Yohanes Brechman Tanaboleng : Melawan HIV/AIDS dalam Arus Budaya Pendidikan Seks Rendah
- Erlina Sukmawati Dewi
- Dec 7, 2018
- 7 min read

Festival Sumba, event yang sudah terselenggara beberapa hari lalu sepertinya masih membekas dan teringat di benak mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, terlebih lagi oleh mahasiswa dari Antropologi Budaya UGM. Kami berdua, Erlina Sukmawati Dewi dan Iklima Imanda tertarik dengan beberapa rangkaian acara dari Festival Sumba mulai dari acara pembukaan yang dipimpin oleh guru besar Antropologi Budaya Prof. Laksono dan kemudian dilanjutkan dengan beberapa rangkaian seperti misalnya pemutaran film, cara meracik kopi, kain Sumba, pemutaran film, pergelaran seni, upacara Kedde, pameran foto, kemudian acara pagelaran musik Sumba, serta simposium yang diisi oleh beberapa panelis yang ahli di bidangnya.
Pada hari Sabtu, tanggal 27 Oktober 2018, kami menghadiri simposium Sumba yang menghadirkan panelis yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, khususnya Sumba, dan juga orang-orang yang ahli mengenai permasalahan regional di sana. Sejujurnya kami tertarik dengan isu-isu HIV/AIDS di sana, sehingga kami masuk ke dalam sebuah panel yang membahas mengenai penyakit seks menular yang terjadi Sumba. Sebagai bentuk pengapresiasian dan juga tanggung jawab kami sebagai mahasiswa untuk melakukan penugasan dalam rangkaian event festival Sumba yang kedua, kami tertarik untuk mencoba memperdalam salah satu topik yang dibawakan oleh Bapak Yohanes Brechman Tanaboleng yang merupakan seorang direktur dari yayasan YAKKESTRA (Yayasan Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat). Beliau adalah salah satu pengisi event acara Festival sumba yaitu pada panel Pertumbuhan Penduduk Sumba khususnya pada tema perubahan perilaku seks dan penyakit seksual menular di Sumba dan Nusa Tenggara Timur untuk pukul 16.00-16.20 WIB. Saat kami mengikuti diskusi yang berlangsung kurang lebih selama 20 menit ternyata banyak sekali informasi baru yang kami dapatkan dari beberapa panelis mengenai kesehatan wilayah-wilayah di Nusa Tenggara Timur, salah satunya adalah mengenai penyakit HIV/AIDS.
Seperti yang kami sebutkan di atas, Bapak Yohanes adalah direktur dari sebuah yayasan kesehatan YAKKESTRA. Sebenarnya YAKKESTRA merupakan yayasan yang pusatnya berada di Flores, bukan di Sumba. YAKKESTRA sendiri adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsen menangani masalah kesehatan, khususnya Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV dan AIDS, agar mengurangi resiko penyebaran di kabupaten Sikka khususnya pada kelompok populasi kunci melalui program pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV dan AIDS[1]. Yayasan yang dikomandani oleh Bapak Yohanes ini secara massif telah berperan dalam proses penanggulangan HIV/AIDS di Flores, Nusa Tenggara Timur. Banyak sekali program yang sedang berusaha dijalankan oleh beliau, diantaranya adalah penyebaran informasi yang bersifat edukatif, pendampingan kepada kelompok-kelompok kunci (kelompok yang rentan tertular virus HIV), konseling dan rujukan, pelatihan dan diskusi, serta outlet kondom.
---
Bapak Yohanes Brechman Tanaboleng memiliki ciri fisik tinggi gagah dengan warna kulit khas orang Sumba, dengan usia yang masih tergolong muda. Beliau juga merupakan orang yang simpatik dan ramah, terlihat ketika kami datangi beliau dan tersenyum dan mempersilahkan diri untuk diwawancarai. Kesan pertama yang kami rasakan ketika bertemu beliau adalah keterbukaan yang positif, sehingga kami dapat berbincang-bincang dengan beliau tanpa merasa canggung atau malu. Aura keberanian yang dipancarkan oleh beliau, menjadi penilaian kami bahwa itu juga menjadi salah satu tanda semangat beliau untuk memberikan edukasi mengenai bahaya penyakit seksual menular dimana mungkin menurut kebanyakan orang lain apa yang dilakukan oleh Bapak Yohanes adalah hal yang tabu dan tidak biasa.
Kami berdua kebetulan sangat beruntung, kami memperoleh kesempatan lebih untuk mengobrol lebih lanjut dengan Bapak Yohanes Brechman Tanaboleng, sosok yang menurut kami sangat menginspirasi kami sebagai anak muda yang tinggal di kota. Sosok beliau mampu menjadi representasi dari orang-orang Sumba yang merelakan waktu dan tenaganya untuk berjuang demi masyarakat di daerahnya. Melihat latar belakang beliau yang juga memiliki keturunan Sumba menjadikan penyemangat dirinya bahwa Sumba sebagai wilayah Indonesia yang jauh dari ibu kota dan akses yang lumayan susah harus teredukasi dengan baik mengenai penyakit HIV/AIDS yang apabila tidak ada penanganan yang tepat akan menyebabkan kematian. Perbincangan yang cukup hangat yang tersaji menjadikan kami menilai bahwa bapak Yohanes sangat ramah dan murah senyum terlebih pesan-pesan di akhir perbincangan yang menurut kami sangat menginspirasi kalangan muda sebagai generasi penerus bangsa.
