top of page

Transformasi : Merespon Perubahan dalam Mengunjungi Pameran Seni

Updated: Dec 7, 2018


Dokumentasi Pribadi

Beberapa bulan lalu, telah usai digelar salah satu pameran seni yang dapat terbilang besar di Jogjakarta yakni ArtJog dengan mengusung tema “Enlightenment”. Karya seni visual menjadi bintang utama dalam pameran tersebut. Melalui ArtJog, saya dapat mengamati dan merasakan bagaimana sebuah pameran terasa seperti “ruang kosong tanpa ada karya seni”. Pengunjung menjadi subjek belajar saya untuk memaknai tranformasi tujuan pameran seni. Suasana riuh dan ramai menunjukkan antusiasme pengunjung, terutama dari kalangan generasi milineal.


Belajar dari Pengunjung Pameran Seni


Riuh ramai tepuk tangan pengunjung mulai terdengar saat sebuah instalasi seni visual yang menjadi ‘gong utama’ pembukaan pameran ditampilkan. Setelahnya, tiba waktu dimana saya masuk ke ruang pameran. Awalnya memang saya disuguhkan instalasi seni yang begitu apik dan menggambarkan bagaimana cerita alur dan konsep ArtJog tahun ini.


Akan tetapi alur cerita tiba-tiba menjadi buram dan kurang bisa saya nikmati ketika di sana ada segerombolan anak remaja yang asyik berfoto ria sehingga menghalangi akses saya dan pengunjung lain. Butuh waktu cukup lama hanya untuk menunggu orang ngobrol dan menggungah foto nya di media sosial. Melihat fenomena tersebut, muncul perasaan keprihatinan saat karya seni tidak lagi dipandang sebagai ‘pemeran utama’ dalam ruang tersebut. Oleh karena itu, tidak lagi ada suatu bentuk apresiasi lebih bahkan ketika ArtJog ini digratiskan.


Mengamati pengunjung yang kebanyakan datang dari generasi milenial. Tujuan mereka ke pameran rata-rata hanya untuk ngobrol lalu buka kamera dan upload foto di media sosial, setelah itu berpindah ke instalasi seni yang lain. Seakan tidak ada esensi dan apreasiasi mereka terhadap instalasi seni.


Melihat perubahan tersebut, saya berpandangan bahwa tujuan mengunjungi pameran bukan lagi sebagai suatu sarana berdialog dengan para seniman tetapi sudah mengalami sebuah transformasi. Jika fenomena transformasi ini tidak direspon maka lama-kelamaan mungkin karya seni akan menjadi sebuah pajangan atau background foto saja dan bukan bentuk penyampaian pesan kepada masyarakat atau bentuk ekspresi diri.


Pameran Seni sebagai Sarana Eksistensi


Respon terhadap perubahan fenomena tentang pemaknaan ruang pameran seni ini juga masih muncul karena bentuk keprihatinan. Seni dan kesenian itu seakan antara ‘hidup dan mati’. Mereka akan tetap ada jika ada yang menghidupi, mereka akan tetap esksis jika ada yang mengapresiasi dan tentunya mereka akan mati jika minim apresiasi.


ArtJog memberikan sebuah pandangan bagaimana transformasi ruang pameran yang dulunya ‘ruang apresiasi dan ekspresi’ berubah menjadi sebuah bentuk ruang lain. Melihat aktivitas pengunjung saat itu, saya memandang bahwa pameran seni hanya dijadikan sebuah momen untuk eksis. Hal itu terjadi ketika pengunjung di sebelah saya saat itu malah sibuk berfoto dan sibuk me-snapgram lalu pergi mencari karya seni lain yang mereka anggap dapat dijadikan background instagramable. Dari situ, bisa terlihat bahwa memang sudah ada perubahan dimana pameran seni terlihat sebagai sarana eksistensi.


Seperti yang saya singgung di awal tadi, mereka (pengunjung) keluar dari ruang pameran tanpa membawa pesan dan mungkin pula tanpa mengapresiasi apapun. Ketika, mungkin ditanya orang lain, mereka hanya menunjukkan hasil foto rupa dan tubuh nya, bukan sebuah foto karya seni atau kalimat apresiasi tentang karya seni seniman di ArtJog. Bukan ingin mengeneralisasi, tetapi itulah hal yang saya alami ketika berada disana.  Hal tersebut mungkin juga dipengaruhi arus media sosial yang semakin tinggi, dimana banyak platform yang menyediakan wadah untuk “ajang pamer”.


