top of page
Writer's pictureWihandono Putro

Robert Ramone dan Rumah Sumba: Jatidiri, Tradisi, dan Nilai

Updated: Dec 27, 2018

Oleh: Wihandono Putro & Danielle Anastasia

sumber: Media Indonesia

Rumah Sumba Sebagai Jatidiri

Adanya seorang Pater di jajaran panelis untuk Simposium Festival Sumba cukup membuat kami terheran-heran. Terlebih lagi ketika beliau ternyata menjadi panelis dalam panel yang membicarakan praktik kreatif di Sumba. Relasi antara keduanya cukup sulit untuk ditemukan ketika kami pertama kali duduk dalam ruang panel. Pater Robert dengan perawakannya yang sudah berumur itu tetap tegak berdiri dan suaranya tetap bisa menyapa setiap sudut ruangan kala itu. Ia membawakan sebuah presentasi tentang Rumah Sumba, sebuah bangunan yang dimaksudkan untuk menciptakan ruang-ruang baru pelestarian budaya Sumba. Pater Robert yang pada awalnya bergelut dalam dunia fotografi menyebutkan bahwa fotografi hanya merupakan pintu masuk menuju pelestarian budaya. Yang kemudian harus dilanjutkan adalah melakukan langkah-langkah konkrit dalam pelestarian budaya.

Pater Robert menyebutkan bahwa sejauh ini sudah terdapat 152 rumah adat sumba yang direvitalisasi setelah sebelumnya sempat dihancurkan beberapa kali karena dianggap sebagai berhala. Rumah Sumba menjadi sebuah hal yang penting bagi pelestarian budaya Sumba karena menurut Pater Robert, rumah Sumba memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Sumba. Bangunan rumah yang ada, tidak dianggap hanya sebagai sebuah bangunan untuk beristirahat dan beraktifitas rumah tangga saja. Rumah Sumba dianggap sebagai jatidiri masyarakat Sumba, Rumah Sumba berperan juga sebagai cara masyarakat Sumba menghormati leluhur mereka, serta berperan sebagai rumah suku untuk berkumpul membahas ihwal kesukuan yang perlu diselesaikan bersama. Bisa dikatakan bahwa rumah Sumba memiliki peran vital untuk sebuah ruang karena menciptakan berbagai interaksi yang mendasar untuk keberlangsungan suku dan kebudayaan Sumba.


Langkah konkrit selanjutnya yang dilakukan oleh Pater Robert adalah menciptakan ruang-ruang kreatif baru di dalam Rumah Sumba yang tetap bertujuan melestarikan kebudayaan seperti menciptakan sanggar-sanggar tari, kelas membaca untuk anak-anak, dan lain sebagainya. Pater Robert juga menyebutkan sejak tahun 2010 terdapat sekolah pelestarian budaya, sebuah ekstrakurikuler untuk anak usia 6-12 tahun yang dilaksanakan tiga kali dalam seminggu untuk menanamkan nilai-nilai kebudayaan Sumba sejak dini. Untuk mempresentasikan kebudayaan dan memperkenalkan kebudayaan Sumba lebih lanjut, diselenggarakanlah pentas presentasi budaya tiap bulannya terutama dalam lingkup ruang rumah Sumba.


Selain itu, untuk meningkatkan kelestarian dan kecintaan masyarakat Sumba terhadap kebudayaannya--terutama kain--dibuatlah sebuah museum tenun pada tahun 2017 yang bernama Atma Hondu. Rumah tenun ini dibuat satu lingkungan dengan rumah Sumba yang dibangun pula oleh Pater Robert untuk menciptakan sebuah ruang pelestarian kebudayaan konkrit. Yang sedikit disayangkan dari niat tulus Pater Robert dalam melestarikan budaya Sumba adalah tidak ada dukungan nyata dari pemerintah untuk membantu secara finansial maupun moral dalam proses pelestarian tersebut. Pendanaan yang didapat oleh Pater Robert dan yayasan yang mengusahakan lestarinya budaya Sumba sebagian besar didapat oleh pihak Swasta. Pihak pemerintah yang disebutkan oleh Pater Robert, yang cukup membantu proses pelestarian budaya Sumba adalah Direktorat Iman & Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Akan tetapi, tetap saja, di akhir presentasinya, Pater Robert mempertanyakan peran penting pemerintah dalam pelestarian budaya.


