top of page

@womanfeeds dan Perempuan

Sebagai pengguna aktif sosial media twitter, tentu mengikuti akun-akun base menjadi salah satu prasyarat supaya tetap up to date dengan topik-topik yang sedang menjadi trend dan hangat diperbincangkan di platform media ini, tidak terkecuali saya tentunya.


Melalui beberapa teman perempuan yang seusia, saya mendapat rekomendasi sebuah base dengan username @womanfeeds. Seperti namanya, tentu akun base ini diperuntukkan bagi perempuan berbagai kalangan usia, mulai dari yang baru saja masuk SMA kemudian mengirim pertanyaan seperti “saran make up untuk anak SMA dong, aku baru aja masuk nih” sampai dengan perempuan-perempuan yang sudah menikah dan kemudian berbagi pengalaman memasak mereka yang murah-meriah. “Yang ngaku perempuan wajib deh pokoknya ngikutin akun ini supaya nggak ketinggalan”, kata salah satu teman saya.


Sebagai salah satu dari 806.000 followers akun twitter @womanfeeds, saya tergolong cukup sering mengecek perkembangan base dengan membaca thread-thread tutorial dan pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke direct message akun ini. Dari sinilah, saya melihat ada banyak hal yang unik, istimewa sekaligus janggal dari hadirnya akun @womanfeeds sebagai sebuah wadah bagi perempuan, karena secara disadari maupun tidak, kehadiran base ini menjadi sebuah tempat yang mengubah secara pelahan sedikit demi sedikit pola pikir dan perilaku perempuan-perempuan yang menjadi partisipan akun ini.



Komunitas dan Aktualisasi Diri




Ada banyak sekali hal yang biasa dibicarakan oleh perempuan yang sulit sekali dibawa pada diskusi umum terbuka, seperti make up, skincare, masa menstruasi, dan sebagainya di mana laki-laki dapat dipastikan sedikit sekali yang paham dengan topik-topik tersebut. Ketidakpahaman tersebut pada biasaanya akan merujuk pada kecenderungan memojokkan perempuan yang dibilang repot sekali dengan hal-hal kecil sehingga akhirnya kita para perempuan tidak memiliki banyak kesempatan untuk berbagi hal-hal yang sifatnya “ke-perempuan-an”. Wadah berupa akun base khusus wanita seperti @womanfeeds ini tentu perlu kita acungi jempol dalam memenuhi kebutuhan perempuan-perempuan perkara berbagi keluhan, cerita, opini, tips, masukan dan dukungan dengan mengkonesikan mereka satu dengan yang lainnya.

Meski begitu, berdasarkan wawancara saya dengan pemilik akun @womanfeeds yang bernama Safira Maharani (21 tahun), akun ini pada awalnya hanya merupakan akun kosmetik yang bermula membahas sebatas make up saja, sebab Safira sendiri merupakan orang yang memiliki hobi membuat thread kecantikan dan menyukai makeup dan memiliki base bernama @makeupfess. Dan karena akun ini memiliki banyak penggemar, akhirnya banyak yang menyarankan untuk berganti nama dengan womanfeeds untuk memperluas topic pembahasan.


Mari kita lihat lebih dalam bagaimana saya bisa mengatakan bahwa akun @womanfeeds ini memberi tempat bagi kebutuhan perempuan. Fitur #automenfess yang mana pengikut akun @womanfeeds bisa mengirimkan pesan melalui direct message dan kemudian akan otomatis diposting di beranda akun tanpa memperlihatkan nama akun pengirim atau menjadikannya anonim memungkinkan kita bisa mengkonsultasikan apa saja disana. Ada berbagai variasi pertanyaan yang muncul dimana salah satu jenis pertanyaan yang akan sering kita temui adalah pertanyaan konsultasi seperti “muka aku jerawatan dan berminyak. Skincare yang cocok ke aku apa ya?” atau biasanya mereka akan mengirim foto beberapa baju kemudian bertanya “mana yang paling lucu menurut kalian guys?”.


Tidak hanya hal-hal seperti diatas, fitur ini juga memberi tempat bagi mereka-mereka yang terlalu takut untuk menceritakan permasalahan-permasalahan perempuan yang mereka alami seperti kekerasan seksual, orientasi sex, pembulian di sekolah, atau depresi mereka. Pertama, karena fitur anonim membuat mereka merasa aman-aman saja menceritakannya, dan kedua karena ada kolom reply dimana perempuan-perempuan lain akan memberi dukungan dan masukan untuk membantunya meringankan masalah-masalahnya, juga memberitahu pengirim bahwa ia tidak sendirian, dan ada teman lain yang pernah mengalami masalah yang sama dan berhasil berjuang melawan masalahnya. Kolom reply ini juga adalah salah satu fitur dimana perempuan bisa ikut menuangkan opininya terhadap pertanyaan atau masalah yang diajukan oleh para pengirim. Fitur ini jugalah yang biasanya akan mengaitkan koneksi orang satu dengan yang lain. Kesamaan opini, saling menambah info, atau memang sengaja mencari teman lewat akun ini menjadikan pengikut satu dengan yang lain saling berkenalan dan membangun relasi dalam dunia maya.


