Fransiskus Denny P, Sarah Amany W, Julius Ardiles B
Kereta melintas dan kami, spontan, melambaikan tangan kepadanya sambil tertawa-tawa. Dalam kepala, berkelebatlah satu adegan dari film Titanic ketika Jack Dawson naik ke atas dek kapal dan melambaikan tangan pada orang-orang di pelabuhan. “Goodbye! I will never forget you!” katanya sambil tertawa, sepenuhnya sadar tidak ada satu orang pun yang ia kenal di antara kerumunan. Dapat dimengerti, meskipun demikian, bahwa gagasan mengenai seseorang yang pergi jauh dari rumah menuju dunia yang besar dan penuh kemungkinan akan selalu menimbulkan sensasi menggelitik di dasar perut, dan barangkali itulah yang membuat orang-orang di atas kapal dan di pelabuhan begitu semangat mengucapkan salam perpisahan—mirip dengan apa yang sejenak kami rasakan selama mengamati kereta-kereta itu datang dan pergi melewati Stasiun Tugu Yogyakarta.
Malam ini malam Selasa, dan Yogya dengan keras kepala bertahan untuk tetap gerah. Kawasan Malioboro seperti biasa riuh rendah oleh kehidupan yang berlangsung di dalamnya, dan kami menjelma entitas tidak penting yang malam itu ikut berkontribusi dalam keramaian. Mundur ke satu jam sebelumnya, dua di antara kami tiba lebih dahulu di seberang gerbang timur Stasiun Tugu. Sambil menunggu seorang teman lagi datang, kami terlebih dahulu nongkrong di warung angkringan kopi jos depan Stasiun Tugu. Walaupun banyak sekali pengunjung, lalu lintas kawasan Stasiun Tugu terlihat cukup lancar, tidak ada kemacetan.
Sesudah menemukan tempat parkir yang pas, kami langsung masuk ke dalam tenda angkringan. Mas pelayan angkringan langsung mengarahkan kami untuk duduk di depan lapak, tempat si empunya warung melakukan atraksi mengaduk dan mencampur kopi dengan arang. Kami memesan kopi susu jos, beberapa tusuk sate, dan satu nasi kucing teri rendang. Warung itu bisa dibilang cukup ramai, beberapa kali mas pelayan meminta pelanggannya untuk bergeser, agar sela-sela sempit bisa dimanfaatkan sebagai tempat duduk bagi pelanggan yang baru datang. Semua pekerja sibuk berlalu lalang, meladeni pesanan yang cukup banyak, termasuk bapak pemilik warung yang mempresentasikan menu-menu yang ia miliki, yang sebenarnya sudah saya ketahui.
Ini bukan pertama kalinya kami nongkrong di warung angkringan kopi jos depan Stasiun Tugu, namun kunjungan kami ke warung kopi jos kali ini terasa cukup berbeda. Kami merasa dilayani layaknya wisatawan, mungkin karena kebetulan hari itu salah seorang menggunakan kemeja batik. Maklum, siang hari itu kami menghadiri acara Dies Natalis di kampus dan belum sempat berganti pakaian. Kami nyaris bisa membayangkan si empunya warung berbicara dalam hati, “Wah masnya pakai baju batik, pasti baru dari Malioboro, beli baju batik dan langsung dipakai.”
Selama duduk di sana, beberapa kali pengamen datang dan menyanyikan lagu-lagu andalan mereka.
Di sekitar kami, duduk rombongan wisatawan dari luar Jawa Tengah. Terdengar dari cara mereka berbicara, menggunakan aksen yang asing di telinga, jelas bukan bahasa Jawa. Satu orang dari rombongan di sebelah kanan kami berseru, “Di Sayidan, Mas!” Seruan itu langsung disambut oleh pengamen yang jongkok di depan rombongan itu dengan lagu ikonik Shaggydog: Di Sayidan. Beberapa waktu kemudian, kembali datang grup pengamen beranggotakan tiga orang. Kali ini, rombongan di sebelah kiri saya juga berseru, dan lagi-lagi Di Sayidan. Ketika lagu ini dinyanyikan, hampir semua orang yang duduk di warung itu bernyanyi. Kami rasa lagu ini sangat terkenal dan menjadi representasi Yogyakarta bagi wisatawan yang datang ke kota ini.
Setelah hampir satu jam duduk di warung kopi jos, akhirnya sosok yang kami tunggu datang bergabung. Membakar satu dua tiga batang rokok, kami bersantai sejenak menyeruput kopi yang hampir habis sambil berbincang tentang keadaan di sekitar Stasiun Tugu. Duduk-duduk di pinggir jalan sambil minum kopi jos dan mendengarkan lagu Di Sayidan yang dimainkan pengamen sekitar, suasana semacam ini persis sekali dengan satu imej partikular kota Yogya yang sudah terkomodifikasi (dan teromantisasi) sedemikian rupa.
