top of page

Window Shopping: Fenomena Konsumtif-Tak-Sampai

Chairina Indita S. (16/394686/SA/18212)

Window Shopping: Fenomena Konsumtif-Tak-Sampai

Mall, si Gedung Ajaib

Mall, atau yang kemudian dalam bahasa Indonesia diulangbahasakan menjadi mal, secara pengertian arsitektur adalah bangunan tertutup-tertutup multilantai dengan etalase-etalase dan interior yang eye catching, pengaturan udara yang baik sehingga pengunjung dapat melakukan aktivitasnya dengan nyaman. Kondisi mal selalu dibuat dengan senyaman-nyamannya –AC yang dingin, lantai yang halus, dan fasilitas yang memudahkan untuk naik dari satu lantai ke lantai lainnya. Mal juga memiliki berbagai fasilitas yang mampu membuat pengunjungnya betah seharian berjalan-jalan di dalamnya. Mulai dari urusan makan (food court dan in-mall-restaurant), ibadah (mushola atau prayer room), hingga urusan mengurus anak bayi pun disediakan dengan adanya nursery room dan ruang menyusui. Kursi atau bangku di setiap lantai pun seringkali terlihat, bisa dipakai oleh umum, khususnya pengunjung yang lelah berjalan seharian. Bahkan beberapa mall juga menyediakan semacam working space kecil –barangkali pengunjungnya adalah pelajar yang tetap harus nyicil pekerjaan rumahnya namun juga ngebet ingin tetap hang-out di mal. Jangan lupa dengan fasilitas wi-fi yang semakin memanjakan pengunjungnya untuk lebih hemat kuota. Mall semacam ini bisa juga disebut sebagai ­one-stop shopping mall, dimana pengunjungnya bisa dengan praktis bisa melakukan segala macam kegiatan dan mendapatkan kebutuhannya dalam satu mall, seperti dari berbelanja bahan makanan. Di beberapa mall pun memiliki satu area dengan hotel, dimana terkadang bukan hanya satu area namun juga satu bangunan, gedung mereka bukan hanya berfungsi sebagai milik mall saja, namun juga memiliki hotel di lantai atau gedung sampingnya –double function building yang menurut saya sangat saling menguntungkan.


Mall menjadi salah satu pusat perhatian dan hiburan yang kian berkembang seiring dengan laju pertumbuhan dan kemajuan perkotaan. Bayangkan berapa mall yang sudah dibangun di Indonesia. Sepengalaman saya, mulai yang luas gedungnya sangat nyaman untuk dibuat jalan (karena tidak terlalu luas) seperti Galeria Mall di Yogyakarta, hingga yang memiliki “seri” sampai 6 seperti Tunjungan Plaza di Surabaya. Bisa dikatakan bahwa perkembangan mall selalu diiringi dengan perkembangan kota atau daerahnya –perkembangan dan kemajuan dalam arti modernitas. Beberapa teman saya dari daerah dan kota seringkali menjadikan mall sebagai tolak ukur sejauh mana daerah atau kotanya berkembang. Ketika di salah satu kabupaten kecil di daerah pantura Jawa memiliki sebuah pusat perbelanjaan baru, betapa bangganya teman dan saudara saya saat mengabarkannya. Walaupun belum pernah masuk ke dalam pusat perbelanjaan tersebut, namun ketika melintasinya sekilas saya paham mengenai gambaran mall yang menjadi patokan kemajuan. Gedung besar, dengan tingkatan lantai berlapis dan terlihat nyala terang dari kejauhan. Walaupun tidak terlihat terlalu besar dan megah seperti yang dalam ucapan dan penggambaran mereka, namun saya cukup dibuat kagum dengan bangunan tersebut yang cukup wow untuk ada di wilayah tersebut. Saat saya tanya, apakah sudah pernah berbelanja disitu, sebagian menjawab sudah dan sebagian menjawab “Belum, lagi mlaku-mlaku wae” atau “Belum, baru jalan-jalan saja.” Keterangan baru jalan-jalan saja tersebut menunjukkan bahwa mereka belum membeli barang apa pun dari tempat tersebut –walau fungsi utama dari tempat tersebut adalah untuk membeli sesuatu.


Teori Konsumsi Jean Baudrillard

Konsumtif menjadi salah satu hal yang akan dibicarakan disini berkaitan dengan pertumbuhan kemjuan dan juga mall yang menjadi gaya hidup masyarakat “modern”. Mengutip dari Jean-Baudrillard (59:1998),

Consumption, like the education system, is a class institution: not only is there inequality before objects in the economic sense (the purchase, choice and use of objects are governed by purchasing power and by educational level, which is itself dependent upon class background, etc.) -in short, not everyone has the same objects, just as not everyone has the same educational chances -but, more deeply, there is radical discrimination in the sense that only some people achieve mastery of an autonomous, rational logic of the elements of the environment (functional use, aesthetic organization, cultural accomplishment). Such people do not really deal with objects and do not, strictly speaking, 'consume', whilst the others are condemned to a magical economy, to the valorization of objects as such, and of all other things as objects (ideas, leisure, knowledge, culture): this fetishistic logic is, strictly, the ideology of consumption.


Baudrillard mencoba menganalogikan sikap konsumtif sebagai sesuatu yang bersifat seperti kelas pendidikan, dimana tidak semua orang mampu untuk memiliki secara sepenuhnya –bahasa mudahnya, konsumsi memiliki “tingkatan” seperti a) seseorang bisa tidak memiliki pendidikan, b) seseorang bisa mengenyam bangku pendidikan walau tanpa fasilitas sempurna, dan c) seseorang mampu menikmati fasilitas dan menjadi master dalam fasilitas yang diberikan tersebut. Pemahaman tersebut dapat dimaknai sebagai tingkat konsumtif seseorang yang juga “menyesuaikan” diri. Seseorang mampu untuk menjadi konsumtif, namun juga tidak cukup konsumtif untuk dibandingkan dengan golongan C yang mampu menikmati segala fasilitas yang memadahi “keinginan konsumtifnya”.


As a process of classification and social differentiation in which sign/ objects are ordered not now merely as significant differences in a code, but as status values in a hierarchy. Here consumption can be submitted to a strategic analysis which determines its specific importance in the distribution of status values (overlapping with other social signifiers: knowledge, power, culture, etc.)

The consumer experiences his distinctive behaviours as freedom, as aspiration, as choice. His experience is not one of being forced to be different, of obeying a code. To differentiate oneself is always, by the same token, to bring into play the total order of differences, which is, from the first, the product of the total society and inevitably exceeds the scope of the individual. In the very act of scoring his points in the order of differences, each individual maintains that order, and therefore condemns himself only ever to occupy a relative position within it. Each individual experiences his differential social gains as absolute gains; he does not experience the structural constraint which means that positions change, but the order of differences remains. (1998:61)


Kemudian Baudrillard juga menunjukkan bahwa kepemilikan barang bisa menjadi sebuah nilai tambahan dalam kenaikan “hierarki” dan menjadi elemen yang menunjukkan betapa penting peran classification and social differentiation. Konsumer juga merasakan semacam perasaan konsumtifnya sebagai sebuah kebebasan, aspirasi, dan pilihan semu yang digunakan untuk mencapai sebuah tatanan dalam kehidupan sosial yang baru. Dalam fenomena yang akan dibahas kemudian, pemikiran dari Jean Baudrillard menjadikan sebuah pijakan awal mengenai terjadinya hal tersebut.