Komunitas menjadi bagian utama yang ditawarkan oleh @womanfeeds pada pengikut akun-akunnya. Maka tidak jarang kalau sebagian dari pengikut-pengikut @womanfeeds akhirnya saling mengikuti satu sama lain di akun sosial media mereka seperti twitter atau Instagram. Istilahnya kalau disini menjadi mutual lah. Tidak heran jika akhirnya banyak yang menjadi teman karena berawal dari akun ini, dan akhirnya punya tempat untuk berbagi masalah-masalah mereka.


Bagi pengguna twitter, tentu tidak awam dengan istilah thread kan? Nah, salah satu hal yang paling menarik dari akun @womanfeeds ini adalah bagaimana ada begitu banyak perempuan-perempuan yang membagikan cerita keberhasilannya mencapai sesuatu di base ini, seperti thread make-up untuk situasi tertentu, thread mengecilkan pinggang dalam seminggu, menurunkan berat badan secara drastic, thread memasak ala kentang McD, thread memutihkan wajah, thread menghilangkan bekas jerawat dan thread-thread lain yang kebanyakan menyangkut bagaimana merawat tubuh dan wajah mereka yang paling sering mendapat respon positif disini. Dari sini kita dapat melihat bahwa akhirnya ada platform yang memberikan perempuan tempat untuk meengaktualisasikan diri dengan memberikan inspirasi perempuan-perempuan lainnya melalui thread-thread yang mereka bagikan di base.


Maka bila melihat seberapa banyak manfaat dari mengikuti akun ini di twitter, tentu kita bisa melihat bahwa tercapai sudah tujuan awal dibentuknya base ini menurut Safira pada obrolan singkatnya dengan saya via direct message-nya mengatakan bahwa tujuannya membuat base ini adalah ia ingin base ini menjadi a safe place for women, dimana semua perempuan harus mendukung satu sama lain.


Standardisasi Persepsi Cantik


sumber: pinterest

Meski benar bila thread-thread tips kecantikan dibuat tanpa adanya pretensi terhadap apapun, bahkan cenderung dengan niatan baik dan bertujuan untuk menginspirasi perempuan lainnya, ada hal-hal yang agaknya membuat lengah kita lengah sebagai perempuan. Jauh sebelum era dimana media komunikasi seperti smartphone ramai-ramai digunakan, perspektif cantik bagi perempuan agaknya cenderung abu-abu karena tidak ada yang mengatakan secara jelas dan diulang berkali-kali. Berbeda sekali jika kita melihat bagaimana justru trend yang populer mengenai kecantikan di akun @womanfeeds yang secara tidak sadar membentuk standar cantik bagi perempuan itu sendiri. Mari kita lihat lagi judul-judul thread kecantikan yang sangat populer di akun @womanfeeds ini:


“Menurunkan berat badan 5 kg dalam seminggu”, “diet sehat dan ketat”, atau “workout ala aku untuk menghilangkan lemak perut”. Thread yang semacam itu diulang secara terus-menerus hingga akhirnya secara tidak langsung membentuk standar perempuan itu sendiri. Bahwa perempuan yang cantik itu ya yang tidak gemuk, atau bahwa perempuan gemuk untuk menjadi cantik harus mengurangi berat badannya untuk memenuhi standar. Begitu juga dengan trend perawatan kecantikan wajah yang trend di kalangan pengguna @womanfeeds seperti “skincare routine for glowing face” , “wajah glowing dengan skincare murah”, dan “rahasia glowing dalam sebulan” yang baru beberapa bulan terakhir ini sangat nge-trend di kalangan perempuan.


Permasalahan ini agaknya terwakili oleh kutipan berikut. Standardisasi kecantikan muncul melalui pengidealisasian rupa perempuan di dalam media. Di saat media menampilkan rupa-rupa ideal perempuan, disaat itu pula secara tidak sadar masyarakat mulai menetapkan standar-standar kecantikan. (Elvira dan Retno, 2017).


