top of page

The Angry Earth: Bencana sebagai Takdir Peradaban

By: Muhammad Dian Saputra Taher & Indah Kustianingsih

ree
Sebagian kondisi setelah tsunami di Palu, 28 September 2018 (Sumber: www.blog.act.id)

Indonesia berduka, Indonesia berkabung, Indonesia sedang sakit. Kiranya begitulah Indonesia saat ini. Dalam beberapa waktu belakangan ini, Indonesia selalu ditimpa musibah bencana. Gempa Lombok, gempa dan tsunami Palu, tsunami Selat Sunda, banjir bandang di Bali, aktifnya vulkanologis Gunung Anak Krakatau, hingga konflik yang berujung baku tembak di Papua. Bencana tidak hanya dilihat sebagai hal yang bersifat merusak, melainkan bagaimana manusia memaknai hal tersebut sebagai suatu respons alam ataupun respons sosial akibat faktor-faktor tertentu yang mungkin saja kemunculannya disebabkan oleh manusia itu sendiri. Banyak sekali yang memaknai gempa, tsunami, banjir bandang tersebut sebagai suatu bencana, namun apakah hal tersebut selalu diklaim sebagai bencana? Apakah fenomena alam tersebut oleh masyarakat dunia disepakati sebagai bencana? Apa saja faktor-faktor yang menjadikan hal tersebut dikatakan sebagai bencana? Adakah interpretasi lain terhadap bencana ataupun fenomena alam tersebut? Dan mungkinkahsemua hal tersebut di sebagian masyarakat disebut sebagai bukan bencana?


Bencana dapat dirasakan oleh siapa saja secara tiba-tiba dan tidak terduga. Tetapi dalam ruang lingkup yang lebih besar, bencana yang terjadi biasanya telah lama diketahui akan kemunculannya dalam periode waktu tertentu. Masyarakat berkembang dalam skala kompleksitas yang rapat, menghasilkan kerentanan baru, dan bersifat tidak terduga. Hal tersebut dapat memperburuk ketidakstabilan dari ekosistem di mana kita hidup. Dalam skala global, seperti interdependensi lintas jarak jauh antar wilayah yang berbeda-beda menyebabkan kerentanan bencana menjadi semakin lebih kompleks dan tidak dapat diprediksi (Adams, 2002). Bencana tumbuh dalam skala efek yang ditentukannya dan menjadi lebih intens untuk mengancam manusia sehingga perlu upaya pengembangan inovasi terbaru sebagai sarana mengatasinya.


Bencana alam dan bencana yang secara langsung berasal dari tindakan manusia, baik yang berevolusi maupun tiba-tiba, dapat melacak garis patahan struktural masyarakat yang mereka pengaruhi. Akibat yang ditimbulkan dari bencana secara tidak proporsional berdampak pada mereka yang memiliki akses terbatas pada sumber daya sosial dan material (Fjord dan Manderson, 2009). Meningkatnya frekuensi dan tingkat keparahan bencana di berbagai negara menempatkan adanya perdebatan tentang hubungan manusia-lingkungan dan isu-isu sustainability. Bencana terjadi pada antar wajah masyarakat, teknologi, dan lingkungan yang pada dasarnya merupakan hasil interaksi dari unsur-unsur keberlangsungan kehidupan. Dengan jelas bahwa bencana menandakan kegagalan masyarakat untuk berhasil beradaptasi dengan lingkungan tertentu dari alam dan sosial yang dibangun secara berkelanjutan (Oliver-Smith, 1996).


Pada dasarnya, peningkatan jumlah dan tingkat keparahan bencana alam maupun sosial merupakan salah satu bukti jelas yang menggambarkan kurangnya ketahanan dan keberlanjutan adaptasi lingkungan manusia saat ini. Setiap proses adaptasi lingkungan manusia di masa lalu ataupun sekarang untuk mempertimbangkan interaksi dari proses sosial, teknologi, dan proses alami dari bahaya dan bencana masih jauh dari sempurna (Oliver-Smith, 1996). Walaupun demikian, di era sekarang misalnya pada kekhawatiran terbaru mengenai pemanasan global dalam memproduksi dan mengintensifkan pemecahan masalah tersebut dapat mencerminkan peningkatan pemahaman tentang bahaya bencana sebagai indikator adaptasi masyarakat.