Window Shopping: Pengamatan

Salah satu kegiatan yang kerap kali kita jumpai adalah window shopping, atau yang secara harafiah disebut sebagai belanja jendela –karena yang dilakukan memang tidak berbeda jauh dari artian harafiah ini. Pengunjung mall cukup berjalan-jalan santai untuk melihat barang-barang yang ada di setiap toko mall, tanpa terburu-buru atau tanpa takut tidak memiliki uang, karena tujuan utamanya bukanlah membeli barang melainkan hanya “belanja lewat mata”. Window shopping tidak memiliki batasan waktu. Sehingga bisa dilakukan santai, dan setiap penikmatnya akan merasa terpuaskan ketika selesai melihat-lihat semua barang yang tergantung maupun terpajang di etalase toko dalam mall. Nampaknya pihak mall pun juga telah memahami kebutuhan para window shopper, seolah tidak ada yang mempermasalahkan jika seseorang hanya berlalu Lalang tanpa menghabiskan sepeser pun uang di dalam mall.


Salah satu pengamatan yang saya lakukan berada di mall Galeria, Yogyakarta. Mall dengan luas yang tidak seberapa luas jika dibandingkan mall lain ini cenderung lebih variatif dalam segi visual pengunjung. Hendak mencari yang berpenampilang biasa saja ada, hingga yang bersolek sampai cantik pun banyak. Beberapa bahkan terlihat masih mengenakan seraga sekolah ketika sore hari, sedang membeli sebuah makanan kecil atau mampir ke toko buku yang ada di lantai bawah mall. Sementara di mall lain, Ambarukmo Plaza, atau yang biasa dikenal sebagai Amplaz, sedikit berbeda. Pengunjungnya benar-benar memiliki niatan ngemall yang beragam. Ada yang benar-benar ingin mengunjungi tempat laundry sepatu, berbelanja di department store lantai bawah, hingga menonton bioskop. Namun tetap dapat kita jumpai mereka yang murni hanya mau melakukan window shopping dari satu toko ke toko lain, hanya melihat-lihat barang dari etalase atau gantungan dan mengintip price tag. Berdasarkan pengamatan, pelajar dan juga mahasiswa menjadi salah satu window shopper yang sering terlihat di dalam mall melakukan kegiatan ini. Selepas kamupus dan sekolah, salah satu kegiatan yang biasa dilakukan untuk menghilangkan kepenatan adalah ngemall bersama teman. Terkadang, mereka pun juga makan siang atau malam di mall tersebut di sela-sela kegiatan jalan-jalannya tersebut.


Salah satu kawan saya, yang namanya saya samarkan sebagai Nana, sering mengunjungi mall mengaku tidak sering membeli sesuatu dari mall, hanya sering berjalan-jalan saja. Ketika memang harus membeli sesuatu seperti minum, ia tetap akan memilih hal yang paling murah dari semua yang ada, dengan membeli air putih atau teh botolan dari minimarket yang ada di lantai bawah. Mall menjadi pilihan dari teman saya ini untuk melepaskan kepenatan. Menurutnya, mall memang memiliki sebuah effort tambahan dalam sebuah hiburan –tetap harus mengerahkan tenaga untuk berjalan-jalan dari satu lantai ke lantai lain, walaupun tetap naik tangga berjalan. Namun bagi Nana ada sebuah kepuasan tersendiri ketika ia mampu memasuki satu toko ke toko lainnya dalam mall. Ia mengaku tidak sering dalam ngemall, tapi jika ia punya waktu luang dalam seminggu dan memilih menghabiskan waktu dimana, Nana mengaku akan menghabiskan waktunya di mall. Terkait membeli barang secara impulsive, ia mengaku tidak pernah melakukannya. Hanya saja, jika dia benar-benar naksir sebuah barang, ia akan termotivasi untuk menbung dan berdoa ketika tabungannya sudah cukup, barang idamannya belum terbeli orang atau diganti dengan barang-barang “new arrival”.


Window shopping bisa dikatakan sebagai sebuah sikap konsumtif-tak-sampai ketika sebuah keinginan tidak sebanding dengan isi dompet. Kepuasan yang didapatkan dalam melakukan window shopping diantaranya ketika kita mampu melihat apa yang kita inginkan daei dekat, menunjukkan sebenarnya ada potensi untuk membeli barang tersebut jika saja uangnya mencukupi. Gangsi atau faktor apapun seolah menuntut mereka untuk selalu mengikuti apa yang ada di mall dan apa yang dipakai “orang lain” –“orang lain” yang “lebih mampu” untuk mengikuti perkembangan. Kehidupan kota dengan pacu yang cepat membuat perkembangan yang ada di dalamnya begitu cepat, termasuk kebutuhan-kebutuhan non-pokok. Bahkan kebutuhan-kebutuhan pokok pun bisa menjadi tersier bagi yang tidak mampu untuk afford the price, ketika harganya menjadi tidak wajar dan penuh dengan kemewahan namun gengsi mengalahkan kebutuhan nyata.


Konklusi dan Refleksi

Mall merupakan sebuah representasi sekaligus imajinasi atas kemoderenan dan kemajuan yang ada. Kepraktisan dan kecanggihan ada di dalamnya, terlebih jika punya uang untuk membeli dan mencicipi segala fasilitas yang ada di dalamnya. Bagi beberapa orang pula, mall adalah salah satu tempat dimana imajinasi mereka bermain dengan sempurna, dan window shopping adalah bagian dari permainan imajinasi tersebut. Secara filosofis, mall diciptakan sebagai sebuah ruang untuk kabur, atau escape room. Kondisi yang seakan mereproduksi kota didalam tembok temboknya, seolah bahwa di dalam lebih aman dan nyaman daripada lingkungan luar sana dan lebih bersih, serta dengan climate-controlled spaces dibandingkan jalanan sesungguhnya. Mall juga menjadi salah satu pilihan yang menurut saya adalah sebuah ironi. Disamping hobi ngemall yang pure untuk window shopping, pilihan yang begitu sempit bagi semua kalangan untuk mampu menikmati waktu luang membuat mall sebagai pelampiasannya. Kurangnya ruang hijau atau ruang ekspresi menjadikan gedung dengan fungsi konsumsi ini alih fungsi beberapa derajat --penyediaan working space hingga wi-fi gratis-- walaupun hal tersebut bisa juga merupakan strategi penasaran mal. Banyak dari kalangan mahasiswa ataupun pelajar yang lebih memilih mengerjakan tugas bersama di mall. Jika tidak ada working space dalam mall, maka toko makanan juga menjadi sasaran. Hanya dengan membeli satu potong makanan atau segelas kopi untuk mampu duduk memanfaatkan fasilitas internet dan listrik "gratis" selama berjam-jam.


Bernarda Rismarinni P (16/394684/SA/18210)

ESAI TANGGAPAN 1

Esai di atas menurut saya sudah cukup bagus dalam membahas window shopping yang telah marak dilakukan masyarakat modern saat ini. Hal tersebu tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan tersebut cukup disenangi oleh masyarakat terutama kalangan muda seperti mahasiswa. Saya sebagai mahasiswa yang seiring melakukan window shopping pun cukup tersentil oleh esai tersebut. Namun esai tersebut juga masih memiliki kekurangan-kekurangan yang seharusnya masih bisa diperbaiki agar esai tersebut lebih detail dan lebih baik. Kekurangan yang dimaksud ini adalah penulis masih kurang detail menjabarkan pemahaman mengenai teori konsumsi dan window shopping. Kemudian penjabaran tentang window shopping yang dilakukan masyarakat masih minim contohnya. Serta pembahasan mengenai window shopping masih menerangkan fenomena window shopping pada umumnya. Penulis masih belum spesifik melihat dibalik dari windows shopping, ada perilaku konsumtif tak terduga yang terbentuk dari window shopping.


