top of page

Tiga Babak : Prajurit, Batik, dan Turis

Updated: Jul 3, 2019

Asyifa Nadia Jasmine & Pipin Mukharomah

Gambar tersebut merupakan kumpulan foto-foto yang kami jepret sendiri saat perjalanan di Prawirotaman
Dokumentasi Pribadi


Mengetik kata Prawirotaman di jaringan internet akan muncul banyak judul mengenai Prawirotaman sebagai “kampung turis internasional”, “kampung wisata turis”, dan hal-hal lain dengan kosakata turis. Lalu akan muncul juga tawaran penginapan, tour guide, hotel, serta mini bar yang khas luar negeri. Dari range harga 50-500 ribu dengan pelayanan yang berkualitas serta tempat penginapan yang jauh kebisingan merupakan tawaran menarik. Lucunya, sebagian masyarakat Prawirotaman sudah terbiasa dengan bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) karena banyaknya bule yang silih mengunjungi Prawirotaman. Berdirinya hotel-hotel, penginapan serta bar dan restoran di sekitar wilayah tersebut menanamkan sisi historis panjang dan cerita menarik dari perspektif masyarakat lokal dan beberapa tukang becak yang kami wawancarai. Kampung Prawirotaman kini, bukan hanya menjadi ruang privat tempat tinggal masyarakat akan tetapi sudah terkoneksi ke ruang yang lebih luas (publik).


Menengok Kembali Kisah Prajurit

Prawirotaman. Kampung Prawirotaman merupakan perkampungan tempat tinggal abdi dalem prajurit keraton Prawirotomo (Prajurit Kadipaten). Kampung ini berada di bagian tengah belahan barat wilayah Kelurahan Brontokusuman. Kelurahan tersebut dalam penampang utara-selatan seolah dibagi dua oleh pembatas jalan raya yang sekarang bernama Jalan Sisingamangaraja (Jalan Karangkajen). Ruas jalan yang membelah Kampung Prawirotaman dan menghubungkan antara Jalan Parangtritis dengan Jalan Sisingamangaraja disebut Jalan Prawirotaman. [1]


Adanya kampung Prawirotaman berawal sekitar abad 19 terdapat kawasan hunian di sebuah perkampungan yang dihuni oleh sekelompok prajurit kraton Kasultanan Yogyakarta yang bernama Prawirotomo. Prajurit Prawirotomo ikut berperang membantu Sultan Hamengkubuwono melawan penjajah Belanda. Keterlibatan prajurit Prawirotomo dalam perang melawan penjajah mendapatkan perhatian dari Sultan, dan oleh Sultan diberi hadiah sepetak tanah di bagian selatan kraton kasultanan, yang kemudian tempat itu disebut Prawirotaman.

Kampung Prawirotaman selanjutnya menjadi tempat bermukim trah keturunan prajurit Prawirotomo. Di tempat tersebut kemudian terdapat trah-trah keturunan prajurit Prawirotomo, yang namanya menggunakan Prawiro. Beberapa nama keluarga trah yang cukup dikenal menggunakan nama Prawiro adalah Werdoyoprawiro, Suroprawiro, Mangunprawiro, Mertoprawiro, Pideksoprawiro, Gondoprawiro. Trah ini terkenal dan dikenal dengan baik oleh sebagian besar warga Prawirotaman, karena mereka ini di samping sebagai panutan, keturunan abdi dalem, juga pengusaha batik cap yang telah memberikan label Prawirotaman sebagai kampung batik (Sumintarsih dan Ambar, 2014: 66-67)


Mengenal Julukan “Kampung Batik”

Mula-mula pembuatan batik hanya merupakan industri rumah tangga dan juga merupakan unsur penting dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Dahulu pula, pembuatan batik dilaksanakan oleh putri-putri Kraton sebagai pengisi waktu luang. Ketrampilan membatik yang dimiliki oleh putri bangsawan dan para abdi dalem kemudian melahirkan potensi ekonomi yang mengubah sifat batik dari ekspresi seni menjadi sumber ekonomi masyarakat (Hayati,2006). Perubahan yang terjadi mengakibatkan kebutuhan akan batik menjadi tinggi dan menyebabkan industri rumah tangga berkembang menjadi industri yang dikelola oleh para penguasa dan pedagang batik.


Sekitar tahun 1960-1970an batik Prawirotaman berkembang dan terkenal, sehingga Prawirotaman mendapat sebutan Kampung Batik. Trah-trah Prawiro itulah yang dikenal sebagai juragan-juragan batik. Warga sekitar banyak yang bekerja sebagai buruh pembatik di rumah-rumah juragan batik. Sekitar tahun 1960-an para pengusaha batik juga memproduksi kain tenun dengan alat tenun bukan mesin (ATBM).


