Upacara Kedde: Pintu Mengenal Sumba
- Yolaninda Sehnur
- Nov 30, 2018
- 7 min read
Yola Ninda Dwi WDS & Yuniar Galuh Larasati

Langit berkilau membaur dengan pepohonan dan tingginya gedung Fakultas Ilmu Budaya sesaat setelah seminar yang kami hadiri telah usai. Kami menunggu upacara Kedde yang nampaknya masih dipersiapkan dengan mondar-mandirnya panitia festival Sumba. Sembari menunggu, pandangan kami tertuju pada stand-stand makanan di bagian utara yang sepertinya di bagian sisi lain Fakultas Ilmu Budaya juga terselenggara acara lain di panggung terbuka. Udara panas dengan bau telur gulung yang sedang digoreng membuat perut kami tak bersahabat. Saat duduk menikmati makanan bersama Bety, tak lama suara teriakan seseorang terdengar oleh kami. Suara itu, menandakan bahwa upacara Kedde sepertinya akan segera dimulai. Kami pun bergegas berlari mencari beberapa teman kami lainnya yang sedang duduk menunggu upacara Kedde ini dimulai.
Upacara Kedde merupakan salah satu upacara adat masyarakat Sumba. Ini adalah kali pertama kami melihatnya. Upacara ini termasuk kedalam rangkaian acara Festival Sumba yang digelar oleh Laboraturium Antropologi untuk Riset dan Aksi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Kala itu cuaca sangat mendukung, tidak terlalu panas namun juga tidak mendung, sehingga banyak penonton yang telah menunggu di sekeliling tanah rumput berpetak itu bahkan sejak para pelaku upacara Kedde masih duduk-duduk di replika rumah adat Sumba. Keluarga Mahasiswa Sumba, bekerjasama dengan LAURA untuk menyelenggarakan upacara adat ini agar sebisa mungkin mirip yang dilakukan oleh masyarakat Sumba.
Kami duduk di bebatuan berundak pelataran gedung Soegondo, tepat sekali menghadap ke rumah Sumba. Pelataran gedung itu tidak luas, hanya terdapat dua petak tanah kosong berumput pendek. Kedua petak tanah itu dipisahkan oleh jalan semen setapak, sehingga membuat tanah petak itu terkesan sempit. Tanah petak berada di sebelah timur, sedangkan, di sisi utara terdapat bangunan replika rumah adat Sumba. Mereka menyebut rumah dengan uma mbatangu. Langit biru muda dengan terik musim kemarau, memperindah rumah bambu dengan atap berdaun lontar itu. Desahan angin membawa imajinasi kami seperti benar-benar sedang berada di Sumba. Rumah bambu itu memperkuat kesan bahwa upacara Kedde yang akan dilaksanakan di sore ini adalah milik Sumba. Di bawah rumah bambu yang menjulang tinggi itu, kerumunan orang sedang mempersiapkan diri menampilkan tradisi mereka di depan banyak mata.

Karakteristik Orang Sumba
Para lelaki menggunakan pakaian yang dipadukan dengan kain tenun Sumba bermotif fauna. Dipakai untuk menutup tubuh bagian bawah, mulai dari pinggang hingga di atas lutut. Cara memakainya dililitkan ke pinggang, dengan sisa kain dijuntaikan di depan. Mirip dengan cara memakai jarit wiru khas Jawa Tengah. Namun, karena jenis kain yang berbeda maka hasilnya tidak seperti wiru yang terkesan presisi dan kaku. Kain tenun ini menjuntai begitu saja, namun memberikan kesan berbeda dan tetap unik.