Melalui esai tersebut dapat ketika ketahui bahwa masyarakat modern kini sangat menyukai kegiatan jalan-jalan di mall yang bukan semata untuk berbelanja, tetapi hanya untuk mencuci mata. Kegiatan window shopping tidak hanya didorong dari keinginan masyarakat untuk berjalan-jalan, kegiatan itu juga didukung dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung seperti dibangunnya mall-mall di kota-kota. Salah satu daerah yang sedang marak pembangunan mall-mall adalah kota Yogyakarta. Jika kita perhatikan saat ini kota Yogyakarta sudah memiliki kurang lebih tujuh mall yang megah disekitar pusat kota. Pembangunan mall yang baru saja di lakukan adalah Sleman City Hall yang jarangnya tidak terlalu jauh dari Jogja City Mall. Kabarnya pembangunan mall-mall baru ini masih akan berlanjut. Di lansir dari jogja.co, ketua APPBI setidakkya akan dibangun sebanyak 12 shopping mall di Yogyakarta[1]. Harapannya mall-mall tersebut bisa menjadi wadah bagi pengusaha baik pengusaha kecil maupun besar yang saling berkolaborasi. Kota Yogyakarta yang tidak terlalu luas pada masa yang akan datang akan diselimuti oleh mall-mall.


Pembangunan mall-mall ini juga nantinya akan menggantikan kekhasan kota Jogja sebagai kota pelajar menjadi kota seribu mall (Alexander, 2015). Kehadiran mall-mall ini juga didorong oleh keistimawaan Yogyakarta. Mengutip dari berita kompasiana, Yogyakarta memiliki tiga keunggulan yang membuat pembangunan mall-mall marak dilakukan[2]. Pertama, Yogyakarta merupakan wilayah yang ramai dikunjungi oleh wisatawan. Mall bisa dijadikan sebagai pusat belanja yang tidak hanya diperuntukkan masyarakat local, tetapi juga bagi para wisatawan. Dengan begitu, pendapatan bagi para pengusaha akan meningkat dan masyarakat memiliki alternative tempat untuk berjalan-jalan dan berbelanja. Kedua, Yogyakarta telah dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa yang merantau untuk menempuh pendidikan. Kedatangan mahasiswa dalam jumlah besar ini dianggap sebagai peluang dan target pasar yang cukup besar. Ketiga, adanya urbanisasi pada kota Yogyakarta yang membentuk lifestyle baru pada masyarakatnya. Kebutuhan-kebutuhan sehari-hari semakin meningkat dan kompleks yang meningkatkan pula konsumsi masyarakat untuk berbelanja diberbagai pusat perbelanjaan.


Kemudian dalam berita tersebut ada pernyataan Samuel, manager Hartono Mall Yogyakarta, yang menarik perhatian saya bahwa kebutuhan masyarkat urban berbeda dengan kebutuhan masyarakat jaman dahulu. Setidaknya ada tiga kebutuhan yang disebut Pak Samuel, yaitu kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk melihat, dan kebutuhan untuk dilihat. Menurut saya, kategori-kategori kebutuhan tersebut sangat menarik dan relevan dengan kegiatan window shopping yang mulai dilakukan masyarakat kini. Pada esai pertama tidak terlalu dijelaskan mengenai pemahaman window shopping menurut para ahli. Ketika mencoba mencari pemahaman tentang window shopping memang belom ada pemahaman yang disepakati ahli-ahli mengenai fenomena ini. Namun tanpa pemahaman dari ahi-ahli tersebut, masyarakat sudah memahami kegiatan tersebut sebagai kegiatan “sing mung ndelok-ndelok”. Lalu kegiatan tersebut pada Cambridge dictionary diartikan sebagai[3],


“the activity of spending time looking at the goods on sale in shop windows without intending to buy any of them”.


Menurut saya, kegiatan tersebut selaras dengan pendapat Pak Samuel yang mengatakan bahwa masayarakat saat ini memiliki tiga kebutuhan. Kegiatan window shopping ini menjadi contoh pemuas dari kebutuhan untuk melihat. Ketika kita merasa suntuk biasanya kita membutuhkan refereshing mata tanpa harus mengeluarkan uang. Caranya dengan berjalan-jalan di mall untuk melihat-melihat barang-barang lucu atau melihat-lihat orang-orang yang juga sedang berkunjung disana. Tiga kebutuhan ini juga selaras dengan teori-teori motivasi dan kebutuhan manusia yang dibuat oleh beberapa ahli. Ari Andjarwati dalam artikelnya menjelaskan mengenai teori kebutuhan manusia menurut Maslow. Menurut Maslow, manusia memiliki tingkat kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan social, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan akutalisasi diri (Andjarwati, 2015: 48). Sedangkan teori kebutuhan menurut McCelland terbagi menjadi tiga yaitu kebutuhan prestasi, kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi.


Lalu menurut Sumarwan, kebutuhan terbagi dua yaitu kebutuhan primer/fisiologis dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan juga dibedakan berdasarkan manfaat dari penggunaannya yaitu kebutuhan ultilatarian dan kebutuhan ekspresive atau hedonic. Pada kebutuhan ultilataran, konsumen didorong untuk membeli karena melihat manfaat ataua fungsi dari barang yang akan dibeli. Sedangkan kebutuhan ekspresive mengarah pada kebutuhan psikologis seperti rasa emosi, gengsi, puas, dan sebagainya (Kusumahati, 2013). Apabila window shopping dikaitkan dengan kebutuhan dasar manusia tersebut, maka kegiatan tersebut bisa masuk pada kategori kebutuhan ekspresive. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut digunakan sebagai pemuas diri.


Window shopping sebagai kebutuhan pemuas dahaga mata dan jiwa ini dapat bermanfaat sebagai aktifitas relaksasi diri tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak. Tetapi aktivitas tersebut dapat berakibat negative ketika kontrol diri melemah dan tergoda untuk berbelanja suatu barang yang ada di mall tersebut. Kemudian tercetuslah aktivitas “window shopping yang nggak window-window amat”. Kegiatan tersebut menjadikan masyarakat mulai konsumtif. Menurut Hamilton dan kawan-kawan, perilaku konsumtif disebut sebagai wasteful consumption. Sedangkan menurut Fromm perilaku konsumtif digambarkan dengan perilaku ingin membeli barang untuk kepuasan diri dalam hal kepemilikan barang dan jasa, tetapi perilaku tersebut tidak memperhatikan kegunaannya. Pembelian dilakukan hanya karena bisa memiliki barang baru, menunjukkan status, kekayaan, dan keistimewaan yang mencolok (Suminar, 2015:147).

Mereka tanpa terduga mengeluarkan uang dan tergiur dengan barang-barang yang mungkin sedang diskon atau membeli hanya sebatas ingin lalu menyesalinya. Perilaku ini lambat laun akan menjadikan masyarakat terutama mahasiswa untuk melakukan impulsive buying. Kegiatan tersebut disebut juga sebagai pembelian tak terencana. Menurut Rook, impulsive buying merupakan pengalaman mendesak pada konsumen untuk segera membeli hingga muncul konflik emosional dan pengabaian akibat negatifnya (Komala, 2018). Sedangkan menurut Amir, impulsive buying ialah kecendurungan konsumen membeli barang secara spontan, dengan terburu-buru, atau tidak terefleksikan yang didorong oleh emosi terhadap suatu barang dan pasar (Amir, 2014; Komala, 2018).


