Kebutuhan skincare dari hari ke hari semakin bertambah seiring dengan sadarnya masyarakat (bukan hanya perempuan) untuk merawat kulit. Permintaan yang menanjak ini dibarengi dengan kemunculan brand-brand baru dan jenis perawatan wajah yang launcing silih berganti. Mereka dicekoki produk dari brand yang tiap waktu berevolusi, seolah tidak diberi waktu bernafas untuk mengikuti trend yang terbentuk dan dibentuk.
Menurut Sunyoto (2011), tren menggambarkan atau menunjukan perubahan rata-rata suatu variabel tertentu dari waktu ke waktu sesuai dengan situasi dan kondisi di masyarakat. Namun seperti yang diketahui, skin care bukanlah barang yang murah. Hal ini tetap tidak mencegah konsumsi meski harga mahal membuat skincare junkies[1] terengah engah. Salah satu solusi dari masalah ini adalah dilakukannya share in jar yang dianggap jalan tebaik untuk mengikuti trend kecantikan bagi masyarakat yang tidak mampu membeli fullsize. Benarkah begitu?
Trends Skincare: Proses Pembentukan
Skincare sudah layaknya menyikat gigi, sebenarnya tidak dilakukan tidak akan membuat mati, namun karena terbiasa maka jadi penting untuk menggunakannya. The Federal Food, Drug, and Cosmetic Act mendefinisikan kosmetik sebagai produk yang dimaksudkan untuk membersihkan atau memperindah (misalnya, shampo dan lipstik). Kategori terpisah ada untuk obat, yang dimaksudkan untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mengurangi, mengobati, atau mencegah penyakit, atau mempengaruhi struktur atau fungsi tubuh (misalnya, tabir surya dan krim jerawat), meskipun beberapa produk, seperti pelembab tabir surya dan sampo anti-ketombe, diatur dalam kedua kategori.[2] Dalam hal ini, kategori yang dimaksud dalam tulisan adalah skincare untuk merawat wajah, seperti facial foam, facial wash, tabir surya, masker, krim, dan sebagainya. Berbeda dengan make up yang dapat menonjolkan fitur terbaik dari wajah kita dan menutupi sejumlah masalah kulit, skincare menjadi penting karena dianggap menyelesaikan masalah kulit dan memberikan kanvas yang lebih baik sebelum makeup.
Tentu saja, suatu hal tidak dapat langsung menjadi sebuah tren, termasuk dalam skincare. Menurut oxford dictionary, tren merupakan suatu kecenderungan yang ada di masyarakat yang membuat masyarakat mengalami perubahan dan perkembangan dalam kebiasaan mereka, kecenderungan ini meliputi berbagai aspek di masyarakat. Menurut Bambang Wakidi, ada tiga proses tahapan suatu hal bisa menjadi tren, yaitu ide kreatif, penawaran ide, dan penilaian masyarakat.
Proses yang pertama dari sebuah gagasan kreatif. Gagasan kreatif akan memunculkan sesuatu yang unik dan berbeda. Sesuatu yang berbeda merupakan hal yang dicari masyarakat untuk menggantikan tren yang lama. Namun tetap saja, ide kreatif tersebut harus menyesuaikan situasi yang ada di masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu. Contohnya, pembuatan sunscreen stick untuk menggantikan sunscreen lotion. Pembuatan sunscreen stick ini ditujukan bagi pengguna yang merasa menggunakan sunscreen lotion lebih rumit dan kurang higienis.
Tahap kedua yaitu penawaran ide. Dalam proses ini, media berperan penting, baik itu media cetak maupun elektronik. Media merupakan alat yang tepat untuk menawarkan dan memasarkan produk. Di zaman teknologi ini, penawaran melalui sosial media lebih diutamakan. Produsen dapat menarik minat masyarakat terhadap ide-ide kreatif dengan menggunakan klaim klaim untuk menyelesaikan masalah kulit tertentu bahkan menjadikan kulit bagai ‘pusaka’ Indonesia[3]. Persaingan klaim yang oleh para produsen ini tidak hanya dilakukan oleh skincare Indonesia. Globalisasi berperan penting karena mengantarkan skincare merek luar negeri masuk ke Indonesia dan ikut berpartisipasi. Mulai dari Korea, Amerika, China, Jepang, Thailand, dan sebagainya.
