Galang Dwi Putra, Harits Naufal Arrazie, Matthew Alexander
Malam 30 September 1965, sekelompok tentara dibawah pimpinan Kolonel Untung melancarkan operasi untuk menculik tujuh pemimpin Angkatan Darat. Keesokan harinya, 1 Oktober 1965, Soeharto membuat pernyataan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan D.N. Aidit, berada di belakang operasi Untung.[1] Dalam waktu singkat, dimulai sejak 2 Oktober 1965, Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jendral Soeharto melancarkan kampanye kekerasan terhadap PKI. Siapapun yang terindikasi memiliki hubungan dengan PKI hilang, ditahan, hingga dibunuh.[2] Mereka yang tertangkap namun tidak dibunuh harus rela melanjutkan hidup di balik terali besi, melakukan kerja paksa, dan diskriminasi untuk waktu yang cukup lama, bahkan hingga saat ini.
Dengan senyum sempul yang selalu terpampang di wajahnya, Sri Muhayati (78) bercerita tentang pengalamannya mengenai peristiwa ’65. Bercita-cita sebagai dokter, Bu Muhayati memilih Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada sebagai tempat melanjutkan pendidikan. Bu Muhayati masuk menjadi mahasiswa pada tahun 1961. Perkuliahannya tidak hanya diisi dengan kesibukan akademik, melainkan pula dengan aktivitas non-akademik seperti menjabat bendahara Komisariat Dewan Mahasiswa (KODEMA) Fakultas Kedokteran dan juga terlibat dalam organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Alasan Bu Muhayati memilih bergabung dengan CGMI sangatlah sederhana: organisasi itu menolak perploncoan. Sebab, “perploncoan itu mirip dengan tindakan kolonial,” katanya. Tak ada persoalan atau pertimbangan ideologis yang melatari Bu Muhayati untuk bergabung dengan CGMI.
Bu Muhayati terlihat mengingat-ingat peristiwa 54 tahun lalu itu ketika kami lanjut bertanya. Sebagai organisasi yang merupakan onderbouw PKI, CGMI tak lepas dari praktik turba (turun ke bawah) yang menjadi ciri khas organ-organ kiri pada saat itu. Selama di CGMI, Bu Muhayati telah melakukan turba sebanyak dua kali. Dan setiap anggota baru di CGMI akan disambut dengan melakukan turba. Turba telah menjadi semacam ajang perkenalan bagi anggota baru di CGMI. “Bersama-sama kami mengunjungi petani, tinggal bersama mereka, dan ikut merasakan permasalahan mereka,” katanya. Ditambah lagi, Bu Muhayati memandang CGMI lebih sebagai kelompok belajar, khususnya soal kedokteran. “Jadi, saat di CGMI dulu, tak ada kami membahas Marxisme. Justru saya baru mulai caritahu apa itu Marxisme ketika ideologi itu dilarang.”
Bu Muhayati adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Muhadi, adalah anggota PKI yang dulunya tentara kemerdekaan. Ketika PKI mendapatkan posisi empat pada pemilu 1955, Muhadi menjadi anggota Dewan sebagai wakil PKI. Jadi, sejak kecil, Bu Muhayati sudah akrab dengan ide-ide kiri. Namun, Bu Muhayati sendiri menampik kalau ayahnya mengajarkan Marxisme/Komunisme kepadanya. Yang dia ingat dan itu pasti, sejak kecil, Bu Muhayati diajarkan untuk selalu peduli kepada sesama, tak boleh merasa ‘lebih’ dari orang-orang lain. “Apakah yang diajarkan ke saya itu jelek? Apa itu semua doktrin komunis?” katanya. Apabila komunisme selalu erat dengan tindakan-tindakan keji, Bu Muhayati justru mempertanyakan kembali doktrin itu: yang keji itu orang-orangnya (penganut) atau ideologinya?