Circle of Catasthrope: Antropologi dalam Ranah Bencana

Antropologi mendefinisikan bencana sebagai proses/peristiwa yang melibatkan kombinasi aspek yang berpotensi merusak lingkungan alam, teknologi, dan populasi dalam kondisi kerentanan lingkungan yang diproduksi secara sosial serta berteknologi (Oliver-Smith, 1996). Kombinasi dari elemen-elemen tersebut menghasilkan kerusakan atau kehilangan unsur utama organisasi sosial dan fasilitas fisik dari sebuah komunitas sampai pada tingkat bahwa fungsi-fungsi penting dari masyarakat terputus ataupun hancur. Hal tersebut menghasilkan stres pada individu, kelompok, dan disorganisasi sosial dengan berbagai macam tingkat keparahan. Dari pemahaman dasar inilah, tiga perspektif umum tentang bahaya dan bencana berkembang dalam antropologi, yaitu (1) pendekatan respons perilaku, (b) pendekatan perubahan sosial, dan (c) pendekatan ekonomi/lingkungan politik. Namun, diskusi tentang ketiga tema secara menyeluruh sebagai entitas yang terpisah pada dasarnya bersifat artifisial karena membahas isu-isu yang terkait secara kasual dan pengembangan konseptual.


Keunikan antropologi pada studi bencana ialah bahwa antropolog berusaha untuk mengeksplorasi bencana secara totalitas, termasuk lingkungan, biologis, dan sosial budaya bersama untuk memahami proses bencana tersebut (Hoffman, 2010). Bencana terletak di antar muka budaya, masyarakat dan lingkungan menawarkan antropologi untuk menjelaskan fenomena tersebut sebagai basis kajian penelitian utama dalam studi kebencanaan (Reddy, 2011). Bencana sebagai bidang kajian mempromosikan tantangan nyata untuk antropologi, seperti Fjord dan Manderson (2009) berpendapat bahwa beberapa topik penelitian memberikan tantangan yang lebih menakutkan daripada studi bencana di bidang ilmu lainnya karena ruang lingkup yang besar meliputi keragaman bahaya alam dan buatan manusia, spektrum geografi sosial dan fisik, faktor etnohistoris, sosial politik, dan ekonomi yang menemukan keadaan khusus dalam proses iklim, geofisika, dan sosial global yang lebih besar.


Dalam memahami bencana, antropologi memperhatikan bagaimana risiko dan pengaruh dari bencana terhadap sistem kehidupan manusia, bukan hanya mewakili peristiwa yang terisolasi, spontan, dan tidak terduga. Ada kekhawatiran utama dengan bagaimana sistem (keyakinan, perilaku, dan lembaga-lembaga karakteristik tertentu dalam masyarakat atau kelompok) pemahaman dasar masyarakat mengenai kerentanan bencana, kesiapsiagaan, mobilisasi, dan pencegahan budaya yang terusak oleh bencana (Henry, 2005). Memahami sistem-sistem budaya, kemudian menjadi pusat pemahaman, baik penyebab yang berkontribusi pada bencana maupun tanggapan kolektif kepada masyarakat. Karena para antropolog sering bekerja di negara berkembang, di mana kerentanan terhadap bencana lebih tinggi, maka mereka diposisikan untuk mengkaji isu-isu seperti risiko, perubahan, manajemen, dan bantuan. Kontribusi antropologi ke siklus bencana ialah dari isu-isu rentan dan risiko yang dipersepsikan ke respons individu sosial dan strategi penanggulangan sebagai upaya bantuan maupun pemulihan pasca bencana.