Komala dalam artikelnya menegenai tipe dan jenis dari impulsive buying. Jenis dari impulsive buying tersebut terdiri dari empat tipe. Pertama, tipe kompensatif yaitu orang yang berbelanja untuk meningkatkan harga diri atau sebagai sarana melarikan diri dari masalah atau pekerjaan. Tipe kedua yaitu akseleratif yang merujuk pada orang yang berbelanja karena ada banyak sale walaupun mereka saat itu tidak membutuhkannya. Mereka tergiur karena harga menjadi lebih murah. Ketiga yaitu tipe terobosan yaitu oramg-orang yang berbelanja tanpa sebuah perencaaan yang matang. Terakhir yaitu orang-orang yang berbelanja tanpa pertimbangan sama sekali termasuk dalam tipe pembeli buta (Komala, 2018). Jenis dan tipe ini secara langsung relevan untuk mengubah kegiatan window shopping menjadi beberapa tipe impulsive buying tersebut. Ketika seseorang melakukan window shopping, mereka sewaktu-waktu dapat berubah menjadi impulsive buying tipe akseleratif dan pembeli buta. Hal ini dikarenakan biasanya di mall-mall banyak godaan akibat diskon-diskon disetiap toko. Masyarakat bisa menjadi pembeli buta karena mereka membeli barang hanya atas dasar keinginan sehingga sulit untuk menentukan apa yang melatarbelakangi mereka membeli barang tertentu tersebut.


Salah satu contoh informan saya berinisial Sasa mengaku sering melakukan kegiatan window shopping di mall Malioboro Yogyakarta. Biasanya ia melakukan kegiatan tersebut saat suntuk dan waktunya sedang senggang. Sasa menjelaskan bahwa sebenarnya ia ingin pergi ke tempat-tempat wisata alam sebagai tempat refereshingnya. Namun ia mengurungkan niatnya karena jarak rumahnya ke tempat-tempat wisata sangat jauh. Ia juga memikirkan pengeluaran yang akan ia habiskan jika pergi ke tempat wisata alam. Oleh karena itu, ia lebih sering memutuskan pergi ke mall yang notabene mudah untuk dijangkau dari kos-kosannya. Saat di mall ia memutari dan melihat-lihat toko-toko yang ada didalamnya secara berurutan yaitu dari lantai satu hingga lantai paling atas. Ia tidak hanya melihat-lihat barang dari luar store saja, tetapi ia masuk ke beberapa toko dan mengecek harga-harganya meski tak membelinya. Sasa mengaku bahwa saat-saat seperti itulah kegiataan window shopping terancam menjadi “shopping beneran”. Biasanya ia akan mudah tergoda pada toko kosmetik. Setelah berjalan-jalan cukup lama, Sasa sering merasa lapar yang akhirnya membuat dia membeli makanan dan minum. Contoh kasus Sasa ini telah memperlihatkan bahwa window shopping bisa berubah menjadi window shopping yang nggak window-window amat. Serta window shopping yang menjadi alternative agar tidak mengeluarkan uang yang banyak pun tetap memerlukan uang untuk berjaga-jaga dari diri yang mudah tergoda.


Selain Sasa, ada juga informan berinsisial Tasya yang melakukan shopping diluar budgetnya saat berada di salah satu mall Yogyakarta. Hal ini dikarenakan tempat tinggal asalnya tidak ada mall sehingga ia memanfaatkan waktu luangnya saat merantau di Yogyakarta dengan merasakan sensasi jalan-jalan di mall. Tasya yang awalnya hanya melakukan window shopping menjadi sering berbelanja kebutuhan pribadinya di supermarket yang ada di dalam mall. Biasanya ia sudah menuliskan apa saja yang ia butuhkan. Namun Tasya pada akhirnya sering berbelanja melebihi daftar kebutuhan yang ia buat tersebut. Saat memilih-memilih barang yang dibutuhkan, mata Tasya sering teralihkan pada barang-barang yang lain. Ia merasa bahwa dirinya membutuhkan barang tersebut pada saat itu juga. Padahal sesungguhnya ia tidak benar-benar memerlukannya. Ujung-ujungnya Tasya sering merasa menyesal telah membeli barang tersebut.


Menurut imam Zamroni, masyarakat memiliki ketertarikan berbelanja di mall dibandingkan pasar tradisional karena empat faktor pendukungnya. Pertama, mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sembari berekreasi (window shopping). Meskipun ada selisih harga, masyarakat tetap memilih mall. Berbelanja di mall juga memberikan kepuasan tersendiri dalam memperoleh barang ysng diinginkan disamping barang kebutuhan. Selain itu, mall memberikan kenyamanan dalam berbelanja dengan fasilitas-fasilitas seperti AC, alat transaksi non tunai, dan sebagainya (Zamroni, 2007). Hal ini menunjukkan masyarakat didorong untuk semakin konsumtif disamping mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehar-hari mereka. Kegiatan window shopping yang tak terkontrol berakibat pada pengeluaran yang berlehihan.

Kegiatan window shopping sering diidentikkan dengan berjalan-jalan dan melihat-lihat barang dipusat perbelanjaan seperti mall. Namun perkembangan jaman terus mengubah kegiatan tersebut. Salah satunya masyarakat kota Yogyakarta sekaran gbisa melakukan window shopping hanya dengan membuka aplikasi e-commerce seperti shoppe, tokopedia, dan lain sebagainya. Aplikasi tersebut semakin mempermudah masyarakat terutama mahasiswa yang senang melihat-lihat barang baru dan unik, serta senang berbelanja tanpa perlu keluar rumah. Hal ini seperti kisah susindra yang ditulis pada blognya bahwa ia senang melakukan window shopping di e-commerce. Ia bisa dengan sesuka hati membuka toko-toko online yang ia kehendaki. E-commerce ini memfasilitasinya untuk melihat barang-barang yang ia inginkan dengan membandingkan harga-harga disetiap toko online. Kepuasan dan kebutuhan untuk melihat menjadi terpenuhi tanpa harus lelah pergi menuju ke pusat perbelanjaan.


Tanggapan saya ini berusaha menunjukkan bahwa aktivitas window shopping ini tidak selalu mutlak hanya window shopping. Kegiatan tersebut sewaktu-waktu bisa berubah tergantung pada motivasi dan kebutuhan yang mendorong masyarakat terutama mahasiswa. Kegiatan window shopping yang awalnya menjadi alternatif agar tidak mengeluarkan uang banyak, justru bisa menjadi bumerang bagi mereka yang lemah dan mudah tergoda. Masyarakat yang berusaha mengontrol uang berubah menjadi konsumen yang tak terkontrol pengeluarannya. Kegiatan window shopping sebagai rekreasi dan refreshing ini menyenangkan, tetapi bisa jadi bencana ketika perilaku konsumtif menyerang. Perilaku tersebut yaitu impulsive buying.


