Romo Benny Yuliawan S.J.: Pembela TKI dari NTT
- Twina Paramesthi
- Dec 9, 2018
- 5 min read
Oleh: Deswita Ayu Wandira & Twina Paramesthi
Sebelum simposium dimulai, seorang pria dewasa duduk di kursi paling depan sembari membaca beberapa salinan kertas serta menuliskan sesuatu di buku bersampul berwarna merah. Ia mengenakan kemeja bermotif kotak dengan warna putih sebagai warna yang paling dominan pada kemejanya tersebut terlihat sangat fokus membaca tanpa ada seorangpun yang mengganggunya. Dari gerak-gerik dan pakaian yang dikenakannya, kami menebak bahwa ia merupakan salah seorang pembicara dalam simposium yang dilangsungkan pada siang hari tersebut.
Simposium yang kami datangi pada Sabtu, 27 Oktober 2018 tersebut bertempatkan di Ruang Panel 2, Gedung Soegondo Lantai 7 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Simposium yang dimoderasi oleh Dr. Suzie Handajani, M.A. tersebut seharusnya dijadwalkan pada pukul 13.00 WIB tetapi diundur 30 menit sehingga dimulai pada pukul 13.30 WIB. Topik dari simposium itu adalah Mobilitas secara Spasial maupun Sosial Penduduk Sumba yang dihadiri oleh lima pembicara dengan sub topik yang berbeda-beda.
Ternyata benar tebakkan kami, pria dewasa yang mengenakan kemeja putih bermotif kotak-kotak hitam merupakan salah seorang pembicara dalam simposium itu. Pria tersebut merupakan Romo Benny, seorang Imam di Gereja Katolik. Ia diundang sebagai pembicara dalam simposium Festival Sumba karena ia juga merupakan pemerhati buruh migran Asia Pasifik.

Pada simposium tersebut, lima pembicara beserta moderator menempatkan diri pada kursi di bagian paling depan dan menghadap ke arah audiensi. Sesuai dengan jadwal yang telah diberikan oleh panitia Festival Sumba, Romo Benny menjadi pembicara pertama. Dalam menyampaikan materinya, Romo Benny menggunakan alat bantu proyektor untuk menunjukkan poin-poin penting dalam materinya.
Dijelaskan oleh Romo Benny bahwa sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesiia, orang-orang di Nusa Tenggara Timur sudah melakukan perjalanan menuju ke pulau-pulau negara sebelah, seperti ke Malaysia. Sebelum Indonesia menjadi suatu negara, tidak ada satu pun lembaga yang mengatur tentang perjalanan yang telah mereka lkamikan tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
Setelah Indonesia terbentuk menjadi sebuah Negara Republik, maka terdapat seperangkat aturan hukum yang mengatur berbagai tindakan para warga negaranya, termasuk mengatur warga negaranya ketika melakukan perjalanan ke negara lain. Sebelumnya, orang-orang di NTT dalam melakukan perjalanan ke Malaysia tidak menggunakan berbagai macam persyaratan, kemudian kebiasaan tersebut tetap dibawa oleh mereka hingga Indonesia sudah menjadi suatu negara yang merdeka. Romo Benny mengatakan bahwa untuk mengurus ke kantor imigrasi dan mendaftar pada agen-agen TKI diperlukan biaya yang tidaklah murah, sehingga cara yang dipilih oleh orang-orang NTT adalah cara yang lebih murah. Dengan tidak mengurus dokumen-dokumen resmi ke kantor Dinas Ketenagakerjaan dan paspor ke Kantor Imigrasi, maka mereka dapat menghemat uang mereka.
Romo Benny juga menceritakan bahwa pelabelan “kriminal” dan juga “korban” terhadap orang-orang NTT yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tanpa prosedur hukum yang telah diatur merupakan suatu kesalahan. Mereka dilabel sebagi “kriminal” oleh Pemerintah Malaysia Pelabelan, karena mereka datang ke wilayah Malaysia tanpa dokumen yang lengkap dan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Mereka juga disematkan sebagai "korban" oleh Pemerintahnya sendiri, yakni Pemerintah Indonesia, karena mereka bekerja sebagai TKI di Malaysia dan diperlkamikan secara tidak manusiawi oleh majikan mereka dan akhirnya sulit untuk dilindungi haknya karena mereka tidak secara legal tercatat sebagai TKI.
Orang-orang NTT yang melakukan hal tersebut tidak merasa sebagai kriminal maupun korban. Romo Benny menjelaskan bahwa mereka tidak membutuhkan perlkamian belas kasihan dari pemerintah Indonesia, mereka hanya ingin diperlkamian sebagai layaknya manusia seperti masyarakat lainnya.
Sesudah simposium berakhir, kami segera keluar dari Ruang Panel 2 dan menunggu di dekat pintu keluar ruang tersebut. Hal itu ku lkamikan dengan harapan bahwa kami dapat menemui Romo Benny seketika ia keluar dari ruangan. Terlihat dari jendela yang terdapat pada pintu bahwa Romo Benny yang telah beranjak dari tempat duduknya, sedang asyik bercakap dengan para pembicara lain dan juga para audiensi. Meskipun kami tidak dapat mendengar percakapan-percakapan yang sedang berlangsung di dalam ruangan, Romo Benny terlihat ramah dalam menyapa para audiensi yang menghampirinya. Ia tersenyum sembari memperhatikan wajah lawan bicaranya. Dari pengamatan kami tersebut membuat kami lega, karena Romo Benny sebagai tokoh yang akan kami wawancarai sebagai narasumber terlihat sangat ramah dalam menyapa orang-orang.