Studi antropologi tentang bencana dimulai pada tahun 1950-an (Drabek, 1986). Strategi adaptif masyarakat dalam lingkungan yang penuh tekanan dan berbahaya diperhitungkan dalam ideologi struktural-fungsional dan partikularistik untuk menunjukkan bencana sebagai gangguan yang mewakili kehidupan sehari-hari (Torry, 1979; Anderskov, 2010). Studi tentang strategi adaptif menimbulkan pertanyaan tentang adaptasi terhadap bahaya dan bencana yang sejajar dengan keprihatinan yang sama mengenai keberlanjutan jangka panjang dari penggunaan sumber daya bersama dengan tingkat degradasi serta pencemaran lingkungan saat ini (Oliver-Smith, 1999). Studi tentang strategi adaptif mengarahkan jalur baru untuk penelitian antropologis mengenai bencana. Tren baru menunjukkan bahwa setiap bencana melibatkan hilangnya harta benda dan sarana penghidupan, panggilan untuk perubahan dalam mode subsistensi, dan organisasi sosial yang mengatur mereka (Firth dalam Das & Mullick, 2014). Antropologi memandang bahwa bencana sebagai fenomena sosial yang mengganggu dan merupakan makna kebudayaan untuk suatu lingkungan budaya tertentu dalam masyarakat. Antropologi secara khusus melihat bencana sebagai tantangan terhadap struktur dan organisasi masyarakat dan telah berfokus pada perilaku individu maupun kelompok dalam berbagai kondisi dampak yang diakibatkan bencana tersebut.

Bencana: Kacamata Geografi dan Pembangunan Wilayah

Dalam membahas konsep bencana, kami melihat juga dari sudut pandang selain antropologi yang relevan dengan sudi bencana. Menurut Rafif[1], mahasiswa Geografi UGM, bencana adalah fenomena alam maupun non-alam yang dapat terjadi sewaktu-waktu, kapan pun dan di mana pun. Karena semua wilayah pasti mempunyai potensi bencana. Dalam studi geografi, bencana dikaji melalui studi manajemen bencana yang mengkaji bencana alam dan non alam, sedangkan bencana sosial dikaji secara umum. Bencana alam dapat juga disebabkan oleh manusia, namun memiliki perbedaan dengan bencana sosial maupun non-alam. Bencana sosial adalah bencana yang berasal dari hubungan interaksi sesama manusia, misalnya konflik, sedangkan bencana non-alam lebih kepada gagalnya sistem operasi yang diciptakan oleh manusia dan berdampak pada alam, misalnya kegagalan teknologi, pecahnya nuklir, tambang yang ambruk, dan kilang minyak yang bocor.


Secara umum, kajian bencana dalam geografi membahas secara fisik. Karena yang dipelajari ialah mencari penyebab serta pengaruh pada pra, ketika, dan pasca bencana terjadi. Pengkajian bencana dilakukan melalui pendekatan spasial dan ekologi (kelingkungan). Dalam melihat bencana, studi geografi akan mengkaji bagaimana dampak bencana terhadap lingkungan biotik maupun abiotik secara kompleks dan menyeluruh. Geografi mengkaji kondisi prabencana dengan melakukan pengukuran tingkat risiko bencana yang menghasilkan misalnya peta rawan bencana. Kajian geografi lebih mengarah kepada ilmu teoritis mengenai konsep dan pengukuran bencana yang menghasilkan banyak data kuantitatif, tetapi ada juga studi deskripsi kualitatif dalam mendukung kajiannya. Secara garis besar, bencana bersifat merugikan dan juga menguntungkan. Pada awal bencana memang berdampak buruk, akan tetapi pada tahap selanjutnya dampak yang timbulkan tadi akan menjadi menguntungkan karena proses tersebut menandakan bumi sedang melakukan resistansi perubahan demi menjaga keseimbangan alam.


Lainnya, Syifa[2] yang merupakan mahasiswa Pembangunan Wilayah UGM, mengatakan bahwa bencana adalah suatu reaksi yang dihasilkan dari keadaan-keadaan yang ada di bumi atas apa yang sudah dilakukan oleh manusia (misalkan pada tanah), jadi ketika tanah mengalami keberatan akibat benda yang ada di permukaannya membuat kondisi tanah tertekan dan berat sebelah hingga mengakibatkan lempeng yang bertumpuk menjadi bergeser. Selain itu, bencana juga sebagai penyeimbang bumi dengan mengeluarkan respons tertentu seperti gempa sebagai salah satu efeknya.