Rumah Sumba Pemayung Tradisi

Rasa keingintahuan kami terhadap latar belakang dibangunnya Rumah Sumba masih ada sampai waktu panel berakhir, sehingga kami memutuskan untuk mewawancarai Pater Robert dan menanyakan beberapa pertanyaan. Sayangnya, waktu pada saat itu sungguh sedikit karena akan diadakan closing ceremony dari keseluruhan Festival Sumba sehingga kami hanya bisa menanyakan beberapa pertanyaan singkat. Ketika kami menghampiri beliau untuk meminta waktunya diwawancara, beliau begitu ramah dan langsung menyanggupi, namun kami harus menunggu kurang lebih sepuluh menit sementara beliau membereskan barang-barangnya. Kami pun menyiapkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada agar tidak bertele-tele--mengingat waktu yang sedikit. Tentu yang pertama kali kami tanyakan adalah alasan utama Pater Robert mendirikan Rumah Sumba. Menurut pemaparan Pater Robert, beliau mendirikan Rumah Sumba atas bentuk keprihatinan akan ketertarikan anak muda yang menurun terhadap Rumah Sumba. Anak muda tidak lagi menganggap Rumah Sumba sebagai warisan budaya yang harus dijaga kesakralannya, mereka cenderung hanya melihat Rumah Sumba dari fungsi praktikalnya. Beliau merasa bahwa kesakralan dan kekuatan Rumah Sumba sebagai tempat yang dihormati dan dijunjung tinggi di Tanah Sumba mulai tergerus. Perkembangan zaman, diikuti dengan melesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu juga merambah Tanah Sumba. Rumah Sumba yang biasanya berdiri tinggi dengan atap alang-alang yang alami sudah mulai tergantikan dengan atap seng besi hasil dari pabrik. Tentu kepraktisan menjadi alasan nomor satu hal tersebut terjadi, namun ketika kesakralan dan kekuatan yang ada dari Rumah Sumba hilang, masih dapatkah itu disebut dengan Rumah Sumba? Kami cukup tertegun ketika mendengar cerita tersebut dari Pater Robert. Bukan hanya karena kondisi di tanah Sumba yang tidak kami bayangkan sebelumnya, namun juga karena tekad yang kuat dari Pater Robert untuk mengembalikan rasa sayang dan bangga anak-anak muda di Sumba terhadap adatnya sendiri--yang sudah ada sejak dahulu kala.


Berangkat dari obrolan itu, kami kemudian berusaha melempar balik ke belakang, tentang peran memori masa lalu Pater Robert dalam usahanya membangun Rumah Sumba. Ternyata benar, memori tentang kehidupan masa kecilnya menjadi pengerat dalam pendirian Rumah Sumba ini. Pater Robert kemudian bercerita tentang masa lalunya, senyumnya merekah lebar dan matanya berbinar sembari ia melempar kembali ingatannya ke belakang. Ia bercerita bahwa ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi adat. Dibesarkan dalam keluarga yang begitu menghormati kesakralan adat, tentu membentuk gaya hidupnya pula. Kekentalan adat yang ia rasakan sejak kecil, dibawanya dalam berproses menuju kedewasaan sehingga Pater Robert tumbuh menjadi orang yang sangat menghargai dan menghormati tradisi adat. Ketika lingkungan di sekitarnya mulai kehilangan rasa kesakralan terhadap adat itu, tentu Pater Robert merasa harus mengambil andil dalam mempertahankan tradisi adat di sana. Pater Robert berkata bahwa mempertahankan tradisi adat merupakan salah satu bentuk berterima kasih kepada alam dan juga kepada pendahulu-pendahulunya yang mengawali tradisi adat tersebut. Zaman yang terus berkembang ke arah modernitas ini tidak bisa dihindari, dan tentu akan merambah Tanah Sumba lebih jauh lagi, namun setidaknya masih ada yang bisa diselamatkan dan disimpan untuk anak cucu nanti. Menurut Pater Robert, setiap orang lahir dan tumbuh atas fondasi nilai, dan dalam kasus Rumah Sumba, fondasi nilai inilah yang berusaha dipertahankan olehnya.


