top of page

Seniman Ulung: Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang

Salah satu ciri khas pembelajaran untuk orang dewasa adalah perlunya partisipan belajar memperoleh gambaran kegunaan pengetahuan yang dipelajari. Bagi orang dewasa, materi pembelajaran akan lebih kuat diterima dan terhayati bila pengetahuan tersebut memiliki kegunaan praktikal. Matakuliah Apresiasi Musik Etnik menjawab tantangan tersebut dengan membahas dan memberi contoh pemanfaatan elemen-elemen bunyi etnik bagi musik masa kini. Pengenalan bagaimana elemen-elemen bunyi etnik digunakan dalam kehidupan musik masa kini diharapkan mampu meningkatkan penghargaan terhadap musik etnik.

(Ungkapan Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang dalam artikel tanggal 23 November 2016 berjudul “Pendidikan Seni untuk Toleransi” yang berisi materi dalam Seminar Internasional “Today’s Art, Future’s Culture”) [1]


Yap! Mata kuliah Apresiasi Musik Etnik yang mempertemukan saya dengan Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang atau lebih dikenal dengan nama panggilan Mas Lono—begitulah kami memanggil dosen perempuan dengan sebutan mbak dan dosen laki-laki dengan sebutan mas supaya lebih dekat katanya. Karena memiliki banyak kegiatan di luar kampus, saya baru bertemu Mas Lono secara lebih intens sejak ikut mata kuliah tersebut di semester 3. Sebelumnya, bayangan mengenai dosen sekaligus seniman ulung ini hanya muncul dalam benak saya setiap ada orang bercerita tentangnya. Memang tidak sedikit. Sepertinya banyak orang terutama mahasiswa asal Yogyakarta sudah mengetahui Mas Lono sebelum mengambil mata kuliah yang diampunya. Namanya memang sudah lalu lalang di dunia seni. Tidak sulit bagi seorang seniman sepertinya untuk mendapat tempat di Yogyakarta yang digaung-gaungkan sebagai gudangnya seni selain Pulau Bali. Beliau pun tidak jarang diminta untuk menjadi pembicara di berbagai acara—seperti seminar juga di stasiun televisi.


Nama Simatupang yang disandangnya pada bagian belakang—sebagai salah satu marga orang Batak dengan kepiawaian seninya terutama dalam bernyanyi dan bermain alat musik—menjadi salah satu indikasi dirinya tumbuh dalam lingkungan seniman, setidaknya dalam keluarga. Minimal darah seni memang sudah mengalir, maka terbuka begitu banyak kesempatan untuk belajar dan mengembangkan jiwa seni hingga sekarang hidupnya tidak jauh dari seni dan segala sesuatu yang mempengaruhi dan dipengaruhi suatu kesenian dan tradisi. Pada awal pertemuan di kelas, saya dapat memahami kedalaman beliau dalam hal seni ini khususnya berkaitan dengan seni etnik di Indonesia. Beliau memiliki banyak pengalaman dalam bidang ini. Beliau menceritakan pengalamannya ketika berkecimpung langsung dengan seni. Beliau mengungkapkan sudut pandangnya setelah mendengarkan berbagai musik hampir dari sabang sampai merauke. Beliau coba mengajarkan kami tentang latihan kepekaan dan apresiasi terhadap setiap karya musik yang didengar baik tradisional, modern, maupun hibrid. Bagi saya yang tidak mendalami bidang musik, setidaknya dapat lebih bangga sekaligus memberikan perhatian lebih terhadap kekayaan seni dari negeri kita ini—Indonesia.


