top of page

"Sebat Dulu, Boy": Mencermati Perilaku Merokok Mahasiswa di Kampus

Yulius Brahmantya, Fransiskus Denny, Paskalia Gracia, Sarah Wisista


Perilaku Merokok Mahasiswa di Lingkungan Kampus

Studi Kasus di Fakultas Ilmu Budaya UGM

oleh Yulius Brahmantya Priambada


I. Pengantar

Rokok dan merokok, dua hal itu tampaknya akan terus melekat di dalam keseharian masyarakat Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Tembakau tampaknya masih menjadi salah satu hasil bumi yang sangat diminati di seluruh dunia. Meskipun kampanye anti-rokok dan anti-tembakau semakin gencar dilancarkan oleh berbagai pihak, tapi peminat rokok sepertinya tidak akan surut. Menurut Meilani (2017), GAT (Global Adult Tobacco) menyatakan bahwa di dunia terdapat 879 juta manusia menggunakan tembakau, dimana jumlah 721 juta jiwa laki – laki dan 158 juta jiwa perempuan yang terdapat di 22 negara yang tergabung dalam GAT. Secara regional, di India terdapat 197 juta jiwa laki – laki dn 78 juta jiwa perempuan pengguna tembakau, dan China memiliki pengguna tembakau sebesar 288 juta jiwa laki – laki dan 13 juta jiwa perempuan. Kemudian menurut data yang dilansir oleh CNN Indonesia di tahun 2018[1], sebanyak 33,03 persen pemuda usia 18-24 tahun masih menjadi perokok aktif, disusul oleh usia 39 tahun sebanyak 41,75 persen. Sementara perokok paling aktif berada pada usia 25-38 tahun dengan persentase 44,75 persen.


Tingginya tingkat konsumen rokok dan tembakau di kalangan anak muda tercermin di dalam gambaran diri mahasiswa. Di beberapa universitas yang pernah saya kunjungi, yaitu UNDIP, USD (Universitas Sanata Dharma), UNY, dan UGM, saya selalu melihat ada mahasiswa yang merokok di lingkungan kampus dan sekitar kampus. Tempat-tempat tongkrongan mahasiswa biasanya tak akan pernah dari kabut asap rokok, mulai dari warung burjo di gang sempit hingga café-café besar di bilangan Nologaten. Lingkungan kampus juga kemudian tak dapat kabur dari kedekatan mahasiswa dan rokok. Ambillah contoh food court Bank Indonesia di Jl. Sosio-Humaniora, UGM atau lebih dikenal dengan Bonbin. Di sana, mulai dari pagi hingga petang, asap rokok tak pernah berhenti dihembuskan dari para pengunjung yang hampir semuanya diisi oleh mahasiswa yang sedang rehat makan atau sekadar nongkrong bersama kawan-kawan.


Sebenarnya, masing-masing universitas telah memiliki regulasi yang mengatur tentang wilayah-wilayah bebas asap rokok. Salah satu contohnya adalah UGM dengan Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 29/P/SK/HT/2008 tentang Kawasan Bebas Rokok. Di dalam bab II pasal 3 disebutkan bahwa salah satu sasaran Kawasan Bebas Rokok adalah tempat proses belajar mengajar. Adapun Kawasan Bebas Rokok yang dimaksud adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok. Kampus sebagai tempat untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar tentu dengan demikian termasuk sebagai tempat yang seharusnya bebas dari asap rokok.


Namun, pada kenyataannya, tidak semua pihak menerapkan regulasi tersebut dengan ketat. Fakultas Ilmu Budaya UGM adalah salah satu pihak tersebut. Tulisan ini mencoba untuk menyajikan bagaimana perilaku merokok mahasiswa di dalam lingkungan kampus Fakultas Ilmu Budaya di tengah eksistensi regulasi universitas mengenai kawasan yang seharusnya bebas dari asap rokok. Sebagian besar isi penyajian di dalam tulisan ini berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi penulis, yang juga merupakan salah satu perokok aktif di lingkungan kampus Fakultas Ilmu Budaya.


II. Kawasan Bebas Merokok

Kampus Fakultas Ilmu Budaya UGM ibarat suaka bagi para perokok. Di sana, semua perokok mendapatkan kebebasan untuk merokok nyaris di semua tempat di dalam kampus. Bila dirinci, tempat-tempat di mana perokok dapat merokok dengan lega adalah pelataran Gedung Poerbatjaraka lt. 2 & 3, Gedung Prijana di depan sekretariatan mahasiswa dan lt. 2, Gedung Siti Baroroh di lt. 2, Kolam Kodok atau pelataran barat Gedung Siti Baroroh Jembatan Budaya yang menghubungkan antara Gedung Prijana dan Gedung Siti Baroroh, di bawah Jembatan Budaya, deretan meja-bangku di sisi barat Gedung Poerbatjaraka dan sisi timur Gedung Siti Baroroh, pelataran Gedung Margono lt. 1, 2, 3, dan 4, di meja-bangku di sisi utara Gedung Margono, di seluruh taman pelataran Gedung Soegondo, di koridor luar lt. 1 Gedung Soegondo, tangga emergency exit Gedung Soegondo, lt. 7 Gedung Soegondo, dan bagian luar Kantin Sastra di basement Gedung Soegondo. Selain itu, semua ruang terbuka di Fakultas Ilmu Budaya juga dapat dianggap sebagai area bebas merokok. Demi kemudahan, tempat-tempat tersebut selanjutnya akan disebut sebagai “Kawasan Bebas Merokok”


Perokok aktif di FIB dapat dikatakan bukan menjadi bagian mayoritas di kalangan mahasiswa FIB. Sebagian besar mahasiswa yang merokok di FIB adalah laki-laki, sedangkan persentase jumlah mahasiswa perempuan mencapai separuh dari keseluruhan jumlah mahasiswa. Di sisi lain, tidak semua mahasiswa laki-laki adalah seorang perokok aktif. Bila mengambil contoh di dalam mahasiswa angkatan 2017 Program Studi Antropologi Budaya, dari 57 mahasiswa, 35 diantaranya merupakan perempuan dan 22 sisanya adalah laki-laki. Dari 22 mahasiswa laki-laki, hanya 7 yang merupakan perokok aktif di kampus. Bila ditambah dengan jumlah mahasiswa perempuan yang merokok di kampus, yaitu 3 orang, berarti jumlah total mahasiswa perokok di kalangan mahasiswa angkatan 2017 Program Studi Antropologi Budaya adalah 10 orang, atau hanya 17,5% dari jumlah keseluruhan.


Mungkin masih diperlukan survei lebih lanjut untuk melihat persentase jumlah keseluruhan mahasiswa perokok di FIB, namun dengan perhitungan ini setidaknya kita dapat mendapat gambaran bahwa mahasiswa perokok pada dasarnya adalah minoritas di FIB UGM. Tapi, perilaku para mahasiswa perokok di FIB memberikan kesan bahwa mereka mempunyai kuasa yang lebih daripada mahasiswa yang bukan perokok. Kesan tersebut tampak dari cara mereka merokok di dalam lingkungan kampus FIB.


