Athif Tsabit Prasojo & Yolita Andindya
Minggu terakhir di bulan Oktober, Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA) bersama departemen Antropologi UGM mengadakan acara yang cukup menarik bagi kami, yaitu Festival Sumba yang dalam festival tersebut menarik tema “Resiliensi Wajah Sumba dalam Pusaran Zaman”. Banyak dari angkatan kami yang ikut menjadi panitia acara ini. Tak jarang kakak tingkat kami yang mengunjungi Sumba langsung terlibat menjadi panitia. Festival Sumba ini diselenggarakan kurang lebih seminggu, 23-31 Oktober 2018. Hampir sebagian tempat di FIB digunakan untuk Festival Sumba. Hal yang menarik bagi kami, adanya saung atau replika rumah Sumba yang didirikan di FIB. Selain itu, dihadirkan juga 2 kerbau untuk upacara adat Sumba yang biasa disebut Kedde, pada hari Jumat, 26 Oktober 2018.
Festival Sumba memiliki beberapa rangkaian acara yang menarik, diantaranya simposium, pameran, workshop dan diskusi pemutaran film, pagelaran seni dan upacara adat Sumba yang tadi kami katakan diatas. Tempat-tempat untuk menyelenggarakan semua acara itu juga berbeda-beda. Untuk simposium diadakan di lantai 7 gedung Soegondo. Tempat itu memang biasanya digunakan untuk acara-acara yang memerlukan ruangan besar dan orang banyak, kadang juga dapat dipakai untuk rapat. Di Soegondo lantai 7 terdapat empat ruangan yang digunakan untuk ruang panel 1-3. Satu ruangan dipakai untuk ruang minum dan makan para dosen. Di depan pintu-pintu ruang panel terdapat meja untuk presensi. Ruangan-ruangan panel disana rata-rata bernuansa warna putih, serta ruangannya yang cukup dingin menyejukkan dan banyak bangku-bangku berwarna merah. Nuansa putih dan sejuk membuat suasana disana cukup tenang dan kondusif, terutama di dalam ruang panel saat diskusi berlangsung.
Tempat diadakannya pameran ada di lantai 7 Soegondo dan di Bentera Budaya Yogyakarta. Pameran itu memamerkan beberapa arsip foto-foto yang diambil salah satu mahasiswa saat di Sumba. Sama seperti halnya ruangan diskusi panel, ruang pameran dominan berwarna putih, banyak pengunjung yang melihat-lihat foto dan berfoto disana. Workshop dan pemutaran film ada di gedung A FIB UGM, pagelaran seni diadakan di depan gedung Margono, serta upacara adat Kedde diadakan di rumah Sumba. Tempat-tempat diselenggarakannya Festival Sumba ini didesain dengan sederhana, seperti halnya Sumba itu sendiri.
Salah satu tempat yang ingin kami bahas adalah tempat untuk pagelaran seni yang diadakan di depan gedung Margono. Tempat itu biasanya memang dipakai untuk mendirikan panggung atau untuk tempat acara-acara FIB yang tidak terlalu membutuhkan space banyak. Tempat ini pernah dipakai untuk Malam Bahaya, Kampung Budaya, tempat latihan BSO Terjal, dan lain-lain.
Mengapa kami memilih ini? Pagelaran budaya ini menggunakan panggung berjalan. Sebelumnya, kami belum pernah melihat dan menggunakan panggung berjalan. Disebut panggung berjalan karena panggung itu menyatu dengan mobil yang nantinya tinggal di atur-atur pembukaan panggungnya. Menurut kami itu menarik. Karena selain kuat, panggung itu juga cukup luas. Di dalam panggung terdapat 1 set peralatan band seperti drum, gitar, mic, dan lain-lain. Kemudian beberapa sound system juga disediakan di dalam panggung.
Saat kami mendatangi pagelaran budaya malam pertama, kami melihat banyak mahasiswa termasuk teman-teman kami yang menikmati acara tersebut, walaupun mereka harus duduk di bawah yang beralaskan rumput. Kami mengira acara itu hanya dikunjungi oleh mahasiswa-mahasiswa FIB. Ternyata kami baru mengetahui bahwa ada mahasiswa dari Sumba juga. Suasana malam itu cukup riuh, ramai dan asyik, karena pengisi acara saat pagelaran budaya itu juga berasal dari Sumba. Ada sekelompok musik akustik bernama Humbacustik yang membawakan lagu berjudul Humba yang mereka ciptakan sendiri. Ada Deugalih yang bernama asli Galih Nugraha. Ia memainkan musik folk sebagai bentuk apresiasi. Selain itu, ada grup kesenian dari Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, ada Gailaru Marada yang membawakan tarian khas Sumba Barat. Yang kami saksikkan cukup lama adalah penutupan pagelaran budaya pada hari itu.
