Reklame: Representasi Visual Perkotaan
- rismarinnib
- Apr 24, 2019
- 12 min read
Updated: May 2, 2019
Annisa Surya, Bernarda R. P., Chairina Indita S.

Reklame nampaknya bukan lagi hal asing bagi masyarakat kota. Segala bentuk reklame terutama papan dan videotron telah menyemarakkan suasana Yogyakarta dan sekitarnya. Kota menjadi ramai dengan papan-papan reklame di sudut-sudut kota karena jumlahnya yang cukup banyak. Papan reklame telah menjadi media informasi untuk mempromosikan produk tertentu, petunjuk jalan atau himbauan, dan informasi tempat pendidikan. Pengamatan terhadap reklame di kota tentunya hal yang cukup menarik untuk melihat fungsi dan tujuan reklame diperhatikan atau tidak oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami hendak menuliskan pengalaman kami mengamati reklame yang ada di kota Muntilan, kota Yogyakarta, Bantul, dan kota Semarang.
Setiawan (2009) dalam artikelnya mendefinisikan signaged adalah alat pemberi informasi, petunjuk, atau media komunikasi. Signage terbagi menjadi dua yaitu media komersial dengan reklame yang mempromosikan suatau barang atau jasa, dan yang kedua sebagai media non komersial berkaitan dengan public sign (Setiawan. 2009; Shirvani, 1985). Jika melihat dari pengertian tersebut, maka fokus kami adalah pada signage pertama yaitu media komersial dengan reklame. Namun ada baiknya kami mencoba menjabarkan terlebih dahulu bentuk-bentuk reklame sebelum menuju ke pembahasan atas pengamatan kami. Pada buku berjudul Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta menjelaskan bahwa reklame disebut sebagai media luar ruang. Reklame berbeda dengan media iklan lain yang mencoba masuk disela-sela ruang privasi setiap individu. Salah satu kalimat yang menarik di pengantar buku tersebut sebagai berikut,
“Kita bisa mematikan televisi atau menutup majalah jika jenuh dengan iklan-iklan di dalamnya, tapi kita, mau tidak mau, harus memandang reklame setiap kali kita mengalami ruang kota (Yunanto & Hartanto, 2013).”
Hal ini tentu sangat tepat sekali karena kami pun merasakan ketika mengamati papan-papan reklame di jalanan kota yang kami sebutkan sebelumnya. Kami tidak dapat menghindari papan-papan reklame yang berdiri tegak dengan ketinggian dan ukuran yang berbeda-beda menumpuk di sisi-sisi jalan. Belum lagi tampilan dari papan reklame yang mempromosikan suatu produk ini biasanya didesain sebaiknya mungkin dengan warna-warna cerah dan/atau tajam yang mengundang mata untuk memandang.
Robin Hartanto (2013) menyebutkan bahwa memang reklame yang sering dijumpai masyarakat berupa papan atau billboard. Ia berpendapat bahwa apa pun informasi yang bisa dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dinikmati di luar ruang atau “griya” sudah tergolong sebagai reklame (Hartanto, 2013:38). Kemudian bentuk-bentuk reklame dibagi menjadi beberapa jenis yaitu reklame billboard, megatron, videotron, LED, reklame kain, reklame melekat/stiker, rekame selebaran, dan lain sebagainya. Reklame papan/billbord seperti yang sudah diketahui yaitu reklame yang menggunakan media papan dari kayu, besi, atau seng dan dipasang di halaman, jalan, dan bangunan. Sedangkan megatron, videotron, dan LED merupakan reklame yang memanfaatkan teknologi menggunakan layar monitor dan tenaga listrik untuk menampilkan gambar yang ingin diiklankan. Ada juga reklame kain yang reklamenya meggunakan kain, plastik, dan karet sebagai sarananya. Kemudian reklame melekat/stiker dan selebaran juga sering dijumpai. Reklame melekat ini berupa reklame lembaran lepas yang ditempel atau dipasang dengan ketentuan ukuran tidak lebih dari 200cm per lembarnya (Hartanto, 2013: 40). Kami berasumsi bahwa tulisan-tulisan yang menempel di tiang listrik seperti, “telat datang bulan, hubungi 08225756xxx” termasuk dalam kategori reklame menempel.
