top of page

Upacara Kedde dan Pagelaran Seni: Wujud Eksistensi Kultur Masyarakat Sumba


Oleh: Nur Hafifah Khusmawati dan Dita Septianing Dyah


Upacara Kedde turut unjuk gigi dalam rangkaian agenda Festival Sumba yang dilaksanakan pada Jumat, 26 Oktober 2018 di FIB, UGM. Secara mengejutkan, upacara Kedde tersebut juga melibatkan partisipasi dari putra-putri asli Sumba. Dengan senang hati, putra-putri Sumba ini memperkenalkan kultur mereka ke khalayak ramai. Kultur, setting, dan euphoria yang mereka tampilkan telah berhasil membuat kami seolah-olah tengah dibawa berkelana ke tanah Sumba. Mungkin nuansa tersebut yang membuat Prof. Laksono terdorong untuk mengemukakan satu kutipan berharga, yakni “Indonesia bangga, Sumba sejahtera”.


Mengenal Upacara Kedde

Dalam adat Sumba, upacara Kedde dimaknai sebagai suatu prosesi penyerahan hewan kurban (kerbau, kuda babi) dari sanak keluarga terdekat yang masih memiliki hubungan darah kepada keluarga yang tengah berduka. Dari definisi tersebut, dapat dimengerti bahwa upacara Kedde yang dilaksanakan di FIB, UGM telah ditransformasikan menjadi prosesi mengarak kerbau hitam dan kerbau putih sebagai persembahan untuk memasuki rumah baru (Ghozali, 2018). Besar-kecilnya ukuran hewan seserahan tersebut dapat menjadi indikator tinggi-rendahnya kelas sosial masyarakat Sumba.


Upacara Kedde dipenuhi nuansa penuh sukacita yang dilambangkan melalui tarian, musik, dan seruan-seruan masyarakat Sumba yang penuh spirit dan euphoria. Nuansa tersebut juga dapat dimungkinkan muncul karena adanya motivasi untuk menampilkan satu keseragaman yang sama dalam seluruh rangkaian Festival Sumba, yakni nuansa sukacita masyarakat Sumba.


Orang-orang berusaha untuk turut andil sebagai saksi pelaksanaan upacara Kedde (sumber: dokumentasi pribadi)

Prof. Laksono yang merupakan pemrakarsa dari Festival Sumba juga turut andil dalam euphoria upacara Kedde. Dengan mengenakan pakaian adat Sumba yang dipadukan dengan pakaian casual, beliau menempatkan dirinya di tengah kerumunan masyarakat Sumba yang tengah menampilkan tarian adat mereka. Sesekali kami juga melihat beliau dengan malu-malu ikut menari dan menyampaikan seru-seruan ala masyarakat Sumba.


Sedangkan euphoria sebagai penonton kami tunjukkan dengan sorak-sorai yang tidak pernah berhenti kami lontarkan untuk setiap aksi yang ditampilkan para putra-putri Sumba. Bahkan kegiatan mengambil foto atau gambar sebagai bahan dokumentasi telah menjadi sesuatu yang sulit karena banyaknya penonton yang mengerumuni mereka.


Sore itu, sejenak kami melepaskan segala kepenatan kami dari tugas kuliah yang menumpuk. Keberadaan upacara Kedde ini juga membuat kami menyadari bahwa masyarakat Sumba memiliki euphoria dan spirit yang luar biasa. Mereka telah memanfaatkan upacara Kedde ini dengan sangat baik sebagai media untuk menunjukkan eksistensi dan jati diri mereka.


Membawa Kultur Sumba ke Jogja

Dalam upacara Kedde dan rangkaian agenda Festival Sumba, para putra-putri Sumba tampaknya tidak merasa puas jika mereka sekadar hadir sebagai tamu kehormatan dan penikmat. Oleh karena itu, mereka juga turut memboyong kultur khas Sumba mereka untuk diperkenalkan kepada kami yang notabene merupakan masyarakat Jogja yang miskin pengetahuan akan profil dan kultur masyarakat Sumba.


Beberapa hari sebelum Upacara Kedde dan Festival Sumba dilaksanakan, masyarakat FIB sudah berhasil dibuat penasaran dengan rumah-rumahan bambu yang dibangun tepat di pelataran Gedung Soegondo. Setelah ditelisik kembali, rumah-rumahan bambu tersebut merupakan simbolisasi dari Uma Humba (rumah adat masyarakat Sumba). Uma Humba menjadi latar utama dari pelaksanaan Upacara Kedde, pelataran Uma Humba menjadi panggung bagi para putra-putri Sumba untuk menampilkan tarian, musik, dan seru-seruan mereka. Bahkan mereka juga menggiring dua ekor kerbau (simbol seserahan) mereka untuk dipertunjukkan di pelataran Uma Humba ini.


