sebenarnya heterogen terutama terhadap perbedaan antara generasi-generasi kelompoknya (Ingketria 2018). BTP menjadi wakil utama untuk kelompok masyarakat ini. Fenomena itu berdasarkan pada persoalan pengecualian (exclusion) dalam konsep kewarganegaraan.


Mekanisme pengecualian dan kekerasan kolektif sudah diteliti dalam kerangka bangsa-bangsa (Kipnis 2004, Balibar 2010). Akan tetapi, ruang kota menjadi penting untuk mekanisme ini. Berdasarkan pada fakta bahwa ruang kota adalah ruang di mana orang-orang bermacam-macam asal, moral, agama, dll. tinggal bersama, Holston & Appadurai mengusulkan bahwa ruang kota menjadi tempat yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kekerasan kolektif yang didasarkan pada pengecualian dari kewarganegaraan tertentu.


In the geography of violence, the city can be pretext and context, form and substance, stage and script. Of course, a great deal of collective violence has always been identity-based in ways that do not coincide with the administrative areas of city or nation […] People use violence to make claims on the city and use the city to make violent claims. They appropriate a space to which they then declare they belong; they violate a space that others claim. Such acts create a city-specific violence of citizenship (Appadurai & Holston 1999, 15).


Ditempatkan dalam argumen ini adalah jawaban untuk pertanyaan mengapa gerakan 212 terjadi hanya di dalam ruang kota Jakarta, bagaimana ruang dan pemerintah kota diubah oleh gerakan exklusif 212 dan bagaimana ormas ini mempengaruhi beragam kewarganegaraan? Dengan foto-foto 212 yang menunjuk massa putih di dalam jalanan-jalanan argumen ini terlihat dengan jelas. Ruang kota Jakarta menjadi lokasi untuk membentuk kewarganegaraan dan pengecualian. Gerakan 212 tidak memakai kekerasan langsung, semua terjadi secara nirkekerasan. Namun, tuntutan ormas tersebut, bahwa pemimpin harus seorang Muslim adalah diskriminasi, melawan minoritas-minoritas agama di Indonesia. Struktur ini mungkin berbasis kekerasan lanjut dalam masadepan. Tuntutan 212 juga tanda bahwa gerakan ini sangat terkait dengan ruang dan kondisi Jakarta sebagai ibu kota dan global city yang juga termasuk struktur-struktur mobilisasi massa – dalam daerah-daerah lain sesunggunhya memerintah orang non-Muslim (Setijadi 2017).


Dalam tanggapan saya tentang esai Eliesta Handitya, saya berfokus kerangka teori kewarganegaraan. Saya tidak ingin melawan argumen dia, saya menganggap tanggapan saya sebagai perspektif lain yang membantu muncul hasil-hasil dan pengetahuan yang berbeda dengan esai Eliesta. Untuk mendukung perspektif saya tentang gerakan 212, saya harus meneliti empiri dan etnografi lebih mendalam supaya saya bisa memperdebatkan persoalan tersebut dan juga memasuki perspektif sejarah yang ditunjukkan oleh Eliesta Handitya. Perspektif sejahra membantu juga penelitian bagaimana kebijakan BTP tahun 2012-2017 membentuk protes 212. Contohnya, sumber-sumber akademis mengusul bahwa gerakan 212 sangat didukung oleh kaum miskin yang menderita di bawah kebijakan Ahok. Hal ini bisa juga memasuki analisis bagaimana kewarganegaraan dibentuk dalam kota Jakarta dan akibat yang mana muncul dari politik identitas dan gerakan massa dalam ruang kota.


References

Appadurai, Arjun & Holston, James (1999): Cities and Citizenship. Durham: Duke University Press.

Balibar, Etienne (1988): Propositions on Citizenship. In: Ethics, 98(4), pp. 723-730.

Balibar, Etienne (2010): At the Borders f Citizenship. A Democracy in Translation? In: European Journal of Social Theory, 13(3), pp. 315-322.

Holston, James (2009): Insurgen Citizenship in an Era of Global Urban Peripheries. In : City and Society, 21(2), pp. 245-267.

Ingketria, Enny (2018): Chinese Indonesians under Jokowi: Flourishing Yet Unsettling. In: Open Journal of Social Sciences, 3, pp. 94-121.

IPAC (2018): After Ahok. The Islamist Agenda in Indonesia. IPAC Report No. 44.

Kipnis, Andrew (2004): Anthropology and the Theorisation of Citizenship. In: The Asia Pacific Journal of Anthropology, 5(3), pp. 257-278.

