top of page
Writer's picturePriyanca M C Soselisa

VIRGIN atau TIDAK

Virginitas

Kultur masyarakat secara umum yaitu memandang seks sebagia suatu hal yang sakral, yaitu sebagai wujud cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Hubungan seks baru bisa di’legal’kan bila pasangan tersebut telah diikatkan menjadi pasangan suami istri. Ini juga berarti virginitas hanya boleh dilepaskan ketika telah menikah.

Pada umumnya, virginitas diukur dari selaput dara atau biasa disebut himen. Himen adalah sebuah sekat rongga yang terletak di sekitar vagina. Kebanyakan perempuan memiliki himen tipis dengan satu lubang utama di tengah. Namun, tidak semua perempuan lahir dengan himen, atau pun memiliki ciri-ciri himen yang sama. Apabila perempuan yang dinikahi terbukti tidak memiliki himen ataupun berdarah pada saat berhubungan seks, perempuan tersebut biasanya dianggap tidak perawan lagi. Adanya desakan virginitas dari berbagai kalangan, membuat para perempuan yang tidak perawan sebelum menikah melakukan berbagai macam cara untuk mengembalikan keperawanannya. Mulai dari operasi perawan, suntik rapat, bahkan membeli selaput dara palsu yang saat ini marak beredar di internet/online shop.

Problematika sosial mengenai virginitas muncul ketika generasi tua menganggap virginitas merupakan suatu hal yang harus dijaga sampai menikah, sedangkan menurut generasi muda, arti virginitas telah berubah. Virginitas yang dulu dianggap sakral dan hanya boleh diberikan kepada suami atau orang yang telah dinikahi. Di sisi lain, kaum muda nampaknya telah memiliki arti lain untuk virginitas. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang memiliki pandangan berbeda. Sebagian masih memegang teguh virgin mereka hingga menikah, dan ada yang lebih menginginkan ‘pleasure’ yang didapat.

Masalah virginitas yang ditulis ini didasarkan pada beberapa alasan. Pertama karena seksualitas masih merupakan hal yang sensitif dalam kultur Indonesia. Jika membahas hal-hal seperti ini terkadang terlalu tab karena dianggap tidak senonoh. Sehingga apabila langsung menggunakan istilah perilaku seksual pranikah akan lebih sulit untuk mengungkap akar dari permasalahan seksual pada kaum muda karena kemungkinan jawabannya adalah norma-norma yang ada di masyarakat.

Kedua, untuk menjelaskan pemaknaan virginitas. Istilah virginitas sudah cukup lazim di Indonesia dan memiliki pengertian tidak hanya menunjuk pada keperawanan, tetapi juga keperjakaan. Istilah ini juga populer dikalangan kaum muda karena kata virrginitas sering mereka dengar dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian lain mengenai virginitas ialah menurut Wijaya, yang mengatakan bahwa virginitas lebih menekankan pada purity, yaitu sejauh mana seseorang menjaga kemurnian dirinya dan memandang aktivitas seksual sebagai aktivitas sakral yang hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan (Wijaya, 2004).

Virginitas ialah kata serapan yang diambil dari Bahasa Inggris ‘virginity’. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005), virginity ialah keadaan seseorang masih ‘virgin’ atau belum pernah melakukan hubungan seksual. Virginity tidak hanya diartikan dalam keadaan perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Dengan menggunakan kata virginitas dan bukan keperawanan aaupun keperjakaan, penulis berharap dapat memberikan pemaknaan yang lebih adil karena tidak merujuk kepada salah satu gender saja, dan lebih memfokuskan kepada pemaknaannya antar generasi.

Ketiga, setelah mengetahui pemaknaan kaum muda terhadap virginitas, maka bisa mengidentifikasi kecenderungan banyaknya kaum muda yang melepas virginitasnya sebelum menikah belakangan ini.

Makna virginitas adalah sesuatu yang dipahami mengenai virginitas yang didapatkan melalui interaksi sosial. Makna yang ditafsirkan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan konteks situasi (Blumer, dalam Mulyana 2002). Hal ini juga berlaku dalam makna virginitas. Prespektif representasi sosial akan membantu untuk mengungkap makna virginitas sebagai suatu konsep yang akan selalu berkembang dalam masyarakat. Representasi sosial merupakan prespektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici 2001). Dalam hal ini, sistem nilai, ide, dan praktek-praktek di masyarakat yang terkait dengan virginitas akan membangun sebuah pemaknaan mengenai virginitas pada kaum muda.