Annisa Surya (16/399509/SA/18417)

ESAI TANGGAPAN 2


Pada essai diatas menurut saya sangat bagus karena mengupas sisi dari window shopping yang menjadi trend saat ini. Sudah menjadi sesuatu yang wajar jika kegiatan tersebut dilakukan oleh berbagai kalangan. Bahkan pelajar atau mahasiswi yang notabene seorang yang masih mengenyam pendidikan dapat melakukannya secara rutin bahkan setiap hari. Namun penulis essai tersebut masih belum membahas secara spesifik mengenai perilaku perilaku lain yang terbentuk dari window shopping dan sasaran belum terlalu jelas. Sehingga masih tampak seperti window shopping pada umumnya. Disini saya akan menambahkan beberapa fakta lain yang mencerminkan perilaku dari window shopping.


Dimulai dari ketertarikan dengan konteks ini saya mencoba melakukan pengamatan diberbagai macam mall, dimulai dari mall yang di peruntukkan bagi kalangan menengah hingga kalangan menengah keatas. Tak dipungkiri pula bahwa di berbagai macam mall tersebut terdapat pola perilaku yang sama, yaitu window shopping. Namun window shopping tersebut identik dengan perempuan dan hal tersebut merupakan kegiatan berbelanja yang cerdas, karena dengan cara tersebut dapat melakukan pengamatan dari keseluruhan barang yang ada yang ritel tersebut bahkan diseluruh gerai mall. Window shopping mempunyai kelebihan yaitu memberikan sedikit waktu untuk memastikan barang yang diperlukan, memastikan trend yang ada dan tidak asal beli (lapar mata) serta memberikan sensasi rileks pada pelakunya.


Berawal dari perkembangan kota yang tentunya disusul oleh kemajuan infrastruktur didalamnya membuat usaha ritel di Indonesia semakin merajalela dan semakin berlomba lomba untuk mengambil minat pasar. Ketatnya persaingan menurut Berman dan Evans (2001:24) terjadi karena sifat usaha ritel yang sangat sulit untuk melakukan diferensiasi dan entry barrier (hambatan masuk) dalam usaha ritel sangatlah rendah. Kompetisi pengusaha ritel tidak lagi terjadi antar format ritel yang sama namun terjadi antar format ritel yang berbeda (Utami: 2006: 8). Menurut pendapat Veronika dalam Majalah Ekonomi yang berjudul “Hubungan Antara Hedonic Shopping Value, Positive Emotion, dan Perilaku Impulse Buying Pada Konsumen Ritel” menjelaskan bahwa Department Store merupakan salah satu format ritel yang ada di Indonesia selain memiliki permasalahan persaingan antar format ritel juga mengalami masalah ketika dihadapkan pada perilaku pelanggannya. Seringkali permasalahan yang berkaitan dengan perilaku pelanggan pada Department Store sulit untuk diidentifikasi sehingga penentuan strategi bersaing juga sulit untuk ditetapkan. Pihak manajemen tentunya berkeinginan agar setiap konsumen yang datang pada tokonya akan membeli produk yang dijual, dengan kata lain strategi yang ditetapkan mengarah pada hasil akhir yaitu keputusan pembelian konsumen. Dalam hal ini pelaku atau pembeli biasanya mempunyai keputusan yang bersifat impulse buying yang didasari oleh keinginan semata dan membuatnya mendapatkan pengalaman berbelanja yang yang dapat dikelompokkan menjadi hedonic shopping value (Veronika: 2009). Menurut Hausman (2000), Piron (1991), Rook (1987) dalam Park, Kim and Forney (2005) hedonic shopping value merupakan peran yang cukup penting dalam impulse buying. Karena hal tersebut konsumen sering mengalami impulse buying ketika didorong oleh keinginan hedonis atau disebabkan hal lain, seperti perasaan senang, fantasi, sosial atau pengaruh emosional. Ketika pengalaman berbelanja seseorang menjadi tujuan untuk memenuhi kepuasan kebutuhan yang bersifat hedonis, maka produk yang dipilih untuk dibeli bukan berdasarkan rencana awal ketika menuju ke toko tersebut, melainkan karena impulse buying yang disebabkan oleh pemenuhan kebutuhan yang bersifat hedonisme ataupun karena emosi positif (Park, Kim and Forney,2005).


Gejolak “perimpulsifan” terjadi karena terdapat tawaran dari ritel yang ada di dalam mall seperti diskon besar atau bahkan tawaran “Buy 1 Get 1 Free”. Untuk sebagaian orang terutama perempuan yang sangat mudah tergiur oleh potongan harga akan berpikir untuk cepat mendapatkan barang tersebut selagi masih masa promo atau diskon dan akan merasa menyesal jika tidak mendapatkan barang tersebut. Namun hal tersebut bukanlah sebuah tolak ukur tentang kegiatan impulse buying bahkan menurut Semuel (2005) sebagian orang menganggap kegiatan belanja dapat menjadi alat untuk menghilangkan stress, menghabiskan uang dapat mengubah suasana hati seseorang berubah secara signifikan, dengan kata lain uang adalah sumber kekuatan. Kemampuan untuk menghabiskan uang membuat seseorang merasa berkuasa. Pembelian tidak terencana, berarti kegiatan untuk menghabiskan uang yang tidak terkontrol, kebanyakan pada barang-barang yang tidak diperlukan. Barang-barang yang dibeli secara tidak terencana (produk impulsif) lebih banyak pada barang yang diinginkan untuk dibeli, dan kebanyakan dari barang itu tidak diperlukan oleh pelanggan. Bahkan menurut penelitian Engel et al.(1995 :156) yang dikutip dari artikel milik Veronika (2009), pembelian berdasar impulse mungkin memiliki satu atau lebih karakteristik berikut ini :

1. Spontanitas

Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang, sering sebagai respon terhadap stimuli visual yang langsung di tempat jualan.

2. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas.

Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.

3. Kegairahan dan Stimulasi.

Desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan”,”menggetarkan,”atau”liar”.

4. Ketidakpedulian akan akibat.

Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang \mungkin negatif diabaikan.


Seiring dengan semakin berkembangnya kota tersebut akan diikuti pula fasilitas pendidikan yang semakin membaik dan maju. Karena hal itu membuat banyak orang dari luar kota tersebut berlomba lomba untuk bersekolah dan mengenyam pendidikan di kota dengan fasilitas pendidikan yang baik. Contohnya adalah universitas di Yogyakarta, ketika kota tersebut memiliki predikat kota yang ramah bagi pelajar maka akan banyak calon calon mahasiswi yang ingin bersekolah didalamnya. Sehingga membuat Kota Yogyakarta kedatangan tamu dari luar daerah untuk mencari pendidikan. Jika dikaitkan dengan window shopping ini hal tersebut merupakan sebuah faktor penunjang beberapa mall baru berdiri di Yogyakarta, karena untuk “memfasilitasi” tamu dari luar daerah tadi. Dalam hal ini konteks “memfasilitasi” adalah ketika para mahasiswi sedang mendapatkan jeda mereka dapat mengalihkan pikiran sejenak atau sekedar melepas penat untuk sekedar berjalan di mall terdekat dari kampus atau bahkan hanya sekedar mencari makan siang. Hal tersebut merupakan salah satu alasan mengapa banyak mall didirikan di dekat pusat pendidikan. Mahasiswi yang berasal dari berbagai daerah sering kali membawa kebiasaan yang ada di tempat asalnya dan menerapkannya di daerah tempat ia menempuh pendidikan. Seperti nongkrong di cafe, berjalan di mall dan hanya melakukan window shopping dan bahkan melakukan kegiatan belanja tanpa memiliki rencana sebelumnya.