Setijadi, Charlotte (2017): Ahok’s Downfall and the Rise of Islamist Populism in Indonesia. In: Perspectives – Yusof Ishak Institute, 38, 1-9.


Tanggapan untuk tulisan Fikra Ahnaf dan Bettina Otto

Meivy Andriani Larasati | 16/399501/SA/18409


Terima kasih saya ucapkan kepada Fikra Ahnaf dan Bettina Otto yang telah membaca, mengomentari, mengritik, dan membangun perbincangan akademik dari tulisan saya yang sangat singkat. Adalah hal yang menyenangkan bagi saya untuk bisa mendengar berbagai macam perspektif dan respons atas tulisan saya. Setelah membaca kedua tulisan tersebut, saya mendapatkan beberapa poin penting yang sekiranya bisa menjadi catatan penting untuk kita semua. Poin-poin tersebut berhubungan dengan kewarganegaraan dan representasi gerakan Islam di media.


Pertama adalah, gerakan Islam adalah gerakan yang mengandung keragaman dan kontradiksi, layaknya banyak hal di dunia ini. Fikra Ahnaf memberikan pandangan baru kepada kita tentang bagaimana pengalaman menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan orang-orang yang terlibat membentuk pemahaman kita tentang mereka dan kelompok mereka.  Melihat langsung aksi 22 Mei tersebut di Tanah Abang, Fikra Ahnaf berrefleksi bahwa sering kali prasangka kita akan kelompok yang bukan-kita lah yang membuat kita merasa mereka adalah kelompok yang menakutkan, ataupun “radikal”. Pertemuannya dengan orang-orang yang ingin ke Jakarta untuk mengikuti aksi tersebut mengubah cara pandangnya. Fikra Ahnaf pun melihat bahwa massa di pagi hari dan di malam hari memiliki karakteristik yang berbeda. Walaupun tidak mengamati aksi 22 Mei dari awal hingga akhir, Fikra Ahnaf melihat bahwa massa aksi di pagi hari adalah orang-orang dewasa yang beraksi secara damai. Tidak ada saling melempar batu seperti yang ia lihat di malam hari. Yang menarik, ternyata kebanyakan dari massa aksi di malam hari adalah remaja. Dalam konteks ini, mungkin bisa kita asumsikan bahwa remaja yang mudah terpantik perasaannya menjadi alasan mengapa aksi pada malam hari terkesan lebih “rusuh”. Kesimpulan dari tulisan Fikra Ahnaf adalah bahwa gerakan Islam tidak tunggal. Ada banyak organisasi massa yang terlibat, ada banyak orang yang tidak mengikuti organisasi massa yang terlibat yang mungkin tidak menginginkan demonstrasi menjadi ricuh. Keragaman dalam gerakan Islam ini pun diperjelas dengan suatu kutipan yang diberikan oleh Fikra Ahnaf, “Mereka bukan bagian dari kami. Mereka provokator. Tolong kami…”.  


Kedua, tulisan Bettina Otto yang menjelaskan sejarah dari istilah dan konsep kewarganegaraan memberikan saya pandangan yang lebih luas mengenai kewarganegaraan dalam kota. Kewarganegaraan, menurut Bettina Otto, merupakan konsep yang sangat cair. Ia berubah sesuai denga konteks tempat dan waktu, Mengutip Balibar, warga negara memiliki hak dan suara, tetapi di sisi lain, tidak semua warga negara menikmati keamanan dan kenyamanan yang sama jumlahnya. Ini berarti ada batasan dalam sejauh mana hak warga negara menjadi sesuatu yang penting dan sejauh mana suara mereka akan didengar. Dalam konteks ini, kelompok warga negara keturunan Tionghoa menjadi kelompok yang memiliki hak dan suara yang terbatas. Bettina Otto pun mengajukan pertanyaan yang sangat penting dalam tulisannya, mengapa gerakan 212 terjadi di kota Jakarta, bukan di kota lain? Mengapa penolakan kepada Basuki Tjahaya Purnama di Jakarta bisa memantik perdebatan dan pergerakan yang besar, hingga orang dari luar Jakarta pun merasa harus datang untuk ikut melakukan protes? Fikra Ahnaf pun mencatat bahwa pada 21 Mei malam, ketika massa di depan kantor Bawaslu bergejolak, di Kota Yogyakarta yang tidak kalah “Islami” tampak biasa saja, tanpa ada tanda-tanda akan terjadi kerusuhan ataupun demonstrasi. Hampir mirip dengan penjelasan dalam tulisan saya, Bettina Otto melihat bahwa Basuki Tjahaya Purnama dianggap menistakan agama Islam melalui perkataannya tentang surah Al-Maidah, dan hal tersebut membuat identitas Muslim ternodai. Identitas Muslim, dalam kasus ini, adalah identitas yang paling penting bagi organisasi massa Islam. Melalui kekuatannya untuk memobilisasi massa di jalanan, organisasi massa Islam pun menyerukan bahwa Islam pada saat itu harus dibela oleh umatnya. Seruan-seruan yang massa ucapkan di jalanan ini lah yang meresahkan untuk minoritas-minoritas agama di Jakarta dan di Indonesia. Bettina Otto mencatat bahwa temannya merasa tidak aman di jalanan karena adanya demonstrasi 212. Yang menjadi penting untuk digarisbawahi dalam tulisan Bettina Otto adalah bahwa sebenarnya gerakan 212 adalah aksi “damai”, di mana tidak ada kekerasan yang digunakan kepada kelompok minoritas agama ataupun keturunan Tionghoa. Namun, apa yang menjadi agenda politik gerakan tersebut lah yang mengindikasikan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan etnis.