Dalam pembangunan wilayah, ilmu yang dipelajari lebih kepada pembangunan yang bernilai estetika dan tepat guna untuk alam dan juga manusia. Jadi, sangat jelas berhubungan dengan alam juga, yang mana memperhatikan kondisi lingkungan, seperti tanah mana yang bisa dibangun hotel dan tanah mana yang tidak bisa dibangun hotel. Hal tersebut menjadi perhatian para ilmuwan pembangunan wilayah. Bagaimana bisa menciptakan dan membangun wilayah agar lebih tepat guna itu pr-nya.


Syifa juga mengatakan bahwa perkembangan suatu wilayah yang cukup pesat memicu peningkatan kebutuhan lahan. Keterbatasan lahan tidak akan mampu menampung dalam memenuhi kebutuhan dan aktivitas manusia dalam mendukung perkembangan wilayah dalam beberapa tahun lagi dan nilai tambah dari lahan di pusat perkotaan menjadi tinggi, sehingga dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya masyarakat mengarah pada daerah yang seharusnya tidak untuk memenuhi kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Perkembangan wilayah perkotaan ini akan berimbas pada perkembangan pemanfaatan lahan di wilayah perdesaan. Selain itu, pengaruh sosial masyarakat dalam bermukim yang tidak jauh dari lokasi kegiatan untuk pemenuhan ekonomi menjadikan masyarakat bersikukuh untuk bermukim di daerah yang tidak layak huni. Kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu berupa korban jiwa ataupun kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia.


Kondisi masyarakat dalam bentuk tingkat sosial ekonomi akan sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat tersebut, baik dalam bentuk, pemenuhan permukiman maupun aktivitas untuk pemenuhan ekonomi lainnya. Tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat sosial masyarakat dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kapasitas dan kerentanan yang ada pada masyarakat. Tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat sosial masyarakat yang rendah dan tingkat pemahaman masyarakat yang buruk terhadap kondisi lingkungan yang ada akan meningkatkan kerentanan masyarakat setempat dalam menghadapi bahaya bencana alam.

ree
Siaga Madya Bencana (Sumber: Ayo Siaga Madya.pdf)

Bencana & Respons Budaya

Oliver-Smith (1996) mengemukakan bahwa antropolog telah lama menjelajahi konstruksi makna budaya dan pandangan dunia serta cara maupun konteks di mana konstruksi tersebut diberlakukan dan dikonkretkan. Sering kali dalam kondisi yang ekstrem, terutama yang ditandai dengan kehilangan dan perubahan, bahwa manusia menemukan diri mereka yang dihadapkan dengan pertanyaan eksistensial yang sulit. Tanggapan masyarakat yang terkena bencana selalu melibatkan inti moral dan etika dari sistem kepercayaan dan termasuk menggali lebih dalam konsep-konsep keadilan sosial, kosmik, retribusi, kausalitas, hubungan antara sekuler dengan sakral, dan keberadaan sifat pencipta (Bode & Maida dkk dalam Oliver-Smith, 1996). Relokasi masyarakat yang dilanda bencana adalah strategi umum yang dikejar oleh para perencana dalam upaya rekonstruksi.


Berduka dan berkabung merupakan tema utama lainnya dalam pembahasan antropologi budaya tentang bencana. Selain kerugian perorangan, bencana yang parah sering menghancurkan seluruh komunitas yang terkadang menimbulkan kesedihan karena tempat, konteks sosial, dan struktur budaya yang signifikan. Ketika aspek tersebut dihancurkan, maka harus berduka karena cara-cara yang diakibatkan mirip dengan dukacita untuk orang yang dicintai (Wallace, 1957). Orang yang selamat dari bencana dapat menempatkan diri pada kesetiaan terhadap tradisi budaya serta pada untuk menjadi saksi penderitaan dan tragedi yang dialami. Dukungan budaya dan rintangan untuk kesedihan yang dirasakan perlu dieksplorasi dalam berbagai konteks bencana dan krisis kehidupan.