Berbicara tentang Festival Sumba, ada satu hal yang menarik menurut Pater Robert. Acara ini diselenggarakan dalam produksi yang besar dan bukan oleh orang Sumba asli. Menurut Pater Robert, hal itu sungguh menyenangkan hati, bahwa masih ada orang-orang yang begitu menghargai tradisi dan nilai--sehingga menyelenggarakan acara seperti ini meski belum pernah menginjakkan kaki di Tanah Sumba. Pater Robert berkata bahwa acara ini menjadi wadah untuk teman-teman dari Sumba yang mengayom pendidikan di Yogyakarta untuk pulang ke rumah untuk beberapa hari. Keterlibatan anak-anak muda juga menjadi hal yang menarik menurut Pater Robert. Tentu salah satu alasannya adalah karena ini diselenggarakan di kampus, namun kehadiran dan keterlibatan anak-anak muda untuk ikut mengambil bagian dalam acara ini memberikan secercah harapan bahwa tradisi dan nilai masih sangat dihargai. Misalnya saja dari prosesi Kedde yang diselenggarakan beberapa hari sebelum Simposium Festival Sumba diadakan, terlihat jelas dari prosesi itu bagaimana tradisi dan nilai dihargai dan dihormati, sehingga prosesi benar-benar diselenggarakan seperti bagaimana seharusnya.


Di akhir obrolan singkat tersebut, Pater Robert memaparkan rasa terima kasih dan apresiasi atas Festival Sumba yang merangkul teman-teman Sumba dan memberi rumah untuk sesaat, dan di saat itu pula kami bisa merasakan kesungguhan Pater Robert dalam menjunjung tinggi tradisi dan nilai di Tanah Sumba.


Rumah Sumba Penjaga Nilai

Pater Robert Ramone lahir di Kodi, sebuah kecamatan di Sumba Barat Daya, pada 29 Agustus 1962. Pada tahun 1985, ia tergabung dalam Kongregasi Redemptoris atau sering juga disebut Kongregasi Sang Penebus Mahakudus, bersamaan dengan ia terdaftar di Studi Filsafat dan Teologi pada Fakultas Teologi Wedhabakti, Yogyakarta. Pater Robert Ramone memperoleh gelar Pater dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1992. Setelah ditahbiskan, ia ditempatkan sebagai pastor kapelan di Paroki Santa Maria Homba Karipit. Pada tahun-tahun berikutnya, ia berpindah tempat pelayanan antara Sumba dan Yogyakarta, hingga pada tahun 2001 menetap di Tanah Sumba, ketika ia mulai menjadi pastor di Paroki Santo Petrus dan Paulus, Waikabubak. Pada tahun 2008, ia pun ikut mengambil bagian di Rumah Retret Santo Alfonsus, Weetebula, sebelum mendirikan Rumah Sumba pada tahun 2010.


Nilai-nilai yang ada di Rumah Sumba bisa dimaknai sebagaimana rupa, tergantung tiap orangnya, tentu. Kesakralan yang dirasakan dan dimaknai oleh Pater Robert dalam Rumah Sumba belum tentu dirasakan oleh orang lain, baik masyarakat asli Sumba maupun pendatang atau turis. Namun, yang berusaha dilakukan oleh Pater Robert dengan membangun Rumah Sumba beserta lingkungan sekitarnya yang konkrit sebagai lingkungan budaya merupakan salah satu langkah pertama dalam memaknai nilai yang tidak terlihat itu. Di samping tugasnya sebagai kepala gereja, ia tidak melupakan identitasnya sebagai orang Sumba. Ia tidak mengesampingkan kesakralan nilai dan tradisi yang sudah jadi bagian dari dirinya, namun justru semakin menghidupinya. Dalam membangun Rumah Sumba, tentu tidak ada jalan yang mulus. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, bahwa tidak ada dana dari pemerintah setempat sehingga Pater Robert harus mencari sponsor dan investor untuk mempertahankan Rumah Sumba. Ia membuat buku atas karya-karya fotografinya untuk dijual kepada para investor agar tertarik untuk membiayai operasional Rumah Sumba. Mudah saja sebenarnya untuk Pater Robert tidak lagi mengambil andil dalam pengoperasian Rumah Sumba, toh beliau sudah membangun dan mendirikannya. Namun, nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Pater Robert sedari kecil, ketika Rumah Sumba masih banyak berdiri tinggi di sekitarnya, menuntunnya untuk tetap mempertahankan Rumah Sumba. Pater Robert merasa bahwa ia sudah merasakan hidup yang indah di Tanah Sumba, dengan semua tradisi dan adat yang kental. Namun, dengan zaman yang terus berkembang cepat ke era yang lebih modern, tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi dan adat yang kental itu akan tenggelam dengan teknologi yang lebih praktis.

26 views0 comments

Comments


bottom of page