Selain klaim efek, hal yang sama terjadi pula pada harga. Harga bukan hanya sebagai penarik minat bahwa skincare affordable, namun juga sebagai penentu kelas skincare. Semakin tinggi harganya, maka klaim efek skincare dianggap semakin kuat karena dianggap menggunakan bahan yang lebih berkualitas[4].
Beauty influencer mulai dari blogger maupun vlogger mereview produk produk kecantikan ikut meramaikan periklanan dan pembuatan Brand Image. Brand Image yang didefinisikan sebagai penjumlahan dari gambaran-gambaran, kesan-kesan dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek (Abdullah, 2017:64). Beauty influencer ini membantu mewujudkan citra besar dimana nilai suatu merek dapat dikuantifikasikan dalam bentuk uang, tetapi nilai yang sebenarnya di medan pasar yang kompetitif adalah kemampuan merek untuk merebut perhatian dan mempengaruhi pilihan (Temporal dan Lee, 2002:77).
Terakhir penialan masyarakat dari tingkat kepuasannya. Ide kreatif akan diseleksi menurut selera masyarakat. Jika dirasa suatu ide sangat cocok dengan selera masyarakat, produk akan laku dan menjadi trend. namun, bila ide tidak sesuai dengan selera bisa dipastikan trend tidak terjadi.
Share in jar: Follow up trend
Tren memang mampu menyegarkan kecenderungan yang ada di masyarakat. Bagi skincare junkie, skincare segala macam, terutama berharga tinggi (high-end) ini patut dicoba, namun tentu tidak semua golongan masyarakat dapat membelinya dengan mudah. Belum ditambah kemungkinan bahwa skincare yang dibeli tidak cocok dengan jenis kulit, tentu akan ada pemikiran bahwa skincare tersebut hanya menyia-nyiakan uang. Memang beberapa skincare memberikan sample size, namun tidak semuanya. Samplepun kebanyakan hanya diberikan bila anda datang ke official store brand tersebut atau setelah melakukan pembelian produk fullsize, tentu hal ini makin memberatkan skincare junkies.
Demand tinggi dari masyarakat terhadap skincare, sekaligus rasa khawatir bahwa skincare tidak worth it, membuat pembeli dan penjual skincare harus berpikir dua kali untuk mendapatkan skincare ini dengan harga murah. Mengapa penjual? Sebagai penjual, peluang ini tidak biasa dibiarkan hilang begitu saja selain itu sudah seharusnya mengerti bahwa bukan hanya keuntungan yang dicari, namun juga aspek kenyamanan dan keberlangsungan para pembeli. penjual harus memutar otak bagaimana cara untuk memenuhi permintaan.
Salah satu jalan keluarnya adalah share in jar. Apa itu share in jar? Share in jar layaknya kemasan sachet dan kemasan trial. Konsep share in jar adalah membagi (share) isi sebuah produk dalam (in) beberapa kontainer (jar) kecil. Tujuannya agar seseorang bisa membeli dan mencoba sebuah produk tanpa harus langsung membeli produk dalam ukuran aslinya. Produk kecantikan tersebut dibagi-bagi ke dalam wadah/jar, dapat berupa pump bottle, spray bottle, dan wadah kontainer.
Beberapa jar pun umumnya punya isi yang lebih banyak dari ukuran sachet. Jadi produk tersebut bisa diuji dengan dipakai sampai beberapa kali untuk melihat cocok atau tidaknya dengan kulit. Penjualan share in jar ditelusuri melalui laman google.com hanya terjadi di Indonesia dan sudah terjadi sekitar 5-6 tahun yang lalu. Tren ini mulai sejak bermunculannya skincare dari luar negri yang harga fullsizenya tidak murah. Tentu seiring waktu, share in jar ini semakin terkenal karena pasarnyapun tidak pernah mati. Dalam 2-4 tahun terakhir, trend share in jar sendiri semakin marak setelah beauty influencer mulai dari blogger maupun vlogger mereview produk produk kecantikan. Para beauty influencer mengunakan komunikasi pemasaran terpadu kepada pembaca atau penontonnya sehingga brand dapat membangun Image di konsumen.
Setiap hari, trend trend baru muncul dan beauty influencer berperan untuk menyebarkan trend ini sehingga apa yang digunakan para beauty influencer ini menyebabkan banyak orang yang ingin menggunakan produk yang sama. Patricia Husada, General Manager Marketing PT Martina Berto Tbk, produsen kosmetik Sariayu dalam sebuah artikel menuturkan kelebihan beauty influencer adalah mereka dapat mengedukasi mengenai kegunaan produk kepada target pasar yang disasar secara lebih jelas.[5] Para beauty influencer bagaimana pun mewakili suara yang didengar oleh jutaan konsumen. Benarkah hal tersebut?