Antropologi bencana telah difokuskan pada perubahan yang terjadi di dalam lembaga kebudayaan seperti agama, ritual, organisasi ekonomi, dan politik, khususnya yang menyangkut derajat relatif dari kerja sama lokal atau konflik. Kemampuan institusi lokal untuk mengurangi dampak bencana dan kemampuan diferensial tanggapan seperti etnis, jenis kelamin, usia, dan status sosial ekonomi (Das, 1997). Adapun contoh penerapan kajian antropologi dalam studi bencana seperti yang dilakukan Asti (2012) mengenai bencana alam dan budaya lokal dalam melihat respons masyarakat lokal terhadap banjir tahunan Danau Tempe di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Hasilnya adalah Bentuk-bentuk budaya lokal yang dilakukan masyarakat dalam pengelolaan Danau Tempe di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan adalah berupa Hak Ongko dan Maccerak Tappareng. Hak Ongko adalah sebuah hukum adat yang lahir untuk pengelolaan Danau Tempe yang lebih adil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Hak ongko meliputi hak ongko cappeang, palawang, bungka toddo’, salo ‘salo’, dan pakkaja lalla’.


Selain itu, kearifan lokal yang terkait dengan respons masyarakat lokal sebagai bentuk adaptasi lingkungan banjir Danau Tempe adalah Ritual Maccerak Tappareng. Ada keyakinan yang kuat bahwa Danau Tempe di jaga oleh makhluk utusan Tuhan akan memberikan kehidupan untuk kesejahteraan masyarakat Danau Tempe. Begitu pun sebaliknya akan memberikan musibah yang luar biasa jika kurang melakukan komunikasi dengan “Penjaga Danau”. Salah satu bentuk komunikasi yang masih kuat dipertahankan oleh masyarakat lokal Danau Tempe yang dipimpin langsung oleh Macoa Tappareng sebagai kepala suku dan sekaligus orang yang dianggap paling bijak memimpin komunitas adalah melalui persembahan Ulu Tedong. Juga, Konstruksi rumah tempat tinggal juga merupakan model adaptasi masyarakat lokal Danau Tempe dalam menghadapi banjir tahunan. Rumah tempat tinggal masyarakat lokal mengalami metamorfosis dengan bentuk rumah mengapung dan rumah panggung.

Rehabilitasi & Perubahan Sosial: Tinjauan Pasca Bencana

Kecenderungan melihat bencana sebagai faktor perubahan sosial muncul pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Di era tersebut, bencana telah dirasakan sebagai faktor katalis untuk perubahan sosial (Anderskov, 2010). Bencana juga dapat menjadi faktor penting dalam perubahan sosial dan budaya. Dalam artian bahwa suatu bencana merusak atau menghancurkan kemampuan suatu masyarakat untuk menyediakan kebutuhannya, namun secara berbeda tiap individu. Penyesuaian atau pengaturan baru mungkin harus dirumuskan agar dapat terus berfungsi. Penelitian bencana pasti membahas masalah atau setidaknya potensi perubahan. Sejumlah kajian antropologis yang baik dalam fase ini dilakukan dengan perhatian mendalam terhadap perubahan sosial jangka panjang sebagai implikasi utama bencana.


Meskipun fokus pada perubahan sosial jangka panjang, tetapi kajian tersebut kurang mendapat perhatian yang signifikan daripada masalah perilaku dan organisasi sosial. Antropologi mencurahkan perhatiannya pada implikasi bencana untuk perubahan sosial jangka panjang, dan ini lebih daripada ilmu sosial lainnya yang seharusnya membuat kajian ini semakin diminati. Di era sekarang, transformasi yang dikenakan pada masyarakat tradisional dan lingkungannya oleh dunia industri telah meningkatkan potensi bencana untuk perubahan di dunia masyarakat tersebut. skala perubahan yang berpotensi mengubah perlu ditangani. Dalam kasus lain, bencana telah menghasilkan tekanan dengan implikasi struktural yang panjang (Oliver-Smith, 1996). Temuan antropologis juga cenderung mengkonfirmasi kesimpulan umum bahwa bencana kemungkinan akan mempercepat perubahan yang terjadi sebelum bencana. Percepatan semacam itu mungkin berimplikasi pada pergeseran dalam hubungan kekuasaan ekonomi politik dalam jangka panjang serta untuk penafsiran ulang baik terhadap struktur maupun proses pembangunan.