Namun pembahasan kami bukan mengenai reklame melekat/stiker tersebut. Melalui penjelasan bentuk-bentuk reklame di atas, kami memilih untuk fokus mengamati pada reklame papan/billboard, reklame pada kain dan beberapa reklame lainnya. Alasan kami tentunya karena reklame tersebut sering kami jumpai. Selain itu, kami ingin mengamati mengenai reklame billboard maupun reklame kain yang telah memenuhi kota sebagai bentuk komunikasi dengan masyarakat sekitarnya.Kemudian kami juga mengamati titik-titik strategis dari pemasangan reklame di kota-kota yang kami amati. Titik-titik strategis tersebut untuk mengetahui reklame banyak ditempatkan dimana serta pengaruhnya terhadap masyarakat serta terhadap lingkungan.
Pengamatan kami mulai pada 16-23 April 2019 di kota kami masing-masing yaitu kota Muntilan, kota Yogyakarta, Bantul dan kota Semarang. Reklame papan yang ada di kota Muntilan ada banyak, tetapi tidak sebanyak di pusat kota Yogyakarta. Reklame yang ada di kota tersebut rata-rata sebagai petunjuk dan informasi nama toko, nama orang yang memiliki klinik kecantikan atau kesehatan, dan nama-nama tempat makan. Contohnya reklame klinik kesehatan kulit, reklame nama toko “nyah pang”, reklame iklan minyak telon, dan sebagainya. Letak-letak reklame yang ada cenderung berdekatan dan berada di halaman tempat yang diinformasikan dalam reklame. Selain itu, reklame ramai dipasang di pinggir jalan besar/utama saja.
Hal ini terlihat ketika mengelilingi kota Muntilan yang notabene kota kecil hanya sedikit ditemukan reklame papan dan kain di daerah yang jauh dari jalan utama. Sedangkan di jalan-jalan kecil cenderung banyak reklame kain yang ditancamkan di pinggir jalan menggunakan bambu. Contohnya, ada reklame dengan media kain dan ditancapkan menggunakan bambu di sisi jalan arah Yogyakarta. Reklame tersebut berupa iklan nama tempat makan yaitu Pringsewu yang berada sekitar 20 km dari kota Muntilan tempat reklame itu berada. Reklame ini cukup menarik bagi kami karena tempat makan tersebut memang sering memasang reklame kain di sisi jalan dari arah Yogyakarta dengan isi reklame yang menunjukkan arah dan jarak restoran dalam beberapa km. Menariknya reklame tersebut juga ada di kota Muntilan yang jaraknya cukup jauh dan disertai pula dengan anak panah dan jarak tempuhnya.
Kemudian pengamatan dari kota Muntilan dilanjutkan dengan mengamati reklame disepanjang jalan kota Muntilan menuju kota Yogyakarta dan Bantul. Melalui pengamatan tersebut kami menemukan reklame dengan isinya yang terbagi menjadi iklan produk seperti rokok dan tempat wisata, informasi tempat pendidikan, dan reklame papan yang kosong.

Hal ini dikarenakan billboard yang dijumpai hanya terdiri dari tiga isi tersebut. Iklan rokok dikemas dengan gambar seorang laki-laki sedang melakukan aktivitas di alam dan dibawahnya ada himbauan bahaya rokok. Ada juga iklan restorena di daerah Bantul yang mempromosikan
diskon dengan membawa pacar atau istri.
Kami tulis miring karena seakan-akan pacar dan istri merupakan benda atau alat tukar untuk mendapat diskon dalam konteks reklame tersebut.
Kemudian iklan tempat wisata yang ditemukan adalah wisata Jatim Park dengan background biru. Sisanya adalah reklame besar yang menginformasikan tempat pendidikan seperti Universitas Sanata Darma, Universitas Atma Jaya, Universitas Teknologi Yogyakarta, dan sebagainya. Adapun sebenarnya reklame yang dijumpai lebih banyak yang kosong dengan tulisan, “billboard ini disewakan hubungi 0856764xxx”.
