top of page
Writer's pictureYolaninda Sehnur

“Tahta untuk Rakyat”: Strategi Politik Melalui Hak Milik Tanah di Taman Sari

Updated: Jul 3, 2019

Bety Oktaviani, Charistya Herandy, Yola Ninda Dwi WDS


“64 % (enampuluh empat persen) bagian kawasan telah berubah menjadi permukiman swadaya, semenjak Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang memerintah Kraton Yogyakarta sejak 8 Maret 1940 sampai dengan 2 Oktober 1988, mencetuskan kebijakan: Tahta untuk Rakyat.” –Sulistyanto,dkk., 2015


Kalimat di atas sengaja kami ambil dari salah satu tulisan—mengenai Taman Sari—untuk menjadi pembuka dari bahasan kali ini. Sebelumnya, agar tulisan ini tidak rancu dan tanpa konteks, kami akan sedikit memaparkan mengenai Taman Sari Yogyakarta.


Secara administratif Taman Sari termasuk dalam Kelurahan  Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, lokasinya berada di lingkungan kawasan benteng Kraton dan mencakup area seluas ± 12,66 Ha. Secara lebih spesifik, Taman Sari terletak di sebelah barat-daya komplek inti Kraton Yogyakarta. Taman Sari memiliki sebutan “istana air (water castel)”, fungsinya sebagai tempat peristirahatan dan pesanggrahan keluarga raja. Selain itu, Taman Sari juga digunakan sebagai daerah pertahanan, tempat ibadah dan kebun fasilitator untuk kraton. Secara Historis, pembangunan Taman Sari—dilakukan secara bertahap—mulai dari tahun Ehe 1684 Jw atau tahun 1758 Masehi sampai tahun 1687 Jw atau 1787 Masehi.


Taman Sari, Yogyakarta

Nah, itu tadi sedikit tentang Taman Sari, pada tulisan kali ini kami akan berfokus mengenai permukiman yang berada di area—dan sekitar—Taman Sari. Hanya saja, agar lebih membumi dan berkonteks, kami perlu sedikit membahas mengenai apa itu Taman Sari. Melalui penjelajahan singkat dan pengalaman kami mengunjungi Taman Sari—tentunya didukung oleh bacaan-bacaan oke—tulisan ini mencoba untuk membahas permukiman warga yang tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kekuasaan sultan.


Sekilas: Penjelajahan Kecil di Taman Sari

Pada hari Jum’at, 24 Mei 2018 kami melakukan penjelajahan kecil di Taman Sari.  Kami datang dan memarkirkan kendaraan di tempat parkir yang sudah ditata oleh masyarakat sekitar. Hari itu terasa sangat panas karena sepertinya matahari ingin bermegah dan angkuh dengan sinarnya. Kami masuk menuju ke loket untuk membeli tiket seharga lima ribu rupiah—harga yang terbilang murah untuk melihat dan mengagumi bangunan megah masa lalu. Oke, izinkan kami sedikit curhat mengenai bangunan megah ini—meskipun bukan bahasan utama pada tulisan ini.


Kami melangkahkan kaki melewati gapura-gapura yang ada di sana. Setiap kami melewati lorong gapura, kami merasakan ada hawa yang berbeda. Ya, suhu terasa sangat sejuk dan membuat kami nyaman karena sangat berbeda dengan suasana di luar, sangat panas. Dua gapura kami lewati, kami melihat jalan yang semakin masuk semakin menurun. Hingga tiba di tempat pemandian putri dan permaisuri raja atau sultan. Dua kolam luas berbentuk persegi panjang membentang dari selatan ke utara. Disana masih ada air namun tidak bervolume penuh. Di ujung kolam tersebut, terdapat lorong berjendela yang melengkapi arsitektur daripada tempat pemandian putri keraton pada masa lampau.


Kemudian kami berjalan ke gapura yang berada di barat kolam. Di setiap lorong gapura pasti terdapat penjaga dari pihak Taman Sari sendiri yang memakai seragam putih-hitam pada saat itu. Kami menaiki tangga demi tangga di lorong barat kolam pemandian. Kami kemudian mengamati struktur bangunan Taman Sari yang menurut kami sangat unik dan sulit ditemukan di tempat lain. Kemudian, ada salah satu guide yang menghampiri kami dan menawarkan jasa antar untuk menjelaskan sejarah serta fungsi-fungsi bangunan Taman Sari, beliau bernama Pak Agus. Kami pun tertarik dengan tawarannya sehingga memutuskan untuk menggali informasi lewat tour guide yang ada di Taman Sari tersebut.