Mahasiswa perokok dapat merokok di semua tempat yang telah disebutkan tadi, yang nota bene merupakan seluruh ruang terbuka di Fakultas Ilmu Budaya. Mereka dapat merokok sendirian atau berkelompok bersama kawan-kawan yang lain. Tidak pernah ada yang melarang mereka merokok di “Kawasan Bebas Merokok”, meskipun di beberapa titik telah terpasang tulisan “Dilarang Merokok”, seperti yang terdapat di pelataran Gedung Margono.


Akibatnya, mahasiswa perokok semakin merasa leluasa dalam merokok. Bahkan, mahasiswa bukan perokok harus sering mengalah ketika ada mahasiswa perokok yang merokok di area “Kawasan Bebas Merokok”. Mereka harus rela menutup hidung dan terkadang terbatuk-batuk akibat menghirup asap rokok, tapi para mahasiswa perokok biasanya enggan untuk meninggalkan tempat tersebut. Mereka biasanya hanya mengkibas-kibaskan asap rokok atau setidaknya mengambil tempat yang sedikit lebih jauh dari mereka yang bukan perokok. Entah mengapa, jarang ada yang berani mengusir para perokok yang dirasa telah mengganggu kebebasan untuk menghirup udara bersih.


Pada akhirnya, mahasiswa bukan perokok mengalami diskriminasi atas penggunaan ruang terbuka, karena hampir seluruh ruang terbuka di FIB merupakan “Kawasan Bebas Merokok”. Satu-satunya tempat agar para mahasiswa terbebas dari asap rokok hanyalah di ruang-ruang tertutup, seperti di dalam kelas atau Kantin Sastra bagian dalam. Padahal, sekali lagi, seluruh lingkungan kampus sebagai tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar telah ditetapkan sebagai Kawasan Bebas Rokok seperti yang ditulis di dalam Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 29/P/SK/HT/2008.


Perilaku dominan mahasiswa perokok di FIB UGM semakin tercermin dari cara mereka membuang puntung rokok. Bila Anda berkeliling ke “Kawasan Bebas Merokok” yang telah disebutkan di atas, Anda akan dengan mudah menemui puntung-puntung rokok yang berserakan. Beberapa contoh titik penumpukan puntung-puntung rokok tersebut adalah di sela-sela taman di pelataran Gedung Soegondo dan di pelataran Gedung Prijana lt. 2, tepatnya di pelataran bagian luar tembok pembatas. Bahkan, di satu-satunya tempat “Kawasan Bebas Merokok” yang terdapat asbak, yaitu di Kantin Sastra bagian luar, masih saja terdapat puntung-puntung rokok yang dibuang begitu saja ke lantai semen atau parit-parit kecil. Anggapan bahwa “semua tempat adalah asbak” tampaknya masih tertanam di benak sebagian besar mahasiswa perokok.


Misalkan Anda seorang mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, pasti Anda akan kaget dengan perilaku seperti demikian. Menurut penuturan teman saya yang kuliah di Jurusan Akuntansi FEB UGM, tidak ada satupun puntung rokok terlihat di penjuru kawasan kampus. Bagaimana tidak, aturan dilarang merokok di fakultas tersebut benar-benar dijalankan dengan sangat ketat. Dosen dan karyawan tidak segan-segan menegur mahasiswa yang kedapatan merokok di dalam kawasan kampus. Alhasil, lingkungan FEB UGM terlihat lebih bersih dan asri.

Terkadang saya merasa malu ketika mengajak teman dari FEB berkunjung ke kampus saya di FIB. Memang saya juga seorang perokok aktif, tapi saya sadar betul bahwa membuang puntung rokok sembarangan bukanlah hal yang etis untuk dilakukan. Tampaknya pehaman yang dimiliki oleh saya ini belum dimiliki mahasiswa perokok yang lain. Pihak fakultas juga tidak pernah memberi teguran ataupun sekadar arahan yang jelas terkait perilaku menyedihkan seperti itu.

III. Kesimpulan

Perilaku mahasiswa perokok di FIB UGM pada dasarnya bertentangan dengan Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 29/P/SK/HT/2008, karena para mahasiswa perokok tetap melakukan aktivitas merokok di lingkungan kampus yang merupakan tempat proses belajar mengajar. Mahasiswa perokok juga mengabaikan lingkungan sekitar, baik alam maupun sosial. Hal ini ditunjukkan dari keengganan mereka untuk berpindah tempat ketika ada mahasiswa bukan perokok yang sedang berada di tempat yang sama dengan mereka sewaktu merokok. Mahasiswa perokok juga mencemari lingkungan alam dengan membuang puntung rokok sembarangan.


Mahasiswa perokok sudah seharusnya menyadari bahwa aktivitas merokok adalah aktivitas yang mengganggu bagi sebagian orang lain, terutama mereka yang bukan perokok. Mahasiswa perokok diharapkan merubah perilaku mereka yang mendominasi ruang terbuka di dalam kampus, sehingga mereka yang bukan perokok dapat mendapatkan kenyamanan ketika berada di ruang terbuka. Mahasiswa perokok juga harus membiasakan diri untuk tidak membuang puntung rokok sembarangan. Mahasiswa perokok disarankan hanya merokok di ruang yang secara umum disepakati sebagai kawasan bebas merokok, dalam kasus FIB adalah Kantin Sastra bagian luar, agar para mahasiswa perokok tidak lagi menganggu dan merugikan mereka yang tidak merokok.


Saya cukup bingung dengan penerapan regulasi dilarang merokok di FIB. Meskipun jelas-jelas poster dan tulisan dilarang merokok dapat dilihat di berbagai titik, tapi tampaknya pihak fakultas memilih untuk tidak menindaklanjuti peraturan tersebut. Saya memang seorang perokok aktif. Saya pun dengan senang hati merokok di kampus karena tidak adanya aturan yang jelas terkait hal itu. Tapi, saya merasa bahwa seharusnya kampus sekelas UGM memiliki aturan yang lebih tegas terkait merokok.


Bukan sekadar persoalan anti-tembakau atau tidak, melainkan agar fakultas dapat memberi ruang tebuka yang bersih dari asap rokok bagi mahasiswa-mahasiswanya. Saya sama sekali tidak berkeberatan apabila fakultas memberlakukan aturan dilarang merokok yang tegas. Menurut saya, saya lebih baik menahan hasrat untuk merokok di sembarang tempat daripada mengganggu teman-teman lain yang tidak merokok.




Kampus Khusus Merokok:

Ide Tentang Pengadaan Kawasan Khusus Merokok di UGM

oleh Fransiskus Denny Pratama


Pembahasan mengenai perilaku merokok di kampus, secara khusus di lingkungan FIB (Fakultas Ilmu Budaya) UGM, merupakan fenomena yang cukup problematis. Adanya larangan merokok di lingkungan kampus seharusnya disadari oleh semua civitas akademika yang berada di kampus. Namun, merokok dengan bebas di kebanyakan tempat di FIB juga sudah menjadi rahasia umum. Sayangnya, pembahasan mengenai perilaku merokok di FIB jarang ditemukan dalam jurnal, artikel, atau media lainnya. Keresahan ini sepertinya juga dirasakan oleh rekan Yulius Brahmantya Priambada, yang merespon fenomena ini dengan menulis secara detil mengenai perilaku merokok mahasiswa di lingkungan FIB UGM.