Sayangnya kejayaan Prawirotaman sebagai pusat produsen kain batik dan tenun hanya berlangsung sampai sekitar tahun 1970-an, usaha batik dan tenun pelan-pelan mulai meredup. Namun dari sekian pengusaha batik yang jatuh ada satu satunya usaha batik yang sampai sekarang masih eksis yaitu batik Ciptoning. Menurut salah satu narasumber kami yakni Pak Untoro, seorang tukang parkir di ViaVia sekaligus masyarakat lokal:


“Dulu sebelum jadi kampung turis dan banyak hotel-hotel disini adalah kampung usaha batik yang sangat terkenal. Hampir di sepanjang jalan Prawirotaman ini berisi toko-toko batik yang dulunya sebagai penghasilan dan ramai. Hingga kemudian mengalami kebangkrutan dan penurunan pembeli. Lalu mereka ada yang menjual usahanya dan ada yang beralih usaha membuka hotel-hotel/ penginapan. Ada juga usaha batik yang diwariskan namun gagal, kemudian keturunannya lebih memilih menjual kepada orang lain. Wah dulu memang disini pusatnya batik. Sekarang malah menjadi kampung wisata turis. Bagusnya masih menghidupi kami sebagai warga disini ” [2]


Peralihan Kampung Batik menuju Kampung Turis

Usai usaha batik dan tenun tidak bisa lagi diandalkan, juragan batik beralih ke bisnis rumah pondokan. Rumah usaha yang dulunya digunakan untuk usaha batik kemudian disewakan untuk tempat pondokan. Usaha penyewaan rumah pondokan ini juga tidak bisa bertahan lama, beberapa ada yang beralih berjualan telur. Sekitar tahun 1970 ada yang masih menyewakan pondokan dan kebetulan tamu-tamu yang menyewa ada yang dari mancanegara. Usaha pondokan itu ternyata diminati oleh tamu-tamu asing yang datang ke Prawirotaman.


Pergeseran akan batik tersebut sampai pada masyarakat Prawirotaman, industri di sana benar-benar berkembang selayaknya wilayah lain di Yogyakarta. Perubahan yang dialami masyarakat tidak hanya berdampak pada peningkatan ekonomi akan tetapi pada banyak aspek. Label industri batik yang dimiliki Prawirotaman pula, mengakibatkan wilayah tersebut menjadi lebih terekspsos dan para pendatang yang tertarik dengan batik-tentu mulai banyak berdatangan. Kampung tersebut seakan diuntungkan dengan julukan dan dari sisi historisnya yakni sebagai kampung prajurit dan kampung batik.


Bersamaan dengan itu, daerah tujuan wisata yang potensial juga sudah mulai tumbuh dan berkembang di Yogyakarta setelah Bali. Mengetahui adanya peluang yang seperti itu, beberapa kampung di berbagai tempat berupaya berbenah untuk mengembangkan sarana dan prasarana pariwisatanya termasuk kampung Prawirotaman, satu-persatu rumah-rumah yang dulunya digunakan untuk usaha batik berubah menjadi tempat penginapan atau hotel. Seiring dengan perkembangan kepariwisataan, banyak rumah di Prawirotaman yang pada awalnya berarsitektur rumah Jawa yang tradisional berubah bentuk menjadi bangunan modern (Sumintarsih dan Ambar, 2014: 68).


Salah seorang tukang becak yang ada di depan ViaVia mengungkapkan hal yang sama:

“Semenjak dibangun hotel-hotel dan penginapan, turis asing mulai masuk dan berdatangan. Awalnya hotel-hotel milik orang sini, kemudian dijual ke orang lain. yang beli rata-rata luar Prawirotaman. Hotel lama seperti Galunggung, Duta, Rose dan Airlangga sudah turun temurun dan sejak dulu. Setelah muncul hotel, dibangun bar yang biasanya pengunjungnya para turis dan rata-rata justru orang luar Prawirotaman”


Titik Nol (Mula) dari Kampung Prawirotaman

Kampung Prawirotaman memiliki gambaran yang agak berbeda dengan kampung-kampung pada umumnya. Kampung Prawirataman lebih memberikan gambaran sebuah kampung yang dikepung oleh banyak hotel, maupun bangunan fasilitas lainnya yang menunjang keberadaan hotel-hotel yang ada di Prawirotaman. Tidak tampak karakteristik sebuah kampung yang kumuh, pengap, padat dengan rumah-rumah berhimpitan (Sumintarsih dkk, 2014).