Ketika peristiwa G30S/PKI terjadi, kehidupan Bu Muhayati berputar 180 derajat. Lepas beberapa hari setelah peristiwa itu, rumah Bu Muhayati yang saat itu berlokasi di jalan Kusumanegara didatangi tentara. Kira-kira sore hari, seingatnya, tentara-tentara itu datang menggeledah rumah untuk mencari senjata. Namun sayangnya, tak ditemukan sebijipun senjata di rumah, karena memang mereka tak memiliki apalagi menyimpan senjata. Tentara-tentara itu lantas membawa Muhadi. Menurut Bu Muhayati, ayahnya ditangkap, dibui, lalu kemudian dibunuh bersama 21 tahanan lain di Wonosobo.
Di kampus, civitas akademika yang terindikasi memiliki hubungan dengan PKI juga mengalami hal serupa. Bu Muhayati dipecat sebagai mahasiswa dan jabatannya sebagai bendahara KODEMA Fakultas Kedokteran dicopot. Bu Muhayati mengetahui pengumuman pemecatan dirinya dari rekan satu fakultasnya yang mendapati namanya berada di papan pengumuman.[3] Semakin menjadi jelas bahwa pemecatan dan pemberhentian jabatan Bu Muhayati terdapat di Surat Keputusan (SK) Rektor No. 15 tahun 1965. Tak hanya Bu Muhayati sendiri, di surat keputusan itu juga terdapat 12 nama mahasiswa lain dari beragam fakultas. Kontan, selepas surat itu keluar, Bu Muhayati drop out dan tak dapat melanjutkan kuliah.
Tak hanya itu, Bu Muhayati bersama ibunya kemudian juga dipenjara selama lima tahun tanpa proses pengadilan. Kejadian ini persis terjadi sehari setelah ayahnya diciduk tentara. Apabila Muhadi diciduk oleh tentara, Bu Muhayati bersama ibunya diciduk oleh polisi. “Saya langsung dijebloskan ke sel tahanan, ukuran 2x3 meter. Di sana sudah ada lima orang. Tanpa kasur, tikar saja tak ada,” katanya.[4] Selama lima tahun itu, Muhayati bersama ibunya berkali-kali pindah-pindah penjara. Dan sampai sekarang, Bu Muhayati tak mengetahui alasan mengapa ia dipenjara.
Dan setelah keluar dari penjara pun Bu Muhayati tak menjalani kehidupan normal. Ia seolah-olah hidup bagai kuman di tengah masyarakat. Di KTP-nya tertulis tulisan ET (Eks Tapol) yang menandakan bahwa ia adalah bagian dari organisasi terlarang bernama PKI. Muhayati bercerita, pada masa-masa ini, ia banyak mendapat perundungan dari masyarakat sekitar. Pemerintah Orde Baru menggulirkan istilah “bersih diri” dan “bersih lingkungan” untuk menyaring calon PNS dan TNI/POLRI, juga untuk membersihkan aparatur negara yang kemungkinan sanak saudaranya terlibat PKI dan organisasi pendukungnya.[5]
Bingung
Narasi sejarah yang dibentuk oleh negara, dengan mempersetankan mereka yang dianggap sebagai komunis secara tidak langsung ikut memberikan perasaan takut bagi mereka yang secara gamblang dituduh menjadi bagian dari lingkaran ideologi itu. Leo Mulyono (74) bercerita kepada kami dengan semangat mengenai pengalamannya di kota Yogyakarta pada tahun 1965. Pak Leo memulai ceritanya ketika Ia berusia 20 tahun. Sebagai mahasiswa baru jurusan ilustrasi grafik Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, sekarang bernama Institut Seni Indonesia), Pak Leo begitu kagum dengan salah satu organisasi di universitas itu, yakni CGMI.