Manajemen bencana dan penelitian bencana antropologis di negara berkembang telah menjadi pusat dalam upaya baru-baru ini untuk mengarahkan kembali proses rekonstruksi di negara maju dari penggantian ke tujuan pembangunan yang mengatasi masalah masyarakat prabencana (Laird, 1991). Banyak perubahan sosial dan ekonomi dapat terjadi dalam bencana selama fase rekonstruksi. Ketika bencana melanda, sangat sedikit tempat sekarang harus merekonstruksi diri mereka sendiri. Bencana biasanya menghasilkan bantuan lokal, negara, nasional, atau internasional yang cepat. Konvergensi antara manusia dan barang-barang ini, yang sering asing atau asing bagi penduduk setempat, pada akhirnya dapat menjadi sumber stres dan perubahan yang besar sebagai agen bencana dan penghancuran diri. Dalam kehancuran besar-besaran, proses rekonstruksi dapat berlangsung hampir tanpa batas, sering berevolusi menjadi program pembangunan, dan para ahli serta pekerjaan mereka menjadi perlengkapan permanen dalam lanskap sosial (Oliver-Smith, 1996).


Rekonstruksi bencana penuh dengan ambivalensi. Di satu sisi, orang-orang yang hidupnya telah terganggu perlu membangun kembali suatu bentuk stabilitas dan kesinambungan dengan masa lalu untuk melanjutkan hidup mereka. Untuk beberapa individu dan kelompok, status quo sangat menguntungkan, dan mereka mengandalkan rekonstruksi. Di sisi lain, bencana mungkin telah mengungkapkan area di mana perubahan sangat diperlukan. Akibatnya, rekonstruksi memerlukan pertikaian signifikan atas sarana dan tujuan yang melibatkan kegigihan atau perubahan (Button, 1992). Dengan demikian, potensi perubahan sosial yang melekat dalam proses rekonstruksi terletak pada perubahan organisasi dan budaya dalam kesadaran politik di tingkat komunitas. Namun, potensi pengembangan sosial dan infrastruktur yang kuat yang melekat dalam proses rekonstruksi belum direalisasikan dalam kebanyakan kasus yang dipelajari oleh para antropolog.

Menilai Kembali

Daya tarik untuk upaya lintas disiplin atau multidisiplin dari studi bencana menemukan logikanya bahwa tidak ada satu disiplin ilmu pun yang dapat memberikan semua jawaban, solusi atau apa yang menurut kita relevan untuk dipahami mengenai bencana secara totalitas. Mempertimbangkan kompleksitas bencana dalam menghadapi globalisasi dan industrialisasi yang cepat, integrasi interpretasi disiplin yang berbeda tentang bencana harus diperhitungkan. Bencana di era sekarang yang cepat dan berubah menjadi lebih kompleks dan berat. Sebagai sebuah fenomena sosial, bencana menyerukan sosial yang serius, sistematis, dan teoritis.


Antropologi dapat berkontribusi pada wacana bencana karena multidimensionalitas dan metodologisnya yang sangat sesuai untuk kajian kebencanaan. Singkatnya, antropologi menawarkan bidang studi bencana yang luas, komparatif, kontekstual, dan perspektif lintas-budaya, terutama dari pekerjaan yang luas di negara berkembang. Pendekatan holistiknya membingkai bencana dalam hubungan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan mereka, dari perilaku manusia yang dapat menyebabkan atau memengaruhi tingkat keparahan bencana, adaptasi dan tanggapan yang diinformasikan secara budaya, hingga kerentanan sosial relatif yang meringankan atau memperbesar dampak bencana.