Para lelaki itu bertelanjang dada serta beberapa dari mereka mengenakan sendal selop hitam. Tidak lupa mereka memakai ikat kepala dari kain yang dililitkan disekitar kening, menyisakan sedikit kain dan dibiarkan menjuntai di samping telinga. Namun, terdapat beberapa penggunaan ikat kepala dengan cara yang berbeda-beda. Karena kami melihat salah satu dosen kami yakni, Prof. P.M. Laksono turut menjadi pelaku upacara tersebut. Beliau mengenakan ikat kepala yang hampir menutupi seluruh bagian kepala dan rambutnya. Kami tidak mengetahui mengapa terjadi pembedaan dalam mengenakan ikat kepala ini. Apakah ini dibedakan berdasarkan usia, atau kedudukan sosial, atau yang lain. Kami tidak mengetahuinya.
Selain itu, ada lagi satu hal yang tidak boleh terlupakan oleh laki-laki Sumba, yaitu parang. Ya, parang telah menjadi bagian dari hidup laki-laki Sumba, sehingga dalam upacara sore itu semua laki-laki membawa parang. Mereka berkerumun disertai terikan-terikan yang sejujurnya kami tidak tahu artinya. Kami hanya bisa memahami bahwa teriakan tersebut adalah komunikasi mereka dalam bahasa Sumba. Terikan lantang seseorang yang berada di bawah rumah Sumba itu kemudian dibalas dengan teriakan seseorang di sisi selatan tempat kami berada. Banyak mata membelalak mencari sesuatu yang menarik mereka. Memang, suara teriakan lantang itu menarik banyak orang untuk menonton upacara yang sedang berlangsung.
Suara ritme yang sedang dari gong dan tifa mulai dimainkan. Upacara Kedde ini, dimulai dengan beberapa lelaki menari dan berkomunikasi menggunakan bahasa Sumba. Lelaki Sumba memiliki perawakan fisik yang sangat khas dan berpadu indah dengan mengenakan kain tenun khas Sumba. Kulit coklat, dengan perawakan tidak terlalu tinggi namun juga tidak terlalu pendek. Membawa ciri khas pada orang-orang Sumba. Selain itu, tidak nampak bahwa laki-laki dari Sumba ini memiliki tumbuh tambuh seperti yang sering kami lihat. Kebanyakan dari mereka memiliki tubuh yang tidak gemuk, namun terlihat-lihat dengan otot dan tulang yang menonjol. Kami merasakan atmosfer Sumba yang sesungguhnya sangat nyata di sini. Upacara dimulai dengan teriakan yang salin bersahutan.
Prosesi Adat dalam Upacara Kedde
Orang-orang itu datang dari sisi selatan menghampiri orang-orang Sumba yang berada di bawah rumah adat. Mereka membawa kain hijau yang dikaitkan pada tiga buah bambu. Kami tidak mengetahui apa makna dari kain yang dibawanya tersebut. Tak hanya itu, mereka membawa dua ekor kerbau berwarna hitam dan cream. Ya, kerbau memang termasuk hewan sakral dalam masyarakat Sumba. Kerbau sebagai simbolis yang sering digunakan dalam berbagai upacara adat atau ritual. Mereka datang diiringi dengan empat penari perempuan.
Gadis-gadis Sumba ini jumlahnya sangat sedikit, kami tidak tahu apakah upacara Kedde dilakukan di Sumba jumlah perempuan yang mengikuti upacara ini memang lebih sedikit dari laki-laki atau hal ini terjadi karena mahasiswi Sumba yang melanjutkan pendidikan di Yogyakarta sedikit. Berbeda dari laki-lakinya yang mengenakan kain tenun hanya sebatas dari pinggang hingga atas lutut, para perempuan ini mengenakan atasan baju keseharian yang mereka pakai dan mengenakan bawahan kain tenun dari pinggang hingga mata kaki. Tidak lupa para perempuan ini mengenakan hiasan kepala, yakni replika tanduk kerbau yang diberi karet kemudian dilingkarkan ke kepala. Namun, perempuan tidak membawa parang dalam upacara ini, lebih tepatnya tidak membawa senjata apapun.