Mengutip dari salah satu platform opini, salah satu kontributor berkata:
“ Berkat tren kosmetik share in jar, kita bisa mencoba banyak skincare dan makeup yang lagi hits dengan harga murah!”[6]
Maka dari itu, tidaklah salah bahwa menyebut share in jar ini sebagai follow up trend dengan jalur murah.
Share In Jar VS Fullsize
Rasanya belum afdol bila belum menyampaikan perbandingan dari dua bentuk wadah skincare ini. Tentu keduanya memiliki perbedaan yang membuat tiap pembeli jauh memilih salah satu bentuk. Melihat dari segi harga, share-in-jar jauh lebih murah dibandingkan produk ukuran full. Namun bila dibagi harga per gram tentu share in jar lebih mahal. Misalnya, harga salah satu produk Nature Republic yaitu Aloevera Soothing Gel 300ml adalah 90.000 rupiah. Bila menggunakan share in Jar, per 30 ml akan dihargai sekitar 15.000. Maka bila akan membeli sampai jadi 300ml kembali, harus membeli 10 share in jar, maka yang harus dikeluarkan adalah 150.000. Jauh lebih mahal bukan?
Harga memang menjadi pertimbangan karena disatu sisi share in jar bila dihitung menjadi lebih mahal karena produk yang didapat sedikit. Tapi, kelebihan lainnya, konsumen jadi merasa tidak terlalu bersalah saat produk yang dibeli ternyata tidak cocok dan membuangnya. Fullsize bila dihitung memang lebih murah, namun tentunya untuk pengikut tren, membeli fullsize hampir sama dengan membuang uang. Saya pernah mendengar dari salah satu buku yang saya lupa judulnya, orang-orang tidak mudah termakan iklan murahan di TV, namun mereka tidak akan tahan untuk memiliki apa yang dimiliki sebayanya (bukan umur).
Dari uraian diatas, share in jar menjadi jalur murah bagi skincare junkies. Tempat mencoba dan icip icip skincare sehingga konsumen yang memiliki ketidakcocokan dengan produk, tidak merasa rugi. Penjualpun mendapat kenyamanan karena tidak merasa merugikan pembeli dan mendapat keuntungan yang lebih banyak. Tapi harus diketahui bahwa kebanyakan yang membeli share in jar tidak selamanya membeli satu produk yang sama, bila ada produk yang cocok, maka skincare junkies akan membeli yang fullsize. Namun, Tentu ini menjadi pilihan masing masing untuk membeli yang mana.
Perlu diingat share in jar ini mengharuskan produk untuk dikeluarkan dari kemasannya, kemudian dipindahkan ke kemasan lain, sehingga ada kontak udara dan kemungkinan produk terkena kotoran menjadi jauh lebih besar. Penting untuk selalu mengecek detail ukuran dan volume yang ditawarkan dan masa berlaku atau tanggal kedaluwarsa dari produk sebelum membeli.
Jadi, mau pilih yang mana?
[1] Sebutan bagi pecinta skincare
[2] FDA. Cosmetics: Guidance & Regulation; Laws & Regulations. Prohibited & Restricted Ingredients. [website]. U.S. Food and Drug Administration, Silver Spring, MD. Updated 26 January 2015
[3] Tagline mustika ratu
Refrensi
http://editorial.femaledaily.com/blog/2016/07/24/kosmetik-foundation-share-in-jar/ diakses 3 Oktober 2018
https://www.chemistryworld.com/feature/the-science-of-skincare/5494.article diakses 3 Oktober 2018
https://www.fda.gov/Cosmetics/default.Htm diakses 3 Oktober 2018
http://marketeers.com/beauty-vlogger-dan-pengaruhnya-bagi-brand-kosmetik/ diakses 3 Oktober 2018
Sari, N. Y. (2017). Pengaruh Beauty Vlogger sebagai Celebrity Endorser terhadap Niat Beli dengan Asosiasi Merek Sebagai Intervening Variable.
Zahra, F. (2017). KOMUNIKASI PEMASARAN TERPADU MAKE OVER MELALUI BEAUTY VLOGGER DALAM MEMBANGUN CITRA MEREK. LONTAR: Jurnal Ilmu Komunikasi, 5(2).
Comments