Hal yang paling terasa dari perjalanan dan pengamatan di sepanjang jalan kota Muntilan-Yogyakarta-Bantul ialah jarak dan jumlah reklame. Ketika di pusat kota Muntilan, reklame berjajaran, tetapi begitu ke jalan kecil reklame hanya sedikit yang ditemukan. Ukurannya pun tidak terlalu besar di kota tersebut. Begitu juga reklame yang ada di jalan menuju Jogja tidak terlalu banyak dan berdekatan. Bedanya, ukuran dari reklame mulai terlihat bervariasi. Mulai banyak reklame besar di sepanjang jalan dan posisi reklame juga mengikuti arah jalan masyarakat yang berkendara sehingga semakin memudahkan reklame untuk dilihat. Lalu jumlah reklame mulai semakin terasa banyak ketika memasuki daerah bernama Denggung. Kami berasumsi bahwa semakin ramai daerahnya dan sering dilalui, maka akan mempengaruhi jumlah dari reklame yang ada. Hal ini semakin terbukti ketika sudah memasuki wilayah Yogyakarta. Menurut kami, daerah yang terlihat sangat penuh sesak dengan reklame adalah jalan kaliurang dan jalan gejayan. Semakin banyaknya reklame juga semakin memperlihatkan bahwa isi reklame juga semakin bervariasi yang tidak hanya tiga hal yang ditemukan disepanjang Muntilan menuju Jogja. Sedangkan di Bantul sedikit lebih banyak reklame ditemukan dari pada di Muntilan. Namun banyak reklame yang kosong dan sedang disewakan.

Pengamatan selanjutnya bertempat di sekitar UIN Sunan Kalijaga hingga area Kotagede Yogyakarta. Sama seperti pengamatan sebelumnya, reklame sebagai penunjuk dan sebagai sarana informasi terhadap toko, tempat makan ataupun klinik kecantikan yang berada dibawahnya. Reklame-reklame tersebut dibuat sangat besar bertujuan untuk menarik minat masyarakat untuk datang berkunjung. Selain reklame besar yang berada tepat diatas toko maupun klinik, terdapat reklame dengan berbagai ukuran yang menghiasi jalanan Yogyakarta. Seperti pada pertigaan Kampus UIN Sunan Kalijaga terdapat papan reklame dengan ukuran yang berbeda namun tetap serasi dipandang, karena ditata dengan sedemikian rupa sehingga terkesan tidak mengganggu. Papan-papan reklame tersebut mengiklankan rokok, studio foto, optik dan bahkan salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Pengamatan berlanjut ke daerah Ambarukmo Plaza, yang mana sangat banyak papan reklame yang tumpang tindih dengan ukuran yang bermacam-macam, sehingga kurang enak untuk dipandang.

Papan reklame tersebut kebanyakan memuat produk yang sedang dalam masa promo dan bahkan mengiklankan sebuah brand dan toko tertentu. Berlanjut ke pertigaan Jembatan Janti, terlihat papan-papan tersebut tertata dengan baik karena berada di pinggir lampu merah sehingga orang dengan leluasa melihat dan membaca informasi yang ada dalam reklame tersebut seraya menunggu lampu hijau. Dalam pengamatan ini, kami menyadari ada satu papan reklame yang memuat informasi sebuah event yang akan diadakan di sebuah club malam, papan reklame tersebut di letakkan di tengah dan sangat eye-catching. Dalam hal ini penempatan dan ukuran reklame sangat berpengaruh untuk mendapatkan perhatian masyarakat untuk melihat dan membaca informasi yang ada dalam reklame tersebut.

Sementara di Semarang, reklame sudah tersebar bahkan ke pinggiran kota. Spanduk-spanduk yang dijejerkan menampilkan banyak sekali apa yang harus dipasarkan -perumahan baru hingga promosi penerimaan peserta didik. Umumnya, spanduk nampak secara sembarangan ditalikan di kedua gapura gang masuk perumahan atau ditempelkan begitu saja dimana pun yang memungkinkan. Keluar dari area perumahan, menuju ke jalan raya kota, reklame mulai muncul dengan bentuk yang lebih "canggih" --baliho. Umumnya berisi promosi ponsel yang semakin lama semakin banyak merek dan serinya. Beberapa baliho juga memasarkan diskon-diskon yang disediakan di swalayan di area tersebut. Semakin dekat ke tengah kota, semakin lebar dan berwarna reklame yang ditampilkan, mulai dari reklame cetak hingga videotron. Tersebar dimana-mana selain di traffic light, bahkan jembatan penyebrangan juga menjadi sarana pemasaran –baliho selebar jembatan yang memang "ditempel" di atas jembatan hingga spanduk yang ditali membentang dari ujung satu ke ujung jembatan lain (yang menurut kami iklan tersebut "tidak resmi" karena pemasangannya yang terkesan sembarangan).