Mengenal Lebih Dekat

Walaupun bermarga batak, Gabriel Roosmargo Lono Lastoro Simatupang lahir di Yogyakarta. Saat mengobrol lebih dekat pada hari Kamis tanggal 6 Desember 2018, saya merasa terkagum-kagum atas keterbukaan beliau yang membuat saya merasa telah kenal lama. Kisah hidup mengalir deras dari mulut beliau—yang dimulai dari cerita masa kecil. Mas Lono mengenal seni dari lingkungan keluarga. Beliau lahir pada tahun 1960 dan dibesarkan di Yogyakarta. Ayahnya suka sekali musik, terutama bernyanyi dan berpaduan suara. Ketika beliau masih kecil, ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia di beberapa Sekolah Menengah Atas Yogyakarta. Sebagai guru bahasa Indonesia, ayahnya mengkoleksi banyak buku sastra, tetapi Mas Lono kurang tertarik di bidang sastra. Beliau lebih suka mengikuti sang ayah melatih koor untuk misa. Ayah memang seorang pelatih koor. Latihan koor dilakukan di rumah maupun di luar rumah. Kadangkala, Mas Lono ikut latihan koor pula. Waktu itu, selain lagu gereja, mereka sering mendengar lagu-lagu pop barat dari radio di rumah. Itu salah satu kegemaran kakak laki-lakinya. “Ketika saya belajar di SD, kalau tidak salah kelas 3 atau 4 (tahun 1969/1970), saya berkenalan dengan blockflute. Itu instrumen musik pertama yang saya pelajari,” begitu tutur Mas Lono sembari otaknya mengingat-ingat kembali masa berpuluh-puluh tahun silam tersebut.


Ibu dari Mas Lono adalah seorang bidan. Dia bekerja di Rumah Sakit Bersalin UGM. Dia juga senang menyanyi dan ikut koor. Di rumah, kadang-kadang mereka bernyanyi bersama. Menyanyi bersama jadi semacam hiburan keluarga waktu itu. Mereka bernyanyi lagu daerah dan lagu pop—selain lagu gereja. Kakak laki-laki Mas Lono—Mas Landung—suka musik pop barat seperti The Beatles. Mas Landung lebih senang berkecimpung dalam bidang baca puisi, tulis puisi, dan akhirnya juga merambah ke teater. Mas Lono sering nonton lomba baca puisi yang diikuti kakak laki-lakinya itu. Mas Landung tampil sebagai juara pula. Mas Lono ikut merasa bangga atas capaian sang kakak laki-laki.


Barangkali karena melihat minat Mas Lono terhadap musik, ayahnya pernah memberi kesempatan untuk les piano secara privat pada seorang guru piano. Karena keluarga tidak memiliki piano, les dilakukan di sebuah sekolah samping rumah. Tetapi, les piano tidak berlangsung lama. Mas Lono juga menceritakan bahwa dirinya gemar menggambar. Sewaktu SD, beliau pernah ikut lomba mewarnai yang diselenggarakan obat batuk Laserin dan memperoleh juara. “Lupa juara ke berapa,”cerita beliau. Mas Lono tidak tahu persis darimana kegemaran menggambar itu bisa dimiliki. Yang beliau tahu, eyang putri yang tinggal serumah adalah pembatik. “Tapi saya tidak suka membatik,” ungkapnya. Saat SMP, Mas Lono salurkan kegemaran menggambar dengan ikut sanggar lukis Tino Sidin. Di sana, dirinya belajar teknik menggambar dengan crayon dan cat air. Pada salah satu PORSENI DIY, Mas Lono memenangkan juara untuk kategori ilustrasi.


Saat usia SMP itu pula Mas Lono mulai belajar gitar secara mandiri. Beliau main gitar gaya pop—bukan musik klasik. Dengan beberapa teman, dirinya kadang-kadang tampil dalam grup (vocal group) untuk acara-acara sekolah. Saat SMA, Mas Lono lanjutkan kegemaran musik dan gitar dengan ikut kelompok vocal group. Waktu kelas 1 SMA, beliau bergabung dengan kakak-kakak kelas. Bahkan, mereka sempat membuat kaset di perusahaan rekaman Semarang. Sewaktu kelas 2 hingga kelas 3 SMA, kelompok musik mereka sering menjuarai berbagai lomba vocal group tingkat SMA maupun umum. Selain vocal group SMA, Mas Lono dan kakak perempuannya pernah ikut lomba Bintang Radio dan Televisi tingkat DIY untuk kategori vocal group (duet). Mereka berdua berhasil lolos sampai tahap final—hanya mereka yang masuk tahap ini. “Tetapi, saat final, saya terganggu oleh kekeliruan pemain bass band pengiring sehingga tidak memperoleh juara. Namun, lewat lomba itulah saya dikenal dan diajak bergabung dengan kelompok Paduan Suara Tri Ubaya Sakti untuk mengikuti lomba paduan suara tingkat nasional. Waktu itu kelompok Tri Ubaya Sakti mendapat juara 1,” ungkap Mas Lono bercerita lagi. Di SMA, beliau juga ikut Sanggar Lukis Pringgading. Di situ, dirinya belajar melukis dengan cat minyak. Akan tetapi, itu hanya berlangsung singkat.