Memang tidak sepenuhnya salah ingin "pamer" ke media sosial, karena jika dilihat dengan adanya media sosial dapat meningkatkan pula eksistensi pameran serta seniman tersebut. Akan tetapi, yang menjadi persoalan ketika aktivitas pengunjung tersebut secara tidak langsung seperti mengabaikan karya seni sehingga seolah-solah karya seni  menjadi tersingkir dari sorotan utama di panggungnya sendiri. Seakan karya seni tersebut hanya sebagai pelengkap dalam pamerannya sendiri.


Perubahan makna pameran seni ini memang membuat prihatin, dimana dulu pameran menjadi sebuah sarana edukasi namun sekarang hanya sekedar menjadi sarana eksistensi. Mengamati bagaimana aktivitas pengunjung ArtJog yang “narsis” saat itu membuat saya berpikir bahwa sebenarnya seni itu tidak melulu soal materi tetapi juga berupa sebuah pengalaman yang didapat ketika selesai berkunjung ke pameran. Bukan hanya untuk dirasakan seniman nya saja, tetapi pengalaman tersebut juga harus bisa dirasakan pengunjung. Bukan hanya pulang membawa beratus-ratus foto, tetapi juga harus membawa sebuah cerita pengalaman dan pesan dari pameran seni tersebut.


Ajang Eksistensi berakibat Perusakan Karya Seni


Fenomena sosial yang terjadi dalam ruang lingkup seni tidak hanya perihal sebuah “sarana eksistensi” saja. Hal tersebut juga berimbas pada karya seni yang dipamerkan. Rata-rata pengunjung milenial ini bukan mengapresiasi tetapi malah merusak karya seni”. Mengenai hal ini, saya tidak bisa mengambil contoh pameran di ArtJog karena yang saya ketahui selama ini tidak ada perusakan atau pelanggaran yang dilakukan pengunjung di Artjog. Kali ini, saya akan mengambil contoh dari laman berita Jakarta Post salah satunya mengenai “Art ‘damaged’ at interactive exhibit at Museum Macan” yang ditulis oleh Asmara Wreksono.


Saat membaca berita tersebut keprihatinan saya bertambah selain karena pengunjung sudah berani melanggar peraturan di dalam ruang pameran. Akibat dari pelanggaran tersebut juga berimbas pada kerusakan karya seni. Hanya demi sebuah foto yang akan dipamerkan ke media sosial, mereka sampai tega merusak karya seni. Wreksono menuliskan hal tersebut karena berangkat dari sebuah reaksi netizen di media sosial yang melihat foto tentang kerusakan museum.


Kerusakan di Museum Macan

Hal tersebut tentu bukan sebuah bentuk apresiasi lagi. Pameran seni memang  bisa dimaknai sebagai ruang rekreasi, tetapi bukan berarti pameran tersebut menjadi area bermain seperti di wahana-wahana yang mana dapat bebas memperlakukan atau memainkan benda benda disekitar.


Dalam pameran seni tentu sudah ada peraturan yang diberlakukan, di mana salah satunya 'dilarang menyentuh karya seni'. Tidak sengaja ataupun sengaja. seharusnya mereka sudah bisa membaca dan paham. Lagi pula, pasti pihak pengelola pameran selalu memanjang tata tertib dan peraturan masuk pameran. Masa menggunakan smartphone bisa tetapi membaca dan mematuhi peraturan pameran saja tidak bisa.


Pameran Seni tanpa adanya “Karya Seni”


Saat mengunjungi beberapa pameran seni rupa selain ArtJog, kerap kali saya merasa kurang bisa bergerak nyaman di dalam ruang pameran. Melihat ada orang-orang yang sibuk berfoto, jujur saya merasa terganggu dan melihat reaksi pengunjung lain pula mereka terlihat seperti kurang nyaman. Terlepas dari pameran seni tersebut dikenakan biaya atau tidak tetapi hal tersebut membuat kurang nyaman.