Yogyakarta berhasil menata kotanya sehingga dapat mempunyai daya tarik luar biasa bagi wisatawan. Hal ini barangkali tak lepas dari fokus pemerintah yang ingin menjadikan Yogyakarta sebagai ‘barang jualan’ utama yang ditawarkan kepada masyarakat luar negeri. Untuk tahun 2019 saja, pemerintah menargetkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogya sebanyak 5,9 juta orang, 600.000 di antaranya diharapkan wisatawan mancanegara. Dalam usaha mencapai target tersebut, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menata pusat-pusat destinasi wisata menjadi secantik dan seaktraktif mungkin.
Dengan begitu, tidak heran bahwa ruas Jalan Mangkubumi-Malioboro-Alun-alun Utara adalah salah satu ruas jalan terindah yang pernah kami temui. Meskipun memang daya tarik utama di bilangan Malioboro adalah Jalan Malioboro itu sendiri, namun pemerintah Yogyakarta juga menyadari pentingnya mengintegrasikan penataan dan tata kelola ruang di sekitarnya. Alhasil, selain infrastruktur jalan yang dipulas, Stasiun Tugu Yogyakarta yang berada tepat di ujung utara Jalan Malioboro pun ditata seindah mungkin.
Usai berbincang-bincang dan membayar pesanan, kami langsung menyebrang ke dalam Stasiun Yogyakarta. Ketika hendak menyebrang, kami melewati satu fenomena unik yang sedari tadi kami perhatikan dari posisi duduk di warung angkringan. Di depan gerbang timur Stasiun Yogyakarta yang langsung berbatasan dengan Malioboro, terdapat palang memanjang yang menutupi area rel kereta api. Palang itu sengaja diletakkan di sana agar tidak ada pengendara yang langsung berkendara lurus ke area Malioboro. Di sela-sela palang itu terdapat cela yang sedikit lebar, cukup untuk para pejalan kaki yang hendak pergi ke area Malioboro dari Stasiun Yogyakarta. Kami melihat banyak pengendara sepeda motor yang turun dari motor, menuntunnya hingga ke seberang palang itu. Nampaknya hal ini merupakan salah satu peraturan lisan yang sudah dipatuhi oleh warga sekitar.
Selain fenomena unik itu, hal yang juga begitu menarik minat kami adalah penataan muka gerbang timur Stasiun Tugu. Tulisan Stasiun Yogyakarta berwarna merah terpampang besar-besar. Di belakangnya ada kolam air mancur yang sayangnya tidak menyala saat itu. Lima wayang Punakawan setinggi dua meter dipasang di belakang kolam air mancur tersebut. Di sebelah kanan Punakawan, sebuah replika lokomotif uap generasi pertama dipasang di atas landasan beton yang kokoh. Lampu-lampu temaram menerangi kawasan-mirip-plaza tersebut.
Tak lama kemudian kami melangkahkan kaki menuju kawasan dalam stasiun. Gerbang timur yang kami lewati ini rupa-rupanya merupakan gerbang khusus keberangkatan kereta api jarak jauh. Sebuah palang perlintasan—yang ini tidak berbeda dari palag perlintasan pada umumnya—menyambut setiap kendaraan yang hendak menurunkan penumpang di muka serambi stasiun. Palang perlintasan ini bukanlah sekadar pajangan, melainkan aktif untuk mengamankan jalur kereta api menuju peron utara. Tepat setelah kami melewati perlintasan tersebut, bunyi sirene yang khas keluar dari palang tersebut, tanda bahwa ada kereta api yang akan lewat. Benar saja, beberapa saat kemudian rangkaian kereta api Kahuripan jurusan Blitar-Kiaracondong melintas memasuki peron utara untuk menaik-turunkan penumpang.
Setelah puas menyaksikan Thomas Diesel dari jarak dekat, mata kami dimanjakan dengan keindahan boulevard gerbang timur. Dari beberapa stasiun yang pernah kami kunjungi, kami rasa stasiun ini merupakan salah satu stasiun yang mempunyai muka yang tercantik. Bagaimana tidak, sebentang jalan aspal mulus diterangi lampu-lampu terang yang ditata dengan rapi menyambut mereka yang hendak menuju stasiun. Sisi pedestrian yang lebar beitu bersih, dipayungi dengan kanopi yang membujur di atasnya, dilengkapi dengan sebarisan pepohonan rapi dan tanaman-tanaman hias yang mempercantik lingkungan.