Mengutip dari sebuah jurnal berjudul Pasar Kecantikan dan Penindasan Wanita Di Cina yang ditulis oleh Inda Mustika Permata dan Bima Jon Nanda (2017), ia menjelaskan bahwa persepsi kecantikan merupakan sebuah penafsiran dalam suatu masyarakat terkait suatu standar dalam mendefinisikan kata cantik. Apa yang disebut cantik tidak akan lepas dari kondisi dan lingkungan seseorang dalam mendefinisikan cantik. Standar sosial budaya dari ‘kecantikan’ feminim dipresentasikan hampir di semua bentuk media-media populer. Setiap masyarakat membentuk sebuah prototype ideal dalam menggambarkan ciri spesifik suatu gender, serta setiap masyarakat mempunyai penggambaran ciri feminis dan maskulin yang ideal menurut masyarakat itu sendiri. Penggambaran ciri gender yang ideal berdasarkan argumen sebelumya, tidak lepas dari persepsi-persepsi yang dipresentasikan oleh media populer secara terus menerus.


Hal senada diungkapkan oleh Desi Priyanti dalam (Prianti, 2013) bahwa Indonesia terdiri dari suku-suku yang memiliki karakteristik fisik yang beragam. Seharusnya kecantikan seorang perempuan ditampilkan dengan cara yang berbeda pula. Namun, karena pengaruh media yang salah satunya juga mencakup twitter, sekarang hanya ada satu gagasan untuk menjadi cantik. Ironisnya, gagasan ini tidak realistis, tidak sehat, dan tidak nyata, serta terus menekan perempuan. Selain itu, gagasan ini meminggirkan orang-orang yang tidak masuk dalam standar ini. Dengan diciptakannya standar tertentu yang disepakati oleh masyarakat global dalam media yang dibahas berulang-ulang seperti pada base akun @womanfeeds ini, terjadilah pergesaran akan nilai kecantikan yang cenderung berkisar pada penampilan fisik semata.


Berdasarkan pengumpulan data sebuah penelitian, perempuan sangat rentan terhadap standardisasi kecantikan, khususnya standarisasi yang berkaitan dengan wajah dan figur tubuh ideal seperti misalnya, kulit putih, wajah glowing, tubuh langsing, dan bentuk wajah tirus. Standardisasi kecantikan yang semacam ini kemudian berpengaruh negatif bagi perempuan. Tidak jarang suatu standar kecantikan membawa bahaya bagi perempuan. Bahayanya dapat bersifat fisik maupun psikis karena secara psikologis, wanita menjadi sangat tertekan saat tidak dapat mencapai suatu standar tertentu. Sebab standar tersebut merusak persepsi perempuan terhadap gambar dirinya sendiri.


Cantik sendiri di akun @womanfeeds akan selalu dibahas pada ukuran tertentu dan itu-itu saja, sehingga kita dengan sendirinya menarik kesimpulan standar cantik berdasarkan sudut pandang perempuan. Secara implisit, ada pembentukan standar kecantikan disini, dan akhirnya perempuan yang mengikuti bacaan-bacaan dan pertanyaan-pertanyaan di akun ini secara tidak langsung akan terpengaruh untuk memenuhi standar cantik yang ada. Fenomena inilah yang setidaknya membuat kita akhirnya dapat melihat sisi lain dari efek kehadiran base @womanfeeds ini bagi perempuan.


Konsumerisme


sumber: pinterest

Gao Chong dalam tulisannya yang berjudul Embeddedness and Virrtual Community (Kuah, 2008) menuliskan kutipan berikut: The internet offers an open and free space for netizens to communicate and organize collective activities, but its anonymity makes cheating popular. Hal ini sangat menggambarkan fenomena akun @womanfeeds dan komunitas yang terbentuk didalamnya yang meski bukan dalam rangka berjualan atau promosi, seringkali mereka turut mempromosikan produk-produk kecantikan tertentu.

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa ada standardisasi kecantikan dalam lingkup komunitas womanfeeds itu sendiri, maka tidak dapat dipungkiri bahwa ada pula tuntutan secara naluriah perempuan untuk berusaha memenuhi standar yang ada dengan membeli produk-produk yang direkomendasikan orang-orang banyak melalui cerita-cerita keberhasilan orang lain dalam ‘memenuhi standar cantik mereka’. Tambunan (2001, h.2) mengatakan bahwa kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain inilah yang menyebabkan seseorang berusaha mengikuti atribut yang sedang menjadi mode dan berperilaku konsumtif.