Berakar dari permasalahan-permasalahan yang sudah saya paparkan, muncul pemikiran bagaimana jika karya seni yang menjadi objek utama ‘hilang’ dan bagaimana jika di dalam suatu pameran seni tidak ada karya seni nya. Kedua hal tersebut perlahan mungkin mulai saya bisa lihat dari bagaimana minimnya apresiasi terhadap karya seni di sebuah pameran.


Perubahan yang terjadi ketika mengunjungi pameran seni yang hanya menjadi sarana eksistensi tanpa apresiasi, bisa saja berdampak pada keengganan para seniman membuat suatu pameran seni lagi. Pameran seni menurut saya itu seperti ajang belajar untuk orang-orang biasa maupun orang-orang yang sudah paham seni dalam memahami jalan pikir seniman tersebut. Menyelami jalan pikir tersebut dengan cara mencoba memahami karya seni yang dibuat oleh seniman sehingga terjadi sebuah komunikasi yang berujung pada bentuk apresiasi.


Christine Franciska, seorang wartawan BBC Indonesia, pernah menuliskan berita tentang Ruang Tunggu: Ketika Pameran Seni Dibuka Tanpa Karya Seni”. Menurut saya, tulisannya mengenai pameran Ruang Tunggu relevan dengan tulisan ini. Franciska (2016) menuliskan bahwa “ Ide menghadirkan Ruang Tunggu, kata mereka, sudah muncul tiga tahun lalu. Namun dirasa semakin relevan saat ini untuk memperlihatkan fenomena sosial dalam setiap pembukaan pameran: bahwa karya seni tidak dipandang sebagai yang utama tapi hanya pelengkap”.


Ruang Tunggu , adalah sebuah pameran satu malam, oleh enam seniman Jakarta. Pameran ini merayakan fakta bahwa bagi banyak orang datang ke pembukaan sebuah pameran seni bukan untuk melihat karya seni, namun untuk mengalami sebuah peristiwa—yang merupakan bagian dari produksi budaya tersendiri. Pameran dibuat oleh Ardi Gunawan Ari Dina Krestiawan Lala Bohang Muhammad Taufiq (Emte) Reza Mustar (Azer) Vera Lestafa.
Pameran "Ruang Tunggu" (Jakarta, 2 Juni 2016)

Melalui tulisannya tentang pameran “Ruang Tunggu” yang menurut saya merupakan suatu bentuk respon dari para seniman tentang fenomena sosial yang ada. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa karya seni hanya sebagai “pajangan” bukan sebagai yang utama. Ruang apresiasi pameran ini bisa jadi akan semakin berkurang dan mungkin akan lebih banyak ruang “kosong” pameran yang berisi respon atau kritik mengenai fenomena sosial seperti instagram slave, sarana eksistensi, dan sebagainya.


"Apa jadinya jika karya seni dihilangkan dalam sebuah pembukaan pameran?"- ujar salah satu seniman dalam Ruang Tunggu
Pameran "Ruang Tunggu" (Jakarta, 2 Juni 2016)

Melalui satu subjek (pengunjung) tersebut saja, saya dapat belajar dari pengunjung bahwa sekarang ini ada sebuah transformasi dalam mengunjungi sebuah pameran seni. Bukan mengkritik atau mengkoreksi tentang “bagaimana cara orang mengapresiasi seni ” tetapi apakah tindakan tersebut juga dihitung sebagai wujud apresiasi.


Maka dari itu, sebenarnya perlu sebuah respon lebih banyak dari para seniman dalam menanggapi fenomena sosial tadi. Mungkin dengan cara menciptakan ruang apresiasi terhadap karya seni yang berbeda seperti pameran "Ruang Tunggu "tadi. Ruang dimana masyarakat juga bisa merefleksikan diri dan mengambil pesan dari pameran yang digelar. Serta memberi ruang edukasi bahwa pameran seni itu dibuat sebagai bentuk apresiasi bagi seniman dan pengunjungnya pula.


Referensi :

Wreksono, A (2018). Art ‘damaged’at interactive exhibiton at museum macam.

Retrieved September 27, 2018, from

Franciska, C (2016). Ruang Tunggu: Ketika pameran seni dibuka tanpa karya seni.

Retrieved September 27, 2018 from

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page