Para putra Sumba tengah menampilkan tarian, musik, dan seru-seuan khas Sumba di pelataran Uma Humba (sumber: dokumentasi pribadi)

Beralih ke pembahasan mengenai kultur Sumba yang berhasil menjadi bintang utama dalam upacara Kedde ini, yakni tarian dan musik mereka. Walaupun kami tidak mengetahui dengan pasti mengenai sebutan untuk tarian dan musik tersebut, namun kami berhasil menemukan simbol-simbol yang tersirat di dalamnya. Salah satunya, kami telah mengetahui mengapa rangkaian upacara Kedde dan penampilan tarian dan musik khas Sumba cenderung didominasi oleh kaum pria. Ternyata, hal tersebut berkaitan dengan dominasi budaya patriarki yang sangat erat dan dominan dalam kehidupan masyarakat Sumba.


Sebelum putra-putri Sumba berkesempatan untuk menampilkan tarian dan musik mereka, pada dasarnya kami telah dibuat terpukau dengan pakaian adat khas Sumba yang mereka kenakan. Jika diamati, pakaian adat Sumba tersebut didominasi oleh kain tenun khas Sumba dengan berbagai motif dan warna. Lembaran kain tenun tersebut dililitkan di pinggang sebagai bawahan dari pakaian adat dan lembaran kain tenun yang lebih kecil mereka sampirkan di bahu serta dijadikan sebagai ikat kepala.


Pada kesempatan tersebut, kami juga menjumpai Embal (cassava bread) yang merupakan kuliner khas Sumba. Sayang sekali kami belum memiliki kesempatan untuk mencicipi cita rasa dari kue tersebut. Namun, itu tidak menjadi perkara besar karena kami sudah dibuat kenyang setelah banyak terpukau dengan rangkaian upacara Kedde yang sangat mengesankan.


Pagelaran Seni: Wadah Pembauran Masyarakat Sumba dan Masyarakat FIB UGM

Malam menjelang dan upacara Kedde sudah selesai, namun euphoria dan spirit kami belum padam berkat pagelaran seni yang disajikan oleh mahasiswa dari Sumba serta grup band dari alumni dan mahasiswa antropologi UGM. Acara dibuka dengan penampilan tarian khas Sumba. Tarian yang pertama dibawakan oleh beberapa putri Sumba. Nuansa yang banyak kami rasakan adalah santai, tenang, namun meriah. Mereka menari dengan sangat apik dan lembut. Tubuh mereka dibalut dengan pakaian adat khas Sumba yang banyak terdiri dari kain tenun yang sangat indah. Mereka juga mengenakan berbagai perhiasan, seperti kalung dan ikat kepala. Gerakan yang lembut mereka tampilkan, senyum yang indah selalu mereka sematkan.


Putri Sumba membawakan tarian khas Sumba (sumber: dokumentasi pribadi)

Selanjutnya yaitu penampilan tarian dari para putra Sumba. Suasana kali ini sangat berbeda. Dikarenakan tarian mereka yang bersifat lebih bersifat energik. Kami sebagai penonton was-was karena mereka menari di atas panggung dengan hentakan kaki yang sangat keras. Tetapi itu semua sangat indah. Tarian yang energik juga membangkitkan suasana menjadi lebih hangat dan cair. Para penari ini juga mengenakan pakaian adat khas Sumba yang dilengkapi dengan ikat kepala dan beberapa properti tari.


Diambil dari akun Instagram @laura.ugm

Dengan perbedaan penyajian tarian ini terbukti bahwa musik dari tarian tersebut bergender. Mengapa demikian? Kami merasa saat para putri sumba menari, musik yang digunakan adalah musik-musik yang tidak terlalu keras dan terkesan sangat lembut. Sedangkan musik yang mengiringi tarian para putra Sumba terkesan lebih kuat, keras, serta energik. Dalam konteks ini kami memahami jika seni dan kebudayaan masyarakat Sumba juga tidak pernah terlepas dari yang namanya ‘relasi gender’.