Udara mulai terasa hangat di balik kerumunan orang-orang Fakultas Ilmu Budaya yang tertarik melihat prosesi adat ini. Karena tak terlihat, tubuh kami sontak berdiri. Kami melihat dua ekor kerbau dihadapkan lalu disatukan tanduknya. Kami tidak mengerti, makna simbolis apa yang sedang dilakukan melalui dua kerbau ini. Apakah ini hanya sebagai rangkaian adat atau setiap rangkaian memiliki makna tersendiri. Orang-orang yang berada di bawah rumah berdaun lontar itu menyambut mereka, orang-orang yang datang dari arah selatan kami. Mereka saling menempelkan hidung sebagai tanda penyambutan di Sumba.
Kami mengamati bahwa mereka tidak bersalaman seperti yang biasanya kami lihat pada tradisi kami. Kami melihat sekitar, melihat apa yang mungkin orang tidak sadari. Orang-orang riuh dengan rasa keingintahuan mereka. Berkelompok pada suatu ikatan relasi yang terdekat dengan mereka dan mendiskusikan apa yang sedang mereka lihat didepan mata. Orang-orang tersebut bertanya-tanya, apa yang sedang orang Sumba lakukan, tetapi mereka tetap menikmati rangkaian acara. Apakah ini yang disebut orang awam?
Di bawah langit yang tak berawan, orang-orang Sumba ini menari setelah penyambutan. Diiringi dengan musik khas Sumba dan teriakan-teriakan dari setiap orang, mereka menari dengan sangat bersemangat. Perempuan dan laki-laki menyatu menjadi satu menikmati setiap rangkaian yang telah mereka jalani. Sedangkan kerbau tersebut dikembalikan lagi di belakang gedung Margono. Tetapi pada upacara yang benar-benar dilakukan di Sumba, kerbau-kerbau ini biasanya dikorbankan untuk dimasak bersama-sama oleh orang-orang Sumba. Setelah upacara selesai, mereka berfoto bersama dan melakukan selfie di depan rumah adat Sumba. Ya, ini memang perpaduan dari modernitas dan tradisi.
Budaya dapat berkembang dan budaya dapat berpadu menjadi satu tanpa menghilangkan kekhas-an dari adat tradisi tersebut. Inilah yang kami tangkap dalam melihat upacara Kedde bahwa orang-orang Sumba tidak terpaku pada tradisionalitas melainkan mereka membawa diri mereka untuk dapat berbaur dengan modernitas yang ada. Upacara Kedde ini merupakan upacara sebagai wujud kerelaan keluarga terhadap anggota keluarga yang telah meninggal. Upacara Kedde ini sebagai rangkaian tradisi mengantarkan orang yang sudah meninggal tersebut menuju ketempat yang lebih baik. Dalam hal ini, kerbau disimbolkan sebagai tunggangan yang menemani roh-roh yang telah meninggal tersebut menuju ke akhirat atau lebih tepatnya surga.
Cahaya matahari mulai meredup. Orang-orang telah selesai melihat rangkaian upacara Kedde yang telah dilakukan. Mereka menuju ke tenda putih tepatnya di sebelah kiri dari rumah adat Sumba untuk mengisi perut mereka yang mulai lapar. Kami berbaur di sini dengan orang-orang Sumba, tanpa adanya budaya yang membedakan. Kami membuka pembicaraan kami diselasar gedung Soegondo. Yola mengatakan bahwa sebagai orang Jawa mungkin kurang suka dengan suara yang keras dengan kerumunan orang-orang yang terlalu ramai, tetapi dia juga mengatakan sebagai seorang antropolog ini merupakan kehidupan baru, bertemu dengan tradisi dan adat yang baru. Dia luruh ke dalam setiap prosesnya. Kelemahannya adalah narasi yang kurang jelas disampaikan sebagai informasi untuk orang awam.
Kami juga menanyakan Bety bagaimana pandangannya dan apa yang ia rasakan terhadap upacara ini. Bety mengatakan bahwa ini adalah kehidupan antropologi sesungguhnya memahami setiap budaya dan tradisi. Kami menyimpulkan bahwa antropologi membawa kehidupan yang baru, dimana kami mempelajari dan memahami bagaimana budaya di mata pelaku budaya itu sendiri. Kami benar-benar merasakan bahwa kami masuk kedalam setiap prosesnya dan merasakan ini adalah Sumba yang sesungguhnya.