Pagelaran budaya hari pertama ditutup dengan penampilan Bottlesmoker. Saat penutupan, suasana cukup ramai karena Bottlesmoker memainkan instrumen alat musik tradisional yang ditempel ke alat musik modern yang membuat semua orang berjoget ria. kami mengamati dari belakang, banyak yang menikmati dentuman musik yang mereka suguhkan. Layaknya DJ, diatas panggung mereka pun menikmati musik yang mereka mainkan. Hampir semua yang di depan panggung berjoget ria. Ada yang berdua, ramai-ramai, membuat lingkaran, membuat barisan panjang lalu mengelilingi penonton lain. Mahasiswa Sumba cukup menikmatinya, bahkan mengajak salah satu dosen, Prof. Laksono, untuk ikut berjoget. kami tertawa melihatnya. Kondisi saat itu seperti halnya di dalam club malam. Lampu-lampu sorot turut memeriahkan penutupan pagelaran seni dan budaya malam itu.
Pagelaran seni budaya kedua diadakan keesokannya yaitu tanggal 26 Oktober 2018. Pagelaran kali ini menampilkan Orkes Kampoeng Wangak, OM Jarang Pulang, Musikalisasi Puisi dan penampilan mahasiswa Sumba di Jogja. Di malam ini, menurut kami lebih ramai daripada malam pertama. Mungkin karena pada sore harinya ada upacara adat Kedde yang mengundang orang-orang asli Sumba. Selain itu pada malam kedua di pagelaran ini juga menampilkan tarian-tarian khas Sumba yang ditampilkan oleh perempuan dan laki-laki, penampilan dari musisi Sumba membuat suasana menjadi tenang karena penonton menikmati lagu yang dibawakan. Setelah itu, ada penampilan dari OM Jarang Pulang, suatu kelompok musik dangdut yang membuat semua penonton berjoget ria dan bercampur. Orang-orang Sumba ikut berjoget dengan mahasiswa Jogja, begitupun sebaliknya.
Kami juga menyaksikkan prosesi adat khas Sumba yang disebut Kedde. Beberapa menit sebelum mulai, sekitar replika rumah Sumba sudah cukup ramai. Mahasiswa, dosen, dan beberapa teman-teman dari fakultas lain turut datang dan menunggu apa yang akan dilakukan kali ini. kami ikut melihat dan menunggu prosesi adat ini bersama beberapa teman kami. Tidak lama setelahnya, muncul suara teriakkan satu orang dan diikuti oleh beberapa orang lainnya. Mereka yang berteriak adalah mahasiswa Sumba yang memperagakan prosesi Kedde. Para mahasiswa itu cukup antusias. Mereka seperti halnya melakukan prosesi di rumah sendiri, memakai baju adatnya dan membawa parang. Tak lama kemudian, dua ekor kerbau abu-abu dan putih (albino) didatangkan dari arah selatan. Sampai di tengah tempat prosesi Kedde ini berlangsung, para mahasiswa langsung menyambit kerbau dengan parang. Namun, dalam prosesi di Festival Sumba ini tidak sungguh-sungguh disambit. Kami tidak melihat jelas bagaimana penyambitannya, namun teman kami bilang tidak benar-benar disambit. Penonton yang hadir dalam prosesi Kedde tersebut banyak yang merekam, memotret untuk mengabadikan momen ini. Mereka cukup antusias dan tertarik akan diadakannya prosesi ini. Tak lama setelah itu, prosesi selesai dan kembali ke acara-acara yang lainnya.
Menurut kami, dua pementasan pagelaran budaya dan adanya prosesi Kedde di Festival Sumba ini cukup berkesan. Beberapa hal yang membuat kami terkesan adalah adanya pelajar-pelajar asli Sumba yang turut datang dan meramaikan acara ini. Selain itu, pengisi acaranya juga berasal dari Sumba yang membuat kami dan mungkin beberapa teman kami yang sebelumnya belum pernah bertemu dan berinteraksi bersama masyarakat asli Sumba. Dengan adanya mereka di Festival ini, banyak pengetahuan dan banyak informasi mengenai Sumba yang sebenarnya terjadi disana dari mereka. Sebagai contoh, pada saat diskusi panel, banyak mahasiswa Sumba yang menentang suatu pernyataan yang dilontarkan salah satu pembicara dalam diskusi panel. Pada intinya, di Sumba itu tidak seperti apa yang dibicarakan oleh orang-orang. Menurut kami, dengan adanya mereka disini, informasi-informasi yang sekiranya tidak benar disana, dapat diluruskan dan dijelaskan kebenarannya.
Mengikuti Festival Sumba ini membuat kami merasakan pengalaman baru. Meskipun belum pernah ke Sumba, kami dapat mengetahui beberapa adat istiadat Sumba, lagu, tarian, kondisi, ciri khas dari Sumba. Menurut kami dengan adanya Festival Sumba ini, masyarakat, mahasiswa dan dosen mengerti bagaimana kedepannya untuk melestarikan dan mempertahankan adat istiadat Sumba di tengah zaman modern. Karena menurut kami, masyarakat disana kurang setuju jika tempat tinggal mereka dijadikan pariwisata yang memang sekarang pun sudah terjadi. Kami ingat salah satu mahasiswa Sumba yang menyakatan bahwa ia cukup khawatir akan keadaan Sumba di masa depan, karena sekarang ini sudah banyak wisatawan yang berkunjung ke Sumba untuk berlibur bahkan shooting film. Mahasiswa itu bilang, mereka khawatir ciri khas, adatnya, dan budayanya yang hilang karena banyaknya pendatang. Sebagai mahasiswa, kami merasa terkesan mengikuti acara ini.
Comments