top of page

Representasi Proyek Gagal: Merekam Jejak Perubahan Terminal dalam Kumparan Zaman

Updated: Jul 3, 2019

Mega Putri & Setya Dewi

Kondisi XT-Square ketika tidak ada event cenderung sangat sepi
doc.pribadi -Kondisi XT-Square ketika tidak ada event cenderung sangat sepi-

Terminal Umbulharjo ditutup pada tanggal 8 Agustus 2004. Tidak diketahui secara jelas alasan dibalik tutupnya terminal ini. Namun secara praktis lokasi bekas terminal ini kemudian dirombak dan digantikan menjadi sebuah Pasar Seni dan Kerajinan Yogyakarta (PSKY) bernama XT Square. Alih fungsi infrastruktur ini tidak hanya membawa perubahan dalam aspek fisik namun juga perubahan sosial bahkan politik pada masyarakat sekitar wilayah tersebut. Dengan kata lain perubahan sosial, politik sekaligus ekonomi suatu tatanan masyarakat tercipta melalui perubahan fisik yang terjadi didalamnya. Perubahan-perubahan ini terekam dalam ingatan setiap individu dan secara kolektif direpresentasikan pada sebuah wujud fisik dari suatu bangunan atau infrastruktur tertentu. XT Square menjadi satu dari infrastruktur yang dapat menampung ingatan-ingatan kolektif akan adanya hiruk pikuk terminal dan dinamika didalamnya pada masa lampau. Esai ini mencoba untuk memutar kembali ingatan-ingatan mengenai terminal lama -Umbulharjo- dalam beberapa aspek sosial dan ekonomi serta mencoba mengkonstruksi ingatan baru dengan keberadaan XT Square.


“Dari awal memang bangunan ini kurang promo, mbak,” Ririn 24 tahun, seorang pegawai KPU daerah lulusan UIN Sunan Kalijaga mengungkapkan emosinya ketika kami mengobrol santai. Wanita kelahiran Madura dan dibesarkan di Jogja sejak SD tersebut cukup memiliki keterikatan dengan terminal lama -Terminal Umbulharjo-. Cucu dari pendiri warung soto, sekaligus penerus usaha soto yang terletak tidak jauh dari Terminal Umbulharjo atau kini beralih menjadi XT Square cukup menyesalkan perpindahan Terminal tersebut. Ia berpendapat bahwa usaha warung makanan di area terminal menjadi kolaps akibat sepinya pembeli semenjak terminal dipindahkan. Kondisi ini juga dirasakan oleh Ibu Anas, wanita 60 tahun asli jogja sejak lahir. Ia merupakan satu dari sekian pedagang kelontong yang berdagang sejak masih berjayanya Terminal Umbulharjo yang masih bertahan di sekitar wilayah bekas terminal. Menurutnya intensitas pembeli saat ini jauh di bawah rata-rata ketika terminal masih ada. Jenis pembeli pun cenderung tetap -hanya sebatas pembeli langganan sekitar toko kelontong-, sedangkan sebelum digantinya menjadi XT Square pembeli sangat beragam dan dari berbagai penjuru wilayah.


Dari segi infrastruktur kondisi pra bergantinya Terminal Umbulharjo menjadi XT Square dipandang cenderung homogen, yaitu hanya sebatas bangunan warung makan dan PO Bus. Meskipun infrastruktur penunjang terminal cenderung homogen namun kondisi sosial terlihat berlawanan. Atmosfer sosial ini memperlihatkan keadaan yang “ramai” orang berlalu-lalang di jalan raya sekitar terminal lama.


Namun pasca dipindahkannya terminal lama -Terminal Umbulharjo- menjadi XT Square daerah ini dipandang cenderung sepi daripada masa pra transformasi terminal. Meskipun dari sisi infrastruktur memiliki prevalensi cukup heterogen dari masa sebelum pindahnya terminal. Infrastruktur yang terdiri dari bermacam-macamnya bangunan tersebut -pertokoan, salon, Rumah Sakit, kos-kosan, serta kampus- mencoba untuk mengkonstruksi cerita baru mengenai Umbulharjo dan XT-Square. Sehingga kami dapat mengatakan selanjutnya bahwa telah terjadi proses evolusi fungsi dari yang semula rumah makan berubah menjadi perkantoran pemerintah, kemudian berubah lagi menjadi pertokoan, kemudian kos-kosan serta kampus. Sejalan dengan munculnya infrastruktur atau bangunan baru, profesi penduduk sekitar XT Square pun mulai mengikuti kurva heterogenisasi.