Perubahan Makna

Ada berbagai macam faktor yang dapat memengaruhi makna terhadap virginitas. Disamping faktor eksternal seperti norma kelompok, kebudayaan masyarakat, dan adanya informasi baru, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai terhadap virginitas bisa berasal dari internal seperti kepribadian, motivasi, pengalaman masa lalu, dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, faktor tersebut akan difokuskan pada kepribadian, karena kepribadian menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas. Selain itu, kepribadian juga dibentuk dari pengalaman yang didapat dan menentukan makna apa yang dipegang oleh seorang individu.

Berubahnya nilai virginitas pada generasi muda ditandai dengan adanya liberalisasi seks ketika hubungan seksual telah dianggap sebagai cara baru dan bagian dari gaya hidup modern di Indonesia. Liberasi seks terjadi karena terpengaruhi budaya Barat (dibantu oleh media), juga terpengaruh oleh lingkungan baru (kebanyakan informan merupaka anak rantau). Sedangkan secara kultural masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai norma dan umumnya menganggap bahwa hubungan seks hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang telah menikah.

Mahasiswa berada pada kelompok usia remaja akhir dan dewasa muda. Fase tersebut merupakan fase yang penuh dengan berbagai masalah dan tekanan. Masalah dan tekanan ini dikarenakan mahasiswa berada di posisi ia harus memahami dirinya sendiri, mencari jati dirinya, terbuka terhadap pengalaman dan ilmu baru, namun masih berusaha memegang nilai yang didapat dari kecil (tentang pergaulan, dll). Berbagai perubahan yang mereka alami yang diikuti dengan banyaknya tuntutan yang dihadapi, serta lingkungan pergaulan yang cenderung bebas dan jauh dari orang tua, pragmatis, penuh dengan hiburan, dan kesenangan menyebabkan munculnya beragam masalah. Disisi lain, mahasiswa berada pada perkembangan psikoseksual yang sudah matang, tetapi mereka belum melakukan pernikahan sehingga kebutuhan-kebutuhan seksual tersebut dipenuhi dengan cara melakukan hubungan seks di luar nikah.

Menurut beberapa generasi tua (saya mengambil seorang Ibu dari 2 anak berinisial DP, dan seorang ayah dari 5 anak berinisial DN), virginitas merupakan suatu bukti cinta antara dua orang. Bukti cinta tesebut dianggap sangat spesial karena tiap orang itu menyimpan sesuatu yang hanya mereka dapat sekali, untuk orang yang spesial. Pemaknaan ini didukung oleh contoh yang diberikan oleh DP karena salah satu anak kandungnya mengaku bahwa ia sudah tidak lagi ‘virgin’. DP merasa sangat kecewa kepada anaknya dan sempat mengatakan bahwa anaknya sudah tidak suci lagi, dan telah kehilangan sesuatu yang seharusnya digunakan sebagai simbol bukti untuk pasangannya kelak. Jadi memang sangat terlihat makna yang dipegang oleh generasi tua karena kedua informan memiliki pemaknaan yang sama dan sangat kukuh tehadap makna itu.

Untuk informan generasi muda, terdapat 15 informan mahasiswa/i yang diwawancarai, dan semuanya berasal dari Timur Indonesia. Dari 15 informan tersebut, 4 informan masih berpegang teguh kepada virginitas hanya diberikan kepada suami/istri dan tidak boleh melakukan hal apapun (hand stuff: orgasme saja dengan bantuan tangan), 7 informan masih berpegang teguh kepada virginitas diberikan kepada suami/istri mereka tetapi mereka merasa tak apa hand stuff, sedangkan 4 informan lainnya tidak percaya bahwa virginitas hanya boleh diberikan kepada suami/istri mereka, karena mereka menginginkan kenikmatan itu dan tidak masalah selama seks yang mereka lakukan itu aman (menggunakan kondom dan tidak ‘keluar’ dalam).


Konklusi

Dari teori Blumer dan Moscovici dan data yang dibeikan oleh semua informan, maka tidak bisa dipungkiri bahwa makna virginitas telah berubah sejalan dengan perubahan konteks situasi, dalam hal ini virginitas. Perubahan ini tidak bisa dikatakan sebagai kemunduran konteks, tetapi juga tidak bisa dikatakan sebuah kemajuan. Hal yang pasti hanya perubahan itu ada, dan akan terus ada. Terbuka akan perubahan itu penting karena dunia ini dinamis. Tidak ada masalah mendukung perubahan, namun sama halnya dengan memegang teguh nilai yang diajarkan kecil. Karena makna akan ditafsir berbeda dan akan terus berubah tergantung situasi atau keadaan yang ada, maka pemaknaan merupakan hal yang dinamis.


Sumber

Moscovici S.

2001. Social Representation. New York: New York University Press

Mulyana D.

2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wijaya, A.

2004. Seksplorasi 53 Masalah Seksual. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

29 views0 comments

Comments


bottom of page