Memahami Budaya dalam Pagelaran Seni Sumba
Waktu berjalan dengan cepat. Lampu-lampu gedung mulai dinyalakan. Tanpa terasa matahari telah turun berganti bulan dengan keramaian malam orang-orang itu. Udara dingin mulai terasakan oleh tubuh kami. Pandangan kami terbuyar oleh keramaian orang di bawah gedung Margono. Panggung megah dengan sorot lampu tajam telah tersiapkan untuk menggelar pertunjukkan seni Sumba. Kami dengan beberapa teman antropologi duduk di sisi kiri panggung. Menyaksikan beberapa karya anak Sumba yang sangat menarik ditemani lembabnya rumput yang kami duduki. Seseorang berdiri diatas panggung. Sorot lampu dan alunan gitar mempertajam rasa mendengarkan puisi “Rinduku Sumba” yang dibawakan oleh seorang lelaki itu. Dengan suara yang lantang dan meyakinkan kami terhanyut dalam puisi yang dibacakannya.
Setelah penampilan puisi, panggung diisi oleh tiga orang lelaki dan satu perempuan. Mereka membawakan lagu daerah Sumba dengan iringan musik akustik. Tempat itu, mulai terpenuhi dengan keramaian orang-orang. Khususnya orang-orang Sumba yang sedang studi di Yogyakarta. Mereka datang dan menikmati penampilan, sembari mengingat Sumba yang mereka rindukan.
Malam berlalu, penampilan pun berganti, empat perempuan mulai naik keatas panggung itu. Mengenakan pakaian dan riasan khas Sumba. Mereka menari dengan elok dan anggun ditemani sorot lampu yang memperjelas tarian mereka. Tarian yang mereka bawakan memiliki makna ucapan syukur atas hasil panen yang telah ditanam. Saat tarian ditarikan penonton saling berteriak bersahut-sahutan berkomunikasi dalam bahasa Sumba seperti apa yang telah mereka lakukan pada saat upacara. Semakin malam, semakin banyak yang datang. Depan gedung Margono mulai terpenuhi oleh orang-orang yang ingin menikmati Sumba melalui pertunjukan. Penampilan berganti, empat orang lelaki juga menarikan tarian Sumba yang memiliki makna yang sama.
Malam semakin larut, penampilan semakin meriah, beberapa orang memasuki panggung memainkan alat musik yang mereka bawa termasuk Jungga (alat musik khas Sumba). Alunan lagu yang dimainkan dengan nyanyian Sumba menghipnotis penonton termasuk kami untuk menari di depan panggung. Kami semua menari dengan sangat senang. Kami merasakan kehangatan orang-orang Sumba membaur menjadi satu dengan orang-orang yang notabennya adalah orang Jawa. Kami merasakan seperti wisatawan yang sedang berada di Sumba dan menikmati setiap hal di Sumba, tetapi pada kenyataanya kami berada di Yogyakarta bukan Sumba.
Kami semakin berbaur dengan adanya tari “Mamere” yang lebih mengakrabkan kami dengan mahasiswa Sumba yang ada di Yogyakarta. Semua berbaur bersama. Penampilan ditutup dengan musik dangdut yang ditampilkan oleh “Om Jarang Pulang”. Lagi-lagi kami semua berbaur bersama dengan budaya yang mungkin asing bagi beberapa orang Sumba yaitu Dangdut. Kami merasakan Sumba itu hangat dan akrab. Sumba dengan segala tradisinya dan pesona alamnya selalu menghipnotis semua orang yang ingin mengetahui seperti apa Sumba. Ya, inilah Sumba sama seperti yang kami bayangkan saat melihat beberapa foto dan video di internet tentang Sumba.
Comentarios