Sebelum memulai menyusuri kampung tersebut, kami sama-sama membayangkan an menerka-nerka akan disambut hangat dengan rumah-rumah penduduk dan masyarakatnya pula. Begitu memasuki gapura “Kampung Prawirotaman”, ekspektasi kami berubah. Pipin yang merupakan orang Jogja dan sudah mengetahui dinamika Prawirotaman menertawakan ekspresiku (Asyifa). Sebab, saya (Pipin) memang sudah pernah melakukan perjalanan menyusuri Kampung saat SMA sehingga tidak kaget, dan ketika melihat ekspresi Asyifa yang cukup kaget dengan bangunan-bangunan cukup dapat membuat saya tertawa.


Bar-bar ala Bali berjejer rapi di sepanjang jalan dengan nuansa etnik dan modern. Bahkan kami tidak melihat warga lokal satupun, kami hanya melihat beberapa turis berlalu-lalang dan mengobrol di bar atau tempat makan sepanjang Prawirotaman. Kami memutuskan berjalan kaki untuk menjelajahi ruas jalan Prawirotaman, dan berhenti saat menemui pangkalan utama becak yang berada di depan ViaVia.


Kami mencoba membuka obrolan ringan mengenai dinamika Kampung Prawirotaman dari kampung prajurit ke batik hingga menjadi kampung turis. Kebetulan ada juga tukang parkir ViaVia sekaligus warga lokal Prawirotaman. Pak Untoro adalah saksi bagaimana transformasi dan dinamika kampung Prawirotaman. Meskipun tidak ada konflik atau pengalaman traumatis dari warga sekitar mengenai perubahan pola kampung maupun corak ekonomi yang berubah secara massif. Namun mengenang Prawirotaman sebagai kota batik adalah hal yang membuat Prawirotaman terkesan. Banyaknya juragan batik mengangkat Prawirotaman sebagai kampung batik Yogyakarta yang dikenal turis wisatawan. Perubahan masif di kampung Prawirotaman tidak membuat gejolak ekonomi atau protes yang signifikan, karena perubahan pola ini juga atas persetujuan warga untuk tetap menunjang perekonomian mereka. Pola perubahan yang kami maksud ialah industri batik menuju industri pariwisata.


Kembalinya Prawirotaman

‘Seko Adol Batik Dadi Hotel’, sebuah metapor yang kiranya tepat untuk merepresentasikan perubahan corak produksi masyarakat Prawirotaman dari waktu ke waktu (Riadi, 2018). Dari pandangan warga sekitar yang dirangkum oleh Sumintarsih dan Adrianto (2014:68), ada tiga faktor yang menyebabkan redupnya usaha batik di Prawirotaman, yakni, pertama, subsidi kain putih (mori) dicabut oleh pemerintah, sehingga para pengusaha kesulitan mendapatkan bahan mori; kedua, pergeseran pemakaian kain batik dalam berbagai keperluan (adat dan busana) telah menurunkan permintaan; dan ketiga, serbuan kain dari Cina yang lebih murah di pasaran telah menyurutkan produksi batik di Prawirotaman.


Pak Untoro sebagai warga lokal menyaksikan bagaimana dulu wisatawan datang kemari untuk melihat dan membeli batik. Batik menjadi tumpuan ekonomi warga Prawirotaman. Batik juga yang mengangkat Prawirotaman semakin dikenal. “Sekarang orang kesini bukan untuk melihat dan membeli batik, mereka kesini untuk menginap dan pergi ke bar”. Begitu sekiranya pernyataan pak Untoro.


Perubahan kawasan Prawirotaman dari sentra produksi batik yang sekarang menjadi perkampungan turis, juga diutarakan oleh Pak Bianto yang telah menjalani usaha travelnya sejak tahun 1987, dengan mengatakan bahwa: Usaha batik di sini mas, kalau ditelusuri sejarahnya cuman berlangsung sekitaran tahun 1965 sampai 1978, sedangkan usaha hotel atau penginapan baru mulai bermunculan sejak tahun 1980 sampai sekarang. Kalau dulu, tahun tahun 1990-an banyak turis yang terpaksa tidur di luar sepanjang jalan ini karena hotel masih terbilang sedikit, beda dengan sekarang yang sudah semakin banyak (Pak Bianto, 10 Mei 2019). Akibat yang paling signifikan dari perubahan ini adalah banyak warga Prawirotaman akhirnya menjual tanah-tanah mereka kepada orang luar untuk dibangun hotel/penginapan/bar. Meskipun ada juga warga yang tetap mempertahankan tanahnya, mereka yang mempertahankan tanahnya, biasanya adalah orang-orang yang memiliki modal besar dalam trah Prawirotaman.