Beliau juga bercerita kepada kami bahwa ketertarikan beliau untuk peduli dengan penyakit seks menular seperti HIV/AIDS ini didasari oleh panggilan hati dan juga keprihatian beliau terhadap minimnya kepedulian baik dari kalangan pemerintah dan juga kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap hubungan seksual dimana kebanyakan dilakukan tanpa hubungan resmi pernikahan. Beliaupun merasa harus berjuang dalam ikatan sebuah yayasan di mana beliau dapat menyalurkan rasa simpati dan empatinya terkait dengan hal ini. Beliau berpikir bahwa harus ada di antara masyarakat yang mampu memobilisasi gerakan penanggulangan HIV/AIDS karena jika tidak, virus tersebut akan terus merenggut nyawa-nyawa masyarakat NTT. Dalam sebuah portal beritapun dikatan bahwa di Kabupaten Sikka, Flores, per bulan Agustus 2018 ini ada sekitar 705 penderita HIV/AIDS, dan sekitar 326 orang mendapatkan pantauan dari KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) yang diprakarsai oleh yayasan-yayasan, dan sisanya telah meninggal dunia[2]. Hal ini membuktikan bahwa peran yayasan dan pendampingan kelompok-kelompok sebaya sangat diperlukan agar virus ini dapat dibendung dan dihadapi dengan baik.
Kami melihat bahwa beliau memiliki idealisme yang sangat tinggi, semua itu terlihat dari bagaimana beliau menyampaikan pemikiran kritisnya mengenai kondisi sosial yang terjadi di Sumba, terutama yang berkaitan dengan fenomena HIV/AIDS. Beliau berpikir bahwa HIV/AIDS banyak terjadi karena sebuah “kesalahan” yang dilakukan oleh sekolompok orang yang ingin menyalurkan hasrat seksual mereka tanpa regulasi yang resmi tanpa memikirkan bagaimana dampaknya di masa yang akan datang jika mereka mengidap HIV/AIDS. Bapak Yohanes juga memiliki idealisme yang kuat mengenai bagaimana cara menjaga populasi Sumba dengan jalan meminimalisir angka kematian karena penyakit yang diasumsikan mematikan seperti HIV/AIDS. Idealisme ini tak serta merta muncul begitu saja, Bapak Yohanes memiliki background pendidikan teologi, di mana latar belakang tersebut menjadikan Bapak Yohanes menyadari bahwa tindakan asusila yang bertentangan dengan agama sebagaimana yang diajarkan dalam alkitab seperti seks bebas benar-benar dapat memberikan dampak negatif. Semangat Bapak Yohanes dalam memberikan langkah-
langkah preventif dan edukatif mengenai maraknya seks bebas yang terkait dengan penularan HIV/AIDS didasari pula oleh semangat untuk mendakwahkan ajaran Tuhan yang melarang perbuatan asusila tersebut di masyarakat.
Beliau bercerita bahwa dalam menjalankan perannya sebagai pegiat penanggulangan HIV/AIDS, beliau dan rekan-rekan mendapatkan beberapa dukungan dan cercaan serta penolakan. Hal ini menjadi hal yang umum dirasakan bagi siapa saja yang ingin menegakkan sebuah kebenaran dan kebaikan. Penolakan dengan kalimat ”Biar saja kami mati, itu urusan kami” menjadi makanan yang sehari-hari harus ditelan oleh Bapak Yohanes. Kami bisa merasakan bagaimana sulitnya berjuang di tengah-tengah masyarakat Sumba yang masih belum bisa menerima nilai-nilai edukasi mengenai penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah HV/AIDS seperti kondom, maupun nilai-nilai yang lebih fundamental seperti himbauan untuk tidak ”jajan” dan berusaha menjadi pribadi yang senantiasa menjaga diri dan kemaluan.
Kami berpikir bahwa Bapak Yohanes adalah orang yang religius. Kata-kata yang dilontarkan beliau ketika menjawab pertanyaan sangat khas sekali dengan kata-kata yang biasa digunakan oleh para teolog-teolog yang mempelajari tentang filsafat dan agama. Beliau menggunakan padanan kalimat yang bermakna dalam, misalnya “satu-satunya hal yang mampu mencegah kita dari perbuatan-perbuatan tercela terebut adalah iman“. Kami semakin melihat bentuk kesalehan beliau dari kalimat tersebut.