Semarang sudah menjadi kota yang sangat ramai dengan reklame, baik di pinggiran kota maupun di pusat kota. Banyak yang berlomba-lomba menjadikan iklannya menjadi yang paling menarik dan tetap akan dilihat oleh banyak orang walaupun hanya sekilas dan mengerti kalimat utamanya saja. Bahkan beberapa tahun lalu, terdapat salah satu baliho yang sangat ikonik menurut kami yaitu baliho berbentuk tiga dimensi yang ada di jalan menuju Pasar Johar, lebih tepatnya di area Bundaran Bubakan. Baliho dengan tiga sisi yang mampu berputar dan berukuran besar, diletakkan di pinggir bundaran. Yang kami ingat saat itu ketiganya memasarkan produk makanan: kecap, sambal, dan sirup dari produsen yang sama. Belum lagi ketika menengok di pusat kota seperti Simpang Lima dan Jalan Pandanaran yang ramai dan "menyala" karena macam iklan yang ditampilkan. Mulai dari videotron yang begitu menyala dan menarik perhatian di malam hari, hingga balon berbentuk kotak yang dilayangkan di tengah lapangan Simpang Lima dan terlihat dari jarak puluhan meter.
Reklame sebagai komunikasi di ruang terbuka bagi masyarakat yang secara tidak langsung menunjukkan tingkat kapitalis yang cukup tinggi. Gaya hidup masyarakat lambat laun menjadi konsumtif yang juga dipengaruhi oleh iklan-iklan baik dari media sosial maupun reklame di jalan. Titik-titik strategis dari pemasangan reklame menurut kami juga mengikuti keramaian tempat sebagai dan perempatan jalan. Keramaian menjadi salah satu hal karena berdasarkan pengamatan, semakin ramai tempat mengindikasikan banyak orang yang disekitarnya sehingga reklame berpotensi untuk menarik perhatian dan dilihat. Sedangkan pemasangan di perempatan jalan atau dititik lampu merah berada juga sangat strategis. Hal ini dikarenakan orang-orang yang berkendara belum tentu mengamati dengan detail reklame yang dilaluinya. Berbeda ketika sedang di perempatan jalan atau dititik lampu merah, masyarkat memiliki jeda untuk mengamati reklame-reklame.
Titik pemasangan reklame ini tidak dipasang dengan seenaknya tetapi memang memperhatikan beberapa hal seperti waktu baca reklame dengan memperhitungkan jumlah kata dan besar huruf, sudut pandang atau arah pemasangan reklame, dan tempat (Setiawan, 2009). Pemasangan reklame tersebut bisa memberikan keuntungan bagi setiap pihak. Misalnya,reklame yang besar bisa meneduhkan para pengguna motor yang kepanasan menuggu lampu hijau. Kemudian bagi penyedia reklame bisa mendapat keuntungan dari klien. Sedangkan klien bisa mempromosikan barang dan jasanya dengan mudah dengan dipasangnya reklame. Sedangkan masyarakat sendiri menjadi lebih mudah mendapat informasi yang mungkin tidak selalu ditemukan di ruang privatnya.
Mungkin banyak dari masyarakat yang masih menyepelekan fungsi dari reklame sebagai alat pemasaran, menganggapnya sebagai “penghias pinggir jalan” atau bahkan “pengganggu fokus berkendara”. Namun salah satu bukti reklame masih mampu menjadi alat komunikasi kota dan menarik perhatian sempat terjadi di Semarang beberapa saat yang lalu, lebih tepatnya di pertigaan Jalan Sultan Agung yang merupakan jalan besar kota, terpasang sebuah baliho besar yang (intinya) berisi tentang ajakan untuk mengakhiri hubungan dari seorang pria terhadap kekasihnya. Video dan foto bermunculan mengenai anehnya baliho ini – yang fungsinya dialihkan menjadi penyampai pesan. Pada akhirnya, baliho tersebut merupakan salah satu bagian dari reality show salah satu stasiun televisi. Atau tengok kasus peretasan salah satu videotron di daerah Jakarta Selatan yang sempat menggegerkan dunia maya bahkan masuk ke media pemberitaan nasional. Dilansir dari Kompas.com, tayangan bermuatan pornografi muncul di layar videotron di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat 30 September 2016. Tayangan tersebut muncul sekitar pukul 13.00-14.00 WIB dengan durasi yang terdeteksi selama lebih kurang lima menit. Tayangan itu kemudian diketahui oleh pihak Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan (Kominfomas) Jakarta Selatan. Aliran listrik ke videotron itu kemudian diputus demi menghentikan tayangan tersebut. Tersangka kemudian terancam dijerat Pasal 282 KUHP tentang Tindak Pidana Asusila serta Pasal 27 ayat 1 UU ITE dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp 15 miliar. Namun yang hendak kami garis bawahi adalah betapa daya tarik pada sebuah reklame masih begitu besar, terlepas dari iklan-iklan lain yang muncul di media online atau media televisi.