Hal ini yang mengakibatkan ritel ritel di daerah dimana ia menempuh pendidikan mengubah konsep dagang hanya untuk sekedar berbelanja. Ketika seorang mahasiswi melakukan hal tersebut dan sudah menjadi kebiasannya, namun disisi lain teman dekatnya di universitas tidak mengenal kegiatan tersebut. Secara tidak langsung si teman dekat tersebut ikut merasakan dan mencoba hal yang selalu dilakukan sang teman untuk mendapatkan pengakuan bahwa dirinya sama derajatnya dengan si teman yang senang melakukan window shopping yang nantinya akan berujung pada konsumsi barang yang tidak terlalu dibutuhkan karena tergiur oleh tawaran yang diberikan. Hal tersebut menjadi sebuah dilema karena impulse buying tersebut juga sebagai pedoman untuk menentukan “kelas”, karena dengan semakin banyak berbelanja di mall yang notabene harga lebih mahal akan meningkatkan status “kelas” pada si individu tersebut. Sehingga impulse buying ini bisa dikatakan sebagai ajang untuk unjuk gigi dan menunjukkan gengsi antar teman. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa yang ingin mendapatkan pengakuan oleh teman temannya sehingga ia menggunakan cara tersebut untuk mendapat perhatian teman dan dirinya dianggap “WOW” karena dapat membeli barang yang sedang menjadi trend dan hanya tersedia di ritel ritel mall.


Dalam tulisan diatas saya senantiasa mengapresiasi pendapat penulis bahwa windows shopping dilakukan ritel ritel didalam mall, namun di era seperti sekarang ini yang semua serba mudah bukan hal yang mustahil bila windows shopping tersebut di lakukan di dalam rumah atau kos tanpa harus keluar. Hal ini merupakan sebuah inovasi bagi para pecinta “shopping” yang sedang tidak ingin keluar rumah, namun tetap ingin refreshing dan melepas penat dengan melihat lihat etalase yang ada di toko. Hal ini dinamakan “Screen Shopping” yang mana hanya membutuhkan layar dan koneksi internet untuk melakukannya. Biasanya windows shopping yang dilakukan di mall membutuhkan modal yang cukup banyak, seperti harus menggunakan pakaian yang modis dan juga aplikasi makeup untuk menunjang penampilan. Namun pada screen shopping ini tidak membutuhkan itu semua, karena tidak akan bertemu dengan orang dan hanya membutuhkan layar dan koneksi internet yang bagus. Metode dari screen shopping ini masih sama dengan windows shopping, yaitu berawal hanya berniat untuk melihat lihat saja untuk melepas penat dalam kegiatan sehari hari, namun berujung tergiur oleh sebuah tawaran diskon yang diberikan oleh penjual bahkan jika harga yang tertera normal namun memberikan tawaran gratis ongkos kirim, konsumen yang awalnya hanya berniat untuk melepas penat malah tergiur untuk membeli barang yang belum terlalu atau bahkan tidak diperlukan dalam kehidupannya.


Konstruksi masyarakat yang sangat mudah tergiur akan tawaran tersebut bisa menjadi sebuah hal yang baik namun juga bisa menjadi sesuatu yang buruk. Menurut pendapat saya, sah sah saja melakukan kegiatan windows shopping secara langsung maupun melalui online asalkan dapat menahan diri agar tidak mudah terjebak oleh tawaran tawaran yang diberikan. Bukan berarti kegiatan windows shopping itu negatif sepenuhnya, ada sisi positif yang didapatkan dari kegiatan tersebut, seperti perasaan bahagia, puas, penat hilang dan sebagainya. Namun pada intinya tetap harus selalu berhati hati untuk tidak terjebak ke dalam ‘pancingan’ marketing yang dilakukan oleh pihak toko. Ketika sudah terpancing maka akan sulit untuk melepas jerat yang sudah mengikat dan akan merasakan candu yang luar biasa untuk melakukan kegiatan windows shopping yang berujung dengan mengkonsumsi barang yang tidak diperlukan.


Safira Adi (16/395823/SA/18361)

ESAI REPLY

Menanggapi essay yang telah ditulis mengenai fenomena Window Shopping membuat orang awam menjadi sedikit lebih paham. Essay pertama membahas mengenai teori konsumsi dan keterkaitan nya dengan Mall yang dimana mana banyak dibangun di daerah rata rata Sleman. Dijelaskan juga, Mall dengan bangunan yang megah dan penuh arsitektur ala ala negara Yunani dan Eropa lainnya memiliki daya tarik magnet tersendiri terhadap masyarakat. Terkadang mereka, tidak selamanya pengunjung Mall adalah orang tua saja tetapi juga rata rata sekarang kebanyakan adalah para anak muda yang sengaja ingin mencari sensasi ngadem nya ala Mall dan juga sensasi belajar ataupun mengerjakan tugas ala Hangout yang nantinya pada ujungnya berujung pada konsumsi. Dijelaskan pada essay pertama mengenai teori konsumsi yang menjelaskan secara genera atau layaknya mengenalkan sebuah barang baru ke khalayak umum, seperti contoh tentang apa itu konsumsi- bagaimana konsumsi bisa terjadi dan mengenai pengklasifikasian ciri ciri konsumsi. Penjelasan tersebut menurut saya sudah lumayan menjabarkan, akan tetapi belum terlalu spesifikasi.


Sementara, kelemahan untuk essay-essay tersebut ialah penulis menulis mengenai fenomena Windows Shopping kurang pembahasan tentang kebijakan mengenai pembangunan ilegal Mall yang muncul di daerah Kabupaten Sleman khususnya. Teringat akan sebuah penjelasan disaat mengikuti kelas Antropologi Pariwisata bahwa pemerintah Sleman terlalu ‘melegalkan’ mengenai perijinan di Sleman untuk pembangunan tempat hiburan alias Mall dan juga dari pemerintah pusat alias pemerintah Kota Yogyakarta pun juga sangat mempermudah perijinan pembangunan di Yogya dan sekitarnya, tidak hanya pembangunan Mall saja tetapi juga terhadap pembangunan Hotel Hotel yang berkeliaran dari daerah Kodya sampai daerah Kabupaten Sleman. Dari permasalahan kebijakan pembangunan tempat tempat tersebut sudan menandai awal kemunculan dari perilaku konsumtif yakni fenomena Windows Shopping itu sendiri. Selain itu, penulis sudah cukup bagus penjabaran tentang keterkaitan fenomena tersebut dengan faktor psikologis dan faktor faktor lainnya serta juga didasarkan pada wawancara terhadap pelaku Window Shopping dan contohnya.