Ternyata, Pak Agus merupakan putra dari salah satu abdi dalem yang pernah ada di Keraton. Beliau kemudian membawa kami menuju gedung-gedung yang ada di Taman Sari. Gedung yang kami lewati ada gedung Carik, yang dahulu digunakan untuk pos penjagaan yang mana gedung tersebut ditinggali oleh abdi dalem yang menjaga serta menulis daftar tamu-tamu yang mengunjungi sultan. Kemudian Pak Agus juga mengajak kami untuk melihat dapur yang digunakan untuk memasak para abdi dalem yang kemudian akan dihidangkan untuk sultan. Desain bangunan Taman Sari menurut kami sangat familiar dan memiliki kemiripan dengan arsitektur Eropa. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan dari Pak Agus yang mana desain Taman Sari dirancang oleh salah satu arsitek dari Portugis. Dilihat dari komponen atau bahan yang digunakannya pun sudah termasuk modern di era abad 16. Pak Agus menjelaskan bahwa memang desain bangunan yang ada di Taman Sari merupakan akulturasi dari beberapa motif khas budaya tertentu, seperti Tionghoa, Arab, Hindu, dan Jawa.


Hal menarik yang kami sadari dan ketahui—sebenarnya cukup lama—adalah padatnya rumah-rumah warga di area Taman Sari. Jalan yang kami lewati dari bangunan satu ke bangunan lainnya terbilang sempit dan dikelilingi oleh rumah-rumah warga. Rasanya seperti wisata perkampungan karena kami benar-benar menyusuri kampung—dan mungkin bisa tersesat bila sendiri. Ketika kami bertanya ke Pak Agus, beliau menjawab bahwa dahulu, pada saat Sultan membuka Taman Sari sebagai tempat wisata, Sultan mempersilahkan kepada para abdi dalemnya untuk menggunakan kompleks Taman Sari sebagai tempat tinggal mereka. Sultan juga menolak penggusuran rumah-rumah rakyatnya yang berada di sana ketika Taman Sari akan dijadikan sebagai cagar budaya. Rumah-rumah inilah yang ternyata menggagalkan Taman Sari mendapatkan pengakuan dari UNESCO untuk menjadi cagar budaya.


Pemukiman Kompleks Taman Sari dan Hak Milik dari Sultan

Kepedulian Sultan pada rakyatnya tentu bisa dilihat dan dirasakan melalui banyak hal, baik itu kebijakan, program, atau lainnya. Salah satunya adalah dengan memberikan rakyat tanah untuk bertempat tinggal. Lahan Taman Sari yang masih cukup kosong menyebabkan sultan—dan pihak Kraton—memperbolehkan rakyat untuk mengajukan permohonan tinggal dengan sistem ngindung, yaitu dengan membayar sewa tanah. Selain itu, hal ini sebagai balas jasa Sultan atas pengabdian para abdi dalem kepadanya dan Kraton Yogyakarta, maka apabila abdi dalem atau pewarisnya mengajukan permohonan pemilikan tanah, akan dilakukan peralihan dari status magersari menjadi hak milik (Subhekti, 2005). Sesuai dengan statusnya yang baru yaitu sebagai hak milik, maka tanah tersebut dapat diperjualbelikan pada masyarakat luar. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu, permukiman di area Taman Sari—dan sekitarnya—tumbuh semakin padat dan tidak teratur.


Berdasarkan statusnya secara keseluruhan hunian di kawasan Taman Sari berjumlah ± 362 rumah (BAPPEDA Kota Yogyakarta, 2004) yang tersebar di tiga wilayah RW. Sedangkan ditinjau dari letak hunian terhadap situs yang masih ada diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) Kelompok hunian yang menempel pada dinding situs, menempel pada tembok pagar situs, dan berada di atas situs Pulo Kenanga, sebanyak 56 hunian. 2) Kelompok hunian yang berada pada jarak 1-3 meter dari situs, sebanyak 30 hunian. 3) Kelompok hunian yang berada pada jarak kurang dari 3 meter, sebanyak 276 rumah (Subhekti, 2005:73).


Perkembangan Perkampungan di TamanSari.

Berkaitan dengan keberadaan pemukiman ini, kami juga sempat bertemu dan mengobrol dengan Ibu Supadilah. Ibu Supadilah (bukan nama asli)—berusia 76—tahun menceritakan kepada kami tentang permukiman penduduk di Taman Sari. Ia sudah dibesarkan di rumahnya itu—yang ditinggali sekarang—sejak usianya 8 bulan. Simbah dari Bu Supadilah adalah abdi dalem dan terus menurun ke ayahnya, suaminya, kemudian ke anaknya yang paling kecil. Ia menceritakan bahwa dahulunya tempat ini hanya boleh ditempati oleh abdi dalem kraton. Hal itu merupakan bentuk pembalasan budi dari sultan untuk abdi dalem yang telah mengabdi. Di sisi lain, bagi para abdi dalem, sultan bukan hanya memiliki makna pemimpin Kraton tetapi juga pemimpin dalam hal spiritualitas. Maka dari itu, mengabdikan diri pada sultan adalah bentuk dari pemenuhan kebutuhan spiritualitas.


