top of page

Trotoar dan Alih Fungsinya

Updated: Dec 28, 2018

Twina Paramesthi


Berjalan kaki bukanlah kegiatan yang menyenangkan bagi kebanyakan orang. Panas matahari yang menyengat serta kondisi udara yang penuh dengan polusi asap kendaraan serta keadaan trotoar yang penuh dengan pedagang kaki lima membuat orang semakin malas untuk berjalan kaki. Tidak hanya pedagang kaki lima, bahkan di banyak trotoar yang tujuan awal pembuatannya yang diperuntukkan bagi pejalan kaki malah dialihfungsikan menjadi tempat parkir untuk sepeda motor. Ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pejalan kaki memang diketahui oleh banyak masyarakat, ketidaknyamanan tersebut bukan merupakan suatu hal yang mengejutkan seperti kejadian bencana alam, dan juga ketidaknyamanan tersebut hanya dirasakan oleh pejalan kaki, yang mana jumlahnya tidak seberapa bila dibandingkan dengan jumlah pengendara sepeda motor dan pengendara mobil, sehingga ketidaknyamanan tersebut tidak menjadi suatu perbincangan yang viral ataupun menjadi pembahasan di media massa mainstream.


Terdapat suatu komunitas gerakan yang memperjuangkan dan menuntut hak-hak pejalan kaki, mereka menamakan diri sebagai Koalisi Pejalan Kaki. Komunitas gerakan tersebut menuntut hak pejalan kaki dengan cara turun langsung ke trotoar dan juga melalui media sosial.


Ketika melakukan aksi di trotoar mereka tidak segan-segan untuk menegur para pengendara sepeda motor yang menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan yang terjadi di jalan utama. Teguran tersebut pernah sampai menimbulkan aksi pemukulan dari pengendara motor yang ditegur. Aksi mereka juga dilakukan melalui media sosial, melalui Twitter, Instagram, dan juga Facebook Koalisi Pejalan Kaki mengunggah foto-foto serta artikel yang berkaitan tentang hak pejalan kaki. Foto-foto yang diunggah berupa foto pelanggaran hak-hak para pejalan kaki di Indonesia, seperti foto-foto motor dan mobil terparkir di trotoar, serta foto lapak-lapak pedagang yang berada di trotoar. Artikel dan foto yang diunggah dilakukan oleh komunitas gerakan tersebut sebagai upaya dalam mengajak warga Indonesia menghormati hak pengguna trotoar, zebracross, dan jembatan penyeberangan orang.


Pejalan kaki memiliki hak untuk dapat berjalan kaki nyaman dan tanpa rasa takut, hal tersebut telah diatur dan dilindungi dalam peraturan perundang-undangan. “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda” merupakan bunyi dari Pasal 106 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Trotoar didefinisikan dalam Pasal 45 Undang-undang tersebut sebagai salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas. Dan dalam Pasal 131 diatur bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain.


Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Stanford University, Indonesia sebagai negara berjumlah penduduk ke-4 terbanyak di dunia berada dalam posisi terakhir dari 46 negara yang juga ikut diteliti dalam hal langkah kaki oleh warganya, jumlah rata-rata langkah kaki yang dilakukan oleh orang Indonesia berkisar 3.513 sehari. Dibandingkan dengan negara Asia lainnya, Hong Kong berada di posisi pertama dengan jumlah rata-rata 6.880 langkah kaki sehari yang dilakukan oleh warganya, dan Cina pada posisi kedua dengan rata-rata 6.189. Penelitian tersebut meneliti 717.000 orang pada 111 negara, yang secara sukarela memonitor aktivitas kesehariannya menggunakan aplikasi handphone yang telah dibuat oleh tim riset Stanford. Setiap lokasi penelitian setidaknya memerlukan 1.000 partisipan untuk dapat masuk dalam laporan, sehingga tim riset tersebut menyebut bahwa riset ini adalah riset terbesar dalam hal langkah pejalan kaki.


Jumlah kepemilikan sepeda motor yang meningkat setiap tahunnya disebabkan salah satunya karena prosedur pembayaran dengan cicilan yang sangat mudah. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Kompas.com menyebutkan bahwa hanya dengan uang muka Rp. 500.000 saja dan dengan biaya cicilan hanya Rp 470.000 untuk angsuran selama 36 kali, seseorang sudah bisa mendapatkan sbuah motor bekas. Data dari BPS menunjukkan bahwa pada 2016 jumlah sepeda motor di Indonesia telah mencapai angka 100 juta yakni tepatnya 105.150.082. Sedangkan kendaraan bermotor berjenis mobil penumpang berjumlah 14.580.666. Data jumlah kendaraan bermotor yang fantastis tersebut menjadikan kemacetan yang sering terjadi di banyak kota besar di Indonesia menjadi suatu hal yang maklum untuk terjadi. Tidak hanya kemacetan yang menjadi sesuatu hal yang lumrah terjadi, tetapi juga fenomena trotoar menjadi tempat parkir untuk kendaraan bermotor pun sudah menjadi suatu kelaziman di Indonesia.