Ketika infrastruktur dan profesi sosial berubah, tingkat kesejahteraan warga sedikit banyak menjadi bergeser. Namun tidak semua warga mengalami peningkatan kesejahteraan sehingga berpotensi pada kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial yang sangat tinggi akan berdampak pada tingkat kriminalitas suatu kota. Berbicara mengenai kriminalitas kehadiran seorang preman dan pemabuk di daerah sekitar Terminal Umbulharjo menjadi hal yang biasa sebelum dipindahkannya terminal tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi kriminalitas dimanapun ketika kesempatan dan niat itu tersedia -ujar Mbak Ririn-. Begitupun yang dirasakan oleh Bu Anas, Ia mengakui bahwa banyaknya orang mabuk di sekitar toko kelontongnya sudah menjadi hal yang biasa dan tidak menimbulkan keresahan yang berarti. Suasana ini yang dicoba dibandingkan oleh bu Anas ketika mengingat suasana sosial sebelum pindahnya terminal. Jika kita mendengar konotasi "terminal" kita akan terbawa kedalam suasana yang kurang aman dan penuh dengan kejahatan kelas teri. Hal tersebut dibuktikan dengan sebuah berita yang menyatakan bahwa terdapat pembunuhan oleh preman terminal Umbulharjo. " Peristiwa pembunuhan preman terminal dengan korban Agus Nugroho alias Inug warga Klaten Jawa Tengah yang kos di Kampung Mrican Umbulharjo. Agus sehari-harinya juga mengamen di terminal. Korban tewas pada hari Sabtu (15/3/2014) malam dengan 22 luka tusukan dan sabetan senjata tajam di bagian perut"


Meskipun beberapa aspek sosial mengalami perubahan, namun aspek relasi dan komunikasi antar tetangga terjalin seperti biasa atau tidak ada perubahan dalam pola relasi sosial. Berdasarkan pada perspektif generasi milenial--Mbak Ririn--warga yang tinggal di selatan Terminal lama cenderung menunjukan sikap individu dan mementingkan kepentingan masing-masing karena faktor historis yang membentuk mereka untuk bersifat individual. Konstruksi historis tersebut berkaitan dengan sifat terminal yang terbuka dan liar. Apabila mereka tidak bersifat demikian banyak potensi kejahatan yang akan membahayakan diri warga sekitar terminal lama sendiri.


Sedikit berbeda halnya dengan perspektif generasi baby boom--Ibu Anas--komunikasi antar warga sekitar terminal tidak ada yang berubah sama sekali yaitu terjalin sangat baik. Tidak ada perubahan dalam relasi dan komunikasi warga ini dikarena penduduk yang tinggal di utara Terminal Lama tidak mengalami perubahan profesi maupun tempat tinggal. Sehingga hubungan antar tetangga tetap terjaga dengan baik. Meskipun jawaban kedua narasumber saling bertolak belakang namun, keduanya memiliki pola jawaban yang sama. Pola tersebut tergambar pada jawaban pertama yang menyatakan bahwa tidak ada perubahan terkait hubungan dan relasi sosial antar penduduk setempat.


Perbedaan pandangan ini berkaitan dengan ingatan-ingatan individu terhadap ruang kolektif dalam hal ini wilayah urban. Seperti pendapat Setha Low yang menyatakan bahwa ruang urban dimaknai melalui pengetahuan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Pengalaman seorang individu di dalam ruang kolektif pun menentukan identitas dari ruang urban atau perkotaan (Low, Setha: 1996).[1]


Dari wawancara tersebut kami dapat menyatakan bahwa berpindahnya terminal lama atau Terminal Umbulharjo membawa perubahan dalam aspek sosial dan ekonomi pada masyarakat sekitar lokasi tersebut. Dampak atas perubahan tersebut mereka ingat setelah mengalami suatu proses pelupaan dengan merobohkan nya bangunan terminal . Selanjutnya ingatan tersebut dimunculkan kembali melalui pengaruh atas berubahnya infrastruktur sekitar lokasi yang menjadi semakin beragam dan berubahnya perekonomian mereka. Proses ini menjadi manifestasi dari gagasan Kusno bahwa memori kolektif muncul dari pelupaan kolektif. ….Pelupaan juga bisa dan sering terjadi akibat campur tangan negara dan komunitas dalam upaya untuk melepaskan ingatan dan merajut memori kolektif yang diinginkan. Ruang publik jelas berperan dalam merajut memori kolektif, tapi ia juga sangat berperan dalam proses pelupaan (atau pengabaian) kolektif (Kusno, Abidin: 2009). [2]


Di sisi lain, perencanaan penataan infrastruktur Xt Square ini juga mengusung konsep menghadirkan kembali ingatan kolektif suasana terminal lama. Perencanaan kuliner “outdoor” dengan sedikit menghadirkan sejarah Pasar Seni dan Kerajinan XT Square, contohnya pengelolaan gerai pedagang kuliner dengan memanfaatkan badan bus. Dari badan bus yang berukuran besar dapat dimanfaatkan sebagai tempat pedagang kuliner sekitar tiga sampai empat. Selain itu, setiap badan bus akan diberi nama-nama kota yang biasanya menjadi tujuan pemberangkatan bus. Hal ini terinspirasi oleh Museum Angkut yang ada di Malang Jawa Timur.



Daftar Pustaka

1. Low, S. (1996). THE ANTHROPOLOGY OF CITIES: Imagining and Theorizing the City. Annual Review Of Anthropology, 25(1), 383-409. doi: 10.1146/annurev.anthro.25.1.383

2. Kusno, Abidin. 2009. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto. Yogyakarta: Ombak.

 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page