Dalam tulisannya, Priambada secara spesifik menyebutkan sudut-sudut favorit perokok aktif di lingkungan FIB, juga berbagai macam dampak yang ditimbulkannya. Priambada juga menyajikan sudut pandangnya mengenai respon kampus yang dinilai pasif dan kurang memberikan perhatian pada fenomena ini. Secara substantif, tulisan ini sungguhlah sangat menarik. Priambada menyuarakan opininya tentang fenomena yang sangat dekat dengan civitas akademika FIB, yang selama ini jarang diangkat dan didiskusikan ke ruang publik. Dalam tulisan ini Priambada juga menyajikan hasil observasi yang menarik berkaitan dengan perilaku merokok di lingkungan FIB.


Priambada menggunakan mahasiswa dan mahasiswi antropologi angkatan 2017 sebagai sample dalam perhitungannya. Dibandingkan dengan mahasiswa dan mahasiswi yang tidak merokok, berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Priambada ini, jumlah perokok aktif di lingkungan FIB masih lebih sedikit atau minoritas. Menurut saya, Priambada masih terlalu cepat untuk mengambil suatu kesimpulan. Perhitungan yang digunakan Priambada masih belum representatif. Jangankan dalam tiap angkatan, setiap program studi pasti memiliki presentase berbeda, berkaitan tentang jumlah mahasiswa dan mahasiswi perokok maupun bukan perokok. Perhitungan ini agaknya juga cukup bertentangan dengan hasil observasi yang Priambada lakukan. Hasil observasi yang Priambada tuliskan, misalnya soal banyaknya mahasiswa atau mahasiswi yang merokok di ruang-ruang terbuka kampus, atau soal banyaknya putung rokok yang berserakan di sana, ingin mengatakan bahwa jumlah perokok di kampus cukup banyak dan tersebar di hampir seluruh sudut gedung yang ada di FIB UGM.


Dalam tulisannya, Priambada menyatakan banyak opini yang sebenarnya tertuju pada satu pertanyaan: “kebijakan apa yang seharusnya segera dibentuk oleh pihak kampus untuk menanggapi fenomena problematis ini?”. Apakah benar problematis? Menurut saya, ya. Fenomena ini menjadi sangat problematis karena pada realitanya, pihak kampus melarang kegiatan merokok di dalam daerah kampus, tapi pada saat yang bersamaan banyak mahasiswa atau mahasiswi yang merokok di hampir seluruh ruang terbuka lingkungan FIB UGM. Mari kita bedah satu per satu pernyataan yang ditulis oleh Priambada.


Pertama, dilihat dari perilaku mahasiswa dan mahasiswi yang merokok, terdapat kesan bahwa perokok lebih superior dibandingkan mereka yang tidak merokok. Mahasiswa atau mahasiswi yang terganggu oleh asap rokok cenderung lebih memilih untuk pergi dan pindah daripada menegur atau mengingatkan perokok di samping mereka. Priambada menilai perilaku ini sebagai suatu ketakutan atau keengganan. Menurut analisis saya, perilaku ini lebih dari hanya sekedar ketakutan dan keengganan. Toh, jika mahasiswa atau mahasiswi yang tidak merokok menegur mereka yang merokok, para perokok ini bisa saja membela dirinya dengan argumen “setiap hari saya merokok di sini dan gak dilarang”.


Selanjutnya, Priambada juga menyatakan bahwa banyak mahasiswa atau mahasiswi merokok di tempat-tempat yang jelas-jelas terdapat tanda dilarang merokok. Pernyataan ini membuat mahasiswa atau mahasiswi yang merokok terkesan tidak patuh, rebel, dan tidak elok. Nyatanya, hal ini tetap terjadi dan semua orang seolah-olah menerima kenyataan ini. Lagi-lagi, jika mendapat teguran dari pelajar lain, mereka bisa membela dirinya dengan argumen yang sama. Namun, jika yang menegur mereka adalah pihak kampus (dosen, satpam, dll.), mungkin ceritanya agak sedikit berbeda. Mungkin mereka akan membuang rokok yang sedang mereka hisap, tapi apakah mereka akan benar-benar berhenti merokok di kampus? Saya rasa tidak.


Dalam tulisannya, Priambada juga mengkritik perilaku mahasiswa dan mahasiswi yang seringkali tertangkap membuang putung rokok di sembarang tempat. Jika boleh menduga, hal ini juga disebabkan oleh tidak adanya larangan merokok yang benar-benar tegas dan serius. Lingkungan kampus FIB UGM memang didesain menjadi kawasan yang ramah lingkungan dan bebas asap rokok, tapi pada kenyataanya banyak sekali mahasiswa atau mahasiswi yang merokok di sana. Desain ramah lingkungan dan bebas asap rokok tentu tidak akan menyertakan program pengadaan asbak atau pun tempat membuang putung rokok. Akhirnya, tempat-tempat kecil dan tidak terlihat menjadi sarang putung berbagai macam merk rokok.


Priambada memang menuliskan tempat tertentu yang mempersilahkan kegiatan merokok dilakukan, misalnya di kantin FIB UGM bagian luar. Di tempat ini disediakan satu asbak per meja, yang menandakan bahwa kawasan itu mempersilahkan pelanggan untuk merokok. Faktanya, kantin FIB UGM bagian luar hanya memiliki 8 meja, dengan kapasitas maksimal enam orang per mejanya. Jika dikalkulasi, di saat yang bersamaan, tempat ini hanya bisa menampung kurang lebih 48 perokok. Nyatanya, apakah hanya ada 48 perokok aktif di kampus ini? Ketika meja-meja ini penuh, orang-orang yang hendak merokok akan pergi dan pindah ke tempat lain. Akhirnya, ruang-ruang terbuka yang seharusnya menjadi kawasan bebas asap rokok kembali penuh dengan perokok.


Pernyataan-pernyataan ironis yang disampaikan Priambada dalam tulisannya menandakan bahwa pihak kampus tidak serius dalam menentukan kebijakan. Meminta mahasiwa atau mahasiswi untuk berhenti merokok tidak semudah meminta mereka untuk tidak buang sampah sembarangan. Sudah menjadi pengetahuan yang umum bahwa rokok mengandung zat adiktif, yang membuat perokok terus mengkonsumsinya. Memang bukan hal yang tidak mungkin untuk berhenti merokok, tapi tidak semua orang mampu berhenti merokok hanya dengan sekali teguran. Saya menduga, seperti yang saya katakan tadi, ketika perokok mendapat teguran, mereka akan mencari tempat lain yang sekiranya aman dan nyaman bagi mereka untuk merokok.


Pihak kampus seakan-akan menyerah, hanya menutup mata, hidung, telinga, dan mulut mereka. Mereka seolah-olah sudah menyerah untuk menegur dan mengingatkan, sehingga mau tidak mau menerima dengan berat hati kenyataan bahwa kampus FIB UGM menjadi sarang merokok bagi segerombol orang. Nyatanya, sikap ini terus dipertahankan selama bertahun-tahun. Setidaknya, sudah lebih dari dua tahun saya berkuliah di kampus ini, dan merokok di lingkungan terbuka FIB UGM menjadi hal yang sangat mungkin terjadi. Memang banyak sekali umbul-umbul atau tanda dilarang merokok di kampus. Bahkan, dalam beberapa waktu, peringatan ini diperbaharui dengan desain yang lebih mencolok dan disebar di banyak titik. Menjadi hal yang sia-sia menurut saya, menghabiskan banyak dana untuk membuat peringatan seperti ini, jika kenyataanya peringatan ini tidak pernah dipedulikan.