WINDOWS SHOPPING DAN CONTOH LAINNYA

Bicara lebih lanjut mengenai Window Shopping, banyak masyarakat yang sudah mengalami nya, tetapi tanpa mereka sadari, seperti contohnya saya dan orang tua saya terutama ibu. Ibu saya senang sekali dengan yang namanya belanja baju dan celana panjang. Bisa dibilang frekuensi ibu pergi ke Mall itu sangat banyak, sampai tidak terhitung ataupun sampai anaknya bosan menunggu melihat ibu berbelanja. Sementara, saya sebagai anaknya lebih senang berbelanja terutama nya buku. Pola pola yang dimunculkan oleh pelaku pelaku Windows Shopping pun beragam macamnya seperti yang sudah dijelaskan pada essay tanggapan pertama, seperti mereka melihat lihat saja tetapi dalam hati yang paling terdalam mereka menginginkan barang itu, ada pula yang sampai beli [mungkin lebih tepatnya terpaksa]- tetapi mereka tidak menginginkan barang tersebut. Penjelasan tersebut seperti yang dicontohkan oleh ibu saya lebih termasuk ke golongan orang yang terpaksa membeli tetapi barang itu tidak dibutuhkan untuk saat ini, contoh tersebut didasarkan atas faktor ‘kebetulan saat itu Departement Store yakni [sebut saja Matahari] sedang mengadakan diskon [sale] besar besaran. Faktor lain nya yang juga ikut mempengaruhi adalah dari manajemen pemasaran Departement Store sedang mengadakan operasi besar besaran alias memilah milah barang seperti baju- celana- sepatu- dan lain sebagainya yang sudah tidak laku terjual dan sengaja memberikan potongan harga atau lebih gaul nya dari diskon adalaha cuci gudang.


Sehingga, para kaum hawa entah itu ibu- ibu dan anak perempuan remaja maupun dewasa tersihir dengan kemewahan harga diskon tersebut dan terpaksa membelinya. Begitupun juga yang terjadi pada saya sendiri ketika berkunjung ke toko buku ternama di Indonesia [sebut saja Gramedia] pun juga pernah mengadakan seperti itu, buku buku yang belum laku terjual dijual kembali dengan mengadakan [book sale from price 5.000]. Sehingga, membuat pengunjung tersihir dan terpaksa membelinya. Perbedaan nya terletak pada, Departement Store mengadakan diskonan karena barang tersebut akan menghilang dari store nya, sementara Toko Buku mengadakan diskonan karena hanya untuk memilah milah saja tetapi selesai itu mereka menjualnya kembali dengan harga yang tinggi. Faktor ini juga dapat mempengaruhi adanya fenomena Window Shopping.


Begitu pula yang terjadi dalam Windows Shopping era teknologi seperti Online Shopping. Bagian ini, orang tua saya juga mengalami nya terutama bapak yang senang dengan belanja barang second [terutama otomotif: mobil dan motor bekas] [sebut saja OLX]. Pada awalnya bapak hanya sekedar iseng membuka situs-situs online shopping dan melihat lihat mobil motor bekas karena beranggapan bahwa jika membeli di online shop bisa ditawar harganya ataupun mendapat promo yang diadakan oleh online shop itu sendiri. Hanya melihat online shopping selama sekitar lima (5) hari, minggu depannya langsung datang ke tempat penjualnya dan langsung membelinya [walaupun hanya bapak dan ibu seorang yang senang dengan kriteria] mobil itu. Padahal, masih banyak mobil bekas lainnya yang mengundang keinginan untuk membeli dan memiliki nya.


Contoh contoh yang diceritakan diatas menjadi sangat jelas bahwa selain faktor psikologis berkaitan dengan keinginan manusia untuk selalu memenuhi nafsu, faktor manajemen pemasaran yang ditunjukkan oleh masing masing pertokoan, dan faktor keuangan yang paling utama dalam mengundang fenomena Window Shopping. Lalu, juga ada faktor dari sisi sosiologi seperti yang dijelaskan dalam artikel nya Robert Prus and Lorne Dawson, yang mengatakan

bahwa manusia hidup berkelompok dengan membayangkan kerangka berpikirnya seperti (1) multi- perspektif (2) refleksif (3) dapat bernegosiasi (4) Relasional dan terakhir (5) Prosesual. (Mead, 1934; Blummer, 1969) . Maksud dari multi-perspektif sebagaimana yang orang awam ketahui bahwa tentunya manusia di depan orang lainnya terutama saat acara acara formal seperti pesta pernikahan, bertemu dengan orang penting, dan lain lain. Maka, untuk memenuhi keinginan yang serba perfect – mau tidak mau, punya tidak punya uang mereka terpaksa membeli barang yang sebenarnya tidak sedang dibutuhkan, tetapi membeli dengan dasar untuk memenuhi sifat perfect dari pribadinya. Jadi, pada kesimpulannya fenomena ini sangat menarik untuk diteliti, karena beberapa alasan yakni


"Secara langsung dan tidak sadar semua manusia, tidak perempuan tidak laki laki, tidak remaja tidak orang dewasa mengalami fenomena ini. Kedua, fenomena Window Shopping bisa dipandang dari sisi psikologis manusia nya termasuk perilaku konsumtif nya, lalu juga bisa dipandang dari sisi pemasaran pertokoan nya dan dari berbagai faktor lainnya. Maksudnya adalah mungkin jikalau Toko tersebut tidak mengadakan yang namanya Diskon- Price from- Cuci gudang- dan istilah lainnya, fenomena Window Shopping tidak akan semenarik untuk diteliti. Paling utama nya adalah faktor Kebutuhan Hidup."


WINDOWS SHOPPING DAN NEGARA LAIN

Fenomena ini tentunya tidak terjadi dengan sendirinya dan begitu pula tidak terjadi hanya di satu negara saja, tetapi juga di negara negara lainnya. Shoppin sudah menjadi bagian budaya yang telah mendarah daging oleh setiap manusia di seluruh dunia, seperti kutipan yang diambil dari artikel Robert Prus dan kawannya, Lorne Dawson


“Shopping a.k.a Belanja sudah menjadi bagian dari budaya. Salah satu nya yang terjadi di negara Amerika bagian Utara. Orang orang disana mengganggap bahwa Shopping menjadi salah satu kegiatan yang menyenangkan. Tambahnya, ketika masa kanak kanak pun mereka telah terbiasa berjalan ke kota dan banyak melihat ke arah jendela semacam pergi ke pusat perbelanjaan (Robert and Lorne, 1991).”


Selain kegiatan, masyarakat Amerika mengganggap berbelanja sebagai dua (2) kegiatan yang berbeda yakni Shopping as Recreation dan Shopping as Works. Orientasi mereka terhadap Shopping as Recreation, menurut Robert dan Lorne adalah belanja banyak mencakup sebuah gagasan seperti interest antar sesama orang yang belanja, enjoyable, dan juga bagian dari entertainment dan refleksi alias cuci mata. Lalu, bagian kasus ekstrem nya Shopping as Recreation, telah menunjukkan berbagai keterlibatan sehingga terkesan lebih menyenangkan dan benar benar menarik. Sedangkan, orientasi Shopping as Work adalah sebagai aktivitas yang melelahkan- ataupun suatu pekerjaan yang menggambarkan sangat ambigu yang tidak bisa di hindari dan cepat membosankan. Pandangan yang kedua ini terkesan Belanja adalah sesuatu kegiatan yang memaksa- terburu buru- membuat frustasi- merendahkan martabat dan juga sesuatu yang melelahkan.


Jika melihat fenomena Window Shopping di semua negara, menurut Robert and Lorne, sebagai kegiatan yang pembeli tidak hanya dengan cepatnya mendapatkan dan langsung beralih dari barang satu ke barang yang lain. Selama ekspedisi nya dalam berbelanja Windows Shopping juga termasuk dalam kategori rekreasi belanja yang melelahkan sekaligus membuatnya frustasi. Itu, jika kita memandang nya dari segi negatif nya di negara Amerika. Ternyata, di negara lain fenomena Windows Shopping tidak hanya terjadi di Mall saja, tetapi juga terjadi di Pasar. Menurut pandangan Robert and Lorne,


“Pasar sama dengan Mall yakni dapat mewakili arena untuk membeli- melihat lihat- dan menjual barang. Tetapi, demikian juga memperlihatkan sejumlah inovasi besar dengan beragam kreativitas. Pasar juga dapat dijadikan sebagai sumber yang menarik untuk diteliti (Robert and Lorne, 1991).”