Kendaraan bermotor yang berjumlah fantastis tersebut membutuhkan tempat untuk memarkirkan apabila pengendaranya sedang pergi ke suatu tempat. Padatnya penduduk yang menuntut banyaknya perumahan juga, sehingga membuat sedikit lahan untuk dijadikan sebagai lapangan parkir. Banyaknya kendaraan bermotor yang membutuhkan tempat parkir tidak digubris oleh pemerintah daerah setempat, sehingga banyak pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencari keuntungan ekonomi, meskipun mereka mencari keuntungan tersebut dengan mengambil hak-hak para pejalan kaki.


Trotoar yang awalnya merupakan kepemilikan publik, kemudian berubah menjadi kepemilikan perseorangan yang diperjualbelikan untuk dijadikan lahan parkir. Tribunnews Jogja melaporkan bahwa terdapat praktik jual-beli trotoar di Yogyakarta untuk lapak berdagang PKL yang dibanderol dengan harga Rp55 juta. Namun, terdapat aturan dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengatur bahwa bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan. Aturan tersebut seakan-akan hanya menjadi suatu aturan tertulis yang terbengkalai yang tidak diketahui oleh masyarakat dan juga tidak ditegakkan dengan tegas oleh aparatur hukum.


Tidak hanya sebagai lahan parkir saja, namun trotoar juga difungsikan sebagai tempat untuk berjualan bagi Pedagang Kaki Lima atau PKL. Dengan gerobak kayu yang diletakkan di trotoar, para pedagang kaki lima dengan santai menunggu para pembeli untuk melarisi dagangannya. Tidak hanya gerobaknya saja yang mereka taruh di trotoar, seringkali bagi para PKL yang menjual makanan dan minuman, mereka juga menyediakan kursi-kursi sekaligus meja agar para pembeli semakin tertarik membeli dagangannya. Gerobak, kursi-kursi, dan meja memenuhi trotoar sehingga menyulitkan pejalan kaki untuk berjalan. Dengan adanya para PKL tersebut maka mendatangkan juga para pembeli yang mengendarai kendaraan bermotor, sehingga trotoar makin sulit untuk dilalui dengan nyaman oleh pejalan kaki.


ree
Pedagang berjualan di atas trotoar di Jl. Rotowijayan, Kompleks Kraton Yogyakarta (Sumber foto: ANTARA)

Memang seharusnya sudah menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan tempat berjualan bagi para PKL tersebut agar tidak menggunakan trotoar. Pemerintah dalam hal ini melakukan pembiaran terhadap perampasan hak-hak para pejalan kaki. Para PKL tidak mampu untuk menyewa ruko untuk dijadikan tempatnya berjualan, maka dari itu mereka menggunakan trotoar sebagai tempat berjualannya. Pemerintah daerah seharusnya menyediakan tempat bagi para PKL untuk dapat berjualan dengan dapat menarik biaya sewa yang lebih murah dibandingkan ruko-ruko yang dikelola oleh swasta.

Dalam suatu artikel yang diterbitkan oleh New York Times, sesuai dengan judul artikel tersebut, yakni "Jakarta, the City Where Nobody Wants to Walk", disebutkan bahwa Jakarta merupakan kota di mana para warganya tidak ada yang mau berjalan kaki. Dituliskan pula dalam artikel tersebut bahwa Jakarta sebagai wilayah urban dengan jumlah penduduk berkisar 10 juta orang menjadi suatu simbol dari kesengsaraan pejalan kaki di Indonesia.

Tata ruang kota, Yayat Supriatna menyebutkan dalam suatu artikel di tirto.co bahwa terdapat tiga hal yang menjadi penyebab mengapa masih banyak pendendara sepeda motor yang menggunakan trotoar. Pertama, karena tidak ada sanksi hukum yang tegas dari aparatur penegak hukum. Kedua, karena tekanan dari kondisi jalanan yang sudah sangat macet. Ketiga, pejalan kaki lemah dalam memperjuangkan haknya sebagai pejalan kaki. Tidak banyaknya orang yang mengetahui tentang peraturan yang menjaga keselamatan para pejalan kaki juga disebutkan sebagai salah satu penyebab mengapa lemahnya perjuangan hak pejalan kaki.

Trotoar yang dibuat oleh pemerintah juga tidaklah nyaman dan aman bagi para warga yang berjalan kaki. Banyaknya tiang-tiang listrik dengan kabel listrik yang bergantungan di atas trotoar membuat banyak orang takut untuk berjalan kaki melalui trotoar. Alat-alat penghalang yang dipasang di trotoar untuk menghalangi pengendara sepeda motor untuk melalui trotoar sesungguhnya pun juga menyulitkan pejalan kaki. Batu-batu buatan yang berbentuk bulat yang dipasang dan ting besi berbentuk S memperlambat gerak para pejalan kaki. Pemerintah seharusnya lebih berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Mulai dari menyediakan lahan parkir, tempat yang layak bagi para PKL, dan trotoar yang nyaman dan aman bagi para pejalan kaki.



Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page