Kekagumannya muncul lantaran pendekatan yang dilakukan CGMI terhadap calon anggota barunya saat masa orientasi mahasiswa dirasa sangat bersahabat. Para senior saat itu sangat terbuka membantu mahasiswa baru yang sedang mengalami kesulitan, seperti membantu mencarikan indekos bagi mereka yang datang dari luar Yogyakarta, memberi sedikit ongkos untuk menambal uang bulanan ketika kiriman dari orang tua sedang ‘seret’, serta kesulitan-kesulitan lainnya. Selain keterbukaan senior kepada junior, nilai-nilai yang diilhami CGMI ikut membuat Pak Leo semakin tertarik dengan CGMI, sebab salah satu nilai yang ada serupa dengan apa yang diperjuangkan oleh idolanya, Bung Karno. Nilai-nilai itu antara lain, 1) menjadi mahasiswa yang unggul dalam bidang akademik (studi); 2) aktif berorganisasi; 3) serta memiliki semangat revolusioner. “Sebagai mahasiswa, anggota CGMI harus hebat saat studi, mantap di organisasi, dan aktif terlibat revolusi. Trilogi inilah yang saya pegang ketika menjadi mahasiswa,” kisahnya. Ditambah lagi –serupa dengan Bu Muhayati– CGMI yang anti perploncoan semakin sesuai dengan apa yang Pak Leo yakini.
Tidak sampai disitu, Pak Leo juga dikenalkan dengan sanggar Bumi Tarung, sebuah sanggar seni rupa yang banyak dihuni anggota-anggota CGMI. Bagi Pak Leo, selain menjadi wadah untuk berkarya, Bumi Tarung dapat pula menjadi ruang terbuka bagi anggota CGMI untuk saling membantu maupun berdiskusi bersama mengenai situasi politik negara saat itu. Hanya saja, keterlibatannya dalam organisasi dan kelompok seni itu tak dibekali dengan banyak informasi, bahwa keduanya (CGMI dan Bumi Tarung) terikat langsung dengan PKI, termasuk sanggar Bumi Tarung yang menjadi basis seniman-seniman Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) di Yogyakarta. Hal itu tergambar secara tidak langsung lewat ingatan Pak Leo pada bulan Agustus sampai September 1965, waktu dimana Ia diminta berangkat ke Jakarta untuk menggarap poster dan beberapa karya lain bersama dengan seniman lainnya di sana. Terhitung pada tanggal 17 Agustus 1965 sampai 29 September 1965, Pak Leo mengisi setiap waktunya menggarap poster-poster untuk memperingati kemerdekaan Indonesia, acara Games of the New Emerging Forces (GANEFO), serta aksi demo KaBir (Kapitalis Birokrat) –yang juga dilengkapi dengan pembuatan patung dari kawat dan kertas– dan demo Hari Tani yang berlangsung di Istora Senayan.
Singkat cerita, setelah menyelesaikan tugasnya di Jakarta, Pak Leo kemudian kembali ke Yogyakarta pada tanggal 30 September 1965. Setibanya di Yogyakarta dan beristirahat sejenak di sanggar Bumi Tarung, berita pembunuhan Dewan Jenderal di Jakarta seketika tersebar lewat radio. Perasaan bingung seketika menyelimuti Pak Leo bersama teman-teman, sebab situasi di Jakarta dirasa aman-aman saja, mulai dari kedatangan mereka ke Jakarta sampai sekembalinya di Yogyakarta.
Keesokan paginya, Pak Leo diminta untuk mengikuti unjuk rasa dengan membawa isu yang sama seperti saat di Jakarta, yaitu KaBir dan OKB (Orang Kaya Baru). Demo itu diikuti oleh organisasi kemahasiswaan lainnya, salah satunya GMNI. Hanya saja, di tengah aksi demo yang berlangsung, seruan ‘ganyang Dewan Jenderal dan OKB, Dukung Dewan Revolusi’ tiba-tiba muncul, yang lantas menjadi seruan bersama. Pak Leo hanya mengikuti tanpa tahu-menahu konteks di balik seruan itu. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Pak Leo tidak tahu mengenai hubungan organisasi dan aktivitas yang digelutinya ternyata berkaitan langsung dengan PKI. Kebingungannya lantas buyar ketika Ia mengetahui –lewat berita dari Jakarta– bahwa Dewan Revolusi telah membunuh tujuh Dewan Jenderal. Berita itu kemudian meluas sampai pada dugaan ada kerja sama dengan PKI untuk membunuh Dewan Jenderal. Pada titik inilah PKI seketika dipersetankan oleh negara hingga hari ini.