Kami telah menunggu lebih dari sepuluh menit dan merasa telah cukup lama mengamati Romo Benny dari luar, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil makanan ringan yang hanya berjarak beberapa langkah dari puntu tersebut. Namun, beberapa saat kemudian kami lihat Romo Benny keluar dari ruangan. Seperti anak kecil yang mengejar layangan yang jatuh, begitu kami melihat Romo Benny telah melewati pintu ruangan tersebut langsung kami menghampirinya sebelum ada orang lain yang mengajaknya berbincang lagi.
Kami menghampiri hampiri Romo Benny dari arah berlawanan kemudian memperkenalkan diri sebagai mahasiswi Antropologi Budaya UGM yang hendak berbincang dengannya sebentar. Romo Benny menjawab secara terburu-buru bahwa ia berkenan untuk diajak berbincang sebentar asalkan ia ke toilet terlebih dahulu. Kemudian, dengan bantuan seorang panitia Festival Sumba dalam menunjukkan lokasi toilet, akhirnya Romo Benny dapat pergi ke toilet.
Kurang dari tiga menit, Romo Benny sudah kembali dari toilet ke tempat semula kami menghampirinya. Kemudian kami segera menjelaskan ulang alasan kami untuk berbincang dengannya, yakni untuk menjadikannya sebagai tokoh dalam tugas penulisan esai dalam salah satu mata kuliah. Romo Benny tersenyum dan kembali menjawab bahwa ia bersedia untuk berbincang dengan kami.
Pertanyaan pertama yang kami tanyakan adalah daerah asal dari Romo Benny, dan kemudian ia menjawab bahwa ia berasal dari Ambarawa, Semarang. Selanjutnya kami bertanya apa latar belakang ia melakukan penelitian mengenai trafficking yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT), padahal ia bukanlah seseorang yang berasal dari NTT. Romo Benny menjawab dengan kalimat pembuka “Seperti yang sudah saya jelaskan dalam seminar tadi,”. Meskipun begitu, ia menjawab pertanyaan kami tersebut tanpa adanya sedikitpun terdengar nada jengkel, ia menjelaskan secara lebih terperinci dibandingkan apa yang telah ia sampaikan dalam simposium.
Romo Benny bercerita alasan mengapa ia melakukan penelitian mengenai trafficking yang terjadi di NTT. Ia sering bermain ke shelter selama beberapa tahun. Shelter itu berada di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta yang dikelola oleh Kementerian Sosial Pemerintah Pusat. Ia secara terperinci berpesan kepada orang yang bertugas di shelter untuk mengabarinya jika terdapat orang NTT yang berada di shelter tersebut. Kedatangan 12 orang dari desa yang sama pada waktu bersamaan membuatnya terprovokasi padahal ia telah beberapa tahun bermain-main di shelter tersebut.
Terkait dengan tulisan hasil penelitiannya, kami bertanya di mana kami dapat mengakses tulisannya tersebut, kemudian Romo Benny membuka tas polos berwarna putih yang sedang diselempangkannya dan mengambil beberapa kertas di dalamnya. Ia menyodorkan kertas tersebut yang merupakan salinan dari tulisan hasil penelitiannya yang menjadi bahan diskusi tadi dan berkata bahwa kami dapat memilikinya. Tulisan hasil penelitiannya yang berbahasa Inggris tersebut dikatakan oleh Romo Benny bahwa baru akan dipublikasikan dalam International Human Trafficking Journal pada dua hari setelah pertemuan kami tersebut, yakni Senin, 29 Oktober 2018.
Romo Benny telah kami tawari untuk menikmati kudapan yang telah disediakan oleh panitia Festival Sumba, namun ia menolak tawaran kami tersebut. Perbincangan yang kami lakukan dengan Romo Benny tidaklah begitu nyaman karena kami berbincang sembari berdiri. Maka dari itu, perbincangan tersebut kami akhiri ketika kami sudah diberikan salinan tulisan hasil penelitian tersebut dan mengucapkan terima kasih kepada Romo Benny karena telah berkenan menyediakan waktunya untuk berbincang dengan kami, dan tentunya juga berterima kasih karena telah memberika salinan tulisan hasil penelitiannya yang sebenarnya belum dapat disebarkan ke publik.
Pada awal perbincangan kami belum memperkenalkan namkami, kemudian baru kami sampaikan ketika Romo Benny menanyakan siapa namkami ketika kami sudah hendak berpisah. Seusai berjabat tangan sebagai simbol perpisahan kami, lalu Romo Benny langsung berjalan menuju ke arah lift.
Satu hal lagi yang terlewat untuk kami tanyakan, yakni email untuk menghubunginya. Beruntung Romo Benny masih belum berada di dalam lift sehingga kami bisa mengejarnya. Pertanyaan tentang bagaimana kami dapat menghubunginya bila terdapat sesuatu hal yang diperlukan terkait dengan tugas esai kami lontarkan langsung kepadanya seusai kami memanggil Romo Benny dari kejauhan dan menyampaikan permohonan maaf kami karena telah mengganggunya lagi. Ia membalas panggilan kami dengan menolehkan kepala ke belakang dan menghentikan langkahnya menuju lift.
Romo Benny memberikan kami selembar kertas kecil, yakni kartu namanya. Di dalam kartu namanya tersebut terdapat logo Universitas Sanata Dharma, dan kemudian ia menceritakan bahwa ia juga merupakan staf pengajar di S2 Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma. Dengan nada kagum dan terkejut kami menyampaikan bahwa salah satu dari kami juga bertempat tinggal di dekat Universitas tersebut, lalu Romo Benny membalas bahwa jika begitu kami dapat langsung menemuinya di kediamannya di daerah Mrican jika masih ada hal yang perlu ditanyakan.
Comments