Budaya konsumerisme sebagai anak dari ideologi kapitalis sangat besar dipandang oleh kekuatan-kekuatan pengendali pasar, terutama kecanggihan dan kecerdikan media yang menjadi sarana vital bagi pasar. Oleh karena itu jangan heran melihat bagaimana mudah sekali menemukan toko-toko online yang membuat akun twitter dan menjajakan produk mereka di fitur reply seperti misalnya ketika seseorang menanyakan “muka aku jerawatan dan berminyak. Skincare yang cocok ke aku apa ya?” maka akun-akun yang berjualan tersebut akan membalas postingan tersebut dengan menjajakan barang-barang mereka seperti ”kita jual produk blabla dan blabla untuk menghilangkan jerawat” dan menawarkan berbagai promo untuk menarik minat pembeli seperti konsultasi gratis mengenai solusi masalah wajah, potongan harga dan bahkan menjual produk-produk share in jar yang digandrungi banyak orang karena terhitung lebih hemat. Fenomena ini menjadi terwakili oleh sebuah kutipan dari Mochtar Lubis (1981) : “Teknologi modern cenderung mempercepat tempo kehidupan, pengangkutan serba cepat, komunikasi secepat kilatan cahaya. Momentum perdagangan dan keuangan didukung oleh kecepatan teknologi telekomunikasi. Siapa terlambat akan ketinggalan dan akan kalah dalam persaingan”.

Agaknya fenomena berbelanja produk kecantikan seperti make up dan skincare ini menjadi sangat lumrah untuk kita temui sekarang. Tidak heran jika Soegito (1996) menuliskan bahwa perilaku konsumtif masyarakat Indonesia tergolong berlebihan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Hidup dalam dunia konsumerisme menjadi tidak pandang umur, jenis kelamin ataupun status sosial. Banyaknya produk yang harus dibeli demi memenuhi ‘standardisasi yang ada’ pada akhirnya hanya akan menjajah kantong orang-orang yang berasal dari kalangan menengah kebawah pun menjadi sangat berbahaya di saat anak-anak dan remaja perempuan sejak dini mulai menginternalisasi standar-standar kecantikan tersebut.

Meski bagaimana perspektif cantik dan perubahan perilaku berbelanja perempuan sedikit banyak berubah dengan adanya akun @womanfeeds, hal ini tidak serta-merta menjadikan kehadiran akun tersebut menanggung akibat negatif bagi perempuan-perempuan partisipan dalam komunitas base tersebut. Pada kenyataannya masih banyak hal-hal positif yang bisa kita dapatkan disana seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan, komunitas baru.

Justru sebaliknya, maka kita perlu berefleksi sedikit mengenai bagaimana sebenarnya disadari atau tidak, diakui atau tidak, dampak media cukup besar dalam mengubah pola pikir kita terhadap sesuatu. Tentu seperti yang kita tau, perspektif cantik itu dibentuk oleh orang-orang yang berada di dalam komunitas itu sendiri. Artinya, kita, saya, dan siapapun yang mengikuti akun ini berkesempatan untuk memperluas standardisasi cantik bahwa ukuran cantik tidak harus melulu perkara fisik putih dan langsing. Membagikan hal-hal positif untuk orang-orang yang merasa insecure dengan diri mereka sendiri adalah salah satu kontribusi dalam mendukung sesama perempuan seperti bagaimana tujuan base ini dibentuk. Pun jangan lupa dengan nasihat yang menuliskan bahwa “bijaklah kamu dalam bersosial-media”. Jangan mudah terpengaruh dengan berbagai cerita inspirasi orang lain. Kita hidup di lingkungan kapitalis dimana ada begitu banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk menjual produk-produk mereka. Ingin cantik boleh, tapi tertipu jangan!


REFERENSI

Kuah, K. E. (Ed.). (2008). Chinese Women and the Cyberspace (Vol. 2). Amsterdam University Press.

Lubis, M. (1981). Penerusan Budaya Kita Terputus. Prisma no 11. LP3ES: Jakarta.

Nainggolan, E. & Retno P. (2017). Penyadaran Bahaya Standarisasi Kecantikan Pada Iklan Kosmetik Melalui Iklan Layanan Masyarakat. Idealogy, 2(2) : 154-168.

Permata, I. M. & Bima J. N. (2017). Pasar Kecantikan dan Penindasan Wanita Di Cina. Andalas Journal of International Studies 6(2).

Prianti, D. (2013). Indonesian Female Beauty Concept: Does It Take Into Account The Traditional Values?. The Asian Conference on Media and Mass Communication. Osaka.

Soegito. (1996). Konsumerisme Penyebab Inflasi. Kepala BPS : www.apakabar@clark.net

Tambunan, R. (2001). Remaja Dan Perilaku Konsumtif. Jakarta : Artikel.

21 views0 comments

Comments


bottom of page