Pernyataan-pernyataan ironis, dan agaknya juga cukup dilematis, yang Priambada tulis ini membuat saya berpikir cukup jauh. Pihak kampus seakan-akan menilai bahwa merokok merupakan kegiatan yang salah, bahwa mahasiswa atau mahasiswi yang merokok adalah mahasiswa atau mahasiswi yang tidak disiplin dan tidak benar. Menurut saya, merokok adalah hak semua orang yang menginginkannya, selama mereka sudah berumur di atas 18 belas tahun dan mampu membeli rokok mereka sendiri (meminta rokok orang lain terkadang menimbulkan konflik). Perihal masalah kesehatan yang ditimbulkan dari merokok menjadi konsekuensi yang harus ditanggung sendiri oleh mereka yang memutuskan untuk merokok.


Fakta lainnya, rokok bukanlah barang ilegal (mungkin belum). Rokok bisa dibeli di banyak tempat. Hampir semua toko menjual rokok. Bahkan, kantin ‘bonbin’ yang Priambada sebut sebagai tempat berkumpulnya para perokok aktif di daerah kampus juga menjual berbagai jenis rokok. Fakta-fakta ini tentu seolah-olah mendukung mindset bahwa merokok di daerah kampus bukanlah hal yang buruk.


Kenyataan yang sungguh menyedihkan ini seharusnya menjadi pukulan keras bagi para pembuat kebijakan kampus. Seharusnya pihak kampus menyadari bahwa peringatan tertulis tidak akan pernah bisa memberhentikan kegiatan merokok, dan untuk menghabiskan banyak anggaran untuk membuat peringatan ini hanyalah suatu kesia-siaan. Inisiatif pihak kampus mengadakan kawasan merokok di kantin bagian luar sudah cukup baik, hanya saja kurang efektif. Menurut saya kebijakan ini seharusnya lebih dikembangkan. Seperti apa bentuk pengembangan kebijakan ini? pertanyaan ini membuat saya berpikir tentang suatu ide, yaitu pengadaan kawasan khusus untuk merokok. Bukan ruangan khusus merokok seperti yang ada di stasiun atau mal, ruangan kecil dengan bangku yang tersusun rapi dengan asbak besar di tengahnya, tetapi kawasan besar yang memungkinkan perokok untuk merokok di sana tanpa mengganggu orang lain.


Mengutip dari situs kanopi-indonesia.org, UGM memiliki lahan kurang lebih seluas 300 hektar. Membuat kawasan yang sedikit luas sebagai kawasan khusus yang memperbolehkan kegiatan merokok menjadi hal yang sebenarnya mungkin dilakukan. Saya membayangkan suatu kawasan dengan taman, banyak bangku, bahkan meja (tentu ada asbak di tengahnya) yang memungkinkan mahasiswa atau mahasiswi perokok bisa merokok dengan bebas tanpa mengganggu orang lain. Fasilitas seperti ini agaknya akan mampu menjawab seluruh polemik merokok dalam kampus.


Apakah ide ini terdengar gila? Mungkin iya, setidaknya saya pun berpikir demikian pada awalnya. Namun, setelah menjelajahi banyak situs universitas di berbagai belahan dunia, saya pikir ide ini sangat wajar dan bisa diterapkan di UGM. Bahkan, UGM bisa menjadi percontohan bagi banyak kampus-kampus besar di Indonesia. Setelah menjelajahi banyak situs, ternyata sudah cukup banyak kampus-kampus di negara lain yang menerapkan designated smoking area bagi para dosen, mahasiswa atau mahasiswi, dan seluruh orang yang mengunjungi universitas mereka. Sebut saja Trident Technicall College di Charleston Amerika Serikat, Red Deer College, Thompson Rivers University dan Camosun College di Kanada, University of Memphis Tennessee di Amerika Serikat, Shoreline Community College di Washington Amerika Serikat, dan universitas-universitas lainnya, sudah menerapkan kawasan khusus yang memperbolehkan kegiatan merokok. Kawasan ini saya nilai cukup luas dan diberikan fasilitas cukup lengkap.


Berikut contoh pemetaan kawasan khusus yang memperbolehkan kegiatan merokok di berbagai universitas di negara lain:

1. Camosun College—Kanada

📷

Camosun College’s Lansdowne Designated Smoking Area Map (sumber: camosun.ca)

2. Thompson Rivers University—Kanada

📷

Thompson Rivers University Designated Smoking Area Map (sumber: tru.ca)

3. Vanderbilt University—Amerika Serikat

📷

Vanderbilt University Designated Smoking Area (sumber: vanderbilt.edu)

Tiga dari banyak universitas yang menerapkan kawasan khusus yang memperbolehkan kegiatan merokok ini bisa menjadi percontohan bagi kampus FIB UGM sebagai sarana untuk menyelesaikan polemik problematis kegiatan merokok di kampus. Bahkan, rancangan ini bisa menjadi terobosan besar bagi UGM. Sepertinya, dengan mengadakan fasilitas ini, tidak akan terjadi lagi peristiwa di mana mahasiswa atau mahasiswi yang sangat anti dengan asap rokok menutup hidung atau mengibas udara di sekitar mereka, hanya untuk memberi kode pada perokok di sebelahnya bahwa mereka tidak suka asap rokok, seperti yang Priambada nyatakan dalam tulisannya. Kini, mereka sama-sama bisa bernapas lega, tanpa mengganggu satu sama lain.


Walau merupakan hak bagi setiap orang, saya sangat setuju dengan pernyataan ‘rokok membunuhmu’. Rokok bukanlah sesuatu yang menyehatkan, walau mungkin sangat nikmat bagi mereka yang mengkonsumsinya. Nyatanya, berhenti merokok bukanlah sesuatu yang mudah bagi semua orang. Saya juga sangat yakin bahwa pihak kampus setuju dengan pernyataan ini pula. Hanya saja, cara yang digunakan masih kurang efektif dan strategis. Ketika saya berselancar di dunia maya untuk mencari informasi tentang kawasan khusus merokok di berbagai universitas di negara-negara lain, saya menemukan satu fasilitas yang sangat keren dan unik.

📷

(sumber: camosun.ca)


Salah satu universitas di Kanada, Camosun College, menyediakan fasilitas gratis bagi mahasiswa atau mahasiswinya yang ingin berhenti merokok. Bekerja sama dengan The Lungs Association British Columbia Canada, mereka secara serius menyambut baik niat mahasiswa atau mahasiswi yang ingin berhenti merokok. Pelayanan ini tentu menjadi suatu terobosan yang sangat menarik dan pastinya disambut dengan penuh antusiasme. UGM memiliki fakultas kedokteran yang sangat terkenal. Banyak sekali dokter-dokter ternama yang merupakan alumni dari FK UGM. Kedokteran UGM juga memiliki berbagai macam fasilitas yang sangat lengkap, tentunya untuk membentuk suatu lembaga konsultasi berhenti merokok menjadi sangat mungkin.