Jujur kami kesulitan menemui warga lokal, karena memang menurut penuturan Pak Margoni[3], jumlah masyarakat lokal Prawirotaman memang sudah sedikit. Kami hanya melihat hotel, cafe, bar dan penginapan serta agen travel. Kami belum menemukan ada cerita bahwa ada penjualan tanah yang hingga pada titik protes atau adu lidah, justru menariknya mereka melakukannya secara sukarela atau terkesan lebih seperti mengalah.


Pak Untoro juga mengatakan bahwa masyarakat kampung dan Ketua RT setempat juga menjaga relasi yang baik dengan memberikan aturan bahwa pukul 10 atau 12 malam semua bar dan aktivitas publik di sepanjang Prawirotaman harus sudah tutup. Serta setiap pembangunan atau rekonstruksi hotel diberi aturan dan diwajibkan izin ketua RT setempat. Hanya saja ada keluhan dari beberapa tukang becak bahwa “sekarang wisatawan lebih memilih menggunakan transportasi online daripada becak”. Kami juga belum terlalu jauh mendalami dan mengobrol ke banyak orang di Prawirotaman, tetapi sekiranya data tersebut yang kami dapatkan.


Tidak Hanya Tentang Ruang, tetapi Manusia

Seperti penuturan Pak Untoro tadi bahwa hampir semua jalan di Kampung Prawirotaman memiliki usaha batik akan tetapi sekitar tahun 80 menuju 90-an usaha-usaha batik mulai bangkrut dan banyak yang gulung tikar bahkan ada masyarakat yang meninggalkan kampung ini. Kami juga sempat bertanya pula ke beberapa tukang becak di sana, mereka mengatakan bahwa usaha-usaha batik bangkrut dan masyarakat Prawirotaman mendirikan beberapa penginapan sebab dulu wisatawan sudah masuk. Sehingga melalui pendirian penginapan tersebut pula dapat menunjang ekonomi masyarakat lagi. Namun pada bagian ini, kami belum ingin membahas perkara keruangan (penginapan) berkaitan dengan industri pariwisata yang berkembang. Bagian ini kurang lebih akan mengulas bagaimana kondisi sosial-budaya dan pola perilaku masyarakat setempat.


Semenjak kampung yang mulai terbuka dan pendatang (terkhususnya wisatawan) mulai masuk tentu memberikan sumbangan-sumbangan perubahan yang signifikan bagi wilayah tersebut.. Ada pula, desas-desus yang kami dapat berkaitan dengan banyaknya guest house, penginapan, dan hotel -kampung ini rentan akan adanya “kupu-kupu malam” atau pekerja seks dan narkoba. Akan tetapi, Pak Untoro dan beberapa tukang becak tersebut bercerita belum ada sama sekali kasus-kasus semacam itu. Sebab, mereka saling bekerjasama untuk menjaga kenyamana kampung agar sama-sama menguntungkan. Dan mereka mengatakan itu hanya pemikiran dan gosip-gosip orang sekitar yang tidak tahu seluk-beluk Prawirotaman. Ada sedikit rasa curgia dan penasaran dari kami, mungkin saja karena mereka masyarakat asli sana -mereka berusaha melindungi citra tempat tinggalnya. Akan tetapi, setelah kami crosscheck melalui internet memang belum pernah tersiar kabar bahwa ada pelanggaran norma asusila tersebut.


Hal lain yang berkaitan dengan kondisi dan pola perilaku masyarakat ialah menjadi lebih modern. Masyarakat Prawirotaman dahulu sama sekali tidak bisa berbahasa asing akan tetapi positifnya mereka menjadi mengenal dunia luar, bahasa baru, budaya baru dan bisa bangkit dari bangkrutnya industri batik. Masyarakat menjadi lebih terbuka terhadap arus modernisasi yang ada. Akan tetapi ada pula budaya-budaya baru yang mungkin belum bisa ditolerir oleh masyarakat sehingga cenderung menggeser budaya asli-seperti masyarakat yang cenderung mengalah dengan bar atau cafe tadi. Kata “mengalah” tidak cukup sampai di sana bahkan ada satu penggalan cerita dari obrolan santai kami dengan para tukang becak. Mereka mengatakan rindu akan masa dimana industri batik berkembang dan tahun-tahun dimana guest house masih belum banyak akan tetapi sudah ramai wisatawan.