Reklame juga salah satu bukti cepatnya komunikasi dalam kota, bukti bahwa kota semakin memiliki laju yang cepat –baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Penjaja produk dan apa pun yang mempromosikan hal di reklame berusaha untuk mengikuti perkembangan dunia pemasaran yang semakin cepat berkembang. Dari cetak ke daring, hingga akhirnya menciptakan berbagai inovasi dalam dunia reklame. Warna yang mencolok, tagline khas, hingga ke bentuk reklame yang unik. Reklame merupakan salah satu metode pemasaran yang menurut kami sedikit gambling. Terlepas dari ditempatkannya reklame di jalanan utama, jika dipikir secara sederhana, reklame bisa disebut sebagai iklan yang cepat apabila ia berada di traffic light, namun juga bisa menjadi iklan yang diperhatikan secara seksama jika lalulintas sedikit padat.
Buruknya, reklame ini dapat merusak tata ruang kota apabila aturan tidak ada maupun tidak tegas dalam mengontrol pemasangan reklame. Seperti pada buku Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta yang didalamnya terdapat artikel berjudul Rimba Reklame Jakarta: Dominasi Kapitalis Atas Ruang Kota Kita karya Robin Hartanto. Artikel tersebut menceritakan bahwa Jakarta sudah seperti rimba reklame karena banyaknya reklame di jalanan, di bangunan gedung, dan di jalan-jalan kecil. Bahkan mirisnya reklame bisa membahayakan masyarakat apabila roboh dan juga dipasang di daerah yang tidak semestinya seperti pinggir sungai (Hartanto, 2013. Pemasangan reklame harus melalui tahapan-tapahan perizinan dan pengawasan agar reklame illegal semakin berkurang dan jumlah reklame bisa terkontrol, sehingga Muntilan, Kotagede Yogyakarta, dan kota Semarang tidak menjadi kota rimba reklame dan tata ruang kota menjadi rapi serta tidak terasa sumpek dengan penuhnya reklame.
Dikutip dari kompasiana.com, papan-papan reklame, videotron dan bahkan spanduk maupun banner yang terdapat di sepanjang jalan yang memuat iklan merupakan sesuatu yang mengganggu keindahan tata ruang kota karena seharusnya dapat memandang lepas ke langit tanpa terhalang oleh papan reklame yang menjulang tinggi dan dapat menikmati keindahan arsitektur tanpa adanya brosur yang menempel pada bangunan tersebut. Hal tersebut sudah menjadi hal yang lumrah bagi para pengemudi kendaraan bermotor. Bahkan hanya sebagian pihak yang mendapatkan manfaatnya. Masyarakat dianggap sebagai target pasar yang sanggup menerima iklan-iklan tersebut. Akibatnya membuat masyarakat menjadi konsumtif karena tertarik dengan iklan pada reklame tersebut.
Estetika kota dapat dilihat dari penataan sarana-sarana iklan pada luar ruangan, walaupun terkesan mengganggu nyatanya para pengiklan pandai untuk memadupadankan agar tetap menarik hati masyarakat awam dengan menggunakan publik figur terkenal untuk mempromosikan produknya. Para pengiklan menggunakan visual untuk menarik perhatian supaya masyarakat lupa bahwa reklame yang berjajar di sepanjang jalan tersebut mengganggu tata kota.
Dalam Rancangan Peraturan Daerah mengenai iklan luar ruang berisi tentang larangan untuk memasang iklan di area tertentu, seperti taman kota, ruang terbuka hijau, trotoar, dinding bangunan warisan budaya, jembatan, tiang telepon dan listrik, rambu lalulintas, lampu penerangan jalan, pohon dan pembatasan dan penataan jumlah videotron (Reviyanto: 2015). Namun nyatanya hal tersebut hanya peraturan, dilapangan sangat banyak iklan-iklan yang dipasang ditempat-tempat terlarang seperti yang sudah disebutkan tadi. Tak dipungkiri bahwa teror visual seperti itu telah menjamur diberbagai kawasan.