Setelah mengikuti demo, Pak Leo kembali terlibat dalam unjuk rasa antara massa anti-komunis dengan kelompok pro-komunis yang baru berlangsung pada tanggal 20 Oktober 1965. Unjuk rasa itu berlangsung di depan gedung CHTH, tempat yang dulunya adalah Universitas Res Publica (sekarang Museum Sonobudoyo). Sebelum unjuk rasa berlangsung, massa anti-komunis berkumpul terlebih dulu untuk melakukan apel akbar di alun-alun utara. Pak Leo, dengan membawa sketch bersama teman-temannya ikut mengamati apel itu dari jauh. Lagi-lagi, kehadirannya di sana diselubungi ketidaktahuan. Pak Leo hanya ingin menggambar suasana apel itu. “Sampai akhirnya saya tertegun ketika mendegar riuh massa yang berteriak ‘Ayo sekarang kita keliling Jogja, sweeping untuk pembubaran PKI. Gantung Aidit. Bubarkan PKI. Banjir darah!’ Jelas saya langsung panik.”
Pak Leo akhirnya kembali bersama teman-temannya untuk menjaga gedung CHTH yang akan dilewati massa anti-komunis. Unjuk rasa kemudian meletus setelah massa anti-komunis merusak beberapa atribut gedung CHTH. Sontak keduanya terlibat dalam aksi saling lempar batu bata. Senjata berupa pedang, tombak, keris, dan linggis yang ada di tangan para massa anti-komunis seketika hanya menjadi alat penakut saja. Sampai akhirnya unjuk rasa dapat ditengahi ketika aparat kepolisian hadir. Anehnya, justru mahasiswa CGMI lah yang akhirnya dibawa, atau lebih tepatnya ditahan di beberapa lokasi dengan dalih mengamankan mereka dari situasi Yogyakarta yang saat itu sedang “geger” oleh massa anti-komunis. Namun, bukan rasa aman yang mereka dapat, melainkan siksaan dari aparat keamanan, termasuk militer yang ikut andil dalam mencari mereka yang menjadi bagian dari PKI, khususnya Pemuda Rakyat. Beberapa lokasi seperti Polsek Ngupasan, Benteng Vredeburg, Gedung Jefferson, dan Stasiun Lempuyangan menjadi saksi bisu bagaimana mahasiswa ditahan, disiksa, sampai akhirnya dibawa –atau dibuang– ke Pulau Nusakambangan dan Pulau Buru. Nasib Pak Leo tak jauh berbeda dengan Bu Muhayati. Ia harus rela mendapati kenyataan bahwa di tanda pengenalnya tertera tulisan Eks Tapol, sebuah tanda yang menyebabkan dirinya hidup di tengah rundungan dan diskriminasi.
Mari Mengaku
Kisah Bu Muhayati dan Pak Leo adalah bukti bahwa dampak peristiwa ‘65 tak hanya berkutat pada persoalan ideologi ataupun politik. Pendidikan juga terkena imbas dari peristiwa itu. UGM dan ASRI saat itu menjadi salah satu dari sekian banyak universitas yang terkena dampak cukup besar. Khusus UGM, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) No. 01/dar 1965 oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), semua organ yang diduga berhubungan dengan PKI dilarang untuk beroperasi dan anggotanya diadili. Lembaga yang dilarang mencakup organ mahasiswa seperti CGMI dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PERHIMI). Anggota CGMI dan PERHIMI yang menjabat posisi-posisi penting di Dewan Mahasiswa (DEMA) dan KODEMA UGM juga mengalami dampak dari peristiwa ’65 berupa proses penyaringan dan pemecatan.[6]
Ketakutan terhadap komunisme ini jelas dibentuk oleh negara –lewat aparat-aparatnya– melalui sebuah bangunan memori atau ingatan akan sejarah. Ingatan ini dibentuk dengan tujuan untuk meyakinkan orang-orang bahwa PKI-lah dalang di balik pembunuhan tujuh jendral Angkatan Darat. Ingatan ini kemudian membentuk ketakutan kolektif akan komunisme di ruang publik yang diperkuat oleh aspek-aspek lainnya, salah satunya produk kebudayaan. Produk-produk kebudayaan seperti ideologi negara, ideologi kebudayaan, diorama, folklor, agama, materi penataran, karya sastra, museum, monumen, buku-buku pegangan siswa, serta film menjadi instrumen yang ampuh untuk membentuk ketakutan kolektif masyarakat akan komunisme.[7]