Refleksi Singkat

Yang menjadi fokus utama dari tulisan saya adalah bagaimana agama, khususnya, Islam, dan organisasi massa berbasis agama berperan dalam dinamika politik elektoral di Indonesia. Dalam tulisan saya, saya mengatakan bahwa organisasi massa Islam, bukan partai politik, adalah penggerak suara massa yang memiliki kapasitas mobilisasi yang lebih luas. Organisasi massa menjadi wadah bercengkrama dan aktivitas sosial lainnya yang bersifat cair. Karena cairnya relasi sosial yang dibangun dalam organisasi massa, ia dapat mengakomodasi keresahan seseorang mengenai isu agama dan mengubah keresahan tersebut menjadi aksi nyata yang bisa menangkal permasalahan tertentu. Keberadaan patron, yakni kyai dan habib yang menduduki posisi penting, menjadi pemantik suara massa dalam demonstrasi semacam gerakan 212. Yang bagi saya signifikan adalah politik emosional yang memainkan politik identitas guna memobilisasi massa untuk mencapai kepentingan tertentu.


Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bettina Otto, Basuki Tjahaya Purnama menjadi simbol atau representasi kelompok minoritas agama dan etnis. Ia yang kala itu menjabat sebagai gubernur Jakarta menjadi ancaman yang harus dihancurkan. Seorang pemimpin Kristen di Jakarta adalah ketidaksesuaian dengan ayat dalam alquran. Setelah Habib Novel Chaidir Hasan, isu penistaan agama dan pemimpin non-Muslim menjadi topik yang hangat. Bahkan, nyatanya, ketika Basuki Tjahaya Purnama dan Anies Baswedan berlawanan dalam pemilihan gubernur Jakarta, isu pemimpin non-Muslim tidak hilang dalam narasi untuk memenangkan Anies. Hal yang menarik bagi saya untuk ditelusuri lebih lanjut adalah bagaimana narasi pemimpin non-Muslim turut hadir dalam pemilihan presiden 2019, meskipun Joko Widodo dan K.H. Ma’ruf Amin adalah pemeluk agama Islam juga. Dalam beberapa media Islam yang saya telusuri, seperti nahimunkar.org, Joko Widodo dianggap sebagai presiden yang memberikan akses kepada pemimpin non-Muslim di wilayah yang warganya mayoritas beragama Islam. Di sini, kita bisa melihat bahwa agama dan organisasi massa berbasis agama menjadi kendaraan politik kelompok tertentu untuk kepentingan politik elektoral.


Gerakan Islam merupakan topik yang penting untuk ditulis, karena kita telah melihat menjamurnya aksi-aksi di Jakarta yang mencoba untuk membela sesuatu. Dari 411, ke 212, sampai reuni, penting bagi peneliti untuk melihat, sebenarnya ada apa di balik antusiasme mereka untuk berkumpul dan berdemo? Mengapa kini mereka sangat bersemangat untuk menggunakan hak sipil mereka? Apakah aksi yang mereka lakukan itu adalah bentuk dari kesadaran kewargaan citizenship mereka? Apa yang sebenarnya mereka inginkan dari aksi massa itu, hingga mereka rela mengeluarkan uang untuk ke Jakarta? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk ditelusuri jawabannya, tetapi sang peneliti harus melakukan penelitian lapangan untuk bisa menjawabnya dengan baik dan komprehensif. Hal ini adalah hal yang tidak bisa saya lakukan sebelum saya menulis tulisan saya.