Pada tahun ini, Mas Lono sudah menginjak umur 58 tahun. Usianya tidak muda lagi, tetapi tetap aktif berkesenian. Pada tahun 2012, beliau masuk menjadi Member of Curator Selection Team for Yogya Bienalle, Yayasan Bienalle Yogya.[2] Kegiatan beliau tidak begitu jauh dengan kesenian seakan sudah mendarah daging. Di tahun yang sama, penelitian beliau menghasilkan Assessment Research for Creative Community II , PNPM Support Facilities – World Bank Jakarta and Kelola Foundation.[3] Lalu, pada tahun 2013, beliau juga menjadi Member of Advisory Board for Yogyakarta Theatre Festival, Taman Budaya Yogyakarta. Di tahun 2015, beliau membuat semacam policy brief berisi Kebijakan Kesenian di Kabupaten Purworejo, Kabupaten Magelang, dan Kotamadya Yogyakarta (Arts Policy in Purworejo, Magelang and Yogyakarta Municipalities). Setahun setelahnya, beliau melakukan penelitian terhadap Pemetaan Program Studi Seni di DIY, Jawa Timur, dan Jawa Barat (Mapping of Art Studies Program in DIY, East Java and West Java). Penelitiannya lebih berfokus pada antropologi seni, performance studies, dan pendidikan serta perkembangan anak. Pada tahun 2017, beliau tergabung sebagai Member of Advisory Team of Cultural Heritage Program, Office of Culture, DIY Province. Dua tahun kemudian, beliau menjadi Coordinator of Workshop on Ethics and Aesthetics of Theatre of Empowerment, Kelola Foundation, Jakarta – a foundation working on promotion of Indonesian art and performance.


Selain mempublikasin banyak tulisan dan pemikiran dalam bentuk makalah-makalah dan seminar, beberapa tulisannya berhasil disatukan dalam terbitan berjudul Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya di tahun 2013. Mas Lono mengeluarkan buku-buku terbaru dengan judul Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Seni di Kota Solo dan Teruntuk Sang Maha Indah: Pameran Religi dan Kesenian Nusantara yang masing-masing terbit pada tahun 2012 dan 2015. Jika mencari artikel dan jurnal tentang seni, tulisannya-lah yang merajai.


Dengan pengalaman kesenian berbagai etnik, Mas Lono pun memiliki ketertarikan terhadap Sumba sebagai salah satu wilayah di Indonesia bagian timur yang sedang gencar membenahi diri dalam rangka meningkatkan pariwisata. Jika mengikuti pendapat dari pemerintah, “Bali-Bali” lain tidak dipungkiri sedang coba dibangun termasuk Sumba. Bali yang sudah terbukti mampu menjadi pendonor devisa tinggi terhadap pemasukan negara membuat pemerintah getol menumbuhkan pariwisata daerah lain. Oleh karena itu, semua pihak terkait Sumba harus bersiap.

Sumber: Dokumen penulis


Perspektif terhadap Sumba

Pada dua hari berturut-turut mulai tanggal 27 sampai 28 Oktober 2018, Departemen Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya UGM menggelar simposium bertajuk “Reisiliensi Wajah Sumba dalam Pusaran Zaman”. Simposium ini masih masuk dalam rangkaian Festival Sumba yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Budaya dan Bentara Budaya Yogyakarta. Festival Sumba menjadi sesuatu yang menarik karena diadakan di Sleman, bukan di Sumba. Berbagai hal berkaitan dengan Sumba coba dicontoh dan dibawa ke Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival semakin istimewa karena melibatkan banyak pihak antara lain dari pemerintah, praktisi, masyarakat, hingga akademisi. Orang-orang Sumba pun ikut terlibat. Bahkan, mereka begitu aktif dan antusias mengikuti kegiatan dalam festival. Saat simposium, mereka tidak sungkan dalam mengutarakan pendapat. Mereka menggunakan kesempatan tersebut untuk mengeluarkan gagasan dan keluh kesah dengan harapan suara mereka dapat diperhitungkan dalam usaha pemberdayaan Sumba yang memang baru sampai pada tahap awal.