Penamplan selanjutnya yaitu dari Orkes Kampoeng Wangak yang beranggotakan beberapa mahasiswa Sumba. Mereka membawakan berbagai lagu, khususnya lagu-lagu dari Sumba. Walaupun kami tidak banyak mengerti bahasa Sumba dan makna dari lagu-lagu yang mereka bawakan, namun kami semua tetap menikmati penampilan mereka. Lagu yang dibawakan bergenre klasik lebih ke nuansa santai, senang, dan tenang. Saat lagu ketiga dibawakan, ada seorang pria yang mengajak kami semua untuk berjoget. Seketika kami semua berdiri dan menari bersama. Hari semakin gelap, namun suasana semakin hangat dan meriah.


Diambil dari akun Instagram @laura.ugm

Pagelaran seni tersebut ditutup oleh penampilan orkes “Om Jarang Pulang” dari antropologi. Suasana meriah dan kami tetap merasa senang meskipun kami tubuh kami sudah sangat basah oleh keringat. Tetapi, semua terkesan indah dengan penutup lagu “Sayang”. Semua kenangan tersebut tidak bisa terlupakan, menari bersama, bernyanyi bersama mahasiswa Sumba yang tidak terjadi kembali. Jadi, semua euphoria tersebut sangatlah berkesan dan akan kami kenang dengan baik. Lagu-lagu yang dibawakan lebih bergenre dangdut. Kami semua ikut bernyanyi. Tidak segan-segan mereka (mahasiswa Sumba) ikut berjoget bersama dan mengabadikan momen tersebut dengan telepon genggam mereka. Dalam suasana tersebut tidak ada yang saling memandang “kamu orang Sumba” dan “kamu orang Jawa” karena semuanya telah menganggap satu sama lain sebagai teman, saudara, dan keluarga. Tetapi, satu hal yang membuat kami sedikit risih, yakni saat mereka mulai menggoda mahasiswi FIB dengan mengalungkan kain mereka untuk mengajak berjoget bersama.


Pasca Upacara Kedde dan Pagelaran Seni: Transformasi Persepsi Masyarakat FIB UGM mengenai Masyarakat Sumba

Sebelum adanya upacara Kedde berlangsung di FIB, UGM, kami mengira bahwa upacara tersebut digunakan untuk acara kedukaan atau kesedihan. Persepsi kami terhadap masyarakat Sumba awalnya didominasi dengan kesan buruk. Kami juga banyak berpikir bahwa masyarakat Sumba hampir selalu berada dalam keadaan yang kurang baik dan menyedihkan, seperti kekeringan, kemiskinan.

Setelah adanya upacara Kedde semua persepsi buruk tadi mulai terkikis. Karena dominasi nuansa penuh euphoria dan spirit dari upacara Kedde ini. Euphoria mereka terhadap pelaksanaan upacara Kedde tersebut malah mengalahkan euphoria kami. Mereka sangat antusias untuk berpartisipasi dalam upacara Kedde. Seakan-akan mereka sedang berada di Sumba, tetapi dengan makna yang berbeda.


Kami sekarang mulai membuka mata dengan realita bahwa masyarakat Sumba memiliki kebudayaan yang masih sangat terjaga. Mereka masih selalu melestarikan kebudayaan tersebut. Seperti halnya sebelum mereka melakukan upacara tersebut, mereka melakukan seruan yang penuh dengan sepirit. Seua itu berhasil membuat kami sangat terkesan dengan segalanya yang bernafaskan Sumba. SALAM RINDU KU, SUMBA!


Akhir kata, upacara Kedde ini telah berhasil membuat kami merasa benar-benar sedang menginjakkan kaki di tanah Sumba. Tidak banyak yang dapat kami berikan kepada mereka, namun rupanya mereka tetap dengan senang hati membawakan kami banyak buah tangan dari Sumba yakni euphoria dan kultur mereka yang selalu berhasil membuat kami terpukau. Bukan hal yang mengherankan jika upacara Kedde dan segala pernak-perniknya tetap bertahan di tengah deburan zaman. Karena memang sudah seharusnya mereka selalu lestari berkat tangan-tangan dingin masyarakat Sumba. Namun, kita tidak dapat membiarkan masyarakat Sumba memikul tugas berat ini sendirian, kita perlu mengulurkan tangan kita kepada mereka. Kami merasa jika pelaksanaan upacara Kedde dalam Festival Sumba ini sudah dapat dikategorikan sebagai kontribusi nyata dari masyarakat umum untuk Sumba. Yang terakhir, kami selalu berharap bahwa segala euphoria yang telah kami lalui dalam Festival Sumba ini, dapat menyumbang sedikit kesejahteraan bagi masyarakat Sumba.


Referensi

Ghozali, H. S. (2018, October 26). Festival Budaya Kedde Rindu Ku Sumba. Tribun News. Retrieved from:

23 views0 comments

Kommentarer


bottom of page