Dua terobosan yang saya pikir akan sangat baik diterapkan di UGM ini tentu terdengar lebih segar dan tidak represif. Disamping tidak menilai merokok merupakan sesuatu yang jahat dan merupakan hak bagi setiap orang, kampus juga akan dinilai lebih peduli terhadap kesehatan seluruh civitas akademikanya dengan cara yang lebih sesuai dan tidak memaksa. Dua terobosan ini, seharusnya, akan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, terutama bagi mereka yang merokok dan mereka yang peduli dengan kesehatan seluruh sivitas akademika kampus UGM.


Kenyataan problematis yang Priambada tulis dalam esainya membuat saya sangat yakin bahwa merokok di lingkungan kampus tidak sepenuhnya salah, hanya jika pihak kampus juga mau peduli dan lebih terbuka. Nyatanya, sudah banyak universitas-universitas ternama di negara lain yang sudah peduli dan mau berpikir lebih terbuka dalam menanggapi isu tentang kegiatan merokok di universitas. UGM yang merupakan salah satu kampus paling membanggakan di Indonesia seharusnya mampu berpikir demikian, memberikan contoh pada universitas lainnya untuk mulai berpikir selangkah lebih maju dalam membuat kebijakan kampus.


Beberapa situs yang menjadi daftar pustaka:

Ugm.ac.id

Tridenttech.edu

Rdc.ab.ca

Camosun.ca

Memphis.edu

Tru.ca

Shoreline.edu

Kanopi-indonesia.org

Vanderbilt.edu

Concordia.ab.ca

Journals.canisius.edu



Merokok, Kok, di Kampus?

oleh Paskalia Gracia Sekar Smaranti


Merokok adalah kegiatan pengisi waktu luang yang kini menjadi isu menarik semenjak kehadirannya masuk ke ranah kampus. Tulisan Priambada (2019) mengenai kebiasaan merokok di kawasan kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM merupakan bentuk nyata normalisasi tindakan merokok di kawasan akademis. Tulisan tersebut menyampaikan fenomena yang menarik, sangat dekat dengan kehidupan dan keseharian mahasiswa. Kasus merokok di kampus ini menjadi keresahan bersama, mengingat kehidupan kampus tidak hanya dimiliki oleh satu-dua orang yang berkepentingan saja. Kondisi di dalam kampus digambarkan dengan baik dalam tulisan tersebut, terlebih karena disampaikan oleh ia sendiri yang seorang perokok aktif di lingkungan kampus FIB UGM.


Fakultas Ilmu Budaya UGM bukan satu-satunya fakultas yang ‘menyediakan’ lahan bagi para perokok untuk melanggengkan aksinya di kampus. Selama ini, kampus UGM sendiri kurang getol menolak segala macam bentuk usaha menghentikan masuknya dukungan tindakan merokok, bahkan beberapa fakultas di kampus kerakyatan ini menerima bantuan sponsor dan bermitra dengan perusahaan rokok[1]. Pengadaan lingkungan kampus yang bebas asap rokok seolah mustahil sekarang, mengingat pelaku tindakan merokok di kampus bukan hanya mahasiswa, melainkan juga staf dan dosen. Dengan demikian, maka menyediakan ruang terbuka dan ruang akademik yang aman dan nyaman juga tampak tidak menjadi prioritas.


Kampus berfungsi memfasilitasi mahasiswa untuk mendapat pendidikan yang layak, ruang belajar yang nyaman, serta tempat belajar-mengajar yang jauh dari hal-hal buruk. Pemanfaatan ruang terbuka di kampus untuk kegiatan merokok menjadi ada karena adanya akses sekaligus tidak adanya larangan yang ketat dari pihak kampus sendiri. Di FIB UGM sendiri, tampaknya kegiatan merokok diberi ruang melalui kegiatan-kegiatan mahasiswa yang cukup luang dan kurang resmi, seperti misalnya acara bermusik setiap beberapa minggu sekali, perkumpulan mahasiswa, nongkrong di kantin maupun bangku-bangku di ruang terbukanya.


Kegiatan merokok biasanya terjadi secara berantai. Dan yang ikut dalam kegiatan tersebut bukan hanya yang sudah lama melanggar aturan larangan merokok di kampus, bahkan mahasiswa pertukaran pelajar yang berasal dari luar Indonesia. Mereka datang untuk belajar, dan semenjak mahasiswa lain, pegawai, dan dosen merokok, maka mereka ikut pula melegalkan kegiatan merokok. Dengan kata lain, perokok akan selalu punya alasan untuk melanjutkan kegiatan merokoknya karena lingkungannya mendukung serta keberadaan perokok lainnya menjadi pemicu untuk terus-menerus melakukan. Dalam hal ini, lingkungan menjadi faktor pengaruh terbesar banyak-tidaknya konsumsi rokok di dalam kampus. Seandainya tidak tersedia akses dan lingkungan yang mendukung, setidaknya keinginan individu-individu perokok untuk merokok dapat dihambat. Nyatanya, berdasarkan wawancara pribadi dengan beberapa perokok di kampus, seseorang akan dengan santainya merasa boleh merokok ketika ada rekan lain yang lebih dulu melakukannya. Tentu ini dapat diminimalisasi dengan dibuatnya lingkungan yang tidak mendukung.


Selama ini aturan-aturan dan larangan perilaku tidak baik seperti merokok hanya disampaikan melalui spanduk, banner, ataupun poster──yang itupun diletakkan di sudut-sudut area utama gedung perkuliahan. Sedangkan di area yang memang terbiasa digunakan untuk merokok, justru tidak ada papan peringatannya. Dengan begitu, perokok akan merasa ada ruang yang bebas secara fisik dan nilai-nilai. Di sisi sebaliknya, para perokok pasif justru menjadi komunitas atau kalangan yang serba salah. Civitas akademika yang tidak merokok jadi kesusahan untuk menegakkan ‘keadilan’ karena pihak berwenang (kampus, dosen, dan staf kampus) sendiripun seringkali menjadi bagian dari komunitas perokok.


Tindakan merokok bukan hanya merugikan karena tercemarnya udara di ruang terbuka di kampus. Kita juga bisa menemukan puntung-puntung rokok yang dibuang sembarangan, yang bahkan tidak jarang baranya masih menyala, sehingga meski kegiatan merokok sudah berhenti, tetapi asap dan sampahnya masih mencemari. Berdasarkan penelitian, sampah puntung rokok adalah kontaminan yang lebih buruk daripada sedotan plastik[2]. Padahal, pada akhirnya, yang menjadi korban adalah semua orang, termasuk para perokok pasif dan petugas kebersihan di kampus.


Sebenarnya, larangan merokok di kampus adalah turunan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, mengenai Kawasan Tanpa Rokok pada Pasal 50 ayat (1). Di sana tercantum kawasan-kawasan tanpa rokok, di antaranya:

a. Fasilitas pelayanan kesehatan;

b. Tempat proses belajar mengajar;

c. Tempat anak bermain;

d. Tempat ibadah;

e. Angkutan umum;

f. Tempat kerja; dan

g. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan[3].