Dalam panel berjudul Representasi Praktik Kreatif Sumba, panelis datang dari berbagai latar belakang dengan fokus kajian berbeda. Panel ini diadakan di hari kedua dengan lima panelis yaitu Jadin Jamaluddin membahas pengalaman aplikasi tepat guna pada produksi tenun; Dedi Purwadi membahas pewarnaan alami; P. Robert Ramone, C. Ss. R. membahas perawatan budaya Marapu Sumba melalui fotografi; Anis Suryani membahas pengalaman menjelajahi Sumba secara cepat; dan Dr. G. R. Lono Lastoro Simatupang membahas estetika seni dan warisan budaya tak benda.


Pada akhir panel, Mas Lono meminta semua orang dalam ruangan berdiskusi untuk merenungkan keberlanjutan suatu budaya—dalam kesempatan itu tidak lain adalah budaya Sumba. Mas Lono seakan benar-benar teruji sebagai seniman ulung yang mampu mengambil posisi menjadi penarik benang merah panel dengan menggunakan sudut pandang dan segudang pengalaman yang dimiliki. Dalam kesempatan tersebut, Mas Lono mengungkapkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan budaya Indonesia. Sekian ratus budaya dimiliki bangsa ini. Berdasarkan buku ensiklopedia suku bangsa di Indonesia dan merujuk pada buku pedoman pengolahan Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia secara keseluruhan mencapai lebih dari 1.300 suku bangsa.[4] Dalam hal ini masing-masing suku memiliki kekhasan tersendiri termasuk barang-barang tradisional—seperti kain, alat musik, senjata, alat memasak, dan lain-lain. Sebab, keterisolasian wilayah Indonesia begitu nyata saat beratus-ratus tahun yang lalu. Antarpenduduk terpisahkan oleh bentang alam, hutan, ataupun ganasnya laut. Mereka tidak bisa saling berinteraksi sehingga hidup sendiri-sendiri dalam wilayah masing-masing. Alat bertahan hidup dan alat kesenian pun merupakan hasil dari adaptasi mereka dengan hidup dan alam di sekitar. Maka dari itu, kita dapat mengetahui kehidupan suatu masyarakat dengan melihat barang atau hasil kebudayaannya. Hal inilah yang menyebabkan hasil kebudayaan menjadi sesuatu yang penting. Saat panel ini, keaslian budaya pun dipertanyakan Mas Lono. Tidak ada yang dapat menjamin budaya akan terus sama seperti sekarang pada 10 tahun kemudian, 35 tahun kemudian, atau 75 tahun kemudian. Kelestarian budaya tidak akan tercapai tanpa adanya orang-orang yang menghidupkannya secara masif. Dengan demikian, semua orang—baik orang Sumba atau bukan—harus merasa memiliki budaya Sumba dan budaya Indonesia sekaligus berperan aktif dalam usaha pelestarian.


Tidak Terlepas dari Latar Belakang: Sebuah Kesimpulan

Setiap latar belakang seseorang mempengaruhi jalan hidup selanjutnya. Begitu pula dengan Mas Lono. Mulai dari darah seni yang kental dari keluarga hingga riwayat pendidikannya sangat dekat dengan tradisi dan seni. Saya melihat seni bukan hanya hobi, tetapi sudah termasuk dalam separuh diri Mas Lono. Kesenian tersebut digabungkan dengan teori, kemudian diintegrasikan dalam bidang akademik. Itulah yang dilakukan Mas Lono.


Penulis, adalah mahasiswi S1 Antropologi Budaya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada


Referensi

[1] Simatupang, G.R.L.L. (2016). Pendidikan Seni untuk Toleransi. dalam International Seminar “Today’s Art, Future’s Culture” 2016 (pp. 1-10).

[3] ibid.

[4] Subdirektorat Statistik Demografi. (2011). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page