Kami menelusuri boulevard stasiun yang sangat bercahaya. Banyak sekali hiasan lampu yang disusun sejajar, memanjang hingga titik turun para penumpang. Trotoar untuk pejalan kaki di sepanjang boulevard sangat lebar, bersih, dan rapi. Menurut kami, boulevard ini sangat menarik dan cantik. Beberapa kali kami berhenti melihat kereta api yang melintasi rel di tengah-tengah boulevard. Banyak orang di kereta terlihat sedang mengalihkan perhatiannya menuju kawasan Malioboro yang terlihat sangat jelas dari jendela kereta api. Seperti yang sudah dikisahkan di awal, kami pun melambaikan salam perpisahan bagi orang-orang di dalam ular besi itu.
Puas mengamati kereta yang berlalu-lalang, kami pun melanjutkan perjalanan untuk memasuki lobi timur Stasiun Tugu. Sebelum masuk, kami berhenti sejenak untuk mengagumi keindahan fasad bangunan dengan gaya arsitektur art-deco corak Hindia Belanda. Lobi timur ini tampak berkilauan dan megah dengan gelimangan sorot lampu yang membuat dirinya benderang. Sewaktu masuk, perhatian kami tertuju pada langit-langit. Ya, langit-langit lobi timur amatlah tinggi, membuat suasana sejuk meskipun tak terdapat unit pendingin ruangan di sana.
Lobi timur, seperti yang sudah disebutkan tadi, hanya melayani keberangkatan penumpang jarak jauh. Di sana terdapat beberapa unit komputer beserta seperangkat alat cetak yang menjadi instrumen penjual ataupun pemesanan tiket kereta api jarak jauh. Di ujung barat lobi terdapat pintu masuk menuju peron, yang dijaga dengan ketat oleh empat petugas berseragam lengkap, bahkan ada yang memakai helm militer putih, untuk memastikan bahwa semua penumpang memiliki tiket yang sesuai dengan identitas yang berlaku. Karena salah seorang dari kami sedang kebelet kencing, kami juga jadi tahu kalau di lobi ini ternyata tidak ada kamar mandi—seseorang harus punya tiket agar bisa menggunakan kamar mandi terdekat yang ada di dalam peron.
Selain itu, ada keistimewaan yang kami rasa tak terdapat di stasiun lain, yaitu keberadaan sebuah platform kecil berukuran tiga kali tiga meter, beratapkan genting plastik yang disusun seperti sebuah joglo. Platform tersebut berada di sisi selatan lobi. Di atasnya, dipasang sebuah kursi rotan reyot. Kursi tersebut menjadi istimewa ketika tulisan-tulisan yang terdapat di plat metalik kecil di atas kursi menjelaskan bahwa kursi rotan tersebut sudah berusia lebih dari tujuh dekade, sehingga mungkin saja kursi tersebut pernah diduduki oleh Soekarno sewaktu turun di Stasiun Tugu. Selain itu, ada pula photo booth di seberang platform kursi rotan tersebut. Photo booth yang kami maksud tidak berlatar belakang citra stasiun, melainkan sosok Presiden Joko Widodo yang dibuat dari karton berukuran manusia.
Kemudian, kami memutuskan untuk mencoba masuk ke peron. Rencana awal yang sudah kami susun sebelum masuk ke stasiun adalah membeli tiket kereta Prambanan Ekspres seharga delapan ribu rupiah agar bisa masuk ke dalam peron untuk mengambil gambar dan melakukan pengamatan. Ternyata, tiket kereta Prambanan Ekspres hanya bisa dibeli lewat gerbang barat Stasiun Tugu di kawasan Pasar Kembang. Tanpa bertele-tele, kami langsung pergi menuju kawasan Pasar Kembang. Kami sepakat untuk menuntun motor masing-masing melewati palang depan gerbang tadi.
Perlu diakui bahwa wujud dari gerbang barat ini tidaklah seindah gerbang timur, mungkin karena lokasi gerbang barat cukup jauh dari area wisata Malioboro. Bukan palang kereta api yang menyambut kami, melainkan palang pintu parkir. Bukan deretan pepohonan rindang dan lampu-lampu taman yang menuntun kami, melainkan deretan monoton motor dan mobil yang terparkir. Setelah mengambil tiket dan memarkir motor, kami melangkah menuju pintu masuk peron.
Tidak banyak hal yang menurut kami amat spesial di gerbang barat ini. Meskipun demikian, ada satu-dua hal yang menyedot atensi, yaitu keberadaan sebuah ruangan kecil yang terlihat nyaman. Setelah melongok lebih dalam, kami baru mengetahui bahwa ruangan tersebut adalah sebuah coworking space. Sayangnya, tidak ada satupun orang yagn menggunakan ruang tersebut. Para penumpang yang entah menunggu keberangkatan atau jemputan lebih memilih duduk di barisan kursi besi yang berada tepat di coworking space tersebut. Selain itu, kami juga menyadari keberadaan sebuah lokomotif diesel tua bercat kuning-hijau. Berbeda dengan lokomotif uap yang dipasang di gerbang timur yang merupakan rekaan, kali ini lokomotif tersebut adalah lokomotif asli yang benar-benar pernah beroperasi.