Ketakutan ini lantas tidak berhenti begitu saja pada tataran afektif (perasaan), melainkan mewujud lewat aksi kekerasan yang ditujukan pada mereka yang hendak melawan wacana negara mengenai sejarah komunisme itu sendiri. Kekerasan yang dinormalisasi negara dan berhasil membuat masyarakat takut itu kemudian disebut sebagai kekerasan budaya. Secara sederhana, kekerasan budaya dapat dilihat sebagai kekerasan yang bekerja dengan mengubah atau mentransformasi terlebih dulu nilai-nilai moral dan ideologis masyarakat lewat produk-produk kebudayaan yang sudah disinggung sebelumnya, agar masyarakat dapat melihat praktik kekerasan sebagai kejadian yang normal dan alamiah.[8] Tidak hanya itu, hegemoni pengetahuan lewat institusi pendidikan juga menjadi media bagi negara untuk menyebarkan narasi resmi mengenai sejarah pembunuhan itu, sekaligus membentuk pola pikir para pelaku pendidikan tentang bagaimana cara melihat PKI beserta ideologi komunismenya.[9] Selama 50 tahun lebih, negara mencangkokkan semua sentimen negatif yang mungkin ada terhadap partai –beserta ideologi dan onderbouw-nya– ini pada setiap kesempatan yang dipunyainya, melalui segenap teknologi yang dimilikinya.[10]
Akibatnya, Pak Leo dan Bu Muhayati yang tak memiliki hubungan langsung dengan PKI mengalami kekerasan berkelanjutan. Saat G30S/PKI terjadi, mereka tak dapat melanjutkan pendidikan dan harus hidup di balik kurungan. Kisah dari mereka berdua adalah fakta pejal bahwa penulisan sejarah adalah ruang yang sangat politis. Sejarah adalah kisah yang ditulis oleh mereka yang menang. Suara dari yang terpinggirkan tak mendapat ruang, bahkan cenderung dihalang-halangi. Hal inilah yang membuat penulisan sejarah Indonesia, khususnya peristiwa G30S/PKI, hanya berisi senarai kisah yang secara terus-menerus menjejalkan kekejaman PKI. Fakta bahwa negara telah melakukan genosida kepada banyak orang tak pernah diungkapkan secara gamblang.[11]
Sudah 21 tahun reformasi bergulir. Sudah 54 tahun pula peristiwa '65 berlalu. Sudah saatnya negara berdamai dengan sejarah. PKI, kenyataanya, sudah dibabat habis. Maka, apa yang dimaksud dengan PKI ketika ia disebut-sebut hari ini? Yang paling mungkin, ia adalah hantu. Tak ada namun ada. Tak hadir namun dihadirkan.[12] Ketakutan atas hantu inilah yang membuat Pak Leo dan Bu Muhayati menjalani hidup dengan stigma. Yang mereka mau sebenarnya sederhana. “Saya hanya ingin diakui kalau saya bukan PKI,” kata Pak Leo. “Negara sudah seharusnya jujur mengakui kalau mereka pernah melakukan pembantaian besar-besaran. Tak ada yang perlu ditutup-tutupi,” ucap Bu Muhayati.
Daftar Pustaka
1. Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2019), hal. 37.
3. Geger Riyanto, Paman Gober Jadi Pahlawan Nasional (Yogyakarta: Basabasi, 2018), hal. 145.
4. Lihat Jess Melvin, The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (New York: Routledge, 2018)
5. op.cit, hal. 148. 6. http://www.balairungpress.com/2018/03/genosida-intelektual-ugm-dalam-bayang-tragedi-65/
7. Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2019), hal. 5.
9. Harian Jogja. 2011. Aku, ayah & ibu dipenjara tanpa pengadilan” 1 Oktober
11. Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2019), hal. 2.
12. Ibid.
Comments