Walaupun sudah ada peraturan untuk pemasangan reklame, tetap saja masih ada pemasang iklan yang belum mengantongi izin. Dikutip dari tribunnews.com berdasarkan data tahun 2015 terdapat 241 papan iklan dan reklame yang tersebar di sepanjang jalan provinsi di wilayah Yogyakarta, namun hanya lima persen yang telah mengantongi izin dan sisanya dipastiakn telah melanggar aturan tentang pemasangan iklan luar ruang. Sementara itu Kepala Bidang Penegakkan Peraturan Perundang-Undangan Satpol PP DIY, mengaku pada tribunnews.com jika kesulitan untuk menertibkan reklame tak berizin dan melanggar aturan. Dengan adanya kesulitan tersebut di kawasan Yogyakarta muncul gerakan peduli lingkungan, yaitu gerakan untuk membersihkan sampah visual yang digiatkan oleh gerakan Jogja Garuk Sampah (JGS) yang telah dimulai pada awal tahun 2015.
Seperti yang dikatakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY pada kompasiana.com, dengan bertambahnya volume pertumbuhan penduduk dan kendaraan bermotor seharusnya diimbangi dengan luas ruang publik yang bertambah. Namun hal tersebut dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk sarana beriklan dan mendapatkan untung. Para pengiklan memposisikan mereka sebagai seorang yang berpandangan bahwa kesejahteraan dan stabilitas ekonomi hanya dapat dicapai dengan penerimaan tanggungjawab sosial yang didapat pada persetujuan masyarakat. Hal ini dipicu dari kepentingan ekonomi para pengiklan mengeksploitasi alam dan mereka memposisikan manusia sebagai pusat dan alam atau lingkungan mempunyai sesuatu yang bernilai. Maka dari itu para pengiklan memanfaatkan media luar ruang untuk kepentingan pribadinya untuk mempromosikan produknya atau orang lain.
Penataan media luar ruang harus dalam pengawasan pemerintah dan harus memperhatikan syarat keamanan, penataan yang rapi dan ukuran yang sesuai dengan lingkugan. Dikutip dari kompasiana.com (2016), pemasangan reklame harus memenuhi standar yang sudah ditetapkan, seperti segi keindahan, teknis pemasangan, keamanan, dan lain sebagainya. Karena kota dapat dikatakan ramah bagi masyarakatnya atau bagi wisatawan dapat dilihat dari sejauh mana pemerintah dapat mengelola dan mengatur penempatan iklan luar ruang yang terpasang di kota tersebut ( Tinarbuko:2013).
Referensi :
Hartanto, Robin. 2013. “Rimba Reklame Jakarta: Dominasi Kapitalis Atas Ruang Kota Kita”. Jakarta: Ruangrupa, Buku Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta hlm 34-70.
Lufityanti, Gaya. 2018. “Sebagian Besar Reklame di Yogyakarta Tidak Kantongi Izin”.http://jogja.tribunnews.com/2018/04/25/sebagian-besar-reklame-di-yogyak arta-tidak-kantongi-izin?page=all. Diakses pada 23 April 2019.
Nissa R.S. I., Prisilia.A. 2019. “Pria di Semarang Ini Nekat Minta Putus Pakai Baliho, Settingan?”.https://www.hitekno.com/internet/2019/03/10/084500/pria-di-semar ang-ini-nekat-minta-putus-pakai-baliho-settingan (diakses pada 24 April 2018 15.11 WIB)
Pratama M. A. 2016. Ini Pengakuan Peretas Videotron di Jalan Wijaya. https://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/05/13451261/ini.pengakuan.peret as.videotron.di.jalan.wijaya (diakses pada 24 April 2018 14.40 WIB)
Reviyanto. 2015. “Kondisi Sampah Visual di Yogya Gawat Darurat”. https://m.tempo.co/read/news/2015/01/15/058635157/kondisi-sampah-visual-di- yogya-gawat-darurat. Diakses pada 23 April 2019.
Selsyi, Elisabet Olimphia. 2016. “Tragedi Media Luar Ruang: Yogyakarta Istimewa Sampah Visualnya”. Reviyanto. 2015. “Kondisi Sampah Visual di Yogya Gawat Darurat”.https://www.kompasiana.com/elisabetselsyi/5717811944afbdd8080628 4d/tragedi-media-luar-ruang-yogya-istimewa-sampah-visualnya?page=all. Diakses pada 23 April 2019.
Setiwan, Altim, 2009. Kajian Faktor Nilai Strategis Lokasi Dalam Penempatan Reklame di Kota Palu. Jurnal Arsitektur, “Ruang”, Vol. 1 No. 1:7-14.
Comments