Papan Cagar Budaya TamanSari oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Hal menarik yang kami temukan adalah—tidak jauh dari rumah Bu Supadilah—terdapat papan pemberitahuan atas status kawasan Tamansari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tamansari diakui sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh UU NO. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Pak Agus bahwa telah ada permintaan untuk membangun kembali kawasan Taman Sari agar menjadi bangunan utuh dan megah seperti semula—atau paling tidak menyerupai. Namun, sampai hari ini belum terlaksana karena terkendala perizinan Sultan Hamengku Buwono X.


“Tahta untuk Rakyat”: Penguatan Kedudukan dan Politik Kekuasaan


Perkampungan Padat Penduduk di TamanSari

Sekilas, dapat dilihat padatnya rumah-rumah yang berada di kawasan sekitar Taman Sari. Rumah-rumah warga tersebut juga sangat berdempetan. Selain itu, warga juga memanfaatkan lahan untuk berjualan, atau juga rumahnya untuk menjajakan barang-barang khas Jogja. Dalam perihal membantu menyejahterakan rakyat, mungkin keputusan sultan untuk memberi lahan Taman Sari sangatlah berguna, bermanfaat, dan membantu. Tentunya, dalam segala hal selalu memiliki dua sisi atau lebih. Begitu juga dengan keputusan sultan, ada dualisme dampak yang terjadi hingga saat ini. Dari sisi rakyat, tentu lahan ini memberikan banyak keuntungan, mengingat ramainya Taman Sari sebagai destinasi wisata. Namun, dari posisi Taman Sari sebagai situs budaya, tentu hal ini dapat memberi dampak buruk. Misalnya saja perusakan/kerusakan bagian Taman Sari.


Sampai pada bagian ini, kami melihat bahwa ternyata bukan hanya dua sisi tersebut yang dapat ditelisik dalam konteks Taman Sari dan permukimannya. Akan tetapi, masih ada sisi ‘sultan dan pihak keraton’. Kembali pada sejarah, secara historis, lahan tersebut diberikan pada rakyat oleh sultan. Hal tersebut dapat dipandang sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian pada rakyat—seperti yang dikatakan Pak Agus—tetapi juga dapat dipandang sebagai bentuk politik untuk kedudukan. Dalam konteks ini, kami sangat berharap bahwa bahasan ini tidak dilihat apalagi dicurigai sebagai dugaan permainan politik Sultan (yang jahat atau kotor), Namun, tulisan kami ini lebih mengarah pada strategi politik sultan yang pro rakyat melalui hak kepemilikan tanah. Kami melihat bahwa hal ini menjadi cara apik—bila melalui rakyat—untuk menguatkan kedudukan, posisi, dan citra sultan di mata rakyatnya. Bisa jadi, menjadi cara legitimasi secara tidak langsung atau secara lembut.


Secara sederhana, politik dapat diartikan sebagai ilmu untuk meraih kekuasaan—baik secara konstitusional maupun nonkonstitusional—dan juga dapat dikaitkan dengan “kegiatan” mendapatkan/mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Berangkat dari hal inilah, kami memandang permukiman di Taman Sari sebagai cara untuk menguatkan—bisa juga melegitimasi—kedudukan sultan selain dari bentuk kecintaannya pada rakyat.


Akhirnya, kami mengkonklusikan bahwa posisi Taman Sari sebagai situs budaya maupun keberadaan pemukiman di lahan Taman Sari merupakan bagian dari politik kebudayaan sekaligus kekuasaan sultan—maupun piihak Kraton. Niatan dan kebijakan untuk merekonstruksi Taman Sari akan berakibat pada perpindahan dari pemukiman rakyat. Maka dari itu, hingga saat ini sultan memilih untuk mempertahankan pemukiman meskipun dapat membahayakan keutuhan Taman Sari. Di sisi lain, hal tersebut dilakukan sultan sebagai bentuk kecintaan dan balas budi atas pengabdian abdi dalem. Meskipun demikian, kami memandang hal ini sebagai cara atau strategi politik yang dapat menguatkan dan melegitimasi terus kedudukan sultan.


Daftar Pustaka

1. Sulitstyo, Indro, Eny Krisnawati, dan Danarti Karsono.(2015). Pengaruh Perkembangan Permukiman Terhadap Upaya Pelestarian Cagar Budaya TamanSari. Jurnal Permukiman 10(1).

2. Irawan, Anang, Jeni Theresia, dan Dwi Ratna ma’sum.(tanpa tahun).Open (Publik) Space Taman Sari. Makalah Pro Seminar oleh Magister Desain Kawasan Binaan 29, Prodi Arsitektur, Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

3. Subhekti, Yoki Imam.(2005). Perkembangan Tamansari sebagai Kawasan Konservasi dan Pariwisata Kota Yogyakarta. Tesis. Program Studi Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro.

81 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page