Kamipun mendapatkan banyak pelajaran yang berharga dari Bapak Yohanes, persistensi beliau dalam menjalankan misi terkait dengan idealisme dalam membangun Sumba yang lebih “aman” dari virus HIV/AIDS, dan meminimalisir kematian yang pada akhirnya mampu mempengaruhi bentuk demografi Sumba jika penyakit ini terus dibiarkan begitu saja tanpa ada yang memberikan aksi preventif dan edukatif semacam yang ia lakukan. Dalam rangka menuju suatu tujuan tertentu dalam perjuangan kemanusiaan, kita harus menanamkan sebuah idealisme yang kuat dalam diri kita. Idealisme adalah landasan yang membuat beliau terus berdiri walaupun dicaci maki dan ditolak oleh orang-orang yang tidak suka dengan kita. Justru kita bisa menjadikan penolakan-penolakan tersebut sebagai alat pacu yang dapat memotivasi kita untuk lebih menggencarkan perjuangan kita, karena penolakan-penolakan tersebut menandakan masih dangkalnya kesadaran masyarakat mengenai penyakit berbahaya ini, dan jika Bapak Yohanes berhenti untuk berjuang maka orang-orang yang minim pendidikan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ini akan semakin rentan terkena HIV/AIDS.
Beliau memberikan inspirasi bagi kami bahwa di dalam menjalankan perjuangan, kita juga harus menyadari bahwa keberadaan rekan yang mampu memotivasi kita untuk berjuang itu sangat diperlukan. Bapak Yohanes memang hebat, persisten, dan tahan banting karena idealisme kuatnya. Namun bagaimanapun, peran rekan beliau juga sangat menentukan kekokohan sebuah yayasan apalagi yayasan yang berdiri melawan suatu bentuk fenomena sosial tertentu yang sudah marak di kalangan masyarakat. Untuk mendirikan sebuah lembaga atau yayasan, kita harus mengajak orang-orang yang memiliki idealisme yang sama dengan kita untuk berjuang bersama dalam mencapai tujuan kita. Proses pengorganisasian yang dilakukan Bapak Yohanes terhadap rekan-rekannya juga dapat diacungi jempol karena yayasan tersebut mampu berdiri hingga kini meskipun menerima penolakan dari pihak-pihak tertentu yang merasa memiliki hak untuk melakukan apapun semau mereka tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan.
Beliau memberikan pesan kepada kami sebagai mahasiswa Antropologi Budaya, untuk dapat memberikan kontribusi positif demi keberlangsungan bangsa kita yang lebih bermartabat dan progresif. Sebagai mahasiswa, kami harus menghindari hal-hal asusila seperti seks bebas dan pergaulan yang tidak sehat yang akan menjerumuskan kita pada hal-hal seperti narkoba, dan lain sebagainya. Meskipun kami pribadi memahami bahwa penyebab HIV/AIDS bukan hanya terbatas pada mereka yang bertindak asusila seperti seks bebas dan narkoba, namun bayi-bayi yang tidak berdosa, ibu rumah tangga yang tidak melakukan kegiatan seksual di luar rumah, orang yang menerima donor darah yang terkena infeksi HIV juga bisa menjadi ”korban” virus HIV/AIDS. Namun bagaimanapun, kami juga harus menyadari bahwa menjaga diri dengan baik dan menguatkan iman untuk menghindari bahaya-bahaya yang memiliki probabilitas menimbulkan infeksi virus HIV/AIDS juga harus kami hindari. Selain itu, kami sebagai orang yang dianggap sudah teredukasi, harus mampu memberikan sosialisasi kepada siapapun yang riskan terinfeksi virus tersebut. Kami bisa memberikan edukasi kepada masyarakat di sekitar wilayah tempat tinggal kita.
Kami berbincang-bincang dengan cukup seru pada sore hari itu. Akan tetapi perbincangan seru dan hangat kami harus terhenti ketika dari panitia meminta untuk dipecepat, dan kami juga melihat raut muka dari bapak Yohanes Brechman Tanaboleng terlihat sangat lesu, tetapi sekali lagi yang patut diteladani dari sosok beliau adalah semangat menyampaikan ilmu yang dibagi dengan mahasiswa dan juga para peserta yang hadir. Suara yang disampaikan beliau juga tegas dan lugas dimana sangat kami rasakan raut beliau yang lelah tetapi sangat tidak ingin memperlihatkan rasa capek tersebut kepada peserta dan juga kepada kami, dimana sudah mengisi panel tetapi juga masih bersedia untuk kami tanyai dan kami ajak mengobrol.
Pertemuan dengan bapak Yohanes Brechman Tanaboleng terasa sangat berkesan bagi kami, ditambah lagi keramahan yang tercipta diantara kami juga membuat kami sebenarnya betah untuk berlama-lama berbincang dan menambah ilmu yang sebenarnya jika kami rasakan banyak yang belum kami ketahui dari sosok beliau dan juga masyarakat sumba yang menurut kami masih sangat rentan untuk terpengaruh dengan seks yang berdampak pada kesehatan bahkan keselamatan nyawa penduduk Sumba itu sendiri.
[1]Diambil dari https://yakkestra.webs.com/. Diakses tanggal 7 Desember 2018. 07.50
[2] Diambil dari http://kupang.tribunnews.com/2018/08/10/hivaids-ditemukan-di-semua-kecamatan-di-sikka-kenapa-aids-lebih-tinggi. Diakses pada tanggal 7 Desember 2018. 08.10
Comments