Tentu, selain becak menjadi transportasi yang laris dan meningkatkan perekonomian mereka -lahan perkampungan pun belum sempit seperti sekarang. Begitu pula, Pak Untoro yang mengatakan bahwa sempat ada penggusuran kampung dan diganti pembangunan hotel akan tetapi lagi-lagi warga mengalah terhadap lahannya sendiri. Konflik sengketa tanah tersebut melibatkan tiga pihak yakni masyarakat, pemerintah daerah dan pemilik usaha. Akan tetapi, Pak Untoro dan para tukang becak di sana sudah lupa-lupa ingat mengenai konflik tersebut.


Dampak yang terasa dari segi sosial-budaya dan perilaku di wilayah Prawirotaman adalah timbulnya sikap individualistis, pragmatis, profit oriented, sikap permisisf dalam perilaku seksual, peniruan dari cara berpakaian, adanya kecenderungan untuk mengagung-agungkan wisman dan terlalu merendahkan diri, dan perilaku konsumtif (Kumolohadi, Priyohadi, Harsiwi : 1994). Melalui kutipan tersebut, memang benar adanya pola perilaku yang sudah berubah akibat pengaruh budaya asing yang kurang bisa di filter oleh masyarakat. Namun, ada pula sisi positif yang didapatkan yakni perubahan ekonomi melalui sektor formal dan informal, terbukanya lapangan kerja pada banyak sektor ( industri, jasa dan perdagangan).


Mengenal Versi Baru Prawirotaman

Berada di tengah lingkungan pemukiman dengan perkembangan industri pariwisata yang begitu massif. Dewasa ini, kampung Prawirotaman dengan segala historisnya (bekas kampung prajurit dan industri batik) seperti diuntungkan di dalam industri pariwisata. Sebuah kampung yang berada di kawasan perkotaan dan biasanya dianggap kelas bawah oleh warga kota, justru merupakan satu dari sekian banyak penyumbang industri wisata. Prawirotaman yang terkenal sebagai pusat kota “turis” ketika berlibur; adanya cafe, guest house, hotel, bar, dan pembangunan yang terus melaju. Sebagai tempat di mana masyarakat tinggal, ruang interaksi, ruang kepentingan yang saling berkontestati-kampung tidak lgi menjadi sebuah ruang yang privat masyarakat kota tinggal akan tetapi sudah menjadi bagian dari ruang publik (global).


Tidak bisa menampik realita bahwa terhubungnya Prawirotaman dengan dunia luar dapat memobilisasi nilai-nilai, pola, ide bentuk, dan manusia terjadi dengan mudah. Industri pariwisata yang meninggalkan sedikit ruang bagi masyarakat aslinya juga menajdi ironi tersendiri-ruang keseharian yang menjadi sempit. Akan tetapi seperti tidak ada perlawanan sama sekali dan memilih pergi dengan meninggalkan memori pada masa jaya nya. Serta Prawirotaman bukan lagi sebagai sebuah komunitas lokal akan tetapi sebagai bagian lebih dari kawasan industri pariwisata.



Referensi

1. Hayati, C. (2006). Gender dan Perubahan Ekonomi: Peranan Perempuan dalam Industri Batik di Yogyakarta 1900-1965. Semarang: Fakultas Sastra UNDIP.

2. Kumolohadi, R., Priyohadi, N. D., & Harsiwi, T. A. M. (1994). STUDI TERHADAP KAMPUNG WISATA PRAWIROTAMAN YOGYAKARTA. Inovative Produktiv, 1(1994).

3. Soemardjan, S., 1974, Pariwisata dan Kebudayaan. Prisma. Tahun III No,4, 56-60.

Sumatra,H. 2017. Diperoleh darihttp://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16752/9.%20Bab%20IV.pdf?sequence=8&isAllowed=y diakses tanggal 29 Mei 2019, pukul 14:10

4. Sumintarsih, dkk. 2014.DINAMIKA KAMPUNG KOTA PRAWIROTAMAN DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN BUDAYA. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB): Yogyakarta.

5. Riadi, S. (2018). Ruang Representasi Kampung Turis. Emik, 1(1), 19-36



[2] Pak Untoro merupakan masyarakat lokal Prawirotaman yang bekerja sebagai tukang parkir ViaVia.

[3] Pak Margoni merupakan masyarakat lokal yang bertempat tinggal di sebelah wilayah Prawirotaman.

83 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page