Catatan personal yang bersifat etnografis memiliki peranan yang penting dalam konteks ini. Dengan mengalami, bertemu, berbincang langsung dengan orang-orang yang terlibat, kita bisa mendapatkan jawaban-jawaban yang mungkin tanpa menggeneralisir ataupun mereduksi gerakan tertentu, apalagi memperkuat prasangka antarkelompok. Detail-detail yang ada di dalam suatu aksi memang penting, tetapi gerakan Islam yang saya bahas dalam tulisan saya mencoba untuk mengubungkannya dengan cakupan yang lebih besar lagi. Proses dan aktivitas di skala mikro tentunya memiliki hubungan dengan proses-proses global. Hal inilah yang saya rasa sangat dilematis. Jika kita terlalu berfokus pada proses di skala yang mikro, misalnya pada satu peristiwa, kita akan luput memperhitungkan proses-proses global yang memengaruhinya. Namun, hal-hal kecil yang terjadi di lapangan merupakan hal yang tidak kalah penting. Proses global atau regional yang saya maksud adalah kebangkitan agama yang mencakupi Asia Tenggara. Robert W. Hefner dalam tulisannya yang berjudul “Religious Resurgence in Contemporary Asia: Southeast Asian Perspectives on Capitalism, the State, and the New Piety”, menemukan bahwa kaum konservatif yang terinspirasi oleh Arab Saudi dan Hizbut Tahrir bergerak dengan leluasa di Asia Tenggara. Di Malaysia pun, kita bisa melihat di berita bahwa gerakan Islam pun sedang menjamur.


Dalam tulisan R. William Liddle (1996) yang berbicara mengenai Islam di Indonesia yang memiliki ruang yang semakin luas di ruang publik, konteks historis menjadi penting untuk diamati lebih lanjut. Dengan itu, kita akan bisa mendapatkan data yang lebih dalam, karena kita mengetahui proses, peristiwa, dan kebijakan apa yang turut berkontribusi dalam penciptaan fenomena yang kini kita hadapi langsung. Bettina Otto juga menyinggung hal ini yang merupakan sebuah kritik bagi saya yang menulis tentang Basuki Tjahaya Purnama tanpa mendalami peristiwa-peristiwa yang terjadi selama Basuki Tjahaya Purnama menjabat sebagai gubernur Jakarta. Misalnya, Bettina Otto menyebutkan bahwa gerakan 212 diikuti oleh banyak warga Jakarta dari kelas bawah. Mereka adalah orang-orang yang tidak menikmati kebjikan Basuki Tjahaya Purnama, tetapi menderita karena penggusuran dan relokasi.


Menulis mengenai isu yang cukup sensitif seperti agama, sangat penting untuk mendapatkan data atau informasi dari media massa yang kredibel dan beragam. Saya menulis tulisan singkat saya menggunakan data yang disajikan di media massa, di media sosial, dan dari jurnal-jurnal akademis. Saya melihat video kerusuhan yang terjadi di sana dan saya mendengar seruan-seruan yang mereka dengungkan. Di sini, sebagai peneliti yang tidak terjun ke lapangan, penting bagi saya untuk mengevaluasi informasi yang saya lihat di media massa. Media massa bisa membingkai sebuah isu dengan buruk ataupun baik. Ketidak kritisan terhadap berita di media massa merupakan kelemahan tulisan saya yang cukup signifikan. Data tersebut, pada akhirnya, menjadi pondasi argumen yang telah saya paparkan di tulisan saya.


Kita sering mendengar perkataan bahwa “mereka bukan bagian dari kami” ketika sebuah gerakan menjadi rusuh karena ada “oknum-oknum perusuh”. Ini, bagi saya, merupakan usaha organisasi massa untuk membedakan diri mereka dengan yang lain. Namun, kita tidak bisa membuktikan apakah benar gerakan tersebut direncanakan untuk berjalan secara damai atau tidak. “Provokator” yang menjadi kambing hitam, bisa saja merupakan bagian dari rencana. Namun, prasangka semacam itu tidak akan menghasilkan hubungan yang baik antarkelompok. Kecurigaan antara satu sama lain tidak akan menumbuhkan hubungan sosial yang harmonis. Maka dari itu, perlu bagi kita semua untuk menyadari bahwa organisasi massa berbasis agama dan orang yang terlibat adalah entitas yang kompleks, yang penuh kontradiksi, yang akan sulit dipahami tanpa adanya interaksi.


Referensi

Hefner, Robert W. 2010. Religious Resurgence in Contemporary Asia: Southeast Asian Perspectives on Capitalism, the State, and the New Piety, the Journal of Asian Studies, 69(4), 1031-1047.

Liddle, R. William. 1996. "The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation." The Journal of Asian Studies, Vol. 55 pp. 613-634.

31 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page