Berbeda pula dengan fenomena Window Shopping yang terjadi di negara sebutan Sakura yakni Jepang yang terkenal selain Sakura juga terkenal dengan Toko Retail. Toko Retail Jepang sebagian besar sangat kecil ukurannya dan relatif efisien bila dipandangn dari standarisasi negara Barat. Namun, dengan kebijakan mengenai mempunyai anak tidak boleh lebih dari satu, cukup mempengaruhi tentang standard upah hidup yang diberikan oleh industri ritel tentang teknik administrasi baru dengan menyertakan metode penjualan dan juga memodernisasikan pendistribusian perdagangan butive yang bisa dibilang sangat berkembang pesat. Sampai tradisi lama Jepang diterapkan pun, Departement Toko masih berjaya bahkan sampai mendominasi pengaruh ritel. Sekitar pada tahun 1968, Departemen Toko di Jepang telah berhasil menyumbangkan sekitar 10- 2% dari hasil penjualan eceran [sekitar 4.000 juta dolar]. Toko Retail atau lebih dikenal dengan Departement Toko telah menjadi bisnis yang masih aktif dan banyak bekerja sama antar rantai supermarket dan juga dengan perusahaan dagang. Toko toko serba ada pun mencoba bangkit kembali dengan memperluas daerah pengecer mereka ke toko toko utama yang terletak di kota kota. Alhasil, jika dilihat intensitas belanja orang Jepang yang tinggal di perkotaan menunjukkan lebih tinggi dibandingkan dengan orang Jepang yang tinggal di daerah pinggiran.


Windows Shopping di Jepang, menurut Nadine Beddington, lebih diukur bagaimana Toko tersebut dapat menarik perhatian dengan menghadirkan karakteristik tertentu, beberapa Toko Retail ada yang memberikan desain dengan teknologi canggih yang diberikan standard yang tinggi di depan Tokonya dan ada pula beberapa Toko Retail enggan untuk menyajikan desain yang unik di bagian depan Tok. Alhasil, Toko Retail yang kaca bagian depan nya terbuka dan diberika desain unik unik jauh lebih menarik banyak perhatian pengunjung dibandingkan dengan Toko yang bagian depannya kosong tidak diberikan desain apa apa.

Jika melihat fenomena Windows Shopping di dua (2) negara yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa ternyata faktor faktor yang menimbulkan fenomena tersebut tidak hanya dari perilaku manusia nya saja, tetapi juga bagaimana Toko ataupun Mall ataupun Pasar mendesain manajemen pemasaran mereka. Sehingga, mampu menarik perhatian pengunjung mengalami yang namanya fenomena Windows Shopping tersebut.


REFERENSI

Artikel Jurnal

Andjarwati, Tri. 2015. “Motivasi dari Sudut Pandang Teori Hirarki Kebutuhan Maslow, Teori Dua Faktor Herzberg, Teori X Y Mc Gregor, dan Teori Motivasi Prestasi Mc Clelland”. Jurnal Ilmu Ekonomi & Manajemen Vol. 1 No.1: 45 – 54.

Berman, Barry, Joel R. Evans.2001. ”Retail Management : A Strategic Approach”. Eight Edition. Upper Saddle River. NJ 07458. Prentice Hall

Beddington, Nadine. 1970. Window Shopping. Official Architecture and Planning. Vol 33. (8). pp. 688- 689.

Engel, James F., R.D Blackwell., P.W Miniard. 1995. “Perilaku Konsumen”. Edisi Keenam, Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara

Hausman,A. 2000. ”A Multi-Method Investigation of Consumer Motivations in Impulse Buying Behavior”. Journal of Consumer Marketing, Vol.17 No.15, pp. 403- 419

Jean, Baudrillard. 1998. The Consumer Society. London: Sage Publication

Kusumahati, Halida dkk. 2013. “Pengaruh Manfaat Utilitariandan Hedonisproduk Terhadap Keputusan Perpindahan Merek (Brand Switching) Dari Ponsel Globalke Smartphone Blackberry”. Universitas Brawijaya Malang: Jurnal Administrasi Bisnis Vol. 2No. 1: 57-64.

Komala, Cucu. 2018. “Perilaku Konsumsi Impulsive Buying Perspektif Imam Al-Ghazali”. Jurnal Perspektif Vol. 2 No. 2: 248-266.

Mowen,J.C., M. Minor. 2002. “Consumer Behavior and Marketing Strategy”. Edisi Kelima. Singapore: The Mc.Graw Hill Companies,Inc

Park,Eun Joo., Eun Young Kim., Judith Cardona Forney. 2005. “A Structural Model of Fashion-Oriented Impulse Buying Behavior”. Journal of Fashion Marketing and Management, Vol.10, No 4, pp.433-446

Putra, A. H. P., Said S., Hasan S. 2017 “Implication of External and Internal Factors of Mall Consumer in Indonesia to Impulsive Buying Behavior”. International Journal of Business Accounting and Management Vol 2, Issue 4, September, ISSN 2527–3531.

Prus, Robert and Lorne Dawson. 1991. Shop ‘til You Drop: Shopping as Recreational and Laborious Activity. The Canadian Jurnal of Sociology. Vol 16. (2). pp. 145- 164.

Rachmawati, Veronika. 2009. “Hubungan Antara Hedonic Shopping Value, Positive Emotion, Dan Perilaku Impulse Buying Pada Konsumen Ritel”. Majalah Ekonomi. Surabaya

Semuel, Hartane .2005. “Respon Lingkungan Berbelanja Sebagai Stimulus Pembelian”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.7, No.2, pp. 152-170

Suminar, Eva & Tatik Meiyuntari. 2015. “Konsep Diri, Konformitas dan Perilaku Konsumtif pada Remaja”. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia Vol.4 No.2: 145-152.

Utami. Christina Whidya. 2006. ”Manajemen Ritel-Strategi dan Implementasi Ritel. Jakarta: Salemba Empat

Weinberg, Peter and Wolfgang Gottwald. 1982, “Impulsive Consumer Buying as a Result of Emotions,” Journal of Bussiness Research, 10 March, 43-57.

Zamroni, M. Imam. 2007. “Mall, Masyarakat Yogya Dan Budaya Konsumsi”. Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama, Vol. VIII, No. 1:14-29.

Daring

Jogja.co, 2015. “Wow Akan Ada 12 Mall di DIY”. Dilansir dari http://www.jogja.co/wow-akan-ada-12-mall-di-diy/ pada Kamis, 27 Juni 2019 pukul 11.42.

Alexander, Hilda B. 2015. “Yogyakarta Dibanjuri Mal, Ini Alasannya…” Dilansir dari https://properti.kompas.com/read/2015/02/02/061944921/Yogyakarta.Dibanjiri.Mal.Ini.Alasannya. Pada Kamis 27 Juni 2019 pukul 12.00.

[1] Dilansir dari http://www.jogja.co/wow-akan-ada-12-mall-di-diy/ pada Kamis, 27 Juni 2019 pukul 11.42



[3] Dilansir dari https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/window-shopping pada Kamis 27 Juni 2019 pukul 12.30.

75 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page