Antropologi bencana bekerja di bawah asumsi bahwa mereka yang menderita di bawah krisis bukanlah bejana kosong yang dikosongkan dari corak budaya mereka; sebaliknya, tokoh-tokoh budaya menjadi pusat dari kerentanan, kesiapan, mobilisasi, dan pencegahan bencana masyarakat. Oleh karena itu, kesiapsiagaan bencana serta bantuan pemulihan dan rekonstruksi dapat menjadi lebih tepat, efisien, dan ekonomis jika pemahaman tentang pengalaman dan perspektif masyarakat dan lembaga lokal diperhitungkan. Ini termasuk memahami budaya sosial dan organisasi yang lebih besar yang dapat mengganggu praktik pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan. Mengingat bias bantuan darurat yang bersifat top-down, antropologi perlu terus mencari cara praktis untuk menggabungkan pengetahuan teknis, wawasan, keterampilan, keinginan, dan kebutuhan lokal ke dalam manajemen situasi bencana, sehingga orang-orang dan lembaga lokal dapat diakui dalam mengidentifikasi masalah dan menawarkan solusi terhadap pengelolaan situasi mereka sendiri, dan bahwa kapasitas lokal dapat diperkuat untuk menahan masa depan yang darurat.


Melalui kepeduliannya terhadap kepekaan masyarakat, antropologi perlu bertanya bagaimana menyusun pertanyaan bencana dengan lebih baik dan perlu mencari informasi dengan cara yang paling bersahabat dan dapat diterima siapa saja dari orang-orang yang berada dalam situasi berat akibat bencana yang menimpanya.

[1] Wawancara dengan Muhammad Rafif, mahasiswa Geografi dan Ilmu Lingkungan UGM, 12 Desember 2018.

[2] Wawancara dengan Syifa Hana Agristya, mahasiswa Pembangunan Wilayah UGM, 10 Desember 2018.

Referensi:

Adams, R.M. 2002. Dealing with Disaster. Science’s Compass. 296: 1404-1405.

Anderskov, C. Disaster and Anthropology.

Asti, A.F. 2012. Bencana Alam dan Budaya Lokal: Respons Masyarakat Lokal terhadap Banjir Tahunan Danau Tempe di Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Annual International Conference on Islamic Studies XII. 1429-1445.

Button, G.V. 1992. Social Conflict and Emergent Groups in a Technological Disaster: The Homer Area Community and the Exxon-Valdez Oil Spill. Disertasi. Brandesi University.

Das, V. 1997. Social Suffering. University of Californian Press. Berkeley.

Drabek, T.E. 1986. Human System Responses to Disaster. Spring-Verlag. New York.

Firth, D.M., Das, A. 2014. Disaster and Anthropology: An Overview on the Shifts of Theorizing Disaster in Interdiciplinary Spectrum. Internasional Journal of Physical abd Social Sciences. 4(4): 385-395.

Fjord, L., & Manderson, L. 2009. Anthropological Perspective on Disasters and Disability: An Introduction. Human Organization. 68(1): 64-72.

Henry, D. 2005. Anthropological Contributions to the Study of Disasters. Dalam Disciplines, Disasters, and Emergency Management: The Convergence and Divergence of Concepts, Issues, and Trends from the Research Literature, D.McEntire dan W.Blanchard, (Ed). Federal Emergency Management Agency. Emittsburg, Maryland.

Hoffman, S.M. 2010. Disaster and the Field of Anthropology. Anthropology News. 3-4.

Laird, R. 1991. Rechanneling Relief: Non-traditional Response to Disaster. Annual Meeting Am. Anthropological Association 91st. San Fransisco.

Oliver-Smith, A. 1996. Anthropological Research on Hazards and Disasters. Annual Review of Anthropology. 25: 303-328.

____. 1999. Theorizing Disasters. Dalam The Angry Earth: Disaster in Anthropological Perspective, A. Oliver-Smith dan S. Hoffman (Ed). Routledge. New York.

Reddy, S. 2011. Understanding Disaster from Anthropological Perspectives. Indian Emergency Journal. 6(1): 83-96.

Wallace, A.F.C. 1957. Mazeway Disintegration: The Individual’s Perception of Sociocultural Disorganization. Hum. Organ. 16: 23-27.

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page