Lalu-lalang penumpang yang akan masuk peron ataupun pengantar-jemput tidak membuyarkan tujuan kami untuk segera mendapatkan tiket. Kami menuju pusat penjualan dan pemesanan tiket yang berada di sebelah timur pintu masuk peron. Begitu masuk, ada kelegaan tak terjelaskan ketika pendingin ruangan menyambut kami yang baru terpapar udara gerah Yogya (bahkan pada malam hari!). Ruangan itu sangat bersih, bahkan bau ruangan itu nyaris mirip bau klinis rumah sakit. Tidak banyak orang yang terdapat di sana, beberapa hanya duduk diam menunggu antrian. Meja-meja petugas pun tampak kosong ditinggalkan penghuninya, hanya meja bagian customer service sajalah yang masih tampak sibuk didatangi turis-turis asing ataupun calon penumpang yang mengalami masalah dengan pertiketan.
Kami pertama-tama mencoba “mengutak-atik” mesin penjual tiket otomatis yang berjejer di ruangan. Setelah agak kaget melihat pilihan tiket Yogya-Solo yang harganya beratus-ratus ribu (sementara rencana kami adalah membeli tiket Prambanan Ekspres yang harganya hanya delapan ribu), kami mencoba peruntungan dengan bertanya langsung kepada petugas yang kebetulan sedang melintas. Penjualan tiket kereta Prambanan Ekspres ternyata punya loketnya sendiri, namun rupanya semua tiket untuk perjalanan malam itu sudah habis.
Meskipun sedikit kecewa, kami tetap merasa kunjungan kami ke Stasiun Tugu malam ini memantik banyak diskusi—setidaknya di antara kami. Duduk-duduk di dalam ruangan yang terlalu sepi dan terlalu bersih itu, kami jadi bernostalgia sendiri mengenai pengalaman-pengalaman pribadi yang berkaitan dengan stasiun dan kereta, baik di Stasiun Tugu maupun stasiun lainnya. Salah satu hal yang bisa kami sepakati adalah bahwa Stasiun Tugu ini merupakan salah satu stasiun terindah yang pernah kami kunjungi, yang mungkin juga dipengaruhi lokasinya yang berdekatan dengan wilayah yang boleh jadi paling terkomodifikasi di Yogya, yakni Malioboro.
Diselingi mengomentari tayangan life hacks yang diputar berulang-ulang di televisi ruang penjualan tiket, salah seorang di antara kami yang sangat menyukai dan mendalami kereta api kemudian berkisah tentang sejarah singkat transformasi stasiun dan kereta api yang selama berdekade-dekade ini terus terjadi di Indonesia. Kolonialisme dan banyak peristiwa besar setelahnya tentu saja ikut membentuk memori kolektif rakyat Indonesia mengenai stasiun dan kereta api, yang dari masa ke masa juga telah mengalami beragam transformasi nilai dan fungsi.
Stasiun dan tempat-tempat serupa—bandara, pelabuhan, dan terminal, misalnya—tentu saja akan menjadi tempat bagi banyak orang “menyetor” kenangan tentang interaksi bertemu dan berpisah, tentang kedatangan dan kepergian. Ruang-ruang yang begitu “rawan” menjadi objek romantisasi ini tidak hanya hadir dalam lansekap sebuah perkotaan sebagai sesuatu yang hanya dipandang dari sisi fungsionalnya saja, melainkan juga dihargai dari memori—baik kolektif maupun personal—yang melekat padanya.
Meskipun kenangan atau memori ini beragam bentuknya, ada satu kesamaan yang menjadi benang merah di antara semuanya: stasiun selalu menjadi tempat singgah sementara. Karena itulah, ia juga kerap menimbulkan perasaan bahwa semua orang sedang bergegas dan bahwa beberapa orang tidak akan pernah kembali dari perjalanan yang jauh dan panjang. Seperti laiknya kereta, memori datang dan pergi melewati stasiun-stasiun ini—gerbong-gerbongnya, mengikuti zaman, terus berganti dan bertransformasi.
Kami pun menutup sesi jalan-jalan kami hari itu dengan berfoto di depan lokomotif diesel tua yang ada di depan stasiun. Sambil nyengir ke arah kamera, sebuah kereta imajiner melintas dan orang-orang di dalamnya menempelkan wajah mereka ke kaca. “Goodbye! I will never forget you!” kata mereka kepada Yogya.[]
Comments