Aturan tersebut sudah jelas mengatur kawasan-kawasan mana saja yang harus senantiasa bebas rokok. Pertimbangannya tentu saja karena tempat-tempat umum yang tercantum dalam PP RI No. 109 Tahun 2012 itu sudah seharusnya menjadi kawasan yang membawa kenyamanan untuk semua orang. Tempat-tempat umum yang menjadi kawasan bebas asap rokok adalah ruang publik untuk segala usia. Yang artinya, tidak hanya orang dewasa yang melek pendidikan dan sadar lingkungan, tetapi juga mungkin anak bayi sekalipun. Tentu kita tidak pernah tahu seberapa besar kadar resiko yang harus dihadapi oleh masing-masing individu ketika bahan-bahan dalam rokok itu sendiri sampai ke penghirup-penghirupnya. Maka dari itu, aturan tersebut dibuat untul memberi tindakan yang adil bagi semua kalangan, agar hak untuk menikmati suasana dan lingkungan yang nyaman dapat dirasakan semua orang pula.


Tulisan ini tidak akan membahas secara detail mengenai masalah-masalah kesehatan dan penyakit kronis apa saja yang dapat menimpa para perokok aktif maupun perokok pasif. Penulis juga yakin, perokok aktifpun sadar akan bahaya-bahaya ini. Tetapi, gambaran akan seberapa masif efek atau dampak dari tindakan merokok ini akan lebih penting untuk disimak. Tindakan merokok dapat dikatakan sebagai beban bagi banyak pihak──yang dekat dengan benda rokok itu sendiri, maupun yang jauh sekalipun. Sebuah studi di Inggris menunjukkan bahwa terjadi kenaikan pada jumlah kematian akibat rokok yang dialami lebih banyak oleh perokok pasif (Allender, et. al, 2009), dan berakibat pada masalah kependudukan, yaitu angka kematian bayi, ketidaksiapan penyedia layanan kesehatan, dan lain-lain. Ini berarti, permasalahan rokok tidak akan berhenti menjadi masalah perorangan, antar komunitas perokok-non perokok, tetapi juga menjadi beban bagi pihak-pihak penyedia pelayanan umum dan perkotaan.


Di luar itu, kegiatan merokok di kampus juga secara tidak sadar menimbulkan hal yang lebih buruk dari sekedar masalah kesehatan. Merokok identik dengan hal yang santai, bebas, tidak peduli, dan hal lain yang berkonotasi buruk setika etika. Sedangkan kampus adalah ruang akademik resmi yang seharusnya menunjukkan ketertiban, etika dan moral yang baik, serta kebijaksanaan karena pendidikan yang baik pada setiap pribadi civitas akademikanya. Citra semacam inilah yang seringkali tidak pernah dibayangkan akan terjadi oleh para pelaku tindakan merokok, terutama di kampus.


Sebagai kalangan berpendidikan, mahasiswa dan staf universitas akan dipandang sebagai teladan. Namun fakta di lingkungan FIB UGM menunjukkan yang sebaliknya. Seolah-olah, civitas akademika (dengan tameng identitas ‘mahasiswa berbudaya’ yang kental berkesenian) tidak memahami konteks kampus sebagai ruang terbuka yang bebas asap rokok.

Akan menjadi memalukan apabila perguruan tinggi swasta di Indonesia sudah sampai pada tahap menandatangani kesepakatan untuk Gerakan Kampus Bebas Rokok (Suara.com), tetapi UGM malah masih menjadi pendukung kegiatan merokok di dalam kampus. Ini dapat menimbulkan asumsi pihak kampus dan akademisinya tidak menganggap tindakan merokok sebagai beban bagi lingkungan dan citra kampus.


Solusi penyediaan area khusus merokok di kampus seperti yang disampaikan oleh Pratama (2019) juga tidak salah, tetapi kurang bijak. Artinya, kesadaran untuk menyediakan ruang yang adil bagi seluruh pihak, seluruh kalangan, dan seluruh umur, sudah ada. Kesadaran bahwa di tempat umum hak setiap orang adalah sama: perokok merokok di tempat yang disediakan, non-perokok tetap mendapat udara segar. Hanya saja, menyediakan ruang khusus bagi tindakan dan etika yang buruk berarti semakin menormalisasi tindakan dan etika buruk tersebut. Lagipula, penyediaan area merokok di dalam kampus berarti hanya mengusahakan solusi pasca merokok sudah menimbulkan masalah, bukan tindakan preventif. Penyediaan area khusus merokok juga berurusan dengan pengadaan anggaran oleh kampus. Sedangkan, rasanya, penyediaan area khusus merokok itu tidak menjadi urgensi, lebih-lebih, nantinya realisasi itu bukan ditujukan untuk seluruh kalangan civitas akademika.


Penyediaan ruang khusus merokok juga akan menciptakan alasan-alasan baru untuk merokok. Terlebih karena justru disediakan lingkungan khusus bagi para perokok yang sangat mendukung aktivitas mereka itu. Inti dari penyediaan ruang khusus merokok menurut penulis pribadi bukan untuk menyediakan lingkungan yang nyaman bagi kedua pihak (perokok-non perokok). Ruang khusus merokok malah akan membentuk inklusi sosial di lingkup yang sangat sosial.


Untuk itu, penegakan aturan larangan merokok di kawasan kampus harus ditegaskan kembali. Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 29/P/SK/HT/2008 juga harus terus dijadikan pedoman. Pemberlakuan aturan larangan merokok di kampus yang benar dan tegas di tempat-tempat lain, nyatanya berhasil membantu mengurangi jumlah asap rokok yang masuk ke kampus, mengurangi jumlah sampah puntung rokok, dan meningkatkan standar lingkungan yang lebih baik (Lee, 2013). Penulis menyadari bahwa akan terus ada alasan-alasan penentang dari pihak perokok yang merasa dirugikan, tetapi, sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk menindak, kampus juga harus bisa bersikap tegas──kalau perlu, rincikan aturan agar tidak ada celah. Karena yang sudah lalu tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka penegakan kembali peraturan tentang kampus sebagai kawasan bebas asap rokok merupakan langkah preventif paling tepat untuk masa depan lingkungan kampus yang sehat, adil, dan bebas bagi semua orang.


Kampus harus protektif soal kegiatan merokok di dalam kampus. Menghilangkan asap rokok dari kampus bukan berarti menghilangkan manusia perokok. Maka, menjadikan kampus bebas rokok bukan sebuah kejahatan, dibandingkan dengan bahaya-bahaya yang sudah terlanjur terjadi akibat tindakan merokok sedari awal.

Daftar Pustaka

Priambada, Y. B. (2019). “Perilaku Merokok Mahasiswa di Lingkungan Kampus: Studi Kasus di Fakultas Ilmu Budaya UGM”.

Pratama, F. D. (2019).

Allender, S. et. al. (2009). “The Burden of Smoking-Related Ill Health in the UK” dalam Tobacco Control, Vol. 18, No. 4. London: BMJ. (https://www.jstor.org/stable/27798605)

Lee, J. et. al. (2013). “Cigarette Butts Near Building Entrances: What is the Impact of Smoke-Free College Campus Policies?” dalam Tobacco Control, Vol. 22, No. 2. London: BMJ. (https://www.jstor.org/stable/43289314)

Sawdey, M. et al. (2011). “Smoke-Free College Campuses: No Ifs, ands or Toxic Butts” dalam Tobacco Control, Vol. 20, Supplement 1: The Environmental Burden of Cigarette Butts. London: BMJ.

Wicaksono, B. S. (2018). “Ahli: Puntung Rokok Lebih Merusak Lingkungan Ketimbang Sedotan Plastik” dalam Kompas.com edisi 2 September 2018. (https://sains.kompas.com/read/2018/09/02/180000823/ahli--puntung-rokok-lebih-merusak-lingkungan-ketimbang-sedotan-plastik)

Mandiri, A. (2014). “Tak Boleh Ada Lagi Rokok di Kampus” dalam Suara.com edisi 26 Oktober 2014. (https://www.suara.com/health/2014/10/26/195105/tak-boleh-ada-lagi-rokok-di-dalam-kampus)

Maharani, S. (2017). “Ironi Aturan Larangan Rokok di Kampus Rakyat” dalam Tempo.co edisi 8 April 2017. (https://nasional.tempo.co/read/863940/ironi-aturan-larangan-rokok-di-kampus-rakyat/full&view=ok)

[1] https://nasional.tempo.co/read/863940/ironi-aturan-larangan-rokok-di-kampus-rakyat/full&view=ok


[2] https://sains.kompas.com/read/2018/09/02/180000823/ahli--puntung-rokok-lebih-merusak-lingkungan-ketimbang-sedotan-plastik


[3] https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2012/109TAHUN2012PP.htm




Mencermati Aktivitas Merokok di Kampus: Kegusaran Non-Perokok dan "Kiat-Kiat" Menjadi Perokok yang Tidak Sembrono

oleh Sarah Amany Wisista


Polemik soal merokok (atau tidak merokok) di ruang publik seringkali menjadi bahasan hangat yang penuh narasi saling ngotot antara perokok dan non-perokok itu sendiri—termasuk soal melakukannya di dalam lingkungan kampus. Beberapa kampus di Indonesia seperti UI sudah memberlakukan peraturan tegas yang melarang mahasiswa dan sivitas akademikanya merokok di lingkungan kampus, namun FIB UGM sendiri sebagai lingkungan yang saya akrabi sehari-hari belum menerapkan peraturan itu secara tegas. Mahasiswa dan mahasiswi yang merokok sudah menjadi pemandangan yang luar biasa lumrah di lingkungan FIB UGM. Para mahasiswa yang merokok ini dapat ditemui di bagian luar kantin fakultas, atau di bangku-bangku yang tersebar di berbagai kawasan fakultas. Agaknya, semua ruang terbuka yang membiarkan asap dapat bergerak dengan bebas seolah langsung memiliki izin merokok imajiner dalam benak mahasiswa-mahasiwi FIB—walaupun seringkali peringatan “Dilarang Merokok” sudah ditempel oleh pihak fakultas.


Narasi pengantar mengenai polemik ini sudah dijabarkan Priambada (2019) secara cukup mendetail dalam tulisannya. Ia menyertakan jumlah kira-kira mahasiswa perokok aktif di FIB, yang tentu saja ikut menyumbang asap serta sampah puntung rokok di lingkungan fakultas. Sebuah perbedaan yang mencolok, menurut Priambada, jika kita membandingkan kondisi di FIB dengan FEB. Menurut informan dalam tulisannya, rupa-rupanya para dosen dan sivitas akademika lain di FEB tidak akan segan mengingatkan para mahasiswanya yang ketahuan merokok di lingkungan kampus.


Sebagai seorang perokok aktif, Priambada menyadari bahwa tidak semua orang akan merasa baik-baik saja dengan aktivitas merokok. Asap yang bau, bekas abu rokok yang sudah terbakar, dan sampah puntung rokok itu sendiri adalah tiga alasan paling umum dari sekian banyak alasan orang-orang tidak menyukai aktivitas merokok—lebih-lebih jika perokok yang kebetulan mereka temui adalah orang yang sembrono dan tidak memikirkan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, Priambada selalu berupaya menimbulkan sesedikit mungkin ketidaknyamanan bagi orang-orang di sekelilingnya ketika akan merokok; namun, seperti yang ditulis oleh Priambada, “…tampaknya pemahaman yang dimiliki oleh saya ini belum dimiliki mahasiswa perokok yang lain.”


Sebagai sesama perokok aktif, pernyataan Priambada tersebut memantik saya untuk kembali mengevaluasi “hobi” merokok saya selama ini. Dengan berat hati perlu saya katakan bahwa saya ikut menyumbang asap, abu, dan sampah puntung rokok itu selama saya merokok di lingkungan FIB UGM. Sayangnya, hal ini sudah ternormalisasi sedemikian rupa dan jadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk meningkatkan awareness seperti yang sudah dilakukan Priambada.


Smaranti (2019) mengapresiasi awareness yang dimiliki Priambada ini dalam tulisannya. Ketika Priambada—yang adalah seorang perokok aktif—berusaha menempatkan diri di antara polemik ini dengan berusaha tidak berat sebelah, Smaranti agaknya mengambil posisi tegas yakni tidak mendukung aktivitas merokok di kampus. Secara cukup mendetail, Smaranti kemudian menuliskan dampak-dampak dari kegiatan merokok yang menjadi “…beban bagi banyak pihak—yang dekat dengan benda rokok itu sendiri, maupun yang jauh sekalipun.”


Beberapa dari dampak-dampak yang dituliskan oleh Smaranti antara lain masalah kesehatan dan lingkungan. Menurut Smaranti, harus ada aturan yang mengatur dengan jelas aktivitas merokok di kampus agar semua orang dapat menikmati suasana dan lingkungan yang nyaman. Salah satu pernyataan tajam yang ditulis Smaranti adalah “…merokok identik dengan hal yang santai, bebas, tidak peduli, dan hal lain yang berkonotasi buruk dalam etika.” Konotasi ini, menurut Smaranti, akan menghambat para mahasiswa dan sivitas akademika yang merokok di kampus untuk mewujudkan lingkungan kampus sebagai lingkungan yang berpendidikan.


Smaranti juga mengkritik UGM yang masih belum tegas mengatur aktivitas merokok di kampus kala universitas-universitas lain sudah menandatangani kesepakatan Gerakan Kampus Bebas Rokok. Ia pun tidak setuju dengan wacana penyediaan kawasan bebas untuk merokok karena ini justru malah melanggengkan aktivitas merokok itu sendiri. Pengadaan kawasan seperti ini juga jelas membutuhkan anggaran lebih dari kampus, padahal tidak semua mahasiswa dan sivitas akademika akan menikmati kawasan bebas untuk merokok.


Pendapat yang Smaranti tuangkan dalam tulisannya barangkali terasa tajam dan bahkan sedikit pedas, tapi saya dapat memahami bahwa narasi yang ia bawa adalah narasi para non-perokok yang haknya untuk menikmati suasana nyaman selama ini terepresi oleh adanya aktivitas merokok. Dari tulisan Smaranti, kita kemudian dapat memosisikan diri dalam “sepatu” para non-perokok yang rupa-rupanya merasa amat terbebani.


Menjadi menarik ketika Pratama (2019) kemudian mengangkat sudut yang sama sekali baru. Seorang perokok aktif seperti saya dan Priambada, Pratama tentu mengangkat narasi dari perspektif seorang perokok dalam tulisannya yang sekaligus merupakan respon atas tulisan Priambada. Pratama mula-mula mendata kembali lokasi-lokasi di kampus yang memang diperbolehkan menjadi tempat merokok. Contoh yang ia gunakan adalah bagian luar kantin fakultas, yang memang menyediakan asbak di meja-meja yang berderet untuk menunjukkan bahwa di sana mereka dapat dengan bebas merokok.


Sayangnya, seperti yang ditulis Pratama, meja-meja yang tersedia tidak cukup banyak untuk menampung para perokok, sehingga mereka pun akan mencari tempat lain yang sekiranya bisa digunakan—dan pada akhirnya malah mengganggu kenyamanan para non-perokok. Seperti yang juga menjadi salah satu kritik utama baik dalam tulisan Priambada maupun Smaranti, Pratama juga menyoroti kampus yang nampaknya masih setengah-setengah memberlakukan peraturan tegas mengenai rokok—bahkan Plaza BI yang bisa diakses semua mahasiswa UGM utamanya fakultas-fakultas sosial humaniora pun memiliki stan yang menjual rokok.


Alih-alih terus menganggu para non-perokok, Pratama kemudian mengusulkan bahwa universitas sebaiknya menciptakan kawasan bebas untuk merokok di lingkungan kampus. Ide yang dikecam Smaranti dalam tulisannya itu rupa-rupanya juga dianggap “agak gila” bagi Pratama sendiri, namun nyatanya ruang bebas merokok ini sudah hadir di banyak universitas lain di dunia, seperti yang contoh-contohnya kemudian disertakan Pratama dalam tulisan. Di sini kemudian tulisan Pratama menjadi menarik. Ia menulis bahwa Camosun College di Kanada selain menyediakan ruang bebas merokok juga menyediakan fasilitas “keren dan unik” berupa Free Quit. Pelayanan yang bekerjasama dengan The Lungs Association British Columbia Canada itu berupaya membantu mahasiswa dan mahasiswi yang ingin berhenti merokok.


Tulisan Pratama juga membahas sisi psikologis dari aktivitas merokok yang dapat sepenuhnya saya pahami. Aktivitas merokok, semengganggu apapun, memang seringkali adalah cara tercepat yang dapat dipilih orang-orang sebagai coping mechanism. Dihimpit oleh berbagai macam tuntutan akademis, masalah personal, dan kelelahan fisik serta emosional dapat mendorong seseorang mencari pelarian ke hal-hal yang tidak sepenuhnya baik. Beberapa orang memilih mengonsumsi alkohol, misalnya, dan rokok kemudian juga menjadi pilihan populer untuk membantu orang-orang melewati hari.


Dari tulisan Pratama, kita kemudian mendapat perspektif lain soal perokok. Ia tidak sepenuhnya membenarkan apa yang ia lakukan, tapi ia juga memberi pemahaman bahwa semua aktivitas—tidak terkecuali merokok—pastilah memiliki alasan-alasan yang mendorong seseorang untuk melakukannya. Menurut Pratama, apa yang Camosun College lakukan adalah upaya yang baik dan pada saat yang bersamaan cukup inklusif bagi semua orang. Para non-perokok dapat menikmati suasana dan lingkungan yang nyaman seperti yang ditekankan oleh Smaranti, sementara para perokok pun dapat menunaikan aktivitas mereka dengan pengetahuan bahwa kampus juga menyediakan layanan yang dengan senang hati akan membantu mereka berhenti.


Priambada, Smaranti, dan Pratama masing-masing telah mengulik permasalahan mengenai aktivitas merokok di dalam kampus berdasarkan observasi dan perspektif mereka masing-masing. Ketiganya memiliki poin-poin menarik yang mampu memantik diskusi. Masing-masing dari mereka, terutama Smaranti dan Pratama, dapat dikatakan cukup menjadi representasi dari masing-masing kelompok perokok maupun non-perokok.


Meskipun demikian, saya masih merasa bahwa tulisan-tulisan tersebut—walaupun mendetail, dan, meminjam kata Pratama, “…secara substantif, tulisan ini sungguhlah sangat menarik…”—masih menjadi narasi yang stereotipikal tentang polemik merokok di ruang publik, dalam hal ini lingkungan kampus. Masing-masing dari kedua belah pihak masih saling ngotot, seperti yang saya tulis di awal, utamanya Smaranti. Meskipun demikian, dapat dimengerti bahwa FIB UGM memang, seperti yang dikatakan Priambada, “ibarat suaka bagi para perokok”—fakta yang membuat para non-perokok harus rela lingkungan di sekeliling mereka dipenuhi asap dan puntung.


Ide yang dicetuskan Pratama dalam tulisannya pun sebetulnya baik, walaupun jelas sangat kolosal, bersifat jangka panjang, dan butuh perencanaan yang lama dan menghabiskan anggaran besar. Menilik ketiga tulisan tadi, menurut saya kita butuh solusi yang menguntungkan baik perokok dan non-perokok serta bisa kita mulai dari diri sendiri.


“Kiat-kiat” menjadi perokok yang tidak sembrono tentu saja mula-mula para perokok ini harus memiliki awareness tentang lingkungan sekitar dan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Hal paling sederhana yang dapat dilakukan adalah menanyakan apakah mereka keberatan jika kita merokok, dan jika mereka memang keberatan, maka sebisa mungkin kita berpindah tempat. Kita tidak pernah tahu apakah para non-perokok tersebut memiliki masalah kesehatan yang dapat diperburuk dengan rokok. Selain itu, akan menjadi sangat elok pula bila perokok dapat membawa asbaknya sendiri kemana-mana. Seperti yang sudah dibahas oleh Pratama, asbak yang terdapat di seluruh FIB hanya berada di bagian luar kantin fakultas. Sehingga ketika para perokok melakukan aktivitasnya di tempat lain, abu dan puntung rokok yang menjadi residu dapat dikumpulkan dan tidak mencemari lingkungan.


Solusi-solusi yang saya tawarkan barangkali terlihat sepele dan tidak akan berdampak besar, bahkan bisa jadi akan terlihat sama main-mainnya dengan kiat-kiat dari buku panduan murahan. Namun, ini adalah solusi-solusi terdekat yang bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Melihat pihak kampus yang setengah-setengah, perwujudan kawasan bebas merokok yang masih di atas awang-awang, dan kegusaran para non-perokok yang haknya terampas, saya kira sudah waktunya kita--para perokok aktif--mulai menjadi pribadi yang lebih awas akan lingkungan dan individu sekitar, dan itu bisa dimulai dengan hal-hal sederhana yang sudah saya sebutkan. Jika rokok sudah membunuh, mari jaga agar sesama teman dan kolega tidak ingin membunuh kita juga.[]

93 views0 comments

Recent